Liburan natal berjalan dengan lebih cepat dari yang kukira. Aku disibukkan oleh terapi-terapi skoliosisku sehingga membuatku kurang bisa menikmati liburanku. Aku menurunkan kakiku dari kursi dan mulai bergelantungan pada bar besi.Setelah hampir seminggu melakukan aktivitas ini secara rutin, tanganku tidak terlalu pegal lagi saat menopang tubuhku yang beratnya 40 kg. Aku tidak bisa membayangkan seberat apa kalau aku memiliki berat badan ideal, yaitu 50 kg."Kak Freya, lagi apa?" tanya seseorang.Sontak aku melepaskan genggaman tanganku dari bar besi dan mendarat di atas lantai. Aku menoleh ke arah sumber suara dan mendapati adik sepupuku berdiri di depan pintu. Dia adalah anak laki-lakinya bibi yang sudah memberi tahu kondisiku kepada mama dan papa."Ya, kamu bisa lihat sendiri Kakak lagi ngapain." Aku tidak menjawab pertanyaannya dengan jelas.Lelaki yang lebih muda 6 tahun dariku itu naik ke atas tangga lalu duduk di anak tangga, tepat di samping pegangan tangga dimana bar besi itu
Akhirnya liburan Natal telah berakhir, rasanya malas sekali untuk berangkat sekolah. Selain karena sudah terbiasa bersantai semasa liburan, bertemu dengan Celestine dan kawan-kawannya yang sering membuliku membuatku tidak bersemangat untuk pergi ke sekolah.Aku melangkahkan kakiku dengan santai melewati jalan setapak. Kulihat ada beberapa siswa-siswi berjalan menuju gedung sekolahnya masing-masing. Mereka melangkah sambil mengobrol dengan teman-temannya.Aku memalingkan mukaku dan mempercepat langkahku supaya bisa sampai ke ruangan kelasku secepat mungkin. Sesampainya di kelas, aku mendapati ruangan berbentuk segi empat ini masih sunyi dan sepi.Kulangkahkan kakiku menuju tempat dudukku yang berada di paling belakang sambil mengedarkan pandanganku ke sekeliling. Tidak sampai sepuluh orang yang sudah sampai di sini, termasuk aku. Sepertinya banyak yang bangun kesiangan.Sesampainya di tempat dudukku, kudapati kondisi meja dan kursiku jadi penuh dengan debu. Untung saja aku selalu memba
Selama jam pelajaran berlangsung, aku tidak bisa berkonsentrasi mendengarkan penjelasan guru. Entah ini halusinasiku atau apa, pantulan diriku yang berada di dalam kaca jendela selalu berbicara kepadaku sehingga aku jadi tidak bisa fokus belajar."Malang sekali dirimu, Freya. Tidak ada satu orang pun di dunia ini yang benar-benar memihakmu," ujarnya sambil terkikik."Mereka semua munafik. Mereka percaya kalau kamu tidak mencuri gantungan kuncinya jalang itu, tetapi mereka tidak membelamu dan membiarkan kamu dipermalukan oleh jalang itu," lanjutnya.Aku mengangkat kedua tanganku dan menutup kedua telingaku dengan telapak tanganku. Aku benar-benar kesal dengan halusinasi ini. Ini membuat aku kesulitan menyimak materi dan merusak mood-ku karena dia terus-menerus mengatakan hal yang tidak ingin kudengar.Sialnya, aku tetap bisa mendengar suaranya walaupun kedua telingaku sudah kututup rapat dengan tanganku. Sosok yang penampilannya sama persis denganku itu terus saja mengoceh serta mengat
Pada minggu pertama dalam semester baru ini, aku sudah mendapatkan fitnahan dari Celestine sehingga membuat sebagian teman sekelasku menjauhiku. Mereka dengan bodohnya percaya pada drama Celestine yang mencemari nama baikku.Selama beberapa hari ini aku mendapatkan tatapan sinis dan sindiran dari mereka yang mempercayai drama Celestine. Di sisi lain, orang-orang yang tidak percaya pada drama Celestine pun menjaga jarak denganku, seperti takut ikut terjerat dalam masalahku.Selain itu, aku mulai menyadari suatu fakta mengenai halusinasi yang sering kulihat dan kudengar. Halusinasi itu hanya muncul saat aku melihat diriku sendiri, entah itu lewat cermin, kaca, layar televisi mati, foto, dan lain-lain yang bisa memantulkan pantulan diriku.Oleh karena itu, aku jadi malas untuk berkaca. Aku tidak pernah lagi bercermin ketika mengurus penampilanku. Aku tidak peduli kalau rambutku kurang rapi; bedakku ketebalan atau ketipisan, setidaknya aku tidak mendengar suara cemoohan dari 'diriku yang
Setelah pelajaran PENJAS berakhir, kami berganti baju ke seragam yang biasa dikenakan pada hari Sabtu, yaitu seragam pramuka. Murid-murid perempuan mengganti bajunya di dalam kelas sambil mengobrolkan hal-hal trivia."Freya, kamu betulan skoliosis? Coba lihat dong," tanya Celestine."Buat apa kalian mau lihat?" Aku bertanya balik kepada siswi berbadan besar itu.Terjadi keheningan selama sesaat. Keheningan ini membuat tatapan dari siswi-siswi lain yang menatap ke arah kami jadi terasa lebih jelas. Tampaknya mereka juga penasaran dan ingin melihat seperti apa punggung dari pengidap skoliosis."Penasaran saja. 'Kan di buku cuma dikasih lihat gambar tulang belakang tengkoraknya saja," jawab Celestine dengan santai."Kalian 'kan bisa melihatnya lewat internet. Ada banyak tuh foto orang skoliosis," balasku sambil melangkah mundur, memperluas jarak di antara kami.Christina, salah satu anggota geng Celestine yang tomboy itu melangkah mendahului kelompoknya. "Kalau bisa lihat secara langsung
"Cepat ke sini, Freya!" perintah bu Herlina, guru yang memergokiku berdiri di tempat yang berbahaya ini.Aku pun melangkahkan kakiku ke arah wanita yang berlari menghampiriku. Aku memanjat dinding beton yang memisahkan kami berdua. Begitu aku berada di tempat yang sama dengannya, bu Herlina mencengkeram kedua lenganku dan memarahiku."Kamu mau apa di sana? Kamu bukan mau melompat ke bawah, kan?" Dia membombardir aku dengan pertanyaan-pertanyaannya.Aku tidak menjawab pertanyaan bu Herlina dan hanya terdiam saja. 'Aku sempat mempunyai pikiran untuk melompat dari atap.' Kalau aku menjawab begitu, bu guru pasti akan jadi tambah panik."Ibu tahu kamu lagi menghadapi banyak kesulitan, tetapi tolong jangan coba-coba berpikir untuk bunuh diri, ya? Menggunakan solusi permanen untuk masalah yang sementara itu tidak sepadan," ujar bu Herlina sambil menatap mataku dengan intens.Kalau aku yang dulu mendengar kata-katanya barusan, mungkin aku akan termotivasi dan mengurungkan niatku untuk bunuh d
Aku langsung terbatuk-batuk setelah sensasi seperti tercekik itu menghilang. Pak Yeremia yang duduk di hadapanku terkejut karena aku tiba-tiba terbatuk-batuk. Dia bangkit dari kursinya dan beranjak ke sampingku."Kamu kenapa, Freya?" tanyanya dengan khawatir sambil menepuk-nepuk punggungku.Untung saja perasaan tidak nyaman pada tenggorokanku menghilang dengan cepat. Pak Yeremia menyuruhku untuk pergi ke UKS kalau aku masih merasa sakit. Akan tetapi, aku lebih memilih untuk pulang ke rumah saja.Kulangkahkan kakiku keluar dari ruangan yang tidak begitu luas itu. Aku berjalan melewati lorong yang sudah sepi karena sebagian besar murid sudah pulang ke rumahnya masing-masing.Aku menuruni tangga sambil memikirkan apa yang terjadi padaku beberapa saat yang lalu. 'Apa itu tadi? Apa aku berhalusinasi lagi? Atau jangan-jangan ... tadi itu ulah hantu yang punya dendam?'Aku bergidik ngeri saat menduga kalau kejadian itu merupakan suatu peristiwa supranatural. Aku menggeleng-gelengkan kepalak
Beberapa hari telah berlalu, hari-hari yang kulalui penuh cobaan berkat Celestine dan anggota gengnya. Tidak hanya mengusili dan mengejek aku, mereka bahkan memberi tahu guru IPA tentang skoliosisku.Aku jadi disuruh maju ke depan untuk menjelaskan kelainan tulang belakang ini. Celestine dan anggota gengnya pun menanyakan pertanyaan yang tidak sopan kepadaku, sedangkan beberapa siswa nakal lain menjadikan skoliosisku sebagai bahan candaan.Kuhembuskan napas berat dan mencoba melupakan kejadian yang tak mengenakan itu. Aku hanya akan semakin stress kalau memikirkan kenangan buruk itu terus. Kulangkahkan kakiku menuju tempat dudukku yang berada di baris paling belakang.Aku menatap permukaan mejaku yang dipenuhi oleh coretan spidol. Coretan-coretan itu berisikan hinaan dan celaan terhadapku. Aku membaca satu per satu tulsian yang menghiasi permukaan mejaku. Kata-kata yang menyakitkan itu tidak lagi melukai hatiku.Aku hanya menghembuskan napas panjang. Percuma juga kalau aku marah dan m
'Waktu berlalu dengan cepat. Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun. Tak terasa 4 tahun sudah berlalu sejak aku terbangun dari koma. Banyak hal telah kulalui sejak hari itu.'Waktu aku turun ke sekolah untuk mengikuti UN, aku dikejutkan dengan perubahan sikap teman-teman sekelasku yang mendadak jadi akrab denganku, padahal dulu sebagian besar dari mereka menjauhiku. Di sisi lain, geng Celestine dikucilkan oleh semuanya.'Aku juga lulus dari SMP yang merupakan masa-masa terindah, tetapi juga masa-masa tersuram dan menyakitkan bagiku. Tak kusangka aku bisa mendapatkan nilai yang cukup tinggi pada UN walaupun sempat ketinggalan materi. Semua ini berkat bantuan Vania dan Jonathan.'Naik ke SMA, aku, Vania, dan Jonathan masuk ke sekolah yang berbeda. Meskipun begitu, persahabatan kami tetap berlanjut walaupun terpisah oleh sekolah ataupun terpisah oleh pulau. Saat libur panjang, kami akan berkumpul dan bermain bersama seperti dulu.'Aku lega masa-masa SM
“Tadi mama ngomongin apa sama suster di luar?” tanyaku begitu mama masuk ke kamar.“Hanya ngomongin masalah kecil kok, tidak usah khawatir,” jawab mama.Aku tidak bertanya lagi walaupun rasa penasaranku masih belum terpuaskan. Aku tidak perlu terlalu memikirkannya karena mama tidak akan berbohong atau menyembunyikan sesuatu, dia selalu mengatakan apa adanya.“Alex, ayo pulang,” ajak mama.Mendengar mama mengajaknya untuk pulang ke rumah, kakak langsung bangkit dari kursi dan melangkah menghampiri mama. Sebelum mereka berdua keluar dari ruangan ini, aku menahan mereka dengan berkata:“Cepat sekali kalian pulang, kenapa tidak lebih lama-lama di sini untuk menemaniku?” tanyaku dengan nada memelas.Aku tidak ingin ditinggal sendirian karena nanti aku akan kesepian. Aku masih ingin bersama mama dan kakak setelah lama tidak bertemu mereka. ‘Yah, walaupun sebenarnya aku sudah bertemu mereka lewat ilusi yang kulihat waktu terjebak di alam bawah sadarku.’“Kami tidak bisa, Freya. Kalau mama ti
"Jadi, bagaimana nasibnya Celestine dan kawan-kawannya, orang tua mereka, dan pak Yere?" tanyaku kepada Vania dan Jonathan yang berdiri di samping ranjangku.Vania langsung mendengus kesal dan memutar bola matanya saat mendengarku menyebut orang-orang yang merupakan penyebab aku nekat bunuh diri. Tak hanya Vania, Jonathan juga tampak kesal saat mendengar orang-orang itu disebut."Celestine dan kawan-kawannya hanya didiskors saja. Mereka diberi keringanan karena sudah kelas 9 dan sebentar lagi mau UN." Jonathan menjawab pertanyaanku."Enak betul mereka tidak dikeluarkan dari sekolah, mentang-mentang sebentar lagi mau UN. Seharusnya mereka mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatan mereka," timpal Vania sambil menyilangkan kedua tangannya di dada dan mengerucutkan bibirnya.Aku terdiam setelah mendapatkan jawaban dari mereka. Ada sedikit kekecewaan di dalam hatiku saat mengetahui geng Celestine tidak dikeluarkan dari sekolah, padahal aku sudah sangat menderita atas perbuatan mer
Banyak hal sudah terjadi saat aku koma selama 1 bulan setengah. Kudengar, semua orang di sekolah heboh saat aku melompat dari atap. Siswa-siswi yang menyaksikan kejadian tragis itu mengalami syok berat hingga trauma sehingga membutuhkan perawatan psikologis.Para guru berusaha keras meredakan kericuhan itu dan menenangkan murid-murid walaupun mereka sendiri juga sangat syok. Mobil ambulan melaju ke rumah sakit, membawaku yang kritis untuk segera mendapatkan tindakan medis.Polisi pun sampai datang ke sekolah. Geng Celestine mengakui bahwa merekalah yang membuliku. Mereka juga memberi tahu polisi kalau pak Yeremia menerima suap dari orang tua mereka supaya tidak ikut campur dengan apa pun yang mereka lakukan.Aku tidak menyangka Celestine dan anggota gengnya berani melaporkan orang tua mereka sendiri, padahal mereka tahu betul apa yang akan terjadi pada orang tuanya kalau mereka melaporkannya ke polisi. Kini aku tahu; mereka benar-benar sudah berubah.Tak hanya itu saja, kasus bunuh di
Entah sudah berapa lama aku berjalan di dalam kehampaan ini. Kali ini aku tidak berjalan sendirian lagi karena 'kembaranku' menemani aku. Kami berjalan bersama sambil mengobrolkan beberapa hal. Ada saatnya kami sama-sama diam saat tidak ada topik.Aku melirik ke sosok yang penampilannya sama persis denganku. Dia berjalan dengan pandangan lurus ke depan, tidak mempedulikan aku yang sedang meliriknya. Aku pun mengalihkan pandanganku dan menghembuskan napas panjang."Sampai kapan kita akan berjalan begini terus?" tanyaku memecahkan keheningan."Sampai kita menemukan 'pintu keluar'," jawabnya.Aku ber oh ria, menanggapi jawaban darinya dengan kurang antusias. Ini sudah yang ke-5 kalinya aku mendengar jawaban yang sama. Mungkin dia sendiri juga sudah bosan mendengar pertanyaan yang sama sebanyak 5 kali.Ngomong-ngomong soal 'pintu keluar', sudah pasti merupakan jalan untuk keluar dari alam bawah sadarku, entah itu benar-benar berupa pintu, portal, atau apalah itu. Aku tidak tahu apa 'kemba
Aku mendorong 'kembaranku' dengan kuat agar dia menjauh dariku. Aku melangkah mundur untuk memperluas jarak di antara kami sambil memegangi lenganku yang terasa sedikit sakit karena tadi dicengkeram olehnya."Memangnya kenapa kalau aku masih ingin tetap hidup? Itu semua sudah tidak ada artinya! Saat aku siuman nanti, orang-orang pasti akan kecewa padaku dan membenciku karena sudah nekat bunuh diri!" balasku dengan suara yang meninggi.Napasku terengah-engah setelah meneriakkan kalimat-kalimat yang panjang itu. Aku menatap 'kembaranku' dengan tatapan tajam, seolah-olah menantangnya untuk membalas perkataanku. Sosok yang wujudnya sama persis denganku itu hanya menatapku dalam diam.Setelah hening selama sesaat, akhirnya dia membuka mulutnya dan bertanya, "Kenapa kamu berpikir orang-orang akan kecewa dan membencimu? Apa kamu tidak berpikir mereka akan bereaksi sebaliknya? Bersyukur dan senang karena kamu masih hidup?"Mendengar pertanyaan-pertanyaan yang konyol itu membuatku merasa geli.
Tiba-tiba pandanganku seperti berputar dengan sangat cepat. Aku memejamkan kedua mataku dengan rapat dan memegangi kepalaku yang terasa seperti mau meledak. Jeritan yang nyaring pun keluar dari mulutku.Jeritanku menggema, menciptakan perulangan suara yang tiada henti. 1 menit, 10 menit, 100 menit, aku tidak tahu sudah berapa lama suaraku menggema seperti itu, masih tak kunjung berhenti juga gemanya.Aku membuka kedua mataku yang tertutup secara perlahan-lahan. Begitu aku membuka mataku, aku menyadari diriku tidak berada di sekolah. Hampa. Hanya warna putih saja yang kulihat."Apa aku jadi buta? Kenapa aku tidak bisa melihat apa-apa?" tanyaku.Pertanyaan yang kutanyakan itu menggema seperti suara jeritanku tadi. Kedua suara itu bercampur aduk menjadi satu. Terulang tanpa henti, volume dari gema itu sedikit pun tidak berkurang walaupun beberapa waktu telah berlalu.Situasi yang sangat aneh ini membuatku takut, terlebih lagi karena aku tidak tahu apa yang terjadi padaku. 'Kenapa aku bis
Entah sudah berapa hari telah berlalu, akhirnya aku diperbolehkan untuk pulang ke rumah dan bisa kembali bersekolah seperti biasa lagi. Aku melangkahkan kakiku untuk memasuki rumah yang sudah lama tidak kutinggali.Aku memandang perabotan-perabotan yang mengisi rumah ini. Tidak ada yang berubah, semuanya masih sama seperti apa yang ada di dalam ingatanku. Meskipun begitu, aku merasa sedikit asing dengan rumah yang sudah kutinggali sejak aku lahir.Aku menghentikan langkahku dan mengedarkan pandanganku ke sekitar. 'Rasa janggal apa ini? Apa aku melupakan sesuatu yang penting?'"Freya, kenapa kamu bengong saja di sana?" Terdengar suara mama bertanya kepadaku.Mendengar pertanyaan itu, aku langsung tersadar dari lamunanku dan sontak menoleh ke arah sumber suara. Kudapati mama, papa, dan kakak berdiri di belakangku, sambil dengan tatapan khawatir memandang ke arahku."Kamu kenapa, Nak? Kamu sakit lagi?" tanya papa dengan tampang cemas.Aku menjawab pertanyaan papa dengan sebuah gelengan k
Telingaku menangkap suara yang samar-samar. Walaupun aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas, entah kenapa aku merasa suara itu terdengar sedih. Kubuka kelopak mataku secara perlahan.Cahaya yang menyilaukan langsung menyambutku begitu aku membuka kedua mataku. Sangat-sangat terang sampai hanya warna putih saja yang terlihat olehku. Perlahan-lahan, mataku mulai beradaptasi dan aku mulai bisa melihat dengan lebih jelas.Kudapati ada beberapa figur manusia berdiri di sampingku, ada juga yang duduk di sisiku. Meskipun penglihatanku buram, aku masih bisa mengenali siapa saja yang berada di dekatku saat ini.Pandanganku tertuju pada wanita yang duduk di sisiku. "Mama ...?""Freya!" seru mama dengan suara parau.Mama langsung memelukku dengan erat. Kurasakan ada cairan hangat yang mengalir menuruni pipiku. Itu bukan air mataku, melainkan air matanya mama. Dia menangis dengan histeris sambil mendekapku dengan erat, seolah-olah takut kehilangan aku."Freya, maafkan kami, Nak ...." Papa yang