Terdengar bunyi sesuatu dipotong, diikuti oleh suara pekikanku yang menggema ke sepenjuru ruangan. Rambutku yang panjangnya sepunggung ini dipotong oleh Celestine. Kurang lebih 10 cm panjang rambut yang dia potong.
Kupandang pilu sebagian rambutku yang terjatuh ke permukaan keramik putih di bawah. Rambut yang sudah kupanjangkan selama bertahun-tahun itu dengan mudah dipotong oleh Celestine. Rambut di sebelah kiriku tampak lebih panjang daripada yang di sebelah kanan.
"Hentikan ... aku akan menjauhi Victor jadi tolong hentikan ...," mohonku dengan suara parau. Suaraku serak dan tenggorokanku terasa sakit karena terlalu banyak berteriak.
Mendengar permohonanku, Celestine pun menghentikan aksinya. Dia menjauhkan gunting di tangannya dari rambutku lalu melangkah mundur. Mata hitamnya memperhatikan penampilanku dari atas ke bawah. Sebuah senyuman puas pun tercipta pada bibirnya.
"Kupegang kata-katamu, tetapi kalau sampai aku lihat kamu mendekati Victor lagi, s
Keesokan harinya, aku turun sekolah sambil membawa payung karena hari ini hujan deras. Kakak berjalan bersebelahan denganku karena kami hanya memiliki satu payung. Kupikir dia tidak bakal mau berjalan beriringan denganku karena selama ini dia selalu menghindariku saat di sekolah.Pemberhentian pertama kami adalah gedung SMA. Kakak melangkah cepat memasuki bangunan tempat murid SMA belajar. Aku pun melangkahkan kakiku menuju gedung SMP yang berada di seberang tempat ini.Begitu memasuki gedung SMP, aku mengibaskan payungku untuk menyingkirkan air yang menempelinya. Setelah itu, aku menutup payung ini lalu melangkah menaiki tangga menuju lantai 2, dimana ruangan kelasku berada.Kulewati ruang guru dan ruang BK sambil melirik ke dalam dua ruangan itu. Ruang guru sudah berisikan oleh beberapa orang dewasa berseragam batik; di dalam ruang BK pun sudah ada pak Yeremia. Sebagian besar para pendidik itu sudah sampai di sekolah walaupun hujan deras begini.Sampail
Sejak kejadian tadi pagi, Celestine dan anggota gengnya tidak mengusikku lagi. Kelima siswi itu kapok karena tertangkap basah oleh pak Yeremia. Ancaman akan mengeluarkan mereka dari sekolah pun sukses membuat siswi-siswi itu jera.Aku memandang kosong papan tulis yang penuh dengan angka dan rumus. Padahal tidak sampai 5 detik aku melamun, tahu-tahu materi yang dijelaskan oleh guru sudah jauh dan tidak kumengerti lagi."Freya," panggil suara yang terdengar berat khas lelaki dewasa.Aku tersentak kaget dan menyahut, "Ya, Pak?"Aku menatap pria bertubuh pendek dan berkulit sawo matang yang berdiri di depan papan tulis. Pak Mulyadi, guru Matematika yang sekarang sedang mengajari kelas kami melemparkan sebuah tatapan tajam ke arahku.Aku menelan ludahku yang kesat. 'Oh, sial ... jangan-jangan Bapak melihatku lagi melamun? Tajam banget dah tuh mata.'"Berapa hasil dari ini?" tanyanya sambil menunjukkan spidol di tangannya ke salah satu rumus dari
Aku menajamkan pendengaranku dan mendengar pak Yeremia membalas sogokan dari orang tua murid itu. "Maaf, Bu. Saya tidak bisa menerimanya."Aku menghela napas lega saat mendengar pak Yeremia menolak sogokan itu. Sudah kuduga pak Yeremia akan menolaknya, dia 'kan orangnya menjunjung kejujuran dan keadilan. Mau disogok berapa pun, pak Yeremia pasti tidak akan menerimanya.Kudengar orang tua murid yang tadi mencoba menyogok pak Yeremia berkata, "Kalau 6 juta, bagaimana menurut Bapak?"Aku kembali gelisah saat mendengar wanita itu masih belum menyerah untuk menyogok sang guru BK, bahkan dia menawarkan jumlah uang yang lebih tinggi daripada sebelumnya. 'Jangan-jangan ibu itu akan terus menaikkan tawarannya sampai diterima oleh pak Yere?'"Sekali lagi saya akan menolaknya," balas pak Yeremia setelah hening sesaat.Helaan napas lega keluar lagi dari mulutku. Meskipun begitu, kegelisahan di dalam hatiku masih belum menghilang. Aku takut pak Yeremia akan men
Keesokan harinya, aku turun ke sekolah dengan tidak semangat. Aku tidak semangat bukan karena malas, tetapi karena belum siap menghadapi apa yang akan terjadi padaku mulai hari ini.Kugenggam erat tali ranselku. 'Kalau pak Yere menerima sogokan itu, kemungkinan besar Celestine dan kawan-kawannya akan kembali merundungku. Terlebih lagi, sekarang mereka bisa bebas melakukan apa saja tanpa takut dihukum.'Sebuah hembusan napas frustrasi keluar dari mulutku. 'Semoga apa yang kupikirkan hanya akan menjadi prasangka saja ... kuharap apa yang kupikirkan tidak akan sampai menjadi kenyataan ....'Sampailah aku di lantai 2 setelah menaiki puluhan anak tangga. Kutelan ludahku dengan gugup karena aku semakin dekat dengan ruangan kelasku, dimana aku akan bertemu dengan Celestine dan anggota gengnya.Kulangkahkan kakiku dengan berat menuju ruangan kelasku yang berada beberapa meter di depanku. Kulalui ruang guru dan ruang BK sambil memandang ke dalam ruangan-ruangan it
Bel berdering, menandakan bahwa jam pelajaran telah berakhir dan digantikan oleh jam istirahat. Kelas yang tadinya hening, kini dipenuhi oleh suara siswa-siswi yang bersorak gembira karena akhirnya bisa mengistirahatkan otaknya yang penat dan mengisi perutnya yang kosong."Pelajaran sampai sini saja, Anak-anak," ujar pak guru yang duduk di mejanya."Oh, ya, saya akan kasih kalian PR," tambahnya yang membuat murid-muridnya mengeluh."Jangan lah, Pak," pinta seorang siswa yang duduk tak jauh dariku.Siswa-siswi yang lain pun ikut-ikutan memohon agar tidak jadi diberikan pekerjaan rumah, yang biasa disebut sebagai PR. Namun, rayuan mereka sia-sia karena guru tersebut tidak mengubah pikirannya dan tetap bersikeras untuk memberikan kami PR.Pria paruh baya itu bangkit dari kursinya dan berjalan menuju pintu yang terbuka lebar. "Pokoknya kalian harus kerjakan soal esai di halaman 60. Tidak usah tulis soal dan jangan menyontek jawaban teman kalian."
Hari kemarin pun telah berlalu dan tibalah hari ini; hari Sabtu. Aku melangkah menaiki tangga dengan langkah yang tak begitu cepat untuk menghemat tenaga. Lagi pula, bel masukan masih belum berbunyi jadi aku tidak perlu terburu-buru masuk ke kelas.Tiba-tiba ada yang menarik ranselku dari belakang sehingga aku nyaris saja terjungkal. Aku berpegangan erat dengan pegangan tangga sembari menstabilkan tubuhku. Bunyi detak jantungku yang berdetak dengan sangat cepat terdengar jelas di telingaku."Hei, Freya!" sapa orang yang menarik ranselku tanpa rasa bersalah.Kutarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan panjang. Aku menoleh ke arah orang yang menyapaku; Christina, salah satu anggota gengnya Celestine. Dia adalah gadis tomboy dan memiliki sifat yang usil seperti Stephen."Kamu gila, ya, main narik-narik tas orang di tangga? Bagaimana kalau nanti aku jatuh dan terluka?" tegurku sambil menatap tajam Christina.Christina hanya cengengesan saat
Aku duduk di atas ranjang yang tidak begitu empuk dengan segelas air hangat di tanganku. Kuedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan ini. Di ranjang lain terbaring lemas seorang siswi yang sepertinya habis pingsan.Di samping ranjangnya, duduk seorang wanita bertubuh pendek dan gempal. Wanita itu adalah petugas UKS lain yang menggantikan jadwal jaga bu Herlina karena dia berhalangan untuk hadir di sekolah."Tadi kamu ada sarapan?" tanya petugas UKS tersebut kepada siswi itu.Siswi itu menggelengkan kepalanya dengan lemah. Petugas UKS itu pun menghembuskan napas panjang. Dia menceramahi siswi itu mengenai pentingnya sarapan dan menyuruhnya untuk makan setelah keluar dari ruang UKS.Setelah puas berceramah, wanita berbadan gempal itu mengalihkan pandangannya dari siswi itu ke arahku. "Kalau kamu, apa kamu sering sesak?""Iya, Bu," jawabku.Lawan bicaraku bangkit dari kursi lalu berjalan menghampiriku sambil menyeret kursi yang tadi didudukinya
Bunyi peluit yang nyaring tertangkap oleh telingaku. Aku dan siswi-siswi lainnya pun berhenti bergerak dan menoleh ke arah sumber bunyi, guru PENJAS. Pria itu berdiri di tepi lapangan sambil melihat jam tangan yang melingkar pada pergelangan tangan kirinya."Waktu habis! Pemenangnya adalah grup Christina dengan skor 8:4!" ujar pak guru.Suara sorak sorai dari murid laki-laki mulai terdengar. Mereka bersorak kepada grup yang menang dan mengabaikan grup yang kalah. Christina, sebagai pemain yang mencetak paling banyak goal pun berselebrasi dengan meriah."Kamu hebat, Christie!" puji Celestine yang menyebut nama Christina dengan nama kecilnya.Celestine dan anggota gengnya mengangkat tubuh Christina dan melemparnya ke atas berulang kali. Karena tubuh Christine yang kecil, dia jadi ringan untuk diangkat dan dilempar seperti itu.Aku mengalihkan pandanganku dari kelima siswi itu lalu melangkahkan kakiku keluar dari lapangan dengan langkah lesu. Aku tida
'Waktu berlalu dengan cepat. Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun. Tak terasa 4 tahun sudah berlalu sejak aku terbangun dari koma. Banyak hal telah kulalui sejak hari itu.'Waktu aku turun ke sekolah untuk mengikuti UN, aku dikejutkan dengan perubahan sikap teman-teman sekelasku yang mendadak jadi akrab denganku, padahal dulu sebagian besar dari mereka menjauhiku. Di sisi lain, geng Celestine dikucilkan oleh semuanya.'Aku juga lulus dari SMP yang merupakan masa-masa terindah, tetapi juga masa-masa tersuram dan menyakitkan bagiku. Tak kusangka aku bisa mendapatkan nilai yang cukup tinggi pada UN walaupun sempat ketinggalan materi. Semua ini berkat bantuan Vania dan Jonathan.'Naik ke SMA, aku, Vania, dan Jonathan masuk ke sekolah yang berbeda. Meskipun begitu, persahabatan kami tetap berlanjut walaupun terpisah oleh sekolah ataupun terpisah oleh pulau. Saat libur panjang, kami akan berkumpul dan bermain bersama seperti dulu.'Aku lega masa-masa SM
“Tadi mama ngomongin apa sama suster di luar?” tanyaku begitu mama masuk ke kamar.“Hanya ngomongin masalah kecil kok, tidak usah khawatir,” jawab mama.Aku tidak bertanya lagi walaupun rasa penasaranku masih belum terpuaskan. Aku tidak perlu terlalu memikirkannya karena mama tidak akan berbohong atau menyembunyikan sesuatu, dia selalu mengatakan apa adanya.“Alex, ayo pulang,” ajak mama.Mendengar mama mengajaknya untuk pulang ke rumah, kakak langsung bangkit dari kursi dan melangkah menghampiri mama. Sebelum mereka berdua keluar dari ruangan ini, aku menahan mereka dengan berkata:“Cepat sekali kalian pulang, kenapa tidak lebih lama-lama di sini untuk menemaniku?” tanyaku dengan nada memelas.Aku tidak ingin ditinggal sendirian karena nanti aku akan kesepian. Aku masih ingin bersama mama dan kakak setelah lama tidak bertemu mereka. ‘Yah, walaupun sebenarnya aku sudah bertemu mereka lewat ilusi yang kulihat waktu terjebak di alam bawah sadarku.’“Kami tidak bisa, Freya. Kalau mama ti
"Jadi, bagaimana nasibnya Celestine dan kawan-kawannya, orang tua mereka, dan pak Yere?" tanyaku kepada Vania dan Jonathan yang berdiri di samping ranjangku.Vania langsung mendengus kesal dan memutar bola matanya saat mendengarku menyebut orang-orang yang merupakan penyebab aku nekat bunuh diri. Tak hanya Vania, Jonathan juga tampak kesal saat mendengar orang-orang itu disebut."Celestine dan kawan-kawannya hanya didiskors saja. Mereka diberi keringanan karena sudah kelas 9 dan sebentar lagi mau UN." Jonathan menjawab pertanyaanku."Enak betul mereka tidak dikeluarkan dari sekolah, mentang-mentang sebentar lagi mau UN. Seharusnya mereka mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatan mereka," timpal Vania sambil menyilangkan kedua tangannya di dada dan mengerucutkan bibirnya.Aku terdiam setelah mendapatkan jawaban dari mereka. Ada sedikit kekecewaan di dalam hatiku saat mengetahui geng Celestine tidak dikeluarkan dari sekolah, padahal aku sudah sangat menderita atas perbuatan mer
Banyak hal sudah terjadi saat aku koma selama 1 bulan setengah. Kudengar, semua orang di sekolah heboh saat aku melompat dari atap. Siswa-siswi yang menyaksikan kejadian tragis itu mengalami syok berat hingga trauma sehingga membutuhkan perawatan psikologis.Para guru berusaha keras meredakan kericuhan itu dan menenangkan murid-murid walaupun mereka sendiri juga sangat syok. Mobil ambulan melaju ke rumah sakit, membawaku yang kritis untuk segera mendapatkan tindakan medis.Polisi pun sampai datang ke sekolah. Geng Celestine mengakui bahwa merekalah yang membuliku. Mereka juga memberi tahu polisi kalau pak Yeremia menerima suap dari orang tua mereka supaya tidak ikut campur dengan apa pun yang mereka lakukan.Aku tidak menyangka Celestine dan anggota gengnya berani melaporkan orang tua mereka sendiri, padahal mereka tahu betul apa yang akan terjadi pada orang tuanya kalau mereka melaporkannya ke polisi. Kini aku tahu; mereka benar-benar sudah berubah.Tak hanya itu saja, kasus bunuh di
Entah sudah berapa lama aku berjalan di dalam kehampaan ini. Kali ini aku tidak berjalan sendirian lagi karena 'kembaranku' menemani aku. Kami berjalan bersama sambil mengobrolkan beberapa hal. Ada saatnya kami sama-sama diam saat tidak ada topik.Aku melirik ke sosok yang penampilannya sama persis denganku. Dia berjalan dengan pandangan lurus ke depan, tidak mempedulikan aku yang sedang meliriknya. Aku pun mengalihkan pandanganku dan menghembuskan napas panjang."Sampai kapan kita akan berjalan begini terus?" tanyaku memecahkan keheningan."Sampai kita menemukan 'pintu keluar'," jawabnya.Aku ber oh ria, menanggapi jawaban darinya dengan kurang antusias. Ini sudah yang ke-5 kalinya aku mendengar jawaban yang sama. Mungkin dia sendiri juga sudah bosan mendengar pertanyaan yang sama sebanyak 5 kali.Ngomong-ngomong soal 'pintu keluar', sudah pasti merupakan jalan untuk keluar dari alam bawah sadarku, entah itu benar-benar berupa pintu, portal, atau apalah itu. Aku tidak tahu apa 'kemba
Aku mendorong 'kembaranku' dengan kuat agar dia menjauh dariku. Aku melangkah mundur untuk memperluas jarak di antara kami sambil memegangi lenganku yang terasa sedikit sakit karena tadi dicengkeram olehnya."Memangnya kenapa kalau aku masih ingin tetap hidup? Itu semua sudah tidak ada artinya! Saat aku siuman nanti, orang-orang pasti akan kecewa padaku dan membenciku karena sudah nekat bunuh diri!" balasku dengan suara yang meninggi.Napasku terengah-engah setelah meneriakkan kalimat-kalimat yang panjang itu. Aku menatap 'kembaranku' dengan tatapan tajam, seolah-olah menantangnya untuk membalas perkataanku. Sosok yang wujudnya sama persis denganku itu hanya menatapku dalam diam.Setelah hening selama sesaat, akhirnya dia membuka mulutnya dan bertanya, "Kenapa kamu berpikir orang-orang akan kecewa dan membencimu? Apa kamu tidak berpikir mereka akan bereaksi sebaliknya? Bersyukur dan senang karena kamu masih hidup?"Mendengar pertanyaan-pertanyaan yang konyol itu membuatku merasa geli.
Tiba-tiba pandanganku seperti berputar dengan sangat cepat. Aku memejamkan kedua mataku dengan rapat dan memegangi kepalaku yang terasa seperti mau meledak. Jeritan yang nyaring pun keluar dari mulutku.Jeritanku menggema, menciptakan perulangan suara yang tiada henti. 1 menit, 10 menit, 100 menit, aku tidak tahu sudah berapa lama suaraku menggema seperti itu, masih tak kunjung berhenti juga gemanya.Aku membuka kedua mataku yang tertutup secara perlahan-lahan. Begitu aku membuka mataku, aku menyadari diriku tidak berada di sekolah. Hampa. Hanya warna putih saja yang kulihat."Apa aku jadi buta? Kenapa aku tidak bisa melihat apa-apa?" tanyaku.Pertanyaan yang kutanyakan itu menggema seperti suara jeritanku tadi. Kedua suara itu bercampur aduk menjadi satu. Terulang tanpa henti, volume dari gema itu sedikit pun tidak berkurang walaupun beberapa waktu telah berlalu.Situasi yang sangat aneh ini membuatku takut, terlebih lagi karena aku tidak tahu apa yang terjadi padaku. 'Kenapa aku bis
Entah sudah berapa hari telah berlalu, akhirnya aku diperbolehkan untuk pulang ke rumah dan bisa kembali bersekolah seperti biasa lagi. Aku melangkahkan kakiku untuk memasuki rumah yang sudah lama tidak kutinggali.Aku memandang perabotan-perabotan yang mengisi rumah ini. Tidak ada yang berubah, semuanya masih sama seperti apa yang ada di dalam ingatanku. Meskipun begitu, aku merasa sedikit asing dengan rumah yang sudah kutinggali sejak aku lahir.Aku menghentikan langkahku dan mengedarkan pandanganku ke sekitar. 'Rasa janggal apa ini? Apa aku melupakan sesuatu yang penting?'"Freya, kenapa kamu bengong saja di sana?" Terdengar suara mama bertanya kepadaku.Mendengar pertanyaan itu, aku langsung tersadar dari lamunanku dan sontak menoleh ke arah sumber suara. Kudapati mama, papa, dan kakak berdiri di belakangku, sambil dengan tatapan khawatir memandang ke arahku."Kamu kenapa, Nak? Kamu sakit lagi?" tanya papa dengan tampang cemas.Aku menjawab pertanyaan papa dengan sebuah gelengan k
Telingaku menangkap suara yang samar-samar. Walaupun aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas, entah kenapa aku merasa suara itu terdengar sedih. Kubuka kelopak mataku secara perlahan.Cahaya yang menyilaukan langsung menyambutku begitu aku membuka kedua mataku. Sangat-sangat terang sampai hanya warna putih saja yang terlihat olehku. Perlahan-lahan, mataku mulai beradaptasi dan aku mulai bisa melihat dengan lebih jelas.Kudapati ada beberapa figur manusia berdiri di sampingku, ada juga yang duduk di sisiku. Meskipun penglihatanku buram, aku masih bisa mengenali siapa saja yang berada di dekatku saat ini.Pandanganku tertuju pada wanita yang duduk di sisiku. "Mama ...?""Freya!" seru mama dengan suara parau.Mama langsung memelukku dengan erat. Kurasakan ada cairan hangat yang mengalir menuruni pipiku. Itu bukan air mataku, melainkan air matanya mama. Dia menangis dengan histeris sambil mendekapku dengan erat, seolah-olah takut kehilangan aku."Freya, maafkan kami, Nak ...." Papa yang