Sebuah bangunan bertingkat 3 berdiri di depanku. Gedung tempat tinggal itu adalah rumah Victor. Aku menelan ludahku sebelum melangkah memasuki rumahnya. Begitu masuk, aku disambut oleh ibunya dengan ramah.
"Halo~ Temannya Victor, ya?" sapa wanita berumur 40-an tahun itu.
"Iya, Tante," jawabku sambil tersenyum ramah.
"Yuk langsung naik saja. Victor dan yang lainnya sudah menunggu di lantai 2," ajaknya sambil memberikan isyarat tangan yang menyuruhku untuk mengikutinya.
Aku pun melangkah mengikuti ibunya Victor. Sambil berjalan, aku melihat-lihat telepon pintar keluaran terbaru yang terpajang di dalam etalase kaca. Ya, keluarga Victor menjalankan bisnis konter HP yang memiliki beberapa cabang di dalam kota ini.
"Kalau kamu mau beli, Tante akan kasih kamu diskon karena kamu temannya Victor," ujar ibunya Victor yang mengambil kesempatan untuk promosi saat menyadari aku melihat-lihat telepon pintar yang dijual oleh konter HP-nya.
Dengan cepat aku
2 hari telah berlalu sejak aku kerja kelompok di rumah Victor. Aku turun ke sekolah pagi-pagi sebelum bel masukan berbunyi dan gerbang ditutup. Saat memasuki ruangan kelasku, aku mendapatkan tatapan sinis dari lima siswi yang menongkrong di meja guru.Kuabaikan tatapan sinis dari geng Celestine dan berjalan menuju tempat dudukku. Aku sudah terbiasa mendapatkan tatapan sinis mereka, terutama Celestine, dia pasti dengki denganku karena aku sekelompok dengan orang yang dia sukai; Victor.Sesampainya di mejaku, aku menurunkan ranselku di atas kursi lalu mengeluarkan sepotong tisu untuk membersihkan permukaan mejaku. Lagi-lagi mereka mencoret mejaku dengan spidol.Aku menggosokkan benda putih tipis ini ke permukaan mejaku. Sambil menghapus coretan spidol itu, aku membatin, 'Kalau aku melaporkan mereka ke pak Yere lagi, apa kali ini mereka akan dihukum? Atau hanya akan diberi peringatan saja?'Akhirnya permukaan mejaku bersih mengilap lagi. Semua coretan spidol
Jam istirahat, seperti biasa, aku memakan bekalku di dalam kelas. Makan sendirian di ruangan yang sepi ini sudah menjadi rutinitas bagiku. Selain itu, belakangan ini aku lebih suka menyendiri agar tidak mendapatkan perhatian dari orang lain. Kusuap sesendok nasi ke dalam mulutku dan mengunyahnya. Kunikmati nasi dan tempe bacem yang dimasak oleh mama dengan lahap. Walaupun makanan ini hanyalah masakan yang sederhana, bagiku masakan mama tetap nomor 1. Tak lama kemudian, seseorang memasuki ruangan ini sehingga aku jadi tidak sendirian lagi. Orang yang baru saja memasuki kelas adalah Victor. Dia berjalan dengan cepat menuju tempat duduknya yang berada tepat di depanku. Kelihatannya dia seperti sedang terburu-buru. Aku mengabaikan siswa yang sedang mencari sesuatu di dalam laci mejanya dan lanjut memakan bekalku. Namun, aku tidak bisa terus mengabaikannya karena tiba-tiba dia berbicara kepadaku. "Tadi kamu ada lihat orang ambil sesuatu dari dalam laciku k
Pulang sekolah, aku tidak langsung pulang ke rumah karena hari ini adalah jadwal piketku. Aku tetap tinggal di dalam kelas bersama dengan beberapa murid lainnya yang juga piket hari ini. Kami membagi tugas agar kewajiban ini bisa lebih cepat selesai."Freya, coba lihat ini," panggil seseorang.Aku pun menghentikan aktivitasku dan menoleh ke arah sumber suara. Kudapati Stephen, siswa yang terkenal nakal seangkatan kami berdiri di depan papan tulis. Tangan kanannya menunjuk ke arah papan tulis di sampingnya.Kulihat apa yang dia tunjuk dengan jari telunjuknya. Terdapat coretan dengan tulisan yang seperti ceker ayam di papan tulis. 'Freya cupu, bodoh, lemah,' dan semacamnya. Itulah isi coretan yang ditujukan kepadaku.Aku menggenggam erat sapu di tanganku dan menatap tajam Stephen. 'Bukannya membersihkan papan tulis, dia malah mencoret-coret papan tulis dan mengolok-olok aku.'"Stephen, jangan begitu. Buang-buang tinta spidol saja," tegur seorang sisw
Di rumah, aku dan mama duduk saling berhadapan di ruang tamu. Kutundukkan kepalaku dan memandang kedua tanganku yang bertengger di atas pangkuanku. Aku tidak berani melihat wajah mama."Kenapa tadi kamu lama betul pulangnya?" tanya mama menginterogasiku."Aku konseling ke ruang BK sehabis piket," jawabku dengan suara kecil."Konseling? Memangnya kamu ada masalah apa di sekolah?" Mama bertanya kali. Kali ini suaranya tidak sekeras sebelumnya."Aku dibuli," jawabku singkat sambil mengepalkan tanganku dengan erat.Mama terdiam setelah mendengar jawaban dariku. Karena tak kunjung mendapatkan balasan darinya, aku memberanikan diriku untuk mengangkat kepalaku dan menatap mukanya. Tidak ada tanda-tanda amarah pada wajahnya."Begitu, ya," ucapnya.Mama bangkit dari kursi dan melangkah pergi meninggalkanku begitu saja. Kupikir dia akan mengomeliku atau bertanya lebih lanjut, ternyata tidak. Aku pun sempat berharap kalau dia akan menanyakan kea
2 hari kemudian, tibalah hari Senin. Aku menjalani rutinitasku seperti biasa; mandi, sarapan, pergi ke sekolah, membersihkan mejaku, dan upacara bendera. Kupikir kali ini aku tidak akan sesak napas lagi, ternyata tidak.Kuangkat tangan kananku dan menggosok-gosok dadaku yang terasa sesak. Napasku yang teratur perlahan jadi berat karena kesulitan bernapas. Kepalaku pun mulai pusing, mungkin karena kekurangan oksigen."Kamu kenapa, Freya? Sakit lagi?" tanya seorang siswi yang berdiri di samping kiriku."Iya ...," jawabku dengan lesu.Kudengar Celestine dan anggota gengnya mengataiku dari belakang. "Halah, palingan dia pura-pura sakit lagi."Aku mengerutkan alisku dan mengernyitkan mataku. Bukan karena dikatai oleh geng Celestine, melainkan karena sesak napasku semakin parah. Aku berusaha meraup udara sebanyak-banyaknya dengan menggunakan mulutku karena bernapas menggunakan hidung saja sudah tidak cukup bagiku."Ayo ke UKS," ajak siswi itu samb
Setelah upacara bendera berakhir, keluarlah aku dari UKS dan masuk ke kelas. Untung saja tidak ada yang menyadari kalau mataku sembab karena menangis, atau teman sekelasku berpura-pura tidak menyadarinya dan tidak menyinggungnya.Aku duduk di kursiku dan mengeluarkan buku pelajaran Bahasa Indonesia dari dalam ranselku. Kubuka buku latihanku dan membaca ulang syairku dalam hati. Perasaan yang tercurah ke dalam karya tulis ini masih membekas di hatiku.'Meringkuk dalam kebencian bagaikan gaya.' Itulah yang akhir-akhir ini kulakukan. Aku membenci geng Celestine, membenci ibu kandungku sendiri, dan bahkan membenci diriku sendiri.Kubaca lanjutan dari syair yang kutulis minggu lalu. 'Berhenti membenci dan jadilah bahagia.'Aku memejamkan kedua mataku dan menutup buku latihanku. Sebuah hembusan napas panjang terselip keluar dari mulutku. 'Itu akan sulit untuk diwujudkan. Entah kenapa membenci seseorang lebih mudah daripada berdamai dengannya.'Karena ked
Jam istirahat pun tiba. Maryam mengikuti bu Herlina ke ruang guru untuk membahas perbuatannya yang memalsukan nilaiku. Kupandang gadis berkuncir dua yang berjalan mengekori bu Herlina sambil tersenyum miring. 'Mampus kamu, Maryam.'Setelah sosok kedua perempuan itu lenyap di balik pintu, aku mengalihkan pandanganku ke ranselku. Kukeluarkan sebuah kotak makan berwarna ungu dari dalam ranselku dan memakan bekalku dengan lahap.Saat aku sedang memakan bekalku, tiba-tiba seorang guru memasuki ruangan ini. Guru tersebut adalah pak Yeremia. Dia bercelingak-celinguk, seperti mencari seseorang. Kemudian, mata kami pun saling bertemu."Freya, dimana Celestine dan kawan-kawannya?" tanya pak Yeremia kepadaku karena hanya ada aku seorang diri di dalam ruangan ini."Sepertinya mereka lagi di kantin, Pak; kalau Maryam mungkin masih di ruang guru," jawabku.Pak Yeremia ber oh ria dan membalasku. "Kalau mereka sudah kembali, beri tahu mereka ke ruangan saya, ya."
Aku berada di dalam sebuah ruangan yang cukup luas, kalau saja ruangan ini tidak dibagi menjadi beberapa bagian lagi untuk dijadikan jamban. Kukernyitkan mataku dan menutup hidungku karena tidak tahan dengan bau pesing di tempat ini. Ya, saat ini aku berada di dalam WC.Tiba-tiba seseorang menampar keras tembok yang berada di belakangku. Terdengar bunyi yang nyaring saat telapak tangan orang yang menyeretku ke sini menghantam dinding. Siswi berbadan besar itu mengurungku di antara lengannya sehingga aku tidak bisa kabur."Kamu 'kan yang membuat kami dipanggil ke ruang BK?" tanya Celestine yang berdiri tepat di hadapanku.Jarak kami sangat berdekatan, terutama wajah kami. Bau napasnya menyerbak masuk ke hidungku sehingga membuatku memutar mataku. 'Ah, bau banget. Dia habis makan apa sih? Jengkol? Atau petai?'"Woi, jangan diam saja, jawab dong!" desak salah satu anggota gengnya yang berdiri di belakangnya."Iya, kemarin aku melaporkan kalian ke pak
'Waktu berlalu dengan cepat. Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun. Tak terasa 4 tahun sudah berlalu sejak aku terbangun dari koma. Banyak hal telah kulalui sejak hari itu.'Waktu aku turun ke sekolah untuk mengikuti UN, aku dikejutkan dengan perubahan sikap teman-teman sekelasku yang mendadak jadi akrab denganku, padahal dulu sebagian besar dari mereka menjauhiku. Di sisi lain, geng Celestine dikucilkan oleh semuanya.'Aku juga lulus dari SMP yang merupakan masa-masa terindah, tetapi juga masa-masa tersuram dan menyakitkan bagiku. Tak kusangka aku bisa mendapatkan nilai yang cukup tinggi pada UN walaupun sempat ketinggalan materi. Semua ini berkat bantuan Vania dan Jonathan.'Naik ke SMA, aku, Vania, dan Jonathan masuk ke sekolah yang berbeda. Meskipun begitu, persahabatan kami tetap berlanjut walaupun terpisah oleh sekolah ataupun terpisah oleh pulau. Saat libur panjang, kami akan berkumpul dan bermain bersama seperti dulu.'Aku lega masa-masa SM
“Tadi mama ngomongin apa sama suster di luar?” tanyaku begitu mama masuk ke kamar.“Hanya ngomongin masalah kecil kok, tidak usah khawatir,” jawab mama.Aku tidak bertanya lagi walaupun rasa penasaranku masih belum terpuaskan. Aku tidak perlu terlalu memikirkannya karena mama tidak akan berbohong atau menyembunyikan sesuatu, dia selalu mengatakan apa adanya.“Alex, ayo pulang,” ajak mama.Mendengar mama mengajaknya untuk pulang ke rumah, kakak langsung bangkit dari kursi dan melangkah menghampiri mama. Sebelum mereka berdua keluar dari ruangan ini, aku menahan mereka dengan berkata:“Cepat sekali kalian pulang, kenapa tidak lebih lama-lama di sini untuk menemaniku?” tanyaku dengan nada memelas.Aku tidak ingin ditinggal sendirian karena nanti aku akan kesepian. Aku masih ingin bersama mama dan kakak setelah lama tidak bertemu mereka. ‘Yah, walaupun sebenarnya aku sudah bertemu mereka lewat ilusi yang kulihat waktu terjebak di alam bawah sadarku.’“Kami tidak bisa, Freya. Kalau mama ti
"Jadi, bagaimana nasibnya Celestine dan kawan-kawannya, orang tua mereka, dan pak Yere?" tanyaku kepada Vania dan Jonathan yang berdiri di samping ranjangku.Vania langsung mendengus kesal dan memutar bola matanya saat mendengarku menyebut orang-orang yang merupakan penyebab aku nekat bunuh diri. Tak hanya Vania, Jonathan juga tampak kesal saat mendengar orang-orang itu disebut."Celestine dan kawan-kawannya hanya didiskors saja. Mereka diberi keringanan karena sudah kelas 9 dan sebentar lagi mau UN." Jonathan menjawab pertanyaanku."Enak betul mereka tidak dikeluarkan dari sekolah, mentang-mentang sebentar lagi mau UN. Seharusnya mereka mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatan mereka," timpal Vania sambil menyilangkan kedua tangannya di dada dan mengerucutkan bibirnya.Aku terdiam setelah mendapatkan jawaban dari mereka. Ada sedikit kekecewaan di dalam hatiku saat mengetahui geng Celestine tidak dikeluarkan dari sekolah, padahal aku sudah sangat menderita atas perbuatan mer
Banyak hal sudah terjadi saat aku koma selama 1 bulan setengah. Kudengar, semua orang di sekolah heboh saat aku melompat dari atap. Siswa-siswi yang menyaksikan kejadian tragis itu mengalami syok berat hingga trauma sehingga membutuhkan perawatan psikologis.Para guru berusaha keras meredakan kericuhan itu dan menenangkan murid-murid walaupun mereka sendiri juga sangat syok. Mobil ambulan melaju ke rumah sakit, membawaku yang kritis untuk segera mendapatkan tindakan medis.Polisi pun sampai datang ke sekolah. Geng Celestine mengakui bahwa merekalah yang membuliku. Mereka juga memberi tahu polisi kalau pak Yeremia menerima suap dari orang tua mereka supaya tidak ikut campur dengan apa pun yang mereka lakukan.Aku tidak menyangka Celestine dan anggota gengnya berani melaporkan orang tua mereka sendiri, padahal mereka tahu betul apa yang akan terjadi pada orang tuanya kalau mereka melaporkannya ke polisi. Kini aku tahu; mereka benar-benar sudah berubah.Tak hanya itu saja, kasus bunuh di
Entah sudah berapa lama aku berjalan di dalam kehampaan ini. Kali ini aku tidak berjalan sendirian lagi karena 'kembaranku' menemani aku. Kami berjalan bersama sambil mengobrolkan beberapa hal. Ada saatnya kami sama-sama diam saat tidak ada topik.Aku melirik ke sosok yang penampilannya sama persis denganku. Dia berjalan dengan pandangan lurus ke depan, tidak mempedulikan aku yang sedang meliriknya. Aku pun mengalihkan pandanganku dan menghembuskan napas panjang."Sampai kapan kita akan berjalan begini terus?" tanyaku memecahkan keheningan."Sampai kita menemukan 'pintu keluar'," jawabnya.Aku ber oh ria, menanggapi jawaban darinya dengan kurang antusias. Ini sudah yang ke-5 kalinya aku mendengar jawaban yang sama. Mungkin dia sendiri juga sudah bosan mendengar pertanyaan yang sama sebanyak 5 kali.Ngomong-ngomong soal 'pintu keluar', sudah pasti merupakan jalan untuk keluar dari alam bawah sadarku, entah itu benar-benar berupa pintu, portal, atau apalah itu. Aku tidak tahu apa 'kemba
Aku mendorong 'kembaranku' dengan kuat agar dia menjauh dariku. Aku melangkah mundur untuk memperluas jarak di antara kami sambil memegangi lenganku yang terasa sedikit sakit karena tadi dicengkeram olehnya."Memangnya kenapa kalau aku masih ingin tetap hidup? Itu semua sudah tidak ada artinya! Saat aku siuman nanti, orang-orang pasti akan kecewa padaku dan membenciku karena sudah nekat bunuh diri!" balasku dengan suara yang meninggi.Napasku terengah-engah setelah meneriakkan kalimat-kalimat yang panjang itu. Aku menatap 'kembaranku' dengan tatapan tajam, seolah-olah menantangnya untuk membalas perkataanku. Sosok yang wujudnya sama persis denganku itu hanya menatapku dalam diam.Setelah hening selama sesaat, akhirnya dia membuka mulutnya dan bertanya, "Kenapa kamu berpikir orang-orang akan kecewa dan membencimu? Apa kamu tidak berpikir mereka akan bereaksi sebaliknya? Bersyukur dan senang karena kamu masih hidup?"Mendengar pertanyaan-pertanyaan yang konyol itu membuatku merasa geli.
Tiba-tiba pandanganku seperti berputar dengan sangat cepat. Aku memejamkan kedua mataku dengan rapat dan memegangi kepalaku yang terasa seperti mau meledak. Jeritan yang nyaring pun keluar dari mulutku.Jeritanku menggema, menciptakan perulangan suara yang tiada henti. 1 menit, 10 menit, 100 menit, aku tidak tahu sudah berapa lama suaraku menggema seperti itu, masih tak kunjung berhenti juga gemanya.Aku membuka kedua mataku yang tertutup secara perlahan-lahan. Begitu aku membuka mataku, aku menyadari diriku tidak berada di sekolah. Hampa. Hanya warna putih saja yang kulihat."Apa aku jadi buta? Kenapa aku tidak bisa melihat apa-apa?" tanyaku.Pertanyaan yang kutanyakan itu menggema seperti suara jeritanku tadi. Kedua suara itu bercampur aduk menjadi satu. Terulang tanpa henti, volume dari gema itu sedikit pun tidak berkurang walaupun beberapa waktu telah berlalu.Situasi yang sangat aneh ini membuatku takut, terlebih lagi karena aku tidak tahu apa yang terjadi padaku. 'Kenapa aku bis
Entah sudah berapa hari telah berlalu, akhirnya aku diperbolehkan untuk pulang ke rumah dan bisa kembali bersekolah seperti biasa lagi. Aku melangkahkan kakiku untuk memasuki rumah yang sudah lama tidak kutinggali.Aku memandang perabotan-perabotan yang mengisi rumah ini. Tidak ada yang berubah, semuanya masih sama seperti apa yang ada di dalam ingatanku. Meskipun begitu, aku merasa sedikit asing dengan rumah yang sudah kutinggali sejak aku lahir.Aku menghentikan langkahku dan mengedarkan pandanganku ke sekitar. 'Rasa janggal apa ini? Apa aku melupakan sesuatu yang penting?'"Freya, kenapa kamu bengong saja di sana?" Terdengar suara mama bertanya kepadaku.Mendengar pertanyaan itu, aku langsung tersadar dari lamunanku dan sontak menoleh ke arah sumber suara. Kudapati mama, papa, dan kakak berdiri di belakangku, sambil dengan tatapan khawatir memandang ke arahku."Kamu kenapa, Nak? Kamu sakit lagi?" tanya papa dengan tampang cemas.Aku menjawab pertanyaan papa dengan sebuah gelengan k
Telingaku menangkap suara yang samar-samar. Walaupun aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas, entah kenapa aku merasa suara itu terdengar sedih. Kubuka kelopak mataku secara perlahan.Cahaya yang menyilaukan langsung menyambutku begitu aku membuka kedua mataku. Sangat-sangat terang sampai hanya warna putih saja yang terlihat olehku. Perlahan-lahan, mataku mulai beradaptasi dan aku mulai bisa melihat dengan lebih jelas.Kudapati ada beberapa figur manusia berdiri di sampingku, ada juga yang duduk di sisiku. Meskipun penglihatanku buram, aku masih bisa mengenali siapa saja yang berada di dekatku saat ini.Pandanganku tertuju pada wanita yang duduk di sisiku. "Mama ...?""Freya!" seru mama dengan suara parau.Mama langsung memelukku dengan erat. Kurasakan ada cairan hangat yang mengalir menuruni pipiku. Itu bukan air mataku, melainkan air matanya mama. Dia menangis dengan histeris sambil mendekapku dengan erat, seolah-olah takut kehilangan aku."Freya, maafkan kami, Nak ...." Papa yang