Bukan nomor Mas Damar, tapi tetap kusimpan nomor itu untuk dicari tahu pemilik sebenarnya.Wajar jika orang selingkuh memiliki lebih dari satu nomor ponsel tapi banyak yang terasa janggal disini.“Eh, malam bengong lagi. Ayo.” Desi sudah menenteng kantong kresek di tangannya.Kami langsung pulang lagi, aku juga tidak mau mengantar dia pergi ke tempat lain. Enak saja dia pikir aku ini supir apa.“Na, majikan suami kamu kaya banget ya. Mobilnya aja mewah gini, suaranya juga nggak berisik,” komentar Desi saat kembali masuk ke dalam mobil.“Mau mobil kayak gini?”“Nggak, aku mau beli yang lebih bagus dari ini. Dan yang jelas beli mobil yang orang kampung sini nggak punya.”Ya … ya. Terserah.Aku menurunkan Desi tepat di depan rumahnya.“Nih buat sewa mobilnya.” “Nggak usah.”“Alah, jangan malu-malu gitu kalau emang butuh.” Dia menaruh begitu saja selembar uang lima puluh ribu sebelum keluar dari mobil tanpa ucapan terima kasih. Mungkin ucapan terima kasihnya diwakilkan oleh uang.Setelah
“Kamu pikir, Anto pakai nama aku buat dapetin cewek? Ya ampun kamu udah jadi korban sinetron ya. Aku bahkan nggak kepikiran kesitu. Dia udah lama kerja jadi supir di rumah kita loh.”“Bukan aku yang jadi korban sinetron, bisa aja Anto yang jadi korban sinetron. Dia ngikutin adegan sinetron. Nggak ada yang nggak mungkin.”“Udah, jangan suudzon dulu. Nggak usah nebak-nebak, biar nanti aku cari tahu soal ini. Kemarin aku kasih dia libur selama aku disini, mungkin bakalan agak susah ditelepon karena dia bilang katanya mau balik kampung.”Aku merasa bersalah karena sudah menuduh suamiku sendiri selingkuh. Aku memang bodoh karena temakan omongan Desi yang belum tentu pasti kebenarannya. Bisa saja dia juga tidak hamil. Entahlah ….Sekarang yang terpenting aku merasa lega karena Mas Damar tidak selingkuh. Beberapa hari ini aku dibuat tidak tenang dan malam ini bisa tidur dengan nyenyak. Beban berat yang berada dipundak langsung menguap seketika.“Maaf.” Aku menatapnya penuh sesal.Saat melaku
“Aku mau lihat dong.”Lancang sekali dia mau melihat suamiku.“Udah ya, aku masuk dulu.”Langkahku terayun masuk ke dalam rumah tidak memperdulikan Desi yang terus memanggil.Buru-buru menyambar handuk dari kamar untuk diberikan pada Mas Damar. Salahku sendiri tadi karena menyeretnya ke kamar mandi tanpa membawa handuk.“Lama banget, kamu dari mana?”“Bawa belanjaan di mobil.”Mas Damar menatap curiga, “Nggak ikut ngegosip sama ibu-ibu lain 'kan?”“Kurang kerjaan banget aku ikut ngegosip.”“Ya siapa tahu kamu pengen cari hal yang baru, di kota mana ada waktu kamu buat ngegosip.”“Meskipun ada aku nggak mau, buang-buang waktu buat hal yang nggak penting kayak gitu.”Meninggalkan Mas Damar. Aku ke dapur untuk menatap belanjaan. Kemarin saja aku pergi belanja sendiri karena tidak mau Mas Damar dilihat orang.Pulang kampung ternyata tidak seindah yang ada dalam pikiranku. Setelah kesalahpahaman soal perselingkuhan sekarang malah jadi bahan gosip, salah apa aku pada mereka hingga mereka me
“Mas, jangan kayak gini dong.”“Berapa kali kamu pernah ketemu saya?”Bola mata Desi bergerak liar, “Sering. Tapi terakhir di hotel itu sekali.”“Sering maksudnya kamu yang melihat saya doang gitu 'kan? Saya juga lihat di video, kamu kayak orang minum.”Desi diam sebentar sebelum menjawab, “karena kamu bilang nggak boleh menegur kalau lagi di kantor biar nggak ketahuan. Di hotel itu kita 'kan minum sama-sama.” Dia malah mendelik padaku.Aku geleng-geleng kepala, menyeringai menatapnya. Mas Damar bukan peminum.“Dasar ular!” Dengan gerakan cepat Desi menjambak rambutku, “kamu bukan istrinya Mas Pras 'kan? Kamu sengaja lakuin ini karena iri.”“Lepas! Jangan sampai saya berbuat kasar sama kamu.” Mas Damar memperingati Desi agar melepaskan tangannya dari rambutku.“Desi, lepas!” Aku meringis saat ia semakin keras menarik rambutku, seolah tidak peduli dengan peringatan Mas Damar.Ibunya Desi bahkan hanya diam seperti mendukung apa yang anaknya itu lakukan, sedangkan orang-orang malah sibuk
Himpitan ekonomi membuatku mau tidak mau pergi ke kota, ada tawaran untuk menjadi cleaning service disana. Gengsi memang apalagi jika sampai tetanggaku tahu dengan pekerjaanku ini tapi mau bagaimana lagi, aku benar-benar butuh.Mereka taunya aku kerja di kota jadi sekretaris. Tidak peduli mereka percaya atau tidak yang penting aku tidak mau membuat diriku sendiri malu karena pekerjaan ini.Beberapa bulan bekerja disana, ada beberapa lelaki yang mendekati tapi semua kutolak karena mereka karyawan biasa yang tidak memiliki banyak uang. Aku ingin dapat lelaki yang mapan dan tampan, tidak ada yang mustahil bukan.Setidaknya seperti Pak Pras. Aku hanya bisa mengaguminya dari kejauhan, sosok tampan yang menyita perhatianku saat aku pertama kali bekerja. Tubuhnya yang tinggi dengan otot kekar, wajahnya begitu tampan dan tidak membosankan dipandang setiap saat.Sebenarnya tidak sulit bagiku untuk menggodanya. Pak Kades saja yang seharusnya mengayomi masyarakat bisa kutaklukan apalagi Pak Pras
“Tidur, yuk. Soal Anto biar aku yang urus, aku nggak bakalan biarin dia kabur gitu aja setelah mencoreng nama baik aku.”“Aku masih nggak tenang, Mas.”“Percaya sama aku, Anto bakal dibawa kesini. Aku bayar orang ini nggak murah, mereka orang-orang bagus.”“Alah … tadi aja kamu bilang kayak gitu Anto kabur juga.”“Ya mana aku tahu, sayang.”Aku sangat kesal. Mungkin Anto baru menyadari jika kampung halamanku itu sama dengan Desi.Sepertinya dia juga kaget saat tahu. Kalau tahu dari awal sudah pasti Anto sudah kabur jauh-jauh hari. Dia benar-benar menyusahkan. Apa dia tidak pernah berpikir sebelumnya soal konsekuensi melakukan hal sebesar ini.“Udah dong jangan ngambek gitu, nanti Anto juga bakalan ketemu kok.”Tidak tidur tenang lagi aku malam ini. Kalau sampai Anto tidak ditemukan maka Desi akan terus mengusik Mas Damar dan berpikir jika Mas Damar adalah lelaki yang selama ini berhubungan dengannya. Tapi aku harus bersiap untuk itu, mengibarkan bendera perang. Tak akan kubiarkan dia
“Des, kartu kamu kebuka semua.”“Semua itu fitnah.” Desi menyangkal dengan cepat.“Mau fitnah atau fakta bukan urusan aku juga sih. Mending kamu terima kenyataan biar nggak semakin dibikin malu. Kamu bisa kayak gini karena kelakuan kamu sendiri, padahal tahu laki-laki beristri masih mau aja dijadiin boneka. Sekarang kamu dapat hasilnya, bukan enak malah sengsara.”“Puas? Kamu emang dari dulu suka banget lihat aku menderita.” Desi beralih menatap Mas Damar, “Mas dari dulu Una kayak gitu ke aku.” Dia mencoba mencari pembelaan.Mas Damar tidak memperdulikan dan memilih masuk ke dalam kamar untuk mengambil kunci mobil.“Nggak usah cari simpati, Des. Kalau kamu terus bersikap kayak gini nggak bakalan ada orang yang peduli. Terima aja, nanti kalau Anto udah ditemukan Mas Damar bakalan desak Anto buat nikahin kamu.”“Nggak usah ceramahain aku! Enak aja aku mau dinikahkan sama Anto, nggak sudi ya. Mending aku nggak nikah-nikah.”“Apa kamu juga bukan hamil anak Anto?” Pertanyaan itu keluar beg
“Lancang kamu ya! Nggak tahu diri! Masih untung Mas Damar bantuin kamu cariin si Anto!” berangku. Habis sudah kesabaran ini karenanya.“Berbagi dikit kali, Na!” Dengan mudahnya dia mengatakan itu seolah-olah suamiku itu barang.Aku menyambar bantal sofa dan melayangkan tepat ke wajah Desi. Untung hanya bantal, kalau kalap bisa saja asbak di meja melayang menghantam kepalanya. Untung saja aku masih bisa berpikir jernih dan tidak mengotori tanganku dengan melakukan kekerasan seperti itu.“Cukup, Desi! Saya coba bantu kamu sebisa saya. Sebenarnya saya bisa aja nggak peduli tapi saya masih punya hati dan rasa kemanusiaan. Jadi terima aja, nanti saat Anto datang kamu akan langsung dia nikahi.”“Mas, ak-”Ucapan Desi terpotong kala tangan bapaknya itu melayang menyentuh pipinya. Tubuh Desi bahkan sampai sedikit terhuyung saking kerasnya tamparan itu. Baru kali ini aku melihat Bapaknya Desi marah, sepertinya kemarahannya sudah melewati batas. Apalagi mengingat banyak sekali masalah yang dibu
Patah hati terparah yang pernah Bagas rasakan, padahal hanya mengetahu mantan istrinya disukai lelaki lain. Itu baru sebatas menyukai bagaimana jika Hanum benar menikah dengan Malik? Hatinya akan lebih hancur daripada ini.“Ayah kenapa?” Mentari menegur sang ayah yang diam mematung dengan kedua sorot matanya tidak lepas dari kedua orang yang masih saling berinteraksi.“Nggak papa kok. Ayo masuk.” Bagas mencoba untuk bersikap wajar meski hatinya porak-poranda.Ia menemani Mentari karena Bu Wiwik sedang tidak ada di rumah sedangkan Hanum masih sibuk di warung, Bagas memiliki banyak kesempatan untuk bersama dengan Mentari tapi tidak sebahagia sebelumnya karena saat ini melihat Hanum dan laki-laki bernama Malik itu membuat pikiran Bagas tidak karuan.“Ayah capek ya, tidur aja dulu. Nanti kalau nenek pulang aku bangunin.” Mentari begitu perhatian padahal yang membuat Bagas tampak lesu jelas bukan karena ia yang memang merasa kelelahan tapi karena faktor lain yang tidak akan dimengerti oleh
Faz mengerucutkan bibirnya kesal, “Apaan sih, Ma. Aku sama Rendi nggak ngapa-ngapain kok,” sangkalnya karena memang mereka hanya sebatas berpelukan.“Halah. Mana ada maling mau ngaku. Kalau Mama nggak dateng pasti sudah kebablasan,” cibir Bunga.“Enggak, Ma. Jangan nuduh begitu, kasihan Rendi. Orang kita cuman pelukan kok.”Rendi tesenyum kikuk, “Maaf, Tante. Saya nggak bermaksud.”“Kalian udah lama loh berduaan.” Bunga mengusir dengan halus.“Kalau begitu saya pamit, Tante.” Lelaki itu langsung peka jika dirinya saat ini sudah disuruh untuk pulang.“Pinter.”“Ma.” Faz langsung melayangkan protes, “lama dari mananya, belum seharian kok.”“Aku pulang dulu ya.” Rendi langsung pamit pada Faz dan juga Bunga.Rendi itu sangat peka apalagi tahu seperti apa watak dari calon ibu mertuanya, meski terlihat galak Bunga itu sebenarnya baik dan sudah mulai membuka pintu restu untuk Faz dan juga Rendi.“Mama main ngusir aja sih!”Bunga langsung mengambil posisi duduk di samping sang putri, “kamu be
“Nggak, Ma. Aku tetap pada pendirian aku, aku mau tinggal di kampung. Setelah menemui Faz nanti baru aku pergi, nanti aku kembali saat Faz melahirkan.”Bukan tidak ingin tanggung jawab dengan terus ada di samping Faz tapi Bagas tahu jika Faz tidak menginginkan kehadirannya karena rasa bencinya pasti begitu besar. Jadi daripada membuat Faz semakin tidak nyaman lebih baik Bagas sadar diri.“Kok kamu jadi gini sih, Gas? Kamu diancam sama Hanum?”Bagas enggan mendengar ocehan sang ibu yang selalu saja merendahkan Hanum dan menganggap Hanum itu tidak baik. Kurang apa Hanum selama ini, wanita itu begitu setia dan menerima Bagas apa adanya, menunggu restu yang tak kunjung didapat dan pada akhirnya Hanum pun mundur.“Sudah ya, Ma. Aku capek.” Bagas menutup pintu kamarnya dan langsung mengunci dari dalam, enggan untuk diganggu.Semuanya sudah hancur tak bersisa, jika masih melakukan sesuatu yang buruk apalagi berdampak pada orang lain maka Bagas tidak akan bisa tenang mungkin saja akan lebih h
“Bukan, bukan. Aku nggak pernah sama sekali berpikir kayak gitu, Faz. Aku terima kamu dan bayi kamu tapi kalau sampai harus ikut merahasiakan aku nggak bisa. Lebih baik segera kamu bicarakan sama Bagas. Aku nggak maksa, tapi menurut aku lebih baik seperti itu.”Faz akan percaya jika Rendi benar-benar mencintainya setelah mereka resmi menikah sedangkan sekarang kondisi masih tidak memungkinkan karena memang Faz masih hamil. Harus menunggu beberapa bulan lagi sampai nanti bayi itu lahir.“Kalau bisa aku menikahi kamu sekarang agar kamu percaya pasti akan aku lakukan, tapi kondisi saat ini kamu tahu sendiri seperti apa. Aku mohon percaya sama aku, aku sama sekali nggak berpikir sampai ke situ.”Faz merasa bersalah juga karena akhir-akhir ini ia memang mudah sekali tersulut emosinya dan akhirnya Rendi yang kena semprot padahal lelaki itu begitu setianya mendampingi, mendengar semua keluhan yang dirasakan oleh Faz meski memang tidak bisa mendampingi benar-benar ada di samping Faz karena la
Bagas tidak percaya saat membaca ulang pesan yang dikirimkan oleh Hanum. Ia tahu betul Hanum tidak akan mungkin meminta pisah seberat apapun masalah dalam rumah tangga mereka, bahkan saat tak kunjung mendapat restu saja ia masih bertahan bertahun-tahun. Bagas malah berpikir pasti ada yang menghasut Hanum sampai berpikir untuk berpisah, ia tidak sadar jika Hanum seperti ini karenanya yang malah mengejar Faz yang sudah jelas tidak akan mungkin bisa didapatkannya lagi.Harusnya saat Hanum menerima semuanya setelah tahu Bagas menikah lagi, lelaki itu jangan berbuat hal macam-macam yang membuat Hanum semakin tersakiti. Tapi Bagas malah melakukan hal yang sebaliknya dan sekarang kaget sendiri saat Hanum bertindak tegas."Ma, aku pergi dulu." Bagas berdiri dengan perasaan tidak karuan."Mau kemana?""Ada urusan. Pokoknya sebelum urusan aku selesai aku nggak bakalan pulang." Menyambar kunci mobil lalu berlari keluar membuat sang ibu terheran-heran.Saat mencoba menelpon Hanum, malah tidak bis
"Nggaklah, aku nggak mau. Sembarangan!""Nggak usah ngegas juga, Papa cuman becanda." Aslan bercanda tapi dengan wajah yang datar, siapapun tidak akan menyangka lelaki itu bercanda.Faz mencebik. "Bercandanya nggak lucu, Pa.""Kamu nggak bisa menikah dalam keadaan hamil, Faz. Kamu nggak tahu itu?""Tahu dong, Pa. Tapi 'kan dapet restu dari Papa sama Mama nggak gampang jadi dari sekarang aja ngomongnya karena belum tentu langsung dikasih jalan.""Ya udah."Mata Faz langsung berbinar. "Papa kasih restu?""Ya udah kamu keluar sana, Papa lagi kerja nih. Kamu sama Mama kamu sama aja ganggu Papa hobinya.""Terus kapan kasih restu, Pa? Aku pengen nikah.""Kapan-kapan aja. Kamu juga pengen nikah tetep nggak bisa sekarang, udah kalian keluar."Faz menghela nafas panjang lalu melangkah keluar dari ruangan sang ayah sedangkan Bunga masih berdiri di samping meja kerja sang suami."Mas, gimana?"Sebelah alis lelaki itu terangkat. "Gimana apanya?""Mau kasih restu? Aku nggak mau ya kalau punya mena
Jika hati dan tubuhnya bahkan sudah terbagi, apalagi yang menjadi alasan Hanum bertahan jika bukan Mentari. Berat rasanya bertahan bersama Bagas saat tahu lelaki itu sudah mencintai wanita lain yang sekarang sudah menyandang status sebagai mantan istri lelaki itu.Hanum lebih rela menemani masa sulit suaminya, daripada menemani lelaki yang sudah membagi hatinya seperti ini. Itu sangat menyakitkan.Mungkin jika kebohongan Bagas tidak diketahui oleh Faz, bisa saja Hanum yang akan ditinggalkan oleh Bagas. Sekarang Hanum tidak lagi merasa takut jika akan ditinggalkan. Ia sudah sangat lelah dengan apa yang terjadi, kesabarannya sudah dipertebal tapi malah ini yang didapatkan.Sudah satu minggu Bagas pergi, semenjak Hanum melihat foto Faz yang masih tersimpan di ponsel Bagas bahkan dijadikan tampilan layar. Lelaki itu hanya menghubungi sekedar untuk bicara pada Mentari, Hanum seolah tidak dianggap dan wanita itu pun tidak peduli lagi. Ia lelah jika terus meladeni Bagas yang sama sekali tida
POV Author“Mau kemana, Mas?”“Ada urusan.”“Urusan apa?”“Urusan penting.” Bagas menepis tangan Hanum membuat wanita itu mengernyit heran.Sikap Bagas berubah meski lelaki itu terus menepis dan mengatakan jika ia tidak berubah sama sekali tapi di sini Hanum yang merasakannya. Suaminya itu bersikap dingin bahkan jarang pulang padahal Bagas sendiri yang mengatakan jika ia tidak akan lagi bekerja di kota. Tapi lelaki itu selalu beralasan ada urusan di kota tapi tidak menjelaskan dengan detail urusan apa yang sedang dilakukannya.“Apa ini cuman perasaan aku doang ya.” Hanum menggeleng, “jangan mikir macam-macam, Hanum. Mas Bagas pasti lagi sibuk apalagi perusahaannya sekarang udah hancur.”Hanum tahu soal perusahaan keluarga suaminya yang akhirnya hancur. Ada rasa bersalah menyusup dalam dadanya karena ia yang berencana untuk memberitahu secara tidak langsung pada Faz soal siapa Hanum sebenarnya.Kalau saja Bagas tahu Hanum sengaja tidak memberitahu jika Faz akan mengikuti, sudah pasti l
“Aku cinta sama kamu.”“Bullshit! Nggak usah kamu keluarkan rayuan kamu dalam situasi ini, Mas. Aku tetep pada keputusan aku buat pisah. Aku nggak mau jadi sumber derita buat wanita lain yang nggak tahu apa-apa. Mbak Hanum pasti nggak tahu soal permainan kamu ini 'kan?”“Kita selesaikan baik-baik ya, jangan kayak gini.”“Iya, aku emang mau selesaikan ini baik-baik sama kamu. Kita pisah tapi aku nggak bakalan cabut dana yang mengalir ke perusahaan ayah kamu tapi setelah kerjasama selesai jangan harap dapat bantuan lagi kalau sampai nanti perusahaan itu kembali jatuh!”“Sayang ….”“Cukup, Mas! Kamu nggak kasihan sama istri dan anak kamu. Nggak usah kamu korbankan mereka cuman akrena harta yang nggak bakalan kamu bawa mati.”“Ini bukan soal harta tapi perasaan aku. Kamu nggak percaya?”“Nggak, aku sama sekali nggak percaya sama kamu. Kebohongan kamu sebelumnya bahkan aku masih nggak percaya kalau itu sebuah kenyataan.”Aku merasa beruntung karena belum memberikan hatiku padanya, tidak ma