LELAKI YANG KAU PAMERKAN ITU SUAMIKU
Bab 6
Dari bangun tidur, Mas Damar tidak berhenti bersin, hidungnya sampai memerah dan meler.
“Nakal. Aku udah bilang pake bajunya malah nggak denger, kena flu 'kan sekarang.” Pagi-pagi aku sudah kesal dibuatnya.
Baru saja datang sudah terkena flu begini. Meskipun udaranya terasa panas tapi tetap akan masuk angin jika tidur tidak memakai baju. Udara di desa dan kota jelas sangat berbeda. Dia juga seharusnya masih menyesuaikan karena ini pertama kalinya datang kesini.
Eh, tapi apa dia juga pernah kesini untuk bertemu keluarga Desi? Tidak mungkin melamar tanpa datang kesini. Berarti keluarga Desi pasti mengenali Mas Damar. Mustahil jika tidak.
“Diam aja di rumah, biar aku pergi ke pasar bareng Bibi.”
“Nggak, sayang. Aku cuman flu doang bukan sakit parah. Ada masker 'kan?”
Keningku berkerut, “Masker?”
“Iya, jangan sampe nanti Aslan ikut kena flu gara-gara aku. Sekalian nanti beli obat di apotik.”
Apa dia sengaja membuat dirinya flu agar bisa menutupi wajahnya dengan masker? Benakku penuh dengan pikiran buruk. Aku tidak suka situasi seperti ini, aku bukan orang yang suudzon tapi entah kenapa sekarang malah pikiran buruk yang mendominasi.
Kenapa ada kebetulan macam ini.
Aku mengambil masker di dalam tas dan menyerahkan padanya sebelum keluar kamar. Dia mengekoriku keluar dari kamar setelah memakai masker.
“Papi, Papi.”
Aslan begitu girang tahu papinya datang, tangannya sudah merentang ingin digendong.
“Dituntun aja ya, pinggang Papi sakit,” keluhnya.
“Untung semalem Aslan tidur di kamar Bibi.”
“Nggak gitu, Bi.” Aku menyangkal pemikiran Bibi.
“Udah lama nikah juga masih malu-malu gitu. Semangat banget ya bikin adeknya Aslan.”
Daripada hatiku semakin sakit karena Bibi bicara seperti itu seolah-olah hubunganku dan Mas Damar baik-baik saja, lebih baik pergi ke pasar membelikan kapal-kapalan untuk Aslan.
“Papi kenapa pake masker? Corona udah pergi,” celetuk Aslan.
“Papi sedang flu, biar Aslan nggak tertular.”
“Papi itu sensitif, gampang terkena virus makanya harus kuat iman eh maksudnya kuat antibodinya.” Sengaja aku menyindir tapi tidak ada raut aneh, Mas Damar malah terkekeh pelan sambil menatapku penuh arti.
Dia pasti berpikir aku masih cemburu. Padahal aku bukan cemburu lagi tapi marah besar padanya.
“Mau pergi jalan kaki apa pake motor? Pake mobil ribet soalnya, jalan ke pasar sempit.”
“Jalan kaki aja, Bi. Sekalian olahraga, lagi pula pasar 'kan nggak jauh.”
“Ya udah. Bibi juga mau ke rumah Bu RT dulu, nanti ambil kunci di sana.”
“Iya, Bi.” Aku menggandeng tangan Aslan keluar dari rumah.
Baru sampai di halaman Mas Damar kembali ke dalam dan keluar sudah menggunakan topi.
Terlihat sekali, apa karena tidak ingin ada yang mengenalinya.
“Ayo Aslan, Papi gendong.”
“Bukannya kamu sakit pinggang?”
Mas Damar berjongkok dan Aslan langsung memposisikan duduk di pundak papinya itu.
“Kalau Aslan nggak digendong aku nggak bisa pegang tangan kamu.” Dia berdiri langsung meraih sebelah tanganku, sebelah tangannya dipakai untuk menyangga tubuh Aslan.
“Kita bukan mau nyebrang.” Kutepis tangannya.
“Jangan gitu, sayang. Malu loh dilihat tetangga kamu, nanti kita digunjing gimana?”
Ini memang salah satunya yang aku tidak suka jika pulang kampung. Para tetangga kadang terlalu ikut campur, melewati batasan.
Terpaksa menerima uluran tangannya, kami akan berjalan melewati rumah Desi. Aku ingin tahu apakah dia bisa mengenali calon suaminya ini atau tidak.
“Eh, Una. Suaminya ya?” Dari teras rumahnya ibunya Desi menegur.
“Iya. Mas Damar suami aku,” jawabku singkat sambil mengulas senyum.
Mas Damar juga terlihat hanya mengangguk kecil karena senyum pun percuma karena tertutup masker.
“Kok kemarin datengnya nggak kelihatan tiba-tiba ada disini aja?”
“Datengnya subuh tadi.”
Dari dalam rumah Desi berjalan dengan langkah lebar.
“Una, ini suami kamu yang kuli itu?” Jika saja tidak ingat malu sudah ku tancapkan kuku di wajahnya yang tebal oleh foundation itu.
Kulirik Mas Damar yang diam mematung.
“Kok pake masker gitu sih? Mukanya pas-pasan ya?”
Mulutnya sekotor comberan! Ibunya yang melihat juga malah diam tidak menegur. Haish! Aku lupa jika mereka sebelas dua belas.
“Mami, ayo.” Aslan merengek.
“Bu, Des. Kami pamit dulu mau ke pasar.”
“Beliin mainan yang mahalan dikit, kasian.”
Aku tidak memperdulikan ucapannya dan melengos menarik tangan Mas Damar yang masih berdiri kaku.
“Kamu kenapa masih berdiri aja tadi? Kamu kenal sama Desi?” Kulirik dia yang masih terdiam.
“Nggak tuh, ini pertama kalinya aku lihat. Kok orangnya ngeslin banget, emang dia nggak tahu suami kamu ini siapa? Pake ngatain aku kuli lagi. Kamu nggak marah suami ganteng kamu ini dibilang kuli?”
“Beneran nggak kenal atau pura-pura nggak kenal? Sampe liatnya gitu banget.” Sengaja ku abaikan pertanyaannya yang terakhir.
“Apaan sih, sayang. Aku bener nggak kenal kok, ke tempat ini aja aku baru sekarang.”
Terserahlah. Aku capek sendiri jika terus memojokkannya karena akan sia-sia.
“Lepas.” Kuhempaskan tangannya, “Udah sepi, nggak ada tetangga aku disini.”
“Aslan, turun sayang. Jalan aja, nggak usah digendong Papi.”
“Papi, turun.”
Mas Damar berjongkok dan menurunkan Aslan. Lebih baik seperti ini, aku orangnya paling susah menahan emosi jadi daripada ribut di depan Aslan lebih baik dia jadi penengah.
“Papi, pulangnya nanti ya kalau Aslan udah masuk sekolah. Sekarang liburnya masih lama.” Aslan mulai berceloteh.
“Nggak bisa, Papi harus kerja.”
“Kerja kamu bisa dari sini kali, Mas. Meeting virtual juga bisa 'kan? Jangan cuman kerjaan yang kamu utamain, jarang-jarang loh kita liburan begini.”
Mas Damar tidak langsung menjawab, dia seperti sedang memikirkan sesuatu.
Jika aku menahannya satu bulan disini, bagaimana ya?
Desi mengatakan pernikahannya kurang lebih satu bulan lagi. Di rumahnya juga hari ini sudah mulai ada persiapan. Tapi aku belum dapat surat undangannya, ingin lihat nama yang tertulis di sana.
“Iya, Papi temani Aslan liburan disini. Tapi kalau Papi tiba-tiba ada kerjaan dan harus pulang, Aslan nggak boleh ngambek ya.”
“Iya, tapi Papi harus balik lagi.”
Apa maksudnya dengan tiba-tiba ada kerjaan dan harus pulang? Apa karena pernikahannya dan Desi?
Ah … menduga-duga seperti ini malah membuat kepalaku berdenyut.
Refleks tanganku terangkat memijat pelipis.
“Sayang, kenapa?” Mas Damar menghentikan langkahnya dan menyentuh kepalaku.
“Nggak apa-apa kok. Ayo jalan lagi, keburu siang nanti panas.”
Belum sempat kembali berjalan, ponsel Mas Damar berdering. Dia sedikit menjauh saat akan mengangkat telepon.
Semakin ingin percaya aku semakin merasa curiga.
Bersambung ….
Netraku tidak lepas memandangi Mas Damar yang terlihat serius bicara dengan orang yang menelponnya.“Mami, ayo. Papi lama ….” Aslan mulai merengek karena tidak sabar.“Sebentar ya, Papi lagi telepon.”“Nanti beli kue ya, Mi. Aslan mau makan kue bareng temen-temen.”Aku berjongkok memegang pundak kecilnya, “Aslan punya temen disini?”Dia mengangguk kecil, “Iya tapi kemarin pulang karena dipanggil Ibunya. Aslan mau beli makanan banyak biar bisa lama-lama main sama mereka.”Kuusap lembut puncak kepalanya, “Iya, nanti kita beli ya. Anak Mami memang pintar, kita memang harus belajar berbagi.”“Pintar kayak Mami,” sahutnya. Dia langsung berhambur memelukku.Berbagi makanan atau barang masih boleh tapi berbagi orang yang dicintai itu tidak akan pernah bisa dilakukan oleh siapapun. Orang bodoh mana yang mau membagi orang yang dicintainya dengan orang lain. Aku pun tidak akan mau. Saat semua mengarah pada Mas Damar, aku masih menahan diri dan ingin melihat dengan mata kepalaku sendiri jika mem
“Aku penasaran aja mukanya kayak apa. Pengen bandingin gantengan siapa sama calon suami aku.”Aku memutar bola mata malas, “nggak usah banding-bandingin, semua cowok itu ganteng di mata orang yang tepat.”“Suami mukanya pas-pasan aja pelit banget.”Kulepaskan paksa tangannya, “Udah ya, aku capek banget. Mau pulang. Nggak usah penasaran sama muka suami aku, yang ada nanti kamu jantungan lagi.”“Karena jelek ya?”“Terserah kamu lah mau mikir kayak apa juga, aku nggak peduli.”Aku tidak memperdulikan teriakannya dan terus melangkah menjauh. Datang ke kampung untuk liburan dan silaturahmi bersama keluargaku yang lain tapi malah musibah yang didapatkan. Tapi mungkin jika kau tidak datang kesini aku tidak akan ahu menahu soal Mas Damar yang kemungkinan besar selingkuh dengan Desi.Tapi kalau memang selingkuh kenapa harus Desi? Dia memiliki banyak kenalan wanita yang kulihat dari parasnya lumayan. Bukan aku mengatakan Desi tidak cantik, semua wanita cantik dan memiliki kelebihan masing-masi
“Ya ampun, Mas.”Aku meringis melihat dahinya memar.“Kamu kenapa sih?” tanya Mas Damar sambil mengelus dahinya.“Una, Una. Cepetan dong, aku buru-buru nih.” Desi berteriak dari luar sambil menggedor pintu.Dia bisa membangunkan Aslan jika membuat ribut begitu.Aku menarik Mas Damar ke kamar.Ini menyangkut harga diri, aku tidak mau ada keributan disini meskipun iya Mas Damar dan Desi selingkuh. Tapi aku tidak ingin semua itu terbongkar dan menjadi konsumsi publik, itu aib.Apalagi Desi tidak akan diam saja jika tahu Mas Damar suamiku, bisa jadi seluruh desa tahu. Bukan tidak ingin mempertemukan mereka dan meminta penjelasan langsung dari kedua belah pihak. Banyak yang harus aku pertimbangkan termasuk bukti yang harus ada di tangan.“Kamu diem disini, jangan keluar. Kunci mobil mana?”“Di saku jaket.”Aku meraih jaketnya yang tersampir di kursi dan merogoh kunci dari dalamnya.“Pokoknya jangan keluar kalau kamu nggak mau celaka.” Aku memperingatkannya sebelum menemui Desi.Mungkin jik
Bukan nomor Mas Damar, tapi tetap kusimpan nomor itu untuk dicari tahu pemilik sebenarnya.Wajar jika orang selingkuh memiliki lebih dari satu nomor ponsel tapi banyak yang terasa janggal disini.“Eh, malam bengong lagi. Ayo.” Desi sudah menenteng kantong kresek di tangannya.Kami langsung pulang lagi, aku juga tidak mau mengantar dia pergi ke tempat lain. Enak saja dia pikir aku ini supir apa.“Na, majikan suami kamu kaya banget ya. Mobilnya aja mewah gini, suaranya juga nggak berisik,” komentar Desi saat kembali masuk ke dalam mobil.“Mau mobil kayak gini?”“Nggak, aku mau beli yang lebih bagus dari ini. Dan yang jelas beli mobil yang orang kampung sini nggak punya.”Ya … ya. Terserah.Aku menurunkan Desi tepat di depan rumahnya.“Nih buat sewa mobilnya.” “Nggak usah.”“Alah, jangan malu-malu gitu kalau emang butuh.” Dia menaruh begitu saja selembar uang lima puluh ribu sebelum keluar dari mobil tanpa ucapan terima kasih. Mungkin ucapan terima kasihnya diwakilkan oleh uang.Setelah
“Kamu pikir, Anto pakai nama aku buat dapetin cewek? Ya ampun kamu udah jadi korban sinetron ya. Aku bahkan nggak kepikiran kesitu. Dia udah lama kerja jadi supir di rumah kita loh.”“Bukan aku yang jadi korban sinetron, bisa aja Anto yang jadi korban sinetron. Dia ngikutin adegan sinetron. Nggak ada yang nggak mungkin.”“Udah, jangan suudzon dulu. Nggak usah nebak-nebak, biar nanti aku cari tahu soal ini. Kemarin aku kasih dia libur selama aku disini, mungkin bakalan agak susah ditelepon karena dia bilang katanya mau balik kampung.”Aku merasa bersalah karena sudah menuduh suamiku sendiri selingkuh. Aku memang bodoh karena temakan omongan Desi yang belum tentu pasti kebenarannya. Bisa saja dia juga tidak hamil. Entahlah ….Sekarang yang terpenting aku merasa lega karena Mas Damar tidak selingkuh. Beberapa hari ini aku dibuat tidak tenang dan malam ini bisa tidur dengan nyenyak. Beban berat yang berada dipundak langsung menguap seketika.“Maaf.” Aku menatapnya penuh sesal.Saat melaku
“Aku mau lihat dong.”Lancang sekali dia mau melihat suamiku.“Udah ya, aku masuk dulu.”Langkahku terayun masuk ke dalam rumah tidak memperdulikan Desi yang terus memanggil.Buru-buru menyambar handuk dari kamar untuk diberikan pada Mas Damar. Salahku sendiri tadi karena menyeretnya ke kamar mandi tanpa membawa handuk.“Lama banget, kamu dari mana?”“Bawa belanjaan di mobil.”Mas Damar menatap curiga, “Nggak ikut ngegosip sama ibu-ibu lain 'kan?”“Kurang kerjaan banget aku ikut ngegosip.”“Ya siapa tahu kamu pengen cari hal yang baru, di kota mana ada waktu kamu buat ngegosip.”“Meskipun ada aku nggak mau, buang-buang waktu buat hal yang nggak penting kayak gitu.”Meninggalkan Mas Damar. Aku ke dapur untuk menatap belanjaan. Kemarin saja aku pergi belanja sendiri karena tidak mau Mas Damar dilihat orang.Pulang kampung ternyata tidak seindah yang ada dalam pikiranku. Setelah kesalahpahaman soal perselingkuhan sekarang malah jadi bahan gosip, salah apa aku pada mereka hingga mereka me
“Mas, jangan kayak gini dong.”“Berapa kali kamu pernah ketemu saya?”Bola mata Desi bergerak liar, “Sering. Tapi terakhir di hotel itu sekali.”“Sering maksudnya kamu yang melihat saya doang gitu 'kan? Saya juga lihat di video, kamu kayak orang minum.”Desi diam sebentar sebelum menjawab, “karena kamu bilang nggak boleh menegur kalau lagi di kantor biar nggak ketahuan. Di hotel itu kita 'kan minum sama-sama.” Dia malah mendelik padaku.Aku geleng-geleng kepala, menyeringai menatapnya. Mas Damar bukan peminum.“Dasar ular!” Dengan gerakan cepat Desi menjambak rambutku, “kamu bukan istrinya Mas Pras 'kan? Kamu sengaja lakuin ini karena iri.”“Lepas! Jangan sampai saya berbuat kasar sama kamu.” Mas Damar memperingati Desi agar melepaskan tangannya dari rambutku.“Desi, lepas!” Aku meringis saat ia semakin keras menarik rambutku, seolah tidak peduli dengan peringatan Mas Damar.Ibunya Desi bahkan hanya diam seperti mendukung apa yang anaknya itu lakukan, sedangkan orang-orang malah sibuk
Himpitan ekonomi membuatku mau tidak mau pergi ke kota, ada tawaran untuk menjadi cleaning service disana. Gengsi memang apalagi jika sampai tetanggaku tahu dengan pekerjaanku ini tapi mau bagaimana lagi, aku benar-benar butuh.Mereka taunya aku kerja di kota jadi sekretaris. Tidak peduli mereka percaya atau tidak yang penting aku tidak mau membuat diriku sendiri malu karena pekerjaan ini.Beberapa bulan bekerja disana, ada beberapa lelaki yang mendekati tapi semua kutolak karena mereka karyawan biasa yang tidak memiliki banyak uang. Aku ingin dapat lelaki yang mapan dan tampan, tidak ada yang mustahil bukan.Setidaknya seperti Pak Pras. Aku hanya bisa mengaguminya dari kejauhan, sosok tampan yang menyita perhatianku saat aku pertama kali bekerja. Tubuhnya yang tinggi dengan otot kekar, wajahnya begitu tampan dan tidak membosankan dipandang setiap saat.Sebenarnya tidak sulit bagiku untuk menggodanya. Pak Kades saja yang seharusnya mengayomi masyarakat bisa kutaklukan apalagi Pak Pras
Patah hati terparah yang pernah Bagas rasakan, padahal hanya mengetahu mantan istrinya disukai lelaki lain. Itu baru sebatas menyukai bagaimana jika Hanum benar menikah dengan Malik? Hatinya akan lebih hancur daripada ini.“Ayah kenapa?” Mentari menegur sang ayah yang diam mematung dengan kedua sorot matanya tidak lepas dari kedua orang yang masih saling berinteraksi.“Nggak papa kok. Ayo masuk.” Bagas mencoba untuk bersikap wajar meski hatinya porak-poranda.Ia menemani Mentari karena Bu Wiwik sedang tidak ada di rumah sedangkan Hanum masih sibuk di warung, Bagas memiliki banyak kesempatan untuk bersama dengan Mentari tapi tidak sebahagia sebelumnya karena saat ini melihat Hanum dan laki-laki bernama Malik itu membuat pikiran Bagas tidak karuan.“Ayah capek ya, tidur aja dulu. Nanti kalau nenek pulang aku bangunin.” Mentari begitu perhatian padahal yang membuat Bagas tampak lesu jelas bukan karena ia yang memang merasa kelelahan tapi karena faktor lain yang tidak akan dimengerti oleh
Faz mengerucutkan bibirnya kesal, “Apaan sih, Ma. Aku sama Rendi nggak ngapa-ngapain kok,” sangkalnya karena memang mereka hanya sebatas berpelukan.“Halah. Mana ada maling mau ngaku. Kalau Mama nggak dateng pasti sudah kebablasan,” cibir Bunga.“Enggak, Ma. Jangan nuduh begitu, kasihan Rendi. Orang kita cuman pelukan kok.”Rendi tesenyum kikuk, “Maaf, Tante. Saya nggak bermaksud.”“Kalian udah lama loh berduaan.” Bunga mengusir dengan halus.“Kalau begitu saya pamit, Tante.” Lelaki itu langsung peka jika dirinya saat ini sudah disuruh untuk pulang.“Pinter.”“Ma.” Faz langsung melayangkan protes, “lama dari mananya, belum seharian kok.”“Aku pulang dulu ya.” Rendi langsung pamit pada Faz dan juga Bunga.Rendi itu sangat peka apalagi tahu seperti apa watak dari calon ibu mertuanya, meski terlihat galak Bunga itu sebenarnya baik dan sudah mulai membuka pintu restu untuk Faz dan juga Rendi.“Mama main ngusir aja sih!”Bunga langsung mengambil posisi duduk di samping sang putri, “kamu be
“Nggak, Ma. Aku tetap pada pendirian aku, aku mau tinggal di kampung. Setelah menemui Faz nanti baru aku pergi, nanti aku kembali saat Faz melahirkan.”Bukan tidak ingin tanggung jawab dengan terus ada di samping Faz tapi Bagas tahu jika Faz tidak menginginkan kehadirannya karena rasa bencinya pasti begitu besar. Jadi daripada membuat Faz semakin tidak nyaman lebih baik Bagas sadar diri.“Kok kamu jadi gini sih, Gas? Kamu diancam sama Hanum?”Bagas enggan mendengar ocehan sang ibu yang selalu saja merendahkan Hanum dan menganggap Hanum itu tidak baik. Kurang apa Hanum selama ini, wanita itu begitu setia dan menerima Bagas apa adanya, menunggu restu yang tak kunjung didapat dan pada akhirnya Hanum pun mundur.“Sudah ya, Ma. Aku capek.” Bagas menutup pintu kamarnya dan langsung mengunci dari dalam, enggan untuk diganggu.Semuanya sudah hancur tak bersisa, jika masih melakukan sesuatu yang buruk apalagi berdampak pada orang lain maka Bagas tidak akan bisa tenang mungkin saja akan lebih h
“Bukan, bukan. Aku nggak pernah sama sekali berpikir kayak gitu, Faz. Aku terima kamu dan bayi kamu tapi kalau sampai harus ikut merahasiakan aku nggak bisa. Lebih baik segera kamu bicarakan sama Bagas. Aku nggak maksa, tapi menurut aku lebih baik seperti itu.”Faz akan percaya jika Rendi benar-benar mencintainya setelah mereka resmi menikah sedangkan sekarang kondisi masih tidak memungkinkan karena memang Faz masih hamil. Harus menunggu beberapa bulan lagi sampai nanti bayi itu lahir.“Kalau bisa aku menikahi kamu sekarang agar kamu percaya pasti akan aku lakukan, tapi kondisi saat ini kamu tahu sendiri seperti apa. Aku mohon percaya sama aku, aku sama sekali nggak berpikir sampai ke situ.”Faz merasa bersalah juga karena akhir-akhir ini ia memang mudah sekali tersulut emosinya dan akhirnya Rendi yang kena semprot padahal lelaki itu begitu setianya mendampingi, mendengar semua keluhan yang dirasakan oleh Faz meski memang tidak bisa mendampingi benar-benar ada di samping Faz karena la
Bagas tidak percaya saat membaca ulang pesan yang dikirimkan oleh Hanum. Ia tahu betul Hanum tidak akan mungkin meminta pisah seberat apapun masalah dalam rumah tangga mereka, bahkan saat tak kunjung mendapat restu saja ia masih bertahan bertahun-tahun. Bagas malah berpikir pasti ada yang menghasut Hanum sampai berpikir untuk berpisah, ia tidak sadar jika Hanum seperti ini karenanya yang malah mengejar Faz yang sudah jelas tidak akan mungkin bisa didapatkannya lagi.Harusnya saat Hanum menerima semuanya setelah tahu Bagas menikah lagi, lelaki itu jangan berbuat hal macam-macam yang membuat Hanum semakin tersakiti. Tapi Bagas malah melakukan hal yang sebaliknya dan sekarang kaget sendiri saat Hanum bertindak tegas."Ma, aku pergi dulu." Bagas berdiri dengan perasaan tidak karuan."Mau kemana?""Ada urusan. Pokoknya sebelum urusan aku selesai aku nggak bakalan pulang." Menyambar kunci mobil lalu berlari keluar membuat sang ibu terheran-heran.Saat mencoba menelpon Hanum, malah tidak bis
"Nggaklah, aku nggak mau. Sembarangan!""Nggak usah ngegas juga, Papa cuman becanda." Aslan bercanda tapi dengan wajah yang datar, siapapun tidak akan menyangka lelaki itu bercanda.Faz mencebik. "Bercandanya nggak lucu, Pa.""Kamu nggak bisa menikah dalam keadaan hamil, Faz. Kamu nggak tahu itu?""Tahu dong, Pa. Tapi 'kan dapet restu dari Papa sama Mama nggak gampang jadi dari sekarang aja ngomongnya karena belum tentu langsung dikasih jalan.""Ya udah."Mata Faz langsung berbinar. "Papa kasih restu?""Ya udah kamu keluar sana, Papa lagi kerja nih. Kamu sama Mama kamu sama aja ganggu Papa hobinya.""Terus kapan kasih restu, Pa? Aku pengen nikah.""Kapan-kapan aja. Kamu juga pengen nikah tetep nggak bisa sekarang, udah kalian keluar."Faz menghela nafas panjang lalu melangkah keluar dari ruangan sang ayah sedangkan Bunga masih berdiri di samping meja kerja sang suami."Mas, gimana?"Sebelah alis lelaki itu terangkat. "Gimana apanya?""Mau kasih restu? Aku nggak mau ya kalau punya mena
Jika hati dan tubuhnya bahkan sudah terbagi, apalagi yang menjadi alasan Hanum bertahan jika bukan Mentari. Berat rasanya bertahan bersama Bagas saat tahu lelaki itu sudah mencintai wanita lain yang sekarang sudah menyandang status sebagai mantan istri lelaki itu.Hanum lebih rela menemani masa sulit suaminya, daripada menemani lelaki yang sudah membagi hatinya seperti ini. Itu sangat menyakitkan.Mungkin jika kebohongan Bagas tidak diketahui oleh Faz, bisa saja Hanum yang akan ditinggalkan oleh Bagas. Sekarang Hanum tidak lagi merasa takut jika akan ditinggalkan. Ia sudah sangat lelah dengan apa yang terjadi, kesabarannya sudah dipertebal tapi malah ini yang didapatkan.Sudah satu minggu Bagas pergi, semenjak Hanum melihat foto Faz yang masih tersimpan di ponsel Bagas bahkan dijadikan tampilan layar. Lelaki itu hanya menghubungi sekedar untuk bicara pada Mentari, Hanum seolah tidak dianggap dan wanita itu pun tidak peduli lagi. Ia lelah jika terus meladeni Bagas yang sama sekali tida
POV Author“Mau kemana, Mas?”“Ada urusan.”“Urusan apa?”“Urusan penting.” Bagas menepis tangan Hanum membuat wanita itu mengernyit heran.Sikap Bagas berubah meski lelaki itu terus menepis dan mengatakan jika ia tidak berubah sama sekali tapi di sini Hanum yang merasakannya. Suaminya itu bersikap dingin bahkan jarang pulang padahal Bagas sendiri yang mengatakan jika ia tidak akan lagi bekerja di kota. Tapi lelaki itu selalu beralasan ada urusan di kota tapi tidak menjelaskan dengan detail urusan apa yang sedang dilakukannya.“Apa ini cuman perasaan aku doang ya.” Hanum menggeleng, “jangan mikir macam-macam, Hanum. Mas Bagas pasti lagi sibuk apalagi perusahaannya sekarang udah hancur.”Hanum tahu soal perusahaan keluarga suaminya yang akhirnya hancur. Ada rasa bersalah menyusup dalam dadanya karena ia yang berencana untuk memberitahu secara tidak langsung pada Faz soal siapa Hanum sebenarnya.Kalau saja Bagas tahu Hanum sengaja tidak memberitahu jika Faz akan mengikuti, sudah pasti l
“Aku cinta sama kamu.”“Bullshit! Nggak usah kamu keluarkan rayuan kamu dalam situasi ini, Mas. Aku tetep pada keputusan aku buat pisah. Aku nggak mau jadi sumber derita buat wanita lain yang nggak tahu apa-apa. Mbak Hanum pasti nggak tahu soal permainan kamu ini 'kan?”“Kita selesaikan baik-baik ya, jangan kayak gini.”“Iya, aku emang mau selesaikan ini baik-baik sama kamu. Kita pisah tapi aku nggak bakalan cabut dana yang mengalir ke perusahaan ayah kamu tapi setelah kerjasama selesai jangan harap dapat bantuan lagi kalau sampai nanti perusahaan itu kembali jatuh!”“Sayang ….”“Cukup, Mas! Kamu nggak kasihan sama istri dan anak kamu. Nggak usah kamu korbankan mereka cuman akrena harta yang nggak bakalan kamu bawa mati.”“Ini bukan soal harta tapi perasaan aku. Kamu nggak percaya?”“Nggak, aku sama sekali nggak percaya sama kamu. Kebohongan kamu sebelumnya bahkan aku masih nggak percaya kalau itu sebuah kenyataan.”Aku merasa beruntung karena belum memberikan hatiku padanya, tidak ma