“Aku tahu, kamu mau sama Ikbal hanya karena uangnya. Coba kalau Ikbal melarat, belum tentu kamu mau jadi istrinya. Wanita seperti kamu sudah terbaca niatnya. Dasar janda mata duitan! Kalau nggak gatel, nggak makan!”“Astagfirullah, Mbak. Sejak kemarin aku diam, karena menghormati Mbak sebagai kakak ipar. Tapi kali ini Mbak udah kelewatan.”“Adik ipar seperti apa yang bisa membentak saudara dari pasangannya?” Kemudian dia melempar sebagian uang ke mukaku, hingga berhamburan di atas lantai.Prok! Prok! Prok!Dia bertepuk tangan. “Bagus sekali caramu menggoda adikku. Pura-pura jadi wanita sok suci, terus pelan-pelan kamu poroti uangnya. Iya?” Mbak Anis melotot menatapku.“Bisa bersikap lebih sopan di tempat orang? Meskipun tamu harus dimuliakan, tapi bukan salah penghuni rumah kalau mengusir tamu yang kurang ajar!” Aku berjongkok memunguti uang yang berserakan itu, membuat Mbak Anis tersenyum sinis dan membuang muka. Kudorong sedikit bahunya, lalu balik melempar lembaran uang itu ke tubu
Aku menggeleng.“Kalau Mbak Anis?”“Sedikit.” Mas Ikbal tertawa sambil menggelengkan kepala, sementara aku hanya tersenyum melihatnya. Dia melepas peci, lalu memakaikannya ke atas kepalaku. Sedikit menunduk, pria itu memperhatikan wajah ini. “Ya ampun, Ai. Ini yang membuat aku tergila-gila sama kamu. Kamu bahkan mengingatkan aku untuk berbakti pada Mama. Padahal, sikap Mama kurang adil sama kamu.” Dia menjawil ujung hidungku.“Seburuk apa pun orang tua, mereka tetap orang tua kita, Mas. Nggak akan ada kita, kalau nggak ada mereka. Karena itu, kita wajib berbakti sama mereka. Meskipun sering kali terjadi perbedaan pendapat antara kita dan mereka, tapi tetap saja ... tali silaturahmi antara anak dan orang tua jangan sampai putus. Mengapa? Karena kita juga calon orang tua. Eh, maksudnya kamu, karena aku emang sudah jadi orang tua saat ini.”“Aku, kan ayahnya Zaka. Kamu lupa? Jadi, kita sama-sama orang tua. Menurut kamu, bagaimana kalau para orang tua yang memutus hubungan dengan anaknya
Kemudian terdengar suara Zaka menangis. “Hahaha, bagus! Tapi tidak semudah itu. Akan datang orang ke kamarmu. Dia akan memberikan surat perjanjian. Tanda tangani surat itu, baru saya akan mengembalikan anakmu.”“Cepat kirim orang itu ke sini,” ucapku lemah, sampai telepon itu lepas begitu saja dari genggaman. Tubuhku kembali merosot dari dinding. Aku menahan tangis, meringkuk, memeluk diriku sendiri. Ya Allah, mengapa dunia sekejam ini?***Zaka tertidur pulas di pangkuanku. Lega sekali, sekarang dia sudah ada bersamaku. Tidak terbayang kalau sampai terjadi sesuatu padanya, aku pasti akan menjadi orang yang paling merasa bersalah. Aku menunduk, memperhatikan wajahnya, lalu mendekatkan wajah untuk mencium kepala Zaka. Di surat itu, aku diminta menjauhi Mas Ikbal secara perlahan. Jangan sampai dia tahu kalau aku melakukan ini karena paksaan. Karena jika sampai ketahuan, Mas Ikbal pasti akan membenci keluarganya dan akibatnya bisa fatal. Katanya, mereka akan terus mengincar nyawa Zaka.M
Niat Aida untuk membuat Ikbal membenci sia-sia jadinya. Pria itu bahkan membuatnya tersipu pagi ini. Niat awal supaya Ikbal benci, malah berbanding terbalik. Mereka malah melewati romantisme pagi hari karena sikap manis yang Ikbal ciptakan. Aida membereskan kamar dengan perasaan tidak menentu. Jika bayangan Papa Mertua tidak melintas di pelupuk mata, mungkin Aida menikmati hal manis yang suaminya lakukan. Sayang, baru seperkian detik, Aida langsung mendorong dada Ikbal yang membuat pria itu kebingungan.***HP Aida bergetar, saat dia hendak keluar kamar. Panggilan dari nomor yang tidak dikenal. “Assalamu’alaikum. Ya, halo?”“Wa’alaikumsalam. Ini bener sama Aida?”“Iya, saya sendiri.”“Maaf mengganggu. Saya menemukan nomor Mbak di dalam tas Zaka. Saat ini anak Mbak nangis di tengah jalan.”Kemudian terdengar suara anak kecil menangis pilu sekali. “Ya ampun, sekarang di mana anak saya?”“Masih nangis. Cari ibunya, Mbak.”“Lokasi di mana ini?”“Masih di sekitaran sekolah Zaka.”“Oke, sa
“Bunda!” teriak Zaka, saat pulang dari sekolah.“Halo, Sayang.” Aku merentangkan kedua tangan, dan buah hatiku menghambur dalam pelukan. “Gimana sekolahnya?” tanyaku sambil mengusap pelan pucuk kepalanya, setelah melerai pelukan.“Zaka udah ada temen, Bun, Namanya Riki.”“Em, nama yang bagus. Orangnya gimana?” Kini kami jalan beriringan bergandengan tangan menuju taman di mana Faaz sudah menunggu.“Baik, Bun.”“Alhamdulillah.”“Bun, kita mau ke mana?” tanyanya bingung, karena aku mengajak Zaka ke taman.“Kita temui temen Bunda dulu, ya!”“Oke.”Dengan riang, Zaka bercerita soal teman-teman, guru, dan apa saja yang ada di sekolahnya. Aku mendengarkannya dengan antusias, dan sesekali bertanya. Hingga sampailah kami di taman tempat Faaz sudah menunggu. Entah apa jadinya, kalau tidak ada pria itu saat kejadian tadi. Aku sungguh berhutang budi padanya.“Assalamu’alaikum,” sapaku, karena Faaz sedang asyik dengan HP.“Oh, hai!” sahutnya spontan, dan langsung menyimpan HP. “Wah, ini, ya, jago
“Mbak, kenapa masuk?”“Kamu salah kiblatnya.”“Kiblat?”Aku mengangguk, dan menjelaskan semuanya. Akhirnya dia mengerti. “Niatkan dalam hati kamu untuk salat. Kamu orang baik, Faaz. Kebaikan kamu akan semakin sempurna, jika dilengkapi dengan salat. Jangan takut salah, kamu lagi belajar. Yang penting, niatnya dulu. Nanti aku bimbing soal yang lainnya. Kamu udah lihat gerakan-gerakan salat di gambar itu?”“Sudah, Mbak.”“Kamu paham?”“Paham, tapi aku belum bisa bacaannya.”“Nggak apa-apa. Pokonya utamakan niat. Sudah terlalu lama kamu meninggalkan Tuhan, kini saatnya kembali ke jalan-Nya, Faaz.”Pria itu menatapku, entah apa yang ada di pikirannya. Aku mengalihkan pandangan, karena cukup tidak nyaman ditatap lama-lama. “Aku tunggu di luar, Zaka sendirian.” Aku berbalik, dan melangkah keluar.Sampai di mobil, aku terus berpikir. Apa yang terjadi dalam keluarganya, sampai anak itu tidak bisa salat? Apa orang tuanya tidak pernah mengajarkan tentang pendidikan agama Islam?***Aku menyiapk
Dret! Dret! Dret!HP bergetar, saat Aida sedang sibuk merapikan kamar. Tertera nomor tidak dikenal di layarnya. Dia langsung menggeser tombol hijau, setelah memeriksa. Siapa tahu ini penting, batinnya berkata.“Halo. Saya sedang bersama anak Anda yang bernama Zaka. Kalau mau anak ini selamat, saya minta tebusan.”“Astagfirullah. Jangan macam-macam kamu! Kembalikan anak saya!” teriaknya ketakutan, lalu terdengar orang di seberang sana terkekeh. “Kenapa? Kenapa kamu tertawa?”“Ya ampun! Suara seksi gini, kok, dilupain, sih, Mbak?”“Ini siapa? Bukannya kamu culik anak saya?”“Hahaha. Mbak, aku Faaz!”Aida yang sejak tadi berdiri dengan tubuh menegang, kini duduk sambil memegangi dada. Hampir saja dia jantungan mendengar semua ini. Faaz terus berteriak memanggil namanya, sementara Aida masih terduduk lemas. “Maaf, Mbak. Aku bercanda. Tuh, kan aku dah bilang, Mbak jangan mudah percaya sama telepon begituan.” Aku masih diam.Faaz berteriak, “Mbak, Mbak! Masih di sana, kan? Sepadaaa!”“Iya
“Gimana menurut kamu?” tanya Ikbal pada Aida, saat mereka melihat-lihat apartemen.“Bagus juga, Mas.”“Kalau menurut Jagoan Om ini, gimana?” tanya Ikbal menunduk, menatap Zaka yang ada di gandengannya.“Ini rumah siapa, Om?”“Rumah kita.”“Wah, bagus. Apa Bunda sama Zaka boleh tinggal di sini juga?”Aida dan Ikbal sama-sama tersenyum. “Boleh, dong, tapi ada saratnya.”“Apa Om?”“Zaka harus panggil Om, Papa.”“Sebentar, ya, Om. Zaka tanya Bunda dulu.” Zaka segera mendekati bundanya, dan meminta wanita itu untuk berjongkok. Aida menurut. Dia berjongkok, dan mendengarkan apa yang ingin dikatakan oleh buah hatinya.“Bunda, boleh nggak panggil Om Ikbal Papa?”“Boleh,” balas Aida berbisik di telinga anaknya.“Siap, Bunda.”Anak itu kembali mendekati Ikbal. “Gimana?” tanya Ikbal pura-pura tidak tahu.“Boleh, Papa.”“Hore!” Ikbal menggendong tubuh kecil Zaka, dan mencium pipi anak itu gemas. “Jadi, panggil apa?”“Papa.” Ikbal tertawa senang.Malam itu, mereka cukup lama melihat-lihat dan b