"Kalau nyeri memangnya mau diapakan sayang?" Harumi menggeleng dengan tanganku mulai berani meraba selakangannya yang lembab. Oh Tuhan ini adalah cairan surga yang bisa membuat setiap pria dimabuk kepayang. Tanganku dengan nakal mengusap pantatnya yang sintal dengan menatap Harumi dari bawah. Jujur, aku tidak tahu harus dari mana menikmati dirinya yang memiliki banyak titik menggiurkan untuk kusantap dengan lahap. Bahkan segala yang ada dalam diri Harumi saat ini mengandung magnet yang membuatku senantiasa tertarik untuk mendekat padanya. "Jaaayyy..." Dia menggeliat sempurna dengan aku memberi rangsangan baru. Akhirnya aku berdiri dengan melepas kaos dihadapannya. Meletakkan kedua tangannya di dadaku. "Kulitmu sangat eksotis Jay." "Kulitmu seputih salju sayang." Balasku. Aku mendekap pinggangnya lalu menyentuhkan juniorku yang telah menegang sempurna di perut ratanya. "Aku ingin berdansa denganmu malam ini." Aku membawa Harumi dalam pelukan sembari memberi usapan dan kecupa
Namaku Jaka tapi kini aku sudah tidak perjaka lagi. Semalam aku telah menyerahkan kesucianku sebagai seorang laki-laki pada kekasihku yang kutahu sudah tidak perawan lagi. Harumi pernah mengalami kekerasan seksual sebelum bertemu denganku. Sekarang, yang membayangi benakku bukan pergulatan panas kami semalam di tengah hujan salju, melainkan tangis Harumi yang seakan membawanya kembali ke masa lalu. Masa dimana ia dirayu kemudian ditiduri hingga puas lalu ditinggalkan mantan kekasihnya. Jika mantannya melakukan itu demi nafsu semata, berbeda denganku yang benar-benar ingin menjadikan Harumi sebagai rumahku, bukan pelarianku. Hanya saja, masih ada Minaki. "Mikir apa Jay?" Tanya Matsushima setelah aku menyelesaikan jadwal manggungku malam ini. Aku melepaskan asap rokok itu bersamaan dengan helaan nafas. "Aku memikirkan Harumi." "Kalian bertengkar?" Aku menggeleng. "Aku takut dia menganggapku mengkhianatinya. Sebenarnya aku ingin menjelaskan profesi baruku tapi aku tidak yakin i
"Kekasih? Yang mana?" Tanyaku gugup. Fukuda terkekeh. "Yang sempat kamu cium di atas panggung lah Jay. Apa kekasihmu terlalu banyak sampai lupa mana yang pernah kamu cium?" Mereka berdua terkekeh geli sedang Minaki tersenyum tipis. "Jayka seorang DJ, wajarlah jika kekasihnya banyak. Bahkan sekarang pun aku mau dijadikan kekasihnya yang kesekian." Astaga, mengapa Minaki mengundang kedua teman sialannya kemari? Dan juga mengapa dia mempertemukan kami? "Jayka, jika kamu single aku bersedia menjadi pacarmu." Hitarashi mencubit pinggang Fukuda yang kelewat centil itu. Pandanganku kembali menatap Minaki yang malah sibuk membereskan bahan bahan kue. Ekspresinya sedikit sendu, mengapa? "Aku rasa kalian salah orang. Aku tidak berciuman dengan siapapun di panggung. Mungkin itu DJ Redy yang kalian maksud." Fukuda nampak berpikir. "Itu kamu Jayka, aku tidak mungkin lupa " "Maaf aku tidak memiliki kekasih. Larangan seorang DJ yang bekerja di Yokoha Club adalah tidak boleh memiliki kekas
Aku masih melumat bibirnya hingga tanpa sadar telah membuat Minaki menangis. Dia pasti terkejut dan merasa dilecehkan karena tanpa seizinnya aku melakukan perbuatan yang tidak sepantasnya. "Minaki?" Aku meraih tubuhnya ke dalam dekapanku. Rasa bersalah itu kemudian menyeruak. Bagaimana bisa aku sampai lupa diri? Padahal Minaki adalah klienku, bukan pelampiasan nafsu dan egoku. "Maaf Minaki, maaf." Aku mengusap dan mencium pucuk kepalanya. Minaki masih menangis tergugu dengan menggigit jarinya sendiri. Tapi aku terus menenangkan dan mengusap halus punggungnya. Aku khawatir tangisnya terdengar pelayan atau kedua orang tuanya. Ini berbahaya dan bisa menjadi akhir bagiku untuk mendapatkan ribuan yen lagi dari keluarga Minaki. Setelah tangis itu berhasil kuredakan dengan kalimat maaf berkali-kali dan bujuk rayu, akhirnya Minaki luluh dengan mata sembab. Semoga saja esok hari ia tidak mengatakan hal ini pada orang tuanya. "Aku pernah bilang jika profesi seorang DJ sangat dekat deng
Aku menyingkirkan tangan Minaki perlahan dari dadaku ketika jarum jam baru saja menunjukkan pukul 11 malam. Yah, aku memutuskan tidak menginap setelah Minaki terlelap. Aku tidak mau Tuan Tatsuo kembali marah padaku karena menginap di kamar putrinya, karena bagaimanapun aku ini hanya seorang surrogate sexual partner, bukan suami Minaki. Hubungan kami terjalin sebatas karena profesionalisme, tidak lebih. Kesedihan karena mengetahui ciumanku bersama Harumi cukup membuatnya menjaga jarak denganku, dengan alasan tidak mau melukai hati sesamanya. Dan entah mengapa melihat ia kembali terpuruk dan menjauh membuatku tidak tega. Aku bingung dengan hatiku sendiri. Sopir keluarga Tatsuo mengantarku hingga asrama di tengah guyuran salju yang belum mereda di malam ini. Tidak lupa paper bag yang Minaki berikan padaku tadi. Ternyata isinya sebuah sepatu boot hitam rendah keluaran terbaru untuk manggung di Yokoha Club. *** Selesai bekerja dari pabrik, aku menghubungi Harumi melalui sambungan
"Jayka, tadi pagi kamu pulang jam berapa?" Tanya Minaki di ujung telfon ketika aku baru pulang dari traktiran makan malam Yamada. "Oh.... Aku.... Pulang jam 4 pagi." Bohongku. "Kenapa aku tidak tahu ya?" Aku terkekeh. "Kamu terlalu pulas sampai tidak menyadari pergerakanku." Minaki terkekeh. "Kamu bergerak sangat halus, sampai aku tidak menyadarinya. Seperti tupai." Apa maksud Minaki berkata demikian? Apa dia masih mencurigaiku? Menyindirku? Menyamakanku seperti tupai yang pandai melompat kesana kemari. Kecil namun bisa bergerak sangat lincah dari satu pohon ke pohon yang lain. Analogi itu tidak salah, karena aku memang demikian. Mencari pohon terbaik yang bisa memberiku banyak keuntungan untuk kubawa kembali ke sarang. "A...apa yang kamu maksud Minaki?" Minaki masih terkekeh. "Aku terbangun pukul 4.15 sedang kamu pulang pukul 4 pagi. Jaraknya hanya 15 menit Jayka." Andai Minaki tahu jika aku pulang hampir tengah malam. Hanya saja aku tidak mau membuat Minaki sedih dan
Guguran salju sangat lebat sekali. Kebetulan ini puncaknya musim dingin di Jepang. Walhasil jalanan tertutup salju tebal, hingga transportasi umum mengalami penundaan jam kedatangan dan keberangkatan. Aku tidak mungkin menerjang salju yang lebat menuju halte di depan pabrik, toh disana juga tidak ada bis yang beroperasi. Lebih baik mengeratkan jaket, bercengkerama dengan teman teman sambil menunggu salju selesai berguguran. Baru saja aku duduk di kursi panjang depan pintu keluar karyawan pabrik, ponselku berdering dari Minaki. "Aku terjebak salju di pabrik. Maaf, aku pasti terlambat." Ucapku dengan suara bergetar karena dingin. "Aku tahu Jay, aku hanya mau memberi tahu jika sopirku sedang menunggumu di depan pabrik. Dia akan mengantarmu kemari." Aku melongok menatap pelataran luar pabrik, ada mobil sedan kuning yang belakangan ini sering kunaiki telah terparkir disana. "Kesanalah Jayka, aku sudah menyiapkan pakaian ganti untukmu di dalam mobil." Aku makin terkejut dengan uc
Ciuman yang awalnya hanya berupa kecupan kecupan ringan sembari merasakan rasa mentega yang menempel di bibir kami pun kini berubah menjadi lumatan lumatan panas. Minaki hingga melenguh nikmat karena terbuai ciumanku. Tangannya mencengkeram kaos depanku untuk dibawa mendekat pada tubuhnya, seakan aku tidak boleh pergi dari hadapannya. Sedang aku yang ikut terbuai pun mendekap pinggangnya untuk lebih dekat dengan tubuhku. Matanya memejam menikmati ciuman yang mulai liar dengan kami saling bertukar saliva dan membelitkan lidah satu sama lain. "Ehem, nona." Merasa ada yang memanggil Minaki, kami langsung menjauh satu sama lain. Minaki langsung melepas cengkeraman tangannya di kaosku, dan aku yang langsung berdiri mengusap sudut bibir yang terasa basah. "A...ada apa?" "Saya mau pamit pulang dulu." Minaki mengangguk gugup dengan aku memalingkan muka malu hingga pintu dapur ditutup kembali. Minaki terkekeh kemudian dengan aku menghela nafas lega. Semua ini benar benar memaluk
POV MINAKI Satu Tahun Kemudian … Jayka benar-benar menunjukkan keseriusannya padaku selama satu tahun kami menjalani pernikahan kedua ini. Semua terasa indah dan melenakan karena sesungguuhnya hati ini masih lah miliknya meski sedalam apapun kesalahan yang Jayka perbuat. Sungguh cinta sebodoh ini. Hari-hari penuh cinta selalu Jayka tawarkan padaku. Perlakuannya di ranjang juga tidak kalah hebatnya hingga aku diam-diam selalu menginginkannya. Maklum, usia kami masih tergolong pasangan muda. Meski kakiku memiliki keterbatasan, namun aku tidak menjadikan itu sebagai penghalang untuk memuaskannya juga. Aku ingin kami sama-sama menikmati dan bahagia. Satu bulan kemudian setelah pernikahan kami, Jayka membawaku ke Spanyol untuk melakukan pengobatan. Ditemani Mayka, pengasuh, dan manajer Jayka. Kaki yang terkena polio membuatku tidak bisa berdiri dan itu menyebabkan tulang punggungku tertekan dan terasa nyeri. Akhirnya dokter melakukan beberapa tindakan dan aku diwajibkan menjalani ter
POV MINAKI "Aku tidak hamil, Jay," selaku cepat kemudian menunduk. Menatap kedua tanganku yang ia genggam erat. Kemudian Jayka menghela nafas panjang dan menggunakan tangan kanannya untuk menaikkan daguku. Lalu memberiku satu ciuman di bibir. Meski hanya sekilas namun cukup membuatku panas dingin. "Setelah dari Spanyol, kita akan berusaha memberi Mayka adik. Tidak ada protes." Lalu ia kembali mencium bibirku sedikit lebih lama hingga dering ponselnya meminta perhatian. Dengan kedua tangan, aku mendorong dada Jayka agar menyudahi ciuman ini lalu menerima panggilan itu. Panggilan yang berasal dari manajernya. "Halo? Ada apa?" "Semua sudah beres." Jayka tersenyum lalu jemari kirinya mengusap sudut bibirku. "Terima kasih, manajer." Kemudian Jayka menekan tombol merah pada layar ponselnya lalu menghubungi seseorang kembali. Kali ini siapa yang ia hubungi? "Halo, Michiya. Apa kabar?" "Baik, Jay." "Terima kasih sudah mau menerima panggilanku. Sekali lagi, aku minta maaf untuk
POV MINAKI Kepulangan Dina ke Indonesia membuatku kehilangan adik sekaligus sahabat terbaik. Meski kami masih saling bertukar kabar melalui pesan singkat, namun aku berharap esok hari dia mau ikut calon besanku kembali menuju Jepang untuk menghadiri upacara pernikahanku dengan Jayka. Masih di lokasi yang sama di Kuil Aoshima, rencana pernikahanku dengan Jayka agar digelar. Segala sesuatunya telah diurus oleh manajer Jayka dan dipastikan kuil tidak akan dibuka untuk umum selama pernikahan kami berlangsung. Tidak banyak yang kami undang mengingat banyaknya pro dan kontra yang terjadi di luar sana. Fans Jayka terutama, ada yang mendukung tapi tidak sedikit yang menghujat hubungan kami dengan melontarkan komentar negatif. Tapi Jayka selalu berkata 'jangan diambil pusing'. Agar tidak membuatku merasa tertekan dan tidak nyaman. Bahkan ia sengaja tidak mengatakan kapan upacara pernikahan kami akan digelar agar tidak ada paparazi yang menguntit. Cukup menyewa fotografer profesional dan me
POV MINAKISepeninggal Sagawa dari villa keluargaku di Ebino, aku mengajak Dina kembali ke Miyazaki. Aku menyarankan dia agar tidur di rumah kedua orang tuaku beberapa hari ke depan untuk membuat hatinya tenang.Dan betapa terkejutnya Jayka ketika melihat Dina telah berada di rumahku esok harinya, karena Jayka fikir Dina sedang menemani Sagawa di Ebino. Untuk masalah patah hati itu, aku sengaja menyembunyikannya dari Jayka. Biarlah Dina sendiri yang mengatakan pada kakaknya itu. Khawatir jika ada kata-kataku yang tidak sesuai dengan apa yang Dina rasakan. "Mas, pesanin aku tiket pulang ke Indonesia," ucap Dina pada Jayka.Wajah sendu dan tidak bersemangat menunjukkan betapa sedih suasana hatinya. Padahal tadi aku sudah mengatakan padanya agar tidak menunjukkan betapa hancur hatinya agar Jayka tidak bertanya-tanya. Jayka yang sedang menyuapi Mayka, akhirnya menoleh ke arah adiknya itu. "Kenapa? Tiga minggu lagi aku dan Minaki mau nikah, Din. Ibu Bapak juga bakal kesini. Kok kamu mal
POV MINAKI "Aku dan Sagawa ... kami sudah ... " "Sudah apa, Dina?" tanyaku semakin penasaran hingga tidak terasa aku meremas tangannya sangat erat. "Kami ... pernah seranjang bersama, Minaki San." *** Usai Dina mengakui hubungannya dengan Sagawa sudah sejauh itu, kepalaku teramat pusing sekali. Aku hanya khawatir Dina hamil dan keluarga Sagawa tidak mau mengakuinya. Berulang kali aku melihat jam di dinding dengan hati kesal karena Sagawa belum kembali juga padahal senja sudah tiada. Dan aku sudah menghabiskan dua cangkir kopi hitam sembari menunggunya. "Kamu kemana, Sagawa?!" geramku dengan jemari mengetuk-ngetuk sandaran tangan di kursi roda. Sengaja, aku menyuruh Dina istirahat agar dia tidak terlihat seperti mayat hidup. Aku paham sekali bagaimana terpukul dirinya menyadari jika mimpi indahnya bersama Sagawa telah usai. Dia harus bangun dan menyadari bahwa Sagawa haruslah kembali ke Tokyo seperti kemauan ibunya. Soal mahkotanya yang telah diambil Sagawa, bukankah mere
POV MINAKI Terpaan angin pantai itu membuat pakaian dan rambutku berkibar-kibar namun kedua mataku tidak lepas menatap Mayka dan Jayka yang sedang bermain pasir dan hewan-hewan kecil di pesisir pantai. "Aku meulis harapan, semoga tidak lagi hidup dengan Jayka." "Minaki!" seru Kak Yamada dengan suara tidak terima. Kedua matanya menatapku dengan sorot emosi lalu aku memberikan senyum terbaik. "Aku belum selesai berucap, Kak." "Ingat Mayka jika kamu menolak Jayka. Anakmu itu akan menjadi korban. Dia akan merasa kosong karena kehilangan sosok ayah dalam dirinya!" "Aku menulis harapan semoga tidak lagi hidup dengan Jayka, bila sekali lagi dia menyelingkuhiku." Kak Yamada menghela nafas panjang lalu berbalik menatap Jayka dan Mayka yang masih bersenang-senang disana. "Jayka sudah berjanji padaku bahkan dia sudah mengganti beberapa aset kekayaannya atas namamu. Demi meyakinkanku dan Papa untuk diberi izin kembali meminangmu." "Benarkah?" *** Pagi-pagi sekali aku teringat dengan ag
POV MINAKI "Jay, sudahlah. Temui saja pendetanya. Aku menunggu disini saja." Usai mengatakan itu, tanganku perlahan menurunkan tangan Jayka dari lipatan belakang lutut kakiku yang tadi sudah bersiap mengangkat tubuhku ke dalam gendongannya. Kedua mata tajam Jayka menyorotku dengan tatapan sedikit tidak suka namun aku memilih memalingkan wajah. Masalahnya, keseriusannya masih tidak terbaca oleh kata hatiku hingga rasanya perasaan ini masih saja meragu. "Aku mengajakmu ke Kuil Aoshima untuk mendengarkan dari pendeta sendiri kapan tanggal terbaik untuk kita menikah. Apa pesan yang akan pendeta katakan untuk pernikahan kedua kita nantinya, Minaki. Agar keraguan yang ada di hatimu juga hilang." Aku menggigit bibir dengan perasaan bingung tak karuan karena ucapan Jayka. "Sekarang, ayo kita masuk. Kamu mau 'kan?" Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba saja ada suara bisik-bisik dan derap langkah kaki yang tidak biasa di belakangku. Begitu tatapan Jayka mengarah ke belakangku dengan se
POV MINAKI Terowongan berbentuk hati warna merah yang membentang indah dengan beragam gantungan kayu bertuliskan nama para nama pasangan yang ingin hubungannya diberkahi sepanjang pernikahan ketika akan menuju Kuil Aoshima seakan menambah kesan tak kira di dalam hati. Ketika Jayka mendorong kursi rodaku perlahan-lahan, aku segera memejamkan kedua mata lalu membayangkan wajahnya dan Mayka sembari memohon pada para dewa agar hubungan kami dilanggengkan. Kalaupun kami menemui rintangan dalam rumah tangga, semoga baik aku dan Jayka sama-sama diberi kekuatan untuk melewatinya. Juga, semoga tidak ada perselingkuhan diantara kami. Dan aku kuat menghadapi ujian apapun ke depannya setelah Jayka kembali mengambil sumpahnya menjadikanku satu-satunya istri. "Sudah," bisik Jayka ketika aku merasakan kursi rodaku berhenti didorong. Begitu membuka mata, benar saja jika aku sudah usai melewati terowongan berbentuk hati itu. Lalu Jayka kembali mendorong kursi rodaku menuju Chozuya, sebuah batu b
POV MINAKI Niat Jayka untuk menikahiku lagi mendapat beragam tanggapan dari para fans dan netizen. Ada yang memuji kerendahan hatinya karena mau meminang perempuan tidak sempurna sepertiku. Bahkan ada yang menganggap aku menggunakan ancaman untuk membuat Jayka bertekuk lutut. Hasilnya, aku sendiri yang merasa sakit hati karena membaca beragam komentar dan pemberitaan tentang kami. Dan jalan satu-satunya adalah tidak memegang ponsel sama sekali untuk sementara waktu. Kini, aku sudah bersiap dengan pakaian musim semi dan make up natural yang menghiasi wajah. Begitu juga dengan Mayka, sudah terlihat manis dengan pakaian barunya yang dibelikan Jayka hampir satu koper banyaknya. “Kenapa aku begitu cemas, Kak?” tanyaku pada Kak Yamada. “Wajar.” Rencananya hari ini, kami akan pergi ke Kuil Shinto yang ada di Aoshima. Itu adalah Kuil Shinto kuno di pulau kecil yang rimbun dengan patung Dewa Buddha yang indah. Aku masih belum tahu mengapa Jayka memilih kuil itu sebagai tempat pernikahan