LELAKI YANG KAU PAMERKAN ITU SUAMIKU
Bab 2
Kening Desi berkerut, “Maksud kamu apa?”
“Maksud aku itu, suamiku pernah kerja di tempat calon suami kamu. Jadi tukang kebun di rumahnya dulu.”
Rahasia besar terbongkar begitu saja, aku tidak akan membiarkan ini menjadi mudah. Enak saja dia sudah mengkhianatiku dan berencana menikahi wanita lain.
Awas saja kamu, Mas! Kujagal burungmu baru tahu rasa.
Kau tidak akan lepas begitu saja dari masalah ini.
“Oh, ya ampun. Dunia sempit banget ya. Calon suami aku kaget pasti lihat temen aku nikah sama tukang kebunnya dulu.”
Kau yang akan lebih kaget saat tahu siapa calon suamimu yang sebenarnya.
Mas Damar benar-benar kurang ajar. Tas milikku yang tak terpakai yang kupikir benar-benar dia sumbangkan ternyata dilemparkannya pada selingkuhannya.
Setidaknya dia tidak memberikan barang baru karena memang wanita yang jadi duri di dalam rumah tangga orang itu tidak pantas untuk diistimewakan. Cocok memang mendapat barang bekas.
Dan cincin yang melingkar di jarinya juga itu bekasku, berat badanku naik membuat cincin itu tidak muat lagi.
Saat kuperhatikan lagi, semua tas itu memang milikku sebelumnya karena ada inisial namaku disana.
“Des, ini apa ya?” Telunjukku mengarah pada inisial nama tanpa menyentuh tas itu.
“Oh, itu nama orang yang buat tas ini. Wajar sih kamu nggak tahu, kamu 'kan nggak pernah beli tas branded macam ini.” Tidak habis-habisnya dia menghina.
Apa setelah tahu faktanya dia akan tetap menghinaku? Kita lihat apa yang terjadi nanti saat semuanya terbongkar.
Aku menggigit bibir untuk menahan tawa, bisa-bisanya dia dibohohi dengan mudahnya oleh Mas Damar. Aku tidak yakin dia jadi sekretaris Mas Damar karena aku tahu sekretarisnya itu Amelia bukan Desi.
Dan yang kutahu Desi hanya lulusan SMA. Bukannya menghina, menjadi sekretaris minimal sarjana.
“Iya, aku tahu apa sih soal tas mahal gitu. Aku mah cuman biasa beli yang seratus lima puluh rebu dapat dua,” ujarku merendah.
“Nanti ya kalau aku udah nikah, aku kasih kamu salah satu tas ini deh. Aku baik 'kan. Soalnya nanti setelah nikah, aku bakalan dibawa ke istana suami aku.”
“Boleh. Sepertinya aku juga bakalan tetep disini sampai kamu nikah, soalnya pengen lihat langsung calon suami kamu.”
“Nah, gitu dong. Kamu harus jadi saksi mewahnya pernikahan aku nanti.”
“Kamu bilang dia CEO. Yakin dia belum punya istri? Jangan sampai kamu dijadikan simpanan.”
Kutatap Desi dengan lekat, ia terdiam sejenak seperti tengah berpikir.
“Aku bukan nakut-nakutin sih, cuman hati-hati aja. Cowok kota itu beda, kamu jangan terlalu polos.”
Desi terlihat celingukan seperti memperhatikan sekitar, “Tapi kamu jangan bilang-bilang ya.”
“Kenapa memang?”
“Janji dulu. Kalau sampai ini tersebar, muka aku mau ditaruh dimana.”
“Cerita aja sih, aku nggak bakalan sebarin kok.”
“Sebenarnya, dia … punya istri. Tapi katanya istrinya sakit-sakitan dan nggak bisa melayani dia jadi dia mau nikahin aku.”
Tanganku terkepal. Si*alan, dia mengataiku sakit-sakitan.
“Terus kau mau saja dijadikan pelampiasan? Dijadikan selingkuhan?”
“Mau gimana lagi, udah terlanjur.”
Mataku membulat, “Terlanjur apa maksudmu?”
Bersambung ….
LELAKI YANG KAU PAMERKAN ITU SUAMIKUBab 3“Terlanjur cinta.”Cinta biji matamu! Kau hanya cinta hartanya meskipun memang Mas Damar bukan lelaki dengan wajah standar, dia bisa dibilang tampannya di atas rata-rata.“Emang kamu udah berapa lama sama calon kamu itu?”Desi menarik tanganku, “Sambil duduk aja ngomongnya, pegel berdiri terus.”Kuhempaskan bokongku di kursi masih menunggu Desi bicara.“Tiga bulan.”Alisku bertaut, “Tiga bulan kamu kenal sama dia terus mau diajak nikah gitu?”Aku jadi sanksi, jangan-jangan Mas Damar sudah pernah tidur dengan Desi.Beberapa bulan ini dia memang tidak pernah lagi memintaku untuk melayaninya, dan sepertinya penyebabnya adalah ini. Dia memiliki pemuas lain.Sudah jelas-jelas ada yang halal malah melirik yang haram. Setelah ini aku tidak akan mau lagi melayaninya, enak saja. Sudah masuk sangkar orang dan ingin kembali padaku. Tidak akan kuterima.“Ya ampun, kamu iri banget ya sama aku, Na. Kalau mau nanti aku kenalin sama temennya Mas Pras, tapi
LELAKI YANG KAU PAMERKAN ITU SUAMIKUBab 4Tawa Desi pecah, “Segitunya kamu iri sama aku. Udah nggak usah ngarang cerita, kamu itu kebawa sama sinetron ikan terbang yang kamu tonton. Mending kamu dengerin aja kisah cinta aku sama Mas Pras.”Aku mengalah, “Katakan, seperti apa lelaki yang kamu pamerkan itu. Sehebat apa dia?”“Ja-”“Mami!”Aku tersentak mendengar Aslan berteriak memanggil, buru-buru aku keluar untuk melihatnya. Takut dia terluka atau jatuh.Langkahku terhenti saat melihat Aslan berdiri sambil memperhatikan anak kecil seusianya yang berlari menjauh.“Aslan kenapa, Bi?”“Itu dia mau kapal-kapalan?” Bibi mengarahkan telunjuknya pada baskom berisi air yang berada di teras.“Oh, yang bunyi itu 'kah?”“Iya.”“Beli dimana itu, Bi.”“Di pasar banyak. Kamu nggak pernah kasih anak kamu mainan apa? Biar nanti aku yang beliin, kasihan banget anaknya nggak dikasih mainan.”Perkataan Desi itu seolah-olah aku ini tidak mampu meski hanya sekedar membelikan mainan.“Aslan, sini, Nak.” A
LELAKI YANG KAU PAMERKAN ITU SUAMIKUBab 5Mataku memanas membuat buliran bening berjatuhan membasahi pipi.“Eh, Una. Kenapa malah nangis?” Bibi menegur membuatku buru-buru mengusap kasar pipiku yang basah.“Nggak, Bi. Aku kasihan aja sama anaknya nanti.”“Anak nggak salah tapi jadi korban. Apalagi katanya calon suami si Desi itu udah punya istri, anaknya masih kecil lagi.”Tidak, aku tidak sanggup lagi mendengar semua itu. Meski faktanya masih setengah-setengah tapi dari apa yang kudengar itu semua sudah menjurus dan kemungkinan memang Mas Damar lelaki itu, lelaki yang menghamili Desi.“Bi, malam ini Aslan tidur di kamar Bibi ya. Dia kangen sama Bibi.”Bibi tersenyum menggodaku, “Iya, Bibi tahu. Nanti malem Damar datang kalian pasti nggak mau diganggu.”Aku hanya membalas dengan seulas senyum lalu masuk ke dalam kamar.Rumah yang dulu ditempati olehku dan orangtuaku sengaja ditempati oleh bibi-adik sepupu ibuku-karena rumah tidak baik dibiarkan terbengkalai begitu saja.Kuhirup udara
LELAKI YANG KAU PAMERKAN ITU SUAMIKUBab 6Dari bangun tidur, Mas Damar tidak berhenti bersin, hidungnya sampai memerah dan meler.“Nakal. Aku udah bilang pake bajunya malah nggak denger, kena flu 'kan sekarang.” Pagi-pagi aku sudah kesal dibuatnya.Baru saja datang sudah terkena flu begini. Meskipun udaranya terasa panas tapi tetap akan masuk angin jika tidur tidak memakai baju. Udara di desa dan kota jelas sangat berbeda. Dia juga seharusnya masih menyesuaikan karena ini pertama kalinya datang kesini.Eh, tapi apa dia juga pernah kesini untuk bertemu keluarga Desi? Tidak mungkin melamar tanpa datang kesini. Berarti keluarga Desi pasti mengenali Mas Damar. Mustahil jika tidak.“Diam aja di rumah, biar aku pergi ke pasar bareng Bibi.”“Nggak, sayang. Aku cuman flu doang bukan sakit parah. Ada masker 'kan?”Keningku berkerut, “Masker?”“Iya, jangan sampe nanti Aslan ikut kena flu gara-gara aku. Sekalian nanti beli obat di apotik.”Apa dia sengaja membuat dirinya flu agar bisa menutupi
Netraku tidak lepas memandangi Mas Damar yang terlihat serius bicara dengan orang yang menelponnya.“Mami, ayo. Papi lama ….” Aslan mulai merengek karena tidak sabar.“Sebentar ya, Papi lagi telepon.”“Nanti beli kue ya, Mi. Aslan mau makan kue bareng temen-temen.”Aku berjongkok memegang pundak kecilnya, “Aslan punya temen disini?”Dia mengangguk kecil, “Iya tapi kemarin pulang karena dipanggil Ibunya. Aslan mau beli makanan banyak biar bisa lama-lama main sama mereka.”Kuusap lembut puncak kepalanya, “Iya, nanti kita beli ya. Anak Mami memang pintar, kita memang harus belajar berbagi.”“Pintar kayak Mami,” sahutnya. Dia langsung berhambur memelukku.Berbagi makanan atau barang masih boleh tapi berbagi orang yang dicintai itu tidak akan pernah bisa dilakukan oleh siapapun. Orang bodoh mana yang mau membagi orang yang dicintainya dengan orang lain. Aku pun tidak akan mau. Saat semua mengarah pada Mas Damar, aku masih menahan diri dan ingin melihat dengan mata kepalaku sendiri jika mem
“Aku penasaran aja mukanya kayak apa. Pengen bandingin gantengan siapa sama calon suami aku.”Aku memutar bola mata malas, “nggak usah banding-bandingin, semua cowok itu ganteng di mata orang yang tepat.”“Suami mukanya pas-pasan aja pelit banget.”Kulepaskan paksa tangannya, “Udah ya, aku capek banget. Mau pulang. Nggak usah penasaran sama muka suami aku, yang ada nanti kamu jantungan lagi.”“Karena jelek ya?”“Terserah kamu lah mau mikir kayak apa juga, aku nggak peduli.”Aku tidak memperdulikan teriakannya dan terus melangkah menjauh. Datang ke kampung untuk liburan dan silaturahmi bersama keluargaku yang lain tapi malah musibah yang didapatkan. Tapi mungkin jika kau tidak datang kesini aku tidak akan ahu menahu soal Mas Damar yang kemungkinan besar selingkuh dengan Desi.Tapi kalau memang selingkuh kenapa harus Desi? Dia memiliki banyak kenalan wanita yang kulihat dari parasnya lumayan. Bukan aku mengatakan Desi tidak cantik, semua wanita cantik dan memiliki kelebihan masing-masi
“Ya ampun, Mas.”Aku meringis melihat dahinya memar.“Kamu kenapa sih?” tanya Mas Damar sambil mengelus dahinya.“Una, Una. Cepetan dong, aku buru-buru nih.” Desi berteriak dari luar sambil menggedor pintu.Dia bisa membangunkan Aslan jika membuat ribut begitu.Aku menarik Mas Damar ke kamar.Ini menyangkut harga diri, aku tidak mau ada keributan disini meskipun iya Mas Damar dan Desi selingkuh. Tapi aku tidak ingin semua itu terbongkar dan menjadi konsumsi publik, itu aib.Apalagi Desi tidak akan diam saja jika tahu Mas Damar suamiku, bisa jadi seluruh desa tahu. Bukan tidak ingin mempertemukan mereka dan meminta penjelasan langsung dari kedua belah pihak. Banyak yang harus aku pertimbangkan termasuk bukti yang harus ada di tangan.“Kamu diem disini, jangan keluar. Kunci mobil mana?”“Di saku jaket.”Aku meraih jaketnya yang tersampir di kursi dan merogoh kunci dari dalamnya.“Pokoknya jangan keluar kalau kamu nggak mau celaka.” Aku memperingatkannya sebelum menemui Desi.Mungkin jik
Bukan nomor Mas Damar, tapi tetap kusimpan nomor itu untuk dicari tahu pemilik sebenarnya.Wajar jika orang selingkuh memiliki lebih dari satu nomor ponsel tapi banyak yang terasa janggal disini.“Eh, malam bengong lagi. Ayo.” Desi sudah menenteng kantong kresek di tangannya.Kami langsung pulang lagi, aku juga tidak mau mengantar dia pergi ke tempat lain. Enak saja dia pikir aku ini supir apa.“Na, majikan suami kamu kaya banget ya. Mobilnya aja mewah gini, suaranya juga nggak berisik,” komentar Desi saat kembali masuk ke dalam mobil.“Mau mobil kayak gini?”“Nggak, aku mau beli yang lebih bagus dari ini. Dan yang jelas beli mobil yang orang kampung sini nggak punya.”Ya … ya. Terserah.Aku menurunkan Desi tepat di depan rumahnya.“Nih buat sewa mobilnya.” “Nggak usah.”“Alah, jangan malu-malu gitu kalau emang butuh.” Dia menaruh begitu saja selembar uang lima puluh ribu sebelum keluar dari mobil tanpa ucapan terima kasih. Mungkin ucapan terima kasihnya diwakilkan oleh uang.Setelah
Patah hati terparah yang pernah Bagas rasakan, padahal hanya mengetahu mantan istrinya disukai lelaki lain. Itu baru sebatas menyukai bagaimana jika Hanum benar menikah dengan Malik? Hatinya akan lebih hancur daripada ini.“Ayah kenapa?” Mentari menegur sang ayah yang diam mematung dengan kedua sorot matanya tidak lepas dari kedua orang yang masih saling berinteraksi.“Nggak papa kok. Ayo masuk.” Bagas mencoba untuk bersikap wajar meski hatinya porak-poranda.Ia menemani Mentari karena Bu Wiwik sedang tidak ada di rumah sedangkan Hanum masih sibuk di warung, Bagas memiliki banyak kesempatan untuk bersama dengan Mentari tapi tidak sebahagia sebelumnya karena saat ini melihat Hanum dan laki-laki bernama Malik itu membuat pikiran Bagas tidak karuan.“Ayah capek ya, tidur aja dulu. Nanti kalau nenek pulang aku bangunin.” Mentari begitu perhatian padahal yang membuat Bagas tampak lesu jelas bukan karena ia yang memang merasa kelelahan tapi karena faktor lain yang tidak akan dimengerti oleh
Faz mengerucutkan bibirnya kesal, “Apaan sih, Ma. Aku sama Rendi nggak ngapa-ngapain kok,” sangkalnya karena memang mereka hanya sebatas berpelukan.“Halah. Mana ada maling mau ngaku. Kalau Mama nggak dateng pasti sudah kebablasan,” cibir Bunga.“Enggak, Ma. Jangan nuduh begitu, kasihan Rendi. Orang kita cuman pelukan kok.”Rendi tesenyum kikuk, “Maaf, Tante. Saya nggak bermaksud.”“Kalian udah lama loh berduaan.” Bunga mengusir dengan halus.“Kalau begitu saya pamit, Tante.” Lelaki itu langsung peka jika dirinya saat ini sudah disuruh untuk pulang.“Pinter.”“Ma.” Faz langsung melayangkan protes, “lama dari mananya, belum seharian kok.”“Aku pulang dulu ya.” Rendi langsung pamit pada Faz dan juga Bunga.Rendi itu sangat peka apalagi tahu seperti apa watak dari calon ibu mertuanya, meski terlihat galak Bunga itu sebenarnya baik dan sudah mulai membuka pintu restu untuk Faz dan juga Rendi.“Mama main ngusir aja sih!”Bunga langsung mengambil posisi duduk di samping sang putri, “kamu be
“Nggak, Ma. Aku tetap pada pendirian aku, aku mau tinggal di kampung. Setelah menemui Faz nanti baru aku pergi, nanti aku kembali saat Faz melahirkan.”Bukan tidak ingin tanggung jawab dengan terus ada di samping Faz tapi Bagas tahu jika Faz tidak menginginkan kehadirannya karena rasa bencinya pasti begitu besar. Jadi daripada membuat Faz semakin tidak nyaman lebih baik Bagas sadar diri.“Kok kamu jadi gini sih, Gas? Kamu diancam sama Hanum?”Bagas enggan mendengar ocehan sang ibu yang selalu saja merendahkan Hanum dan menganggap Hanum itu tidak baik. Kurang apa Hanum selama ini, wanita itu begitu setia dan menerima Bagas apa adanya, menunggu restu yang tak kunjung didapat dan pada akhirnya Hanum pun mundur.“Sudah ya, Ma. Aku capek.” Bagas menutup pintu kamarnya dan langsung mengunci dari dalam, enggan untuk diganggu.Semuanya sudah hancur tak bersisa, jika masih melakukan sesuatu yang buruk apalagi berdampak pada orang lain maka Bagas tidak akan bisa tenang mungkin saja akan lebih h
“Bukan, bukan. Aku nggak pernah sama sekali berpikir kayak gitu, Faz. Aku terima kamu dan bayi kamu tapi kalau sampai harus ikut merahasiakan aku nggak bisa. Lebih baik segera kamu bicarakan sama Bagas. Aku nggak maksa, tapi menurut aku lebih baik seperti itu.”Faz akan percaya jika Rendi benar-benar mencintainya setelah mereka resmi menikah sedangkan sekarang kondisi masih tidak memungkinkan karena memang Faz masih hamil. Harus menunggu beberapa bulan lagi sampai nanti bayi itu lahir.“Kalau bisa aku menikahi kamu sekarang agar kamu percaya pasti akan aku lakukan, tapi kondisi saat ini kamu tahu sendiri seperti apa. Aku mohon percaya sama aku, aku sama sekali nggak berpikir sampai ke situ.”Faz merasa bersalah juga karena akhir-akhir ini ia memang mudah sekali tersulut emosinya dan akhirnya Rendi yang kena semprot padahal lelaki itu begitu setianya mendampingi, mendengar semua keluhan yang dirasakan oleh Faz meski memang tidak bisa mendampingi benar-benar ada di samping Faz karena la
Bagas tidak percaya saat membaca ulang pesan yang dikirimkan oleh Hanum. Ia tahu betul Hanum tidak akan mungkin meminta pisah seberat apapun masalah dalam rumah tangga mereka, bahkan saat tak kunjung mendapat restu saja ia masih bertahan bertahun-tahun. Bagas malah berpikir pasti ada yang menghasut Hanum sampai berpikir untuk berpisah, ia tidak sadar jika Hanum seperti ini karenanya yang malah mengejar Faz yang sudah jelas tidak akan mungkin bisa didapatkannya lagi.Harusnya saat Hanum menerima semuanya setelah tahu Bagas menikah lagi, lelaki itu jangan berbuat hal macam-macam yang membuat Hanum semakin tersakiti. Tapi Bagas malah melakukan hal yang sebaliknya dan sekarang kaget sendiri saat Hanum bertindak tegas."Ma, aku pergi dulu." Bagas berdiri dengan perasaan tidak karuan."Mau kemana?""Ada urusan. Pokoknya sebelum urusan aku selesai aku nggak bakalan pulang." Menyambar kunci mobil lalu berlari keluar membuat sang ibu terheran-heran.Saat mencoba menelpon Hanum, malah tidak bis
"Nggaklah, aku nggak mau. Sembarangan!""Nggak usah ngegas juga, Papa cuman becanda." Aslan bercanda tapi dengan wajah yang datar, siapapun tidak akan menyangka lelaki itu bercanda.Faz mencebik. "Bercandanya nggak lucu, Pa.""Kamu nggak bisa menikah dalam keadaan hamil, Faz. Kamu nggak tahu itu?""Tahu dong, Pa. Tapi 'kan dapet restu dari Papa sama Mama nggak gampang jadi dari sekarang aja ngomongnya karena belum tentu langsung dikasih jalan.""Ya udah."Mata Faz langsung berbinar. "Papa kasih restu?""Ya udah kamu keluar sana, Papa lagi kerja nih. Kamu sama Mama kamu sama aja ganggu Papa hobinya.""Terus kapan kasih restu, Pa? Aku pengen nikah.""Kapan-kapan aja. Kamu juga pengen nikah tetep nggak bisa sekarang, udah kalian keluar."Faz menghela nafas panjang lalu melangkah keluar dari ruangan sang ayah sedangkan Bunga masih berdiri di samping meja kerja sang suami."Mas, gimana?"Sebelah alis lelaki itu terangkat. "Gimana apanya?""Mau kasih restu? Aku nggak mau ya kalau punya mena
Jika hati dan tubuhnya bahkan sudah terbagi, apalagi yang menjadi alasan Hanum bertahan jika bukan Mentari. Berat rasanya bertahan bersama Bagas saat tahu lelaki itu sudah mencintai wanita lain yang sekarang sudah menyandang status sebagai mantan istri lelaki itu.Hanum lebih rela menemani masa sulit suaminya, daripada menemani lelaki yang sudah membagi hatinya seperti ini. Itu sangat menyakitkan.Mungkin jika kebohongan Bagas tidak diketahui oleh Faz, bisa saja Hanum yang akan ditinggalkan oleh Bagas. Sekarang Hanum tidak lagi merasa takut jika akan ditinggalkan. Ia sudah sangat lelah dengan apa yang terjadi, kesabarannya sudah dipertebal tapi malah ini yang didapatkan.Sudah satu minggu Bagas pergi, semenjak Hanum melihat foto Faz yang masih tersimpan di ponsel Bagas bahkan dijadikan tampilan layar. Lelaki itu hanya menghubungi sekedar untuk bicara pada Mentari, Hanum seolah tidak dianggap dan wanita itu pun tidak peduli lagi. Ia lelah jika terus meladeni Bagas yang sama sekali tida
POV Author“Mau kemana, Mas?”“Ada urusan.”“Urusan apa?”“Urusan penting.” Bagas menepis tangan Hanum membuat wanita itu mengernyit heran.Sikap Bagas berubah meski lelaki itu terus menepis dan mengatakan jika ia tidak berubah sama sekali tapi di sini Hanum yang merasakannya. Suaminya itu bersikap dingin bahkan jarang pulang padahal Bagas sendiri yang mengatakan jika ia tidak akan lagi bekerja di kota. Tapi lelaki itu selalu beralasan ada urusan di kota tapi tidak menjelaskan dengan detail urusan apa yang sedang dilakukannya.“Apa ini cuman perasaan aku doang ya.” Hanum menggeleng, “jangan mikir macam-macam, Hanum. Mas Bagas pasti lagi sibuk apalagi perusahaannya sekarang udah hancur.”Hanum tahu soal perusahaan keluarga suaminya yang akhirnya hancur. Ada rasa bersalah menyusup dalam dadanya karena ia yang berencana untuk memberitahu secara tidak langsung pada Faz soal siapa Hanum sebenarnya.Kalau saja Bagas tahu Hanum sengaja tidak memberitahu jika Faz akan mengikuti, sudah pasti l
“Aku cinta sama kamu.”“Bullshit! Nggak usah kamu keluarkan rayuan kamu dalam situasi ini, Mas. Aku tetep pada keputusan aku buat pisah. Aku nggak mau jadi sumber derita buat wanita lain yang nggak tahu apa-apa. Mbak Hanum pasti nggak tahu soal permainan kamu ini 'kan?”“Kita selesaikan baik-baik ya, jangan kayak gini.”“Iya, aku emang mau selesaikan ini baik-baik sama kamu. Kita pisah tapi aku nggak bakalan cabut dana yang mengalir ke perusahaan ayah kamu tapi setelah kerjasama selesai jangan harap dapat bantuan lagi kalau sampai nanti perusahaan itu kembali jatuh!”“Sayang ….”“Cukup, Mas! Kamu nggak kasihan sama istri dan anak kamu. Nggak usah kamu korbankan mereka cuman akrena harta yang nggak bakalan kamu bawa mati.”“Ini bukan soal harta tapi perasaan aku. Kamu nggak percaya?”“Nggak, aku sama sekali nggak percaya sama kamu. Kebohongan kamu sebelumnya bahkan aku masih nggak percaya kalau itu sebuah kenyataan.”Aku merasa beruntung karena belum memberikan hatiku padanya, tidak ma