Bel pulangan berdering saat jam menunjukkan tepat pukul 2 siang. Semua murid berbondong-bondong keluar dari kelas, kecuali yang jadwal piketnya hari ini. Aku pun bangkit dari kursi dan menenteng ranselku di punggung sebelum keluar dari kelas.
Aku menuruni tangga dengan langkah cepat lalu lanjut berjalan menuju WC perempuan yang berada di lantai 1. Sayang sekali, aku tidak bisa langsung pulang dan harus membersihkan WC terlebih dahulu.
Saat tengah mengepel lantai, telingaku menangkap bunyi langkah kaki. Aku menoleh ke arah sumber bunyi dan mendapati Celestine serta anggota gengnya memasuki ruangan ini. Namun, jumlah mereka kurang satu orang karena salah satu dari mereka sibuk membersihkan WC di lantai 3.
Aku menghentikan aktivitasku dan bertanya dengan ketus, "Ngapain kalian ke sini?"
"Kamu 'kan yang mengadu ke pak Yere kalau kami membulimu?" Celestine mengabaikan pertanyaanku dan malah bertanya balik kepadaku.
"Kalau iya kenapa?" balasku dengan nad
Keesokan harinya, hari ini aku pergi ke sekolah sedikit telat, tetapi begitu telat karena gerbang masih belum ditutup. Aku menaiki tangga dengan langkah santai. Namun, aku harus mempercepat langkahku karena bel masukan baru saja berdering. Aku memasuki ruangan kelasku yang sudah ramai. Semua teman sekelasku asik mengobrol dengan teman-temannya dan mengabaikanku yang baru saja datang. Kulangkahkan kakiku menuju mejaku yang berada di baris paling belakang. Kuhentikan langkahku tepat di samping mejaku. Aku berdiri diam dan memandang kosong permukaan mejaku yang penuh dengan coretan spidol. Kubaca tulisan-tulisan itu dengan hati yang sakit. -Tukang cari perhatian, cewek jalang, perebut laki orang. Tanpa melihat siapa yang membuat coretan itu dengan mata kepalaku sendiri, aku sudah tahu siapa yang melakukannya. Kukepalkan tanganku dan mengerutkan alisku. 'Padahal mereka sudah dipanggil ke ruang BK, kenapa mereka masih berani melakukan ini? Aku sema
Kegiatan kerja kelompok yang singkat ini berjalan dengan baik. Kami membagi tugas pada masing-masing anggota agar bisa lebih cepat diselesaikan. Meskipun begitu, aku merasa kehadiranku tidak begitu berguna bagi mereka karena aku tidak terlalu banyak membantu.Aku melirik ke arah teman sekelompokku yang sedang sibuk merangkum materi dan berdiskusi. Ketiga siswa teladan itu berada di peringkat 5 besar, sudah jelas kepintaran mereka tidak perlu ditanyakan lagi. Sedangkan aku, aku hanyalah peringkat 9 di kelas ini.Aku menarik sebuah senyuman kecut. 'Rasanya seperti menjadi benalu.'Senyuman kecut yang terpasang pada wajahku langsung lenyap saat bunyi bel istirahat tertangkap oleh indera pendengaranku. Sontak aku melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul 09.45."Kita sudahi kelasnya sampai di sini, Anak-anak. Selesaikan tugas kelompok kalian dan presentasikan minggu depan," ujar bu guru yang baru saja bangkit dari kursinya."Baik, Bu," sahut s
Pagi esoknya, seperti biasa, aku mempersiapkan diriku dan sarapan sebelum pergi ke sekolah. Aku menyantap masakan yang mama masak dengan lahap bersama dengan kakak dan papa. Tiba-tiba kakak menanyakan pertanyaan yang membuatku terkejut."Jadi kamu sudah pacaran sama pangeran berkuda putihmu?" tanyanya yang membuat aku terbatuk.Papa yang duduk di samping kananku pun ikut terbatuk saat mendengar pertanyaan yang mengejutkan itu. Pria berumur 42 tahun itu langsung meraih secangkir teh di sampingnya lalu meneguknya sampai setengah kosong."Apa? Kamu pacaran?" tanya papa kepadaku.Aku tambah terbatuk-batuk setelah mendengar pertanyaan papa. Papa pun mengoper segelas teh yang masih belum diminum kepadaku. Kuminum teh hangat itu setelah sedikit tenang agar tidak tersedak saat meminumnya."Tidak, Pa. Aku belum pacaran dan tidak akan pacaran kok. Aku bakal fokus sama sekolah dulu," jawabku sambil melemparkan tatapan sinis ke arah kakakku yang memasang wajah
Setelah berhasil kabur dari Jonathan, aku duduk merenung di mejaku. Untung saja Jonathan membiarkanku pergi begitu saja dan memaksaku untuk berhenti menghindari dia dan Vania lagi.Saat memandang kosong ke arah pintu, aku melihat Vania memasuki kelas, diikuti oleh Jonathan. Mereka berjalan menuju meja Vania sambil mengomongkan sesuatu. Sepertinya mereka membicarakan aku karena sekilas aku melihat Jonathan melirik ke arahku.Sontak aku memalingkan mukaku ke jendela yang berada di sisi kiriku. Kupandang langit biru berawan di luar sambil menopang daguku dengan telapak tangan kananku. 'Sepertinya nanti akan hujan deras.'Entah berapa menit aku melamun sambil memandang cakrawala, akhirnya bel masukan berdering. Aku pun mengalihkan pandanganku dari jendela. Kulihat Jonathan melambaikan tangannya kepada Vania sebelum pergi meninggalkan dia dan kembali ke mejanya.Tak lama kemudian, masuklah seorang guru berseragam batik sehingga semua penghuni kelas ini kembali
Bunyi bel istirahat terdengar, guru pun berhenti mengajar. Para murid mengucapkan terima kasih kepada sang pendidik karena sudah mengajari mereka. Setelah itu, semua orang yang berada di dalam kelas ini pun bubar dan pergi ke kantin, kecuali aku.Aku mengeluarkan kotak bekalku dari dalam ransel dan mulai memakan makanan yang sudah dingin ini. Suasana kelas yang sunyi membuatku merasa kesepian, terutama karena aku sendirian di tempat ini."Kalau ada Vania dan Jonathan, pasti tidak akan sesepi ini ...," gumamku di sela-sela mengunyah.Setelah menelan makanan di dalam mulutku, aku terdiam sejenak. Sebuah senyuman pahit tercipta pada bibirku. 'Apa yang kuharapkan? Akulah yang mengakhiri persahabatan kami jadi aku tidak pantas berharap begitu.'Kumainkan nasi di dalam kotak bekal dengan menggunakan sendok. Aku tidak begitu nafsu makan walaupun masakan mama sangat enak. Penyesalan ini membuatku kehilangan hasrat untuk memenuhi kebutuhan panganku.Aku mem
Beberapa jam telah berlalu sejak kejadian yang mengejutkan itu. Pada akhirnya aku tidak mengangkat kepalaku untuk melihat siapa yang mengatakannya. Waktu itu aku tetap berpura-pura tidur sampai jam istirahat berakhir.*Flashback: Jam Istirahat*"Hah? Serius kamu tertarik sama dia?" Salah satu sahabatnya tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.Orang yang mengaku bahwa dia tertarik denganku merespons pertanyaan itu dengan sebuah dehaman. "Memangnya kenapa?""Tidak apa-apa sih. Aku hanya tidak nyangka saja kalau kamu tertarik sama dia," balas lawan bicaranya.Siswa itu hanya tertawa mendengar balasan dari sahabatnya. Sesudah itu, dia mengalihkan pembicaraan sehingga mereka tidak lagi membahas tentang topik itu lagi. Ketiga siswa itu kembali berdiskusi mengenai pelajaran lagi.*Flashback selesai*Aku berjalan menuju kamar tidurku dengan linglung. Setelah pulang pun aku masih terus memikirkan pembicaraan itu. Ini pertama kalin
Sebuah bangunan bertingkat 3 berdiri di depanku. Gedung tempat tinggal itu adalah rumah Victor. Aku menelan ludahku sebelum melangkah memasuki rumahnya. Begitu masuk, aku disambut oleh ibunya dengan ramah."Halo~ Temannya Victor, ya?" sapa wanita berumur 40-an tahun itu."Iya, Tante," jawabku sambil tersenyum ramah."Yuk langsung naik saja. Victor dan yang lainnya sudah menunggu di lantai 2," ajaknya sambil memberikan isyarat tangan yang menyuruhku untuk mengikutinya.Aku pun melangkah mengikuti ibunya Victor. Sambil berjalan, aku melihat-lihat telepon pintar keluaran terbaru yang terpajang di dalam etalase kaca. Ya, keluarga Victor menjalankan bisnis konter HP yang memiliki beberapa cabang di dalam kota ini."Kalau kamu mau beli, Tante akan kasih kamu diskon karena kamu temannya Victor," ujar ibunya Victor yang mengambil kesempatan untuk promosi saat menyadari aku melihat-lihat telepon pintar yang dijual oleh konter HP-nya.Dengan cepat aku
2 hari telah berlalu sejak aku kerja kelompok di rumah Victor. Aku turun ke sekolah pagi-pagi sebelum bel masukan berbunyi dan gerbang ditutup. Saat memasuki ruangan kelasku, aku mendapatkan tatapan sinis dari lima siswi yang menongkrong di meja guru.Kuabaikan tatapan sinis dari geng Celestine dan berjalan menuju tempat dudukku. Aku sudah terbiasa mendapatkan tatapan sinis mereka, terutama Celestine, dia pasti dengki denganku karena aku sekelompok dengan orang yang dia sukai; Victor.Sesampainya di mejaku, aku menurunkan ranselku di atas kursi lalu mengeluarkan sepotong tisu untuk membersihkan permukaan mejaku. Lagi-lagi mereka mencoret mejaku dengan spidol.Aku menggosokkan benda putih tipis ini ke permukaan mejaku. Sambil menghapus coretan spidol itu, aku membatin, 'Kalau aku melaporkan mereka ke pak Yere lagi, apa kali ini mereka akan dihukum? Atau hanya akan diberi peringatan saja?'Akhirnya permukaan mejaku bersih mengilap lagi. Semua coretan spidol
'Waktu berlalu dengan cepat. Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun. Tak terasa 4 tahun sudah berlalu sejak aku terbangun dari koma. Banyak hal telah kulalui sejak hari itu.'Waktu aku turun ke sekolah untuk mengikuti UN, aku dikejutkan dengan perubahan sikap teman-teman sekelasku yang mendadak jadi akrab denganku, padahal dulu sebagian besar dari mereka menjauhiku. Di sisi lain, geng Celestine dikucilkan oleh semuanya.'Aku juga lulus dari SMP yang merupakan masa-masa terindah, tetapi juga masa-masa tersuram dan menyakitkan bagiku. Tak kusangka aku bisa mendapatkan nilai yang cukup tinggi pada UN walaupun sempat ketinggalan materi. Semua ini berkat bantuan Vania dan Jonathan.'Naik ke SMA, aku, Vania, dan Jonathan masuk ke sekolah yang berbeda. Meskipun begitu, persahabatan kami tetap berlanjut walaupun terpisah oleh sekolah ataupun terpisah oleh pulau. Saat libur panjang, kami akan berkumpul dan bermain bersama seperti dulu.'Aku lega masa-masa SM
“Tadi mama ngomongin apa sama suster di luar?” tanyaku begitu mama masuk ke kamar.“Hanya ngomongin masalah kecil kok, tidak usah khawatir,” jawab mama.Aku tidak bertanya lagi walaupun rasa penasaranku masih belum terpuaskan. Aku tidak perlu terlalu memikirkannya karena mama tidak akan berbohong atau menyembunyikan sesuatu, dia selalu mengatakan apa adanya.“Alex, ayo pulang,” ajak mama.Mendengar mama mengajaknya untuk pulang ke rumah, kakak langsung bangkit dari kursi dan melangkah menghampiri mama. Sebelum mereka berdua keluar dari ruangan ini, aku menahan mereka dengan berkata:“Cepat sekali kalian pulang, kenapa tidak lebih lama-lama di sini untuk menemaniku?” tanyaku dengan nada memelas.Aku tidak ingin ditinggal sendirian karena nanti aku akan kesepian. Aku masih ingin bersama mama dan kakak setelah lama tidak bertemu mereka. ‘Yah, walaupun sebenarnya aku sudah bertemu mereka lewat ilusi yang kulihat waktu terjebak di alam bawah sadarku.’“Kami tidak bisa, Freya. Kalau mama ti
"Jadi, bagaimana nasibnya Celestine dan kawan-kawannya, orang tua mereka, dan pak Yere?" tanyaku kepada Vania dan Jonathan yang berdiri di samping ranjangku.Vania langsung mendengus kesal dan memutar bola matanya saat mendengarku menyebut orang-orang yang merupakan penyebab aku nekat bunuh diri. Tak hanya Vania, Jonathan juga tampak kesal saat mendengar orang-orang itu disebut."Celestine dan kawan-kawannya hanya didiskors saja. Mereka diberi keringanan karena sudah kelas 9 dan sebentar lagi mau UN." Jonathan menjawab pertanyaanku."Enak betul mereka tidak dikeluarkan dari sekolah, mentang-mentang sebentar lagi mau UN. Seharusnya mereka mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatan mereka," timpal Vania sambil menyilangkan kedua tangannya di dada dan mengerucutkan bibirnya.Aku terdiam setelah mendapatkan jawaban dari mereka. Ada sedikit kekecewaan di dalam hatiku saat mengetahui geng Celestine tidak dikeluarkan dari sekolah, padahal aku sudah sangat menderita atas perbuatan mer
Banyak hal sudah terjadi saat aku koma selama 1 bulan setengah. Kudengar, semua orang di sekolah heboh saat aku melompat dari atap. Siswa-siswi yang menyaksikan kejadian tragis itu mengalami syok berat hingga trauma sehingga membutuhkan perawatan psikologis.Para guru berusaha keras meredakan kericuhan itu dan menenangkan murid-murid walaupun mereka sendiri juga sangat syok. Mobil ambulan melaju ke rumah sakit, membawaku yang kritis untuk segera mendapatkan tindakan medis.Polisi pun sampai datang ke sekolah. Geng Celestine mengakui bahwa merekalah yang membuliku. Mereka juga memberi tahu polisi kalau pak Yeremia menerima suap dari orang tua mereka supaya tidak ikut campur dengan apa pun yang mereka lakukan.Aku tidak menyangka Celestine dan anggota gengnya berani melaporkan orang tua mereka sendiri, padahal mereka tahu betul apa yang akan terjadi pada orang tuanya kalau mereka melaporkannya ke polisi. Kini aku tahu; mereka benar-benar sudah berubah.Tak hanya itu saja, kasus bunuh di
Entah sudah berapa lama aku berjalan di dalam kehampaan ini. Kali ini aku tidak berjalan sendirian lagi karena 'kembaranku' menemani aku. Kami berjalan bersama sambil mengobrolkan beberapa hal. Ada saatnya kami sama-sama diam saat tidak ada topik.Aku melirik ke sosok yang penampilannya sama persis denganku. Dia berjalan dengan pandangan lurus ke depan, tidak mempedulikan aku yang sedang meliriknya. Aku pun mengalihkan pandanganku dan menghembuskan napas panjang."Sampai kapan kita akan berjalan begini terus?" tanyaku memecahkan keheningan."Sampai kita menemukan 'pintu keluar'," jawabnya.Aku ber oh ria, menanggapi jawaban darinya dengan kurang antusias. Ini sudah yang ke-5 kalinya aku mendengar jawaban yang sama. Mungkin dia sendiri juga sudah bosan mendengar pertanyaan yang sama sebanyak 5 kali.Ngomong-ngomong soal 'pintu keluar', sudah pasti merupakan jalan untuk keluar dari alam bawah sadarku, entah itu benar-benar berupa pintu, portal, atau apalah itu. Aku tidak tahu apa 'kemba
Aku mendorong 'kembaranku' dengan kuat agar dia menjauh dariku. Aku melangkah mundur untuk memperluas jarak di antara kami sambil memegangi lenganku yang terasa sedikit sakit karena tadi dicengkeram olehnya."Memangnya kenapa kalau aku masih ingin tetap hidup? Itu semua sudah tidak ada artinya! Saat aku siuman nanti, orang-orang pasti akan kecewa padaku dan membenciku karena sudah nekat bunuh diri!" balasku dengan suara yang meninggi.Napasku terengah-engah setelah meneriakkan kalimat-kalimat yang panjang itu. Aku menatap 'kembaranku' dengan tatapan tajam, seolah-olah menantangnya untuk membalas perkataanku. Sosok yang wujudnya sama persis denganku itu hanya menatapku dalam diam.Setelah hening selama sesaat, akhirnya dia membuka mulutnya dan bertanya, "Kenapa kamu berpikir orang-orang akan kecewa dan membencimu? Apa kamu tidak berpikir mereka akan bereaksi sebaliknya? Bersyukur dan senang karena kamu masih hidup?"Mendengar pertanyaan-pertanyaan yang konyol itu membuatku merasa geli.
Tiba-tiba pandanganku seperti berputar dengan sangat cepat. Aku memejamkan kedua mataku dengan rapat dan memegangi kepalaku yang terasa seperti mau meledak. Jeritan yang nyaring pun keluar dari mulutku.Jeritanku menggema, menciptakan perulangan suara yang tiada henti. 1 menit, 10 menit, 100 menit, aku tidak tahu sudah berapa lama suaraku menggema seperti itu, masih tak kunjung berhenti juga gemanya.Aku membuka kedua mataku yang tertutup secara perlahan-lahan. Begitu aku membuka mataku, aku menyadari diriku tidak berada di sekolah. Hampa. Hanya warna putih saja yang kulihat."Apa aku jadi buta? Kenapa aku tidak bisa melihat apa-apa?" tanyaku.Pertanyaan yang kutanyakan itu menggema seperti suara jeritanku tadi. Kedua suara itu bercampur aduk menjadi satu. Terulang tanpa henti, volume dari gema itu sedikit pun tidak berkurang walaupun beberapa waktu telah berlalu.Situasi yang sangat aneh ini membuatku takut, terlebih lagi karena aku tidak tahu apa yang terjadi padaku. 'Kenapa aku bis
Entah sudah berapa hari telah berlalu, akhirnya aku diperbolehkan untuk pulang ke rumah dan bisa kembali bersekolah seperti biasa lagi. Aku melangkahkan kakiku untuk memasuki rumah yang sudah lama tidak kutinggali.Aku memandang perabotan-perabotan yang mengisi rumah ini. Tidak ada yang berubah, semuanya masih sama seperti apa yang ada di dalam ingatanku. Meskipun begitu, aku merasa sedikit asing dengan rumah yang sudah kutinggali sejak aku lahir.Aku menghentikan langkahku dan mengedarkan pandanganku ke sekitar. 'Rasa janggal apa ini? Apa aku melupakan sesuatu yang penting?'"Freya, kenapa kamu bengong saja di sana?" Terdengar suara mama bertanya kepadaku.Mendengar pertanyaan itu, aku langsung tersadar dari lamunanku dan sontak menoleh ke arah sumber suara. Kudapati mama, papa, dan kakak berdiri di belakangku, sambil dengan tatapan khawatir memandang ke arahku."Kamu kenapa, Nak? Kamu sakit lagi?" tanya papa dengan tampang cemas.Aku menjawab pertanyaan papa dengan sebuah gelengan k
Telingaku menangkap suara yang samar-samar. Walaupun aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas, entah kenapa aku merasa suara itu terdengar sedih. Kubuka kelopak mataku secara perlahan.Cahaya yang menyilaukan langsung menyambutku begitu aku membuka kedua mataku. Sangat-sangat terang sampai hanya warna putih saja yang terlihat olehku. Perlahan-lahan, mataku mulai beradaptasi dan aku mulai bisa melihat dengan lebih jelas.Kudapati ada beberapa figur manusia berdiri di sampingku, ada juga yang duduk di sisiku. Meskipun penglihatanku buram, aku masih bisa mengenali siapa saja yang berada di dekatku saat ini.Pandanganku tertuju pada wanita yang duduk di sisiku. "Mama ...?""Freya!" seru mama dengan suara parau.Mama langsung memelukku dengan erat. Kurasakan ada cairan hangat yang mengalir menuruni pipiku. Itu bukan air mataku, melainkan air matanya mama. Dia menangis dengan histeris sambil mendekapku dengan erat, seolah-olah takut kehilangan aku."Freya, maafkan kami, Nak ...." Papa yang