Sesuai janjiku tempo hari pada Harumi, akan mengajaknya liburan menikmati musim dingin ke Prefektur Saga. Sebuah prefektur yang tidak jauh dari Prefektur Miyazaki. Prefektur Saga terkenal dengan resort mata air panas tradisionalnya yang bernama Oreshino Onsen, serta pemandangan kota yang tenang. Selain itu aku juga berencana mengajak Harumi menikmati Kepiting Katsuzukuri yang terkenal lezat. Rencananya disana, kami akan mengunjungi Mifuneyama Rakuen atau taman bunga, Taman Bersejarah Yoshinogari, dan Kastil Karatsu. Sepertinya menghabiskan dua hari satu malam disana bukanlah hal buruk. Setelah gajiku menjadi DJ telah keluar dua hari yang lalu, secara surprise aku mengajak Harumi ke Prefektur Saga tanpa banyak persiapan. Konon, semakin direncanakan semakin banyak gagalnya. Masih setengah mengantuk, aku menjemput Harumi di asramanya pukul 4 pagi. Karena kami harus sampai di Terminal Kiyotake sebelum pukul 05.26, lalu mengendarai bis tujuan Stasiun Shin-Yatsushiro kemudian menaiki K
"Jayka!" Aku tetap berjalan keluar Taman Bersejarah Yoshinogari tanpa memperdulikan panggilan Harumi. "Jayka! Aku mencintaimu!" Akhirnya kakiku berhenti melangkah lalu merasakan pelukan dari belakang di tengah hembusan angin musim dingin. "Please don't be angry." Kalimat ini aku tahu apa artinya. Dari pada berbicara Bahasa Inggris lebih baik aku diajak berbicara dengan Bahasa Jepang. Aku melepas rangkulannya lalu menarik tangannya menuju stasiun Yoshinogari-Koen agar ia tidak kembali berbicara dengan bule sialan itu. Sepanjang perjalanan menuju hotel kami yang berada Mifuneyama menggunakan kereta, aku tidak berbicara apapun pada Harumi. Sesampainya di hotel pun, aku langsung bergelung dengan selimut karena terlalu lelah. Dan Harumi, entahlah. Mungkin dia sedang bahagia meladeni pesan teman bulenya yang baru. *** Hubungan kami tidak kunjung membaik bahkan saat kami menikmati Kagamiike, danau yang berada di Mifuneyama saat malam hari. Padahal air danau, pohon pohon dan bunga
Lelah. Aku baru sampai asrama pukul 9 malam setelah menempuh perjalanan darat romantis dari Prefektur Saga menuju Prefektur Miyazaki. Bersama kekasih tercintaku, Harumi. Dia memberi 'kehangatan' layaknya sudah menjadi istriku, walau kenyataannya kami hanyalah masih sepasang kekasih. "Jak, tuh rotimu." Ucap Rinto ketika aku baru berbaring di futon. Aku langsung terduduk mendengar ucapannya. Seakan baru tersadar dan kembali dari tidur panjangku. "Roti?" Rinto memberi kecupan di jari jempol dan telunjuknya. "Lezat dan sedap. Aku juga mau Jak dibawain lagi." Aku baru ingat jika Minaki membuatkan roti kesukaanku seperti yang dijual di toko roti Caniel le Pain. "Eh ngomong-ngomong, kasihan ya temanmu itu, pakai kursi roda. Tapi masih untung lah anak orang kaya, manis lagi." Aku menoleh ke arah Rinto. "Dia tuh murah senyum Jak. Ramah. Yang bikin aku terenyuh tuh dia tetap optimis dengan usahanya menjadi seorang pastry meski memiliki keterbatasan. Jarang jarang ada cewek kayak gi
Pertengkaranku dengan Minaki membuat tidurku tidak nyenyak semalam. Bagaimana tidak, ia menolak kehadiranku mentah-mentah padahal biasanya ia sambut dengan senyum bahagia. Roti buatannya kusimpan dalam kulkas karena tidak tega memakannya setelah kebodohan yang kulakukan. Melukai hatinya terlalu dalam padahal ia belum memiliki hati sekuat seharusnya karena masih belajar menghadapi kenyataan. Akhirnya selama di pabrik, aku sering menguap. Bahkan hampir terjatuh karena tersandung. Baru saja merebahkan diri di atas futon, masih lengkap dengan seragam kerja, ponselku berdering nyaring. Sedikit mengumpat karena ada saja yang menggangu waktu tidurku padahal sebentar lagi harus ke Yokoha Club. "Halo, apa Din?" Tanyaku serak. "Mas Jaka keterlaluan!! Apa yang mas lakuin sampe Mbak Minaki bilang nggak bisa jadi sahabat penaku lagi?" Teriak Dina. Aku perlahan tersadar lalu menghela nafas. "Astaga." "Dia bilang nggak bisa lagi jadi sahabat penaku karena dia khawatir mengganggu mas! Mas ng
Kata orang, hidup itu butuh uang. Dengan uang orang bisa mendapatkan apapun yang mereka inginkan. Tanpa uang, bagaimana nasibku di Jepang? Tanpa uang bagaimana nasib keluargaku di Indonesia? Dan tanpa uang bagaimana masa depanku kelak? Jika tanpa uang aku tidak bisa hidup, artinya tanpa Minaki aku masih bisa bertahan hidup. Sesederhana itulah pemikiranku. Tanpa mempedulikan teriakan Fukuda yang memanggilku sembari menghubungi Minaki dengan sambungan video call, aku berjalan menuju Matsushima untuk menemui Tuan Takahashi. Ia lebih penting dari pada sekedar urusan minta maaf pada Minaki. Toh selama ini aku bertahan hidup karena bekerja sebagai DJ di club ini. Bukan karena sokongan uang dari Minaki. Fukuda menahan tanganku agar tidak menemui Tuan Takahashi, tapi aku menepisnya. "Maaf aku sedang sibuk." Fukuda sedikit menggerutu tapi aku acuh. Karena kontrak kerjaku disini jauh lebih penting. "Selamat malam Tuan Takahashi." Ucapku sembari menunduk memberi salam. "Duduklah J
Kachirei Foods Inc. Ko Tanocho, Prefektur Miyazaki 889-1701, Jepang. Itu adalah nama pabrik makanan instan tempatku dan para teman teman TKI yang lain mendulang Yen setiap hari. Hari ini pabrik merayakan ulang tahunnya yang ke-20. Kami mendapat bingkisan berupa makanan instan buatan pabrik. Lumayan, untuk stok di asrama dan bisa menghemat biaya belanja ke supermarket. Setelah menerima bingkisan, iseng iseng aku membuka tutupnya sambil menunggu bis di halte depan pabrik. Ada Toyo Suisan Gotsumori Shioyaki Soba, Toyo Suisan Maruchan Gotsumori Kitsune Udon, Donbei Kakiage Soba, Amano Food Soup Miso, dan Nomshing Shin Ramyun. Isi bingkisan yang sangat lezat. Kemudian ponselku berdering nyaring. Nyonya Tatsuo sedang memanggil. Betapa gugupnya aku melihat siapa yang menghubungi. Aku khawatir Minaki menceritakan semuanya dan hubungan kami sebagai surrogate partner akan berakhir. Padahal aku masih membutuhkan dia sebagai mesin ATM-ku. Tapi, bukankah lebih baik mendengarkan dulu apa
"Kekasih? Sejak kapan Minaki memiliki kekasih?" Aku tersenyum kikuk. "Kami sudah lama bersama." "Kalau kalian sudah lama bersama mengapa kamu membiarkan Minaki datang kemari dengan wajah sedih? Menangis semalaman! Kamu lelaki tidak tahu diri!" Hardiknya. "Bu...bukan begitu nyonya. Kami hanya salah paham." "Salah paham sampai Minaki lari dari rumah?! Ibunya sampai kebingungan dengan kepergiannya dan ternyata kamulah biangnya!" Tunjuknya tepat dimukaku. "Saya bisa jelaskan." Perdebatan kami terjadi di depan pintu rumahnya. Aku khawatir tetangga mendengarnya. "Kenapa kamu diam saja! Ini yang kamu bilang kekasih? Aku yakin kamu mau mengencani Minaki karena menginginkan hartanya!" Bukan! Aku tidak mengencani Minaki tapi aku ini surrogate partner-nya. Lelaki yang dibayar untuk memberinya sentuhan hangat dari lawan jenis dan memberinya nasehat untuk berani menatap masa depan. "Jayka?" Aku menoleh ketika namaku disebut. Minaki diatas kursi rodanya dengan didorong seorang gadis s
Malam itu, setelah rayuan panjang yang kulontarkan pada paman dan bibi Minaki, akhirnya mereka menginjinkanku membawa Minaki kembali ke Miyazaki. Itu pun setelah Nyonya Tatsuo mengatakan pada mereka melalui sambungan telepon jika aku adalah seseorang yang 'spesial' untuk Minaki. Minaki pun demikian, setelah menerima roti panggang Shamakurayama pemberianku, senyum dan suasana hatinya berubah lebih baik. Juga beberapa kata bujuk rayu manis yang begitu lancar terlontar dari mulutku membuatnya setuju untuk segera pulang. Akhirnya, aku bisa bernafas lega. "Bilang pada bibi jika Jayka membuatmu sedih lagi. Akan aku masukkan dia ke dalam pagoda agar dipenjara para dewa disana." Aku menunduk diam sedang Minaki terkekeh. "Aku akan ingat pesan bibi." "Jangan macam macam lagi pada Minaki, atau aku akan membuat kamu tidak akan bisa menemuinya lagi untuk sekedar minta maaf. Ingat itu Jayka." Ucapnya sungguh sungguh dengan raut wajah sangar, serta alis mata setinggi gunung Himalaya. "I...i
POV MINAKI Satu Tahun Kemudian … Jayka benar-benar menunjukkan keseriusannya padaku selama satu tahun kami menjalani pernikahan kedua ini. Semua terasa indah dan melenakan karena sesungguuhnya hati ini masih lah miliknya meski sedalam apapun kesalahan yang Jayka perbuat. Sungguh cinta sebodoh ini. Hari-hari penuh cinta selalu Jayka tawarkan padaku. Perlakuannya di ranjang juga tidak kalah hebatnya hingga aku diam-diam selalu menginginkannya. Maklum, usia kami masih tergolong pasangan muda. Meski kakiku memiliki keterbatasan, namun aku tidak menjadikan itu sebagai penghalang untuk memuaskannya juga. Aku ingin kami sama-sama menikmati dan bahagia. Satu bulan kemudian setelah pernikahan kami, Jayka membawaku ke Spanyol untuk melakukan pengobatan. Ditemani Mayka, pengasuh, dan manajer Jayka. Kaki yang terkena polio membuatku tidak bisa berdiri dan itu menyebabkan tulang punggungku tertekan dan terasa nyeri. Akhirnya dokter melakukan beberapa tindakan dan aku diwajibkan menjalani ter
POV MINAKI "Aku tidak hamil, Jay," selaku cepat kemudian menunduk. Menatap kedua tanganku yang ia genggam erat. Kemudian Jayka menghela nafas panjang dan menggunakan tangan kanannya untuk menaikkan daguku. Lalu memberiku satu ciuman di bibir. Meski hanya sekilas namun cukup membuatku panas dingin. "Setelah dari Spanyol, kita akan berusaha memberi Mayka adik. Tidak ada protes." Lalu ia kembali mencium bibirku sedikit lebih lama hingga dering ponselnya meminta perhatian. Dengan kedua tangan, aku mendorong dada Jayka agar menyudahi ciuman ini lalu menerima panggilan itu. Panggilan yang berasal dari manajernya. "Halo? Ada apa?" "Semua sudah beres." Jayka tersenyum lalu jemari kirinya mengusap sudut bibirku. "Terima kasih, manajer." Kemudian Jayka menekan tombol merah pada layar ponselnya lalu menghubungi seseorang kembali. Kali ini siapa yang ia hubungi? "Halo, Michiya. Apa kabar?" "Baik, Jay." "Terima kasih sudah mau menerima panggilanku. Sekali lagi, aku minta maaf untuk
POV MINAKI Kepulangan Dina ke Indonesia membuatku kehilangan adik sekaligus sahabat terbaik. Meski kami masih saling bertukar kabar melalui pesan singkat, namun aku berharap esok hari dia mau ikut calon besanku kembali menuju Jepang untuk menghadiri upacara pernikahanku dengan Jayka. Masih di lokasi yang sama di Kuil Aoshima, rencana pernikahanku dengan Jayka agar digelar. Segala sesuatunya telah diurus oleh manajer Jayka dan dipastikan kuil tidak akan dibuka untuk umum selama pernikahan kami berlangsung. Tidak banyak yang kami undang mengingat banyaknya pro dan kontra yang terjadi di luar sana. Fans Jayka terutama, ada yang mendukung tapi tidak sedikit yang menghujat hubungan kami dengan melontarkan komentar negatif. Tapi Jayka selalu berkata 'jangan diambil pusing'. Agar tidak membuatku merasa tertekan dan tidak nyaman. Bahkan ia sengaja tidak mengatakan kapan upacara pernikahan kami akan digelar agar tidak ada paparazi yang menguntit. Cukup menyewa fotografer profesional dan me
POV MINAKISepeninggal Sagawa dari villa keluargaku di Ebino, aku mengajak Dina kembali ke Miyazaki. Aku menyarankan dia agar tidur di rumah kedua orang tuaku beberapa hari ke depan untuk membuat hatinya tenang.Dan betapa terkejutnya Jayka ketika melihat Dina telah berada di rumahku esok harinya, karena Jayka fikir Dina sedang menemani Sagawa di Ebino. Untuk masalah patah hati itu, aku sengaja menyembunyikannya dari Jayka. Biarlah Dina sendiri yang mengatakan pada kakaknya itu. Khawatir jika ada kata-kataku yang tidak sesuai dengan apa yang Dina rasakan. "Mas, pesanin aku tiket pulang ke Indonesia," ucap Dina pada Jayka.Wajah sendu dan tidak bersemangat menunjukkan betapa sedih suasana hatinya. Padahal tadi aku sudah mengatakan padanya agar tidak menunjukkan betapa hancur hatinya agar Jayka tidak bertanya-tanya. Jayka yang sedang menyuapi Mayka, akhirnya menoleh ke arah adiknya itu. "Kenapa? Tiga minggu lagi aku dan Minaki mau nikah, Din. Ibu Bapak juga bakal kesini. Kok kamu mal
POV MINAKI "Aku dan Sagawa ... kami sudah ... " "Sudah apa, Dina?" tanyaku semakin penasaran hingga tidak terasa aku meremas tangannya sangat erat. "Kami ... pernah seranjang bersama, Minaki San." *** Usai Dina mengakui hubungannya dengan Sagawa sudah sejauh itu, kepalaku teramat pusing sekali. Aku hanya khawatir Dina hamil dan keluarga Sagawa tidak mau mengakuinya. Berulang kali aku melihat jam di dinding dengan hati kesal karena Sagawa belum kembali juga padahal senja sudah tiada. Dan aku sudah menghabiskan dua cangkir kopi hitam sembari menunggunya. "Kamu kemana, Sagawa?!" geramku dengan jemari mengetuk-ngetuk sandaran tangan di kursi roda. Sengaja, aku menyuruh Dina istirahat agar dia tidak terlihat seperti mayat hidup. Aku paham sekali bagaimana terpukul dirinya menyadari jika mimpi indahnya bersama Sagawa telah usai. Dia harus bangun dan menyadari bahwa Sagawa haruslah kembali ke Tokyo seperti kemauan ibunya. Soal mahkotanya yang telah diambil Sagawa, bukankah mere
POV MINAKI Terpaan angin pantai itu membuat pakaian dan rambutku berkibar-kibar namun kedua mataku tidak lepas menatap Mayka dan Jayka yang sedang bermain pasir dan hewan-hewan kecil di pesisir pantai. "Aku meulis harapan, semoga tidak lagi hidup dengan Jayka." "Minaki!" seru Kak Yamada dengan suara tidak terima. Kedua matanya menatapku dengan sorot emosi lalu aku memberikan senyum terbaik. "Aku belum selesai berucap, Kak." "Ingat Mayka jika kamu menolak Jayka. Anakmu itu akan menjadi korban. Dia akan merasa kosong karena kehilangan sosok ayah dalam dirinya!" "Aku menulis harapan semoga tidak lagi hidup dengan Jayka, bila sekali lagi dia menyelingkuhiku." Kak Yamada menghela nafas panjang lalu berbalik menatap Jayka dan Mayka yang masih bersenang-senang disana. "Jayka sudah berjanji padaku bahkan dia sudah mengganti beberapa aset kekayaannya atas namamu. Demi meyakinkanku dan Papa untuk diberi izin kembali meminangmu." "Benarkah?" *** Pagi-pagi sekali aku teringat dengan ag
POV MINAKI "Jay, sudahlah. Temui saja pendetanya. Aku menunggu disini saja." Usai mengatakan itu, tanganku perlahan menurunkan tangan Jayka dari lipatan belakang lutut kakiku yang tadi sudah bersiap mengangkat tubuhku ke dalam gendongannya. Kedua mata tajam Jayka menyorotku dengan tatapan sedikit tidak suka namun aku memilih memalingkan wajah. Masalahnya, keseriusannya masih tidak terbaca oleh kata hatiku hingga rasanya perasaan ini masih saja meragu. "Aku mengajakmu ke Kuil Aoshima untuk mendengarkan dari pendeta sendiri kapan tanggal terbaik untuk kita menikah. Apa pesan yang akan pendeta katakan untuk pernikahan kedua kita nantinya, Minaki. Agar keraguan yang ada di hatimu juga hilang." Aku menggigit bibir dengan perasaan bingung tak karuan karena ucapan Jayka. "Sekarang, ayo kita masuk. Kamu mau 'kan?" Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba saja ada suara bisik-bisik dan derap langkah kaki yang tidak biasa di belakangku. Begitu tatapan Jayka mengarah ke belakangku dengan se
POV MINAKI Terowongan berbentuk hati warna merah yang membentang indah dengan beragam gantungan kayu bertuliskan nama para nama pasangan yang ingin hubungannya diberkahi sepanjang pernikahan ketika akan menuju Kuil Aoshima seakan menambah kesan tak kira di dalam hati. Ketika Jayka mendorong kursi rodaku perlahan-lahan, aku segera memejamkan kedua mata lalu membayangkan wajahnya dan Mayka sembari memohon pada para dewa agar hubungan kami dilanggengkan. Kalaupun kami menemui rintangan dalam rumah tangga, semoga baik aku dan Jayka sama-sama diberi kekuatan untuk melewatinya. Juga, semoga tidak ada perselingkuhan diantara kami. Dan aku kuat menghadapi ujian apapun ke depannya setelah Jayka kembali mengambil sumpahnya menjadikanku satu-satunya istri. "Sudah," bisik Jayka ketika aku merasakan kursi rodaku berhenti didorong. Begitu membuka mata, benar saja jika aku sudah usai melewati terowongan berbentuk hati itu. Lalu Jayka kembali mendorong kursi rodaku menuju Chozuya, sebuah batu b
POV MINAKI Niat Jayka untuk menikahiku lagi mendapat beragam tanggapan dari para fans dan netizen. Ada yang memuji kerendahan hatinya karena mau meminang perempuan tidak sempurna sepertiku. Bahkan ada yang menganggap aku menggunakan ancaman untuk membuat Jayka bertekuk lutut. Hasilnya, aku sendiri yang merasa sakit hati karena membaca beragam komentar dan pemberitaan tentang kami. Dan jalan satu-satunya adalah tidak memegang ponsel sama sekali untuk sementara waktu. Kini, aku sudah bersiap dengan pakaian musim semi dan make up natural yang menghiasi wajah. Begitu juga dengan Mayka, sudah terlihat manis dengan pakaian barunya yang dibelikan Jayka hampir satu koper banyaknya. “Kenapa aku begitu cemas, Kak?” tanyaku pada Kak Yamada. “Wajar.” Rencananya hari ini, kami akan pergi ke Kuil Shinto yang ada di Aoshima. Itu adalah Kuil Shinto kuno di pulau kecil yang rimbun dengan patung Dewa Buddha yang indah. Aku masih belum tahu mengapa Jayka memilih kuil itu sebagai tempat pernikahan