"Siapa yang berani mengganggu Anda, Tuan? Anda berpikir terlalu berlebihan. Saya hanya bersikap waspada.""Benarkah?" Netra kelam Karel awas memindai raut muka Nyonya Harioth."Ya. Apakah Anda ingin makan siang di rumah, Tuan? Saya akan segera menyiapkannya," tukas Nyonya Harioth, mengalihkan topik pembicaraan.Karel dapat merasakan ada sesuatu yang sengaja ditutupi oleh sang ART, tapi dia pura-pura percaya saja pada Nyonya Harioth. Dia akan menyelidiki sendiri nanti."Hem!" Karel menaruh gelas kosong di atas meja. Berniat untuk naik ke kamarnya. "Oh ya, Nyonya ... aku tak melihat Nyonya Nilam dan Almira. Ke mana mereka?""Ah, saya lupa memberitahu Anda, Tuan. Maaf! Sir Collin telah menjemput mereka dua hari yang lalu."Karel terdiam. Cepat juga Sir Collin bertindak. Jika dia membawa Nyonya Nilam dan Almira pulang, lalu bagaimana dengan Brianna?"Ada apa, Tuan?""Oh, tidak ada apa-apa," elak Karel, tersentak dari lamunannya tentang wanita yang selama ini mendampingi Sir Collin. "Siapk
"Apa semua sayuran di desa ini bernasib sama dengan lahan kita?""Kalau petani lain juga mengalami hal yang sama, aku tidak akan pernah berpikir ada seseorang yang sengaja menyabotase hasil panen kita.""Hem! Kalau begitu kenyataannya, bisa dipastikan, kejadian ini memang disengaja." Karel melempar pandang ke tepian lahan.Awan hitam menggantung di bentang cakrawala, seakan ikut bersedih atas nasib buruk yang menimpa lahan pertanian Agro Sanum.Andai langit ikut menangis, sungguh hal itu akan memperparah keadaan. Setiap rumpun sayur yang sedang sekarat akan lebih cepat membusuk."Kau selesaikan saja apa yang menjadi tanggung jawabmu," kata Karel, mengusir Aiden secara halus. "Aku akan berkeliling melihat keadaan sekitar.""Apa tidak sebaiknya kutemani saja?" tawar Aiden."Tidak usah. Saat ini kita tidak tahu siapa kawan, siapa lawan. Bisa jadi salah satu dari pekerja di sini yang seharusnya bertanggung jawab terhadap kejadian ini. Amati mereka dengan teliti, tapi jangan terlalu kentar
"Masuk!"Lantang suara Aiden mempersilakan sang pengetuk pintu untuk memasuki ruangannya.Seorang pria berusia empat puluhan membungkuk hormat begitu tegak di seberang meja Aiden."Maaf, Tuan. Berg memperpanjang cutinya," lapor lelaki itu, tak berani menatap langsung pada manik mata Aiden.Karel yang mendengar dari tempat duduknya menggosok dagu dengan jari telunjuk. Saat tatapannya bersirobok dengan lirikan Aiden, ia hanya mengerjap dengan gerakan lambat. Senyum misterius berkelebat sekilas pada netra kelamnya."Kenapa tidak ada yang melapor padaku?" cecar Aiden, terlihat kecewa."Maaf, Tuan. Kami tidak ingin mengganggu konsentrasi Anda yang sedang menyelidiki kasus rusaknya tanaman produksi kita."Sekali lagi Aiden spontan melirik pada Karel. Karel mengangguk."Baiklah. Kau boleh pergi!" ujar Aiden, mengusir karyawannya dari ruangan itu."Permisi, Tuan!" Lelaki itu membungkuk, lalu hengkang dengan langkah tergesa-gesa.Karel bangkit dan kembali duduk berhadapan dengan Aiden."Kau ha—
"Bukan urusanmu!" Karel melewati Lewis dengan ekspresi acuh tak acuh."Berengsek!" Lewis murka dan spontan melayangkan bogem mentah pada Karel.Grep!Karel mencekal pergelangan tangan Lewis. Netra kelamnya menatap tajam dengan aura dingin yang mengintimidasi."Hanya karena aku diam dan kau terus melatih kemampuanmu, bukan berarti kau bisa seenaknya menindasku!" tegas Karel, memperkuat cekalan tangannya, membuat Lewis meringis."Sampai kapan pun, aku bukan tandinganmu!" imbuh Karel, dengan wajah yang berjarak kurang dari sejengkal dari muka bengis Lewis.Fiuh!Karel mengembus kening Lewis seraya membanting tangan lelaki itu.Enggan memperpanjang masalah yang hanya akan menghambat urusannya, Karel bergegas balik badan.Bugh!Tendangan Karel menghantam kaki Lewis ketika lelaki itu menyergapnya lantaran kesal dipandang remeh.Lewis melotot."Berhenti menggangguku atau aku tak akan lagi bermurah hati mengasihani selembar nyawa busukmu itu!" ancam Karel.Karel berlalu, tak lagi memedulikan
Karel mematung. Merasa serba salah melihat mendung yang menggantung di wajah Xela.Xela melangkah perlahan. "Katakan! Semua itu bohong, kan? Kamu ... cuma malu untuk mengakuinya. Iya, kan?"Suara Xela bergetar. Matanya berkaca-kaca, menahan bulir hangat yang ingin tumpah."Terserah Anda mau percaya atau tidak, Nona. Aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Sekaligus, aku ingin pamit. Maaf, kalau selama ini kinerjaku kurang memuaskan Anda. Permisi!"Karel tak mau repot-repot menunggu Xela mencerna kalimat perpisahan darinya. Tak pula tertarik untuk mengamati reaksi gadis itu. Ia melenggang pergi tanpa menoleh ke belakang."Aunty, apa maksud Deon bicara begitu?" tanya Xela, tak mengerti. Otak cerdasnya mendadak lemot dalam mencerna kata-kata Deon."Aku baru saja memecatnya!" umum Tuan De Groot dari puncak tangga."Apa?! Kenapa Ayah memecatnya? Aku nyaman dengan Deon, Ayah!""Xela, dia tidak bertanggung jawab!" sentak Tuan De Groot, berjalan menuruni tangga. "Apa kau tidak sadar? Sebulan di
"Mana? Tidak ada siapa-siapa di sini. Anda mungkin salah lihat, Nona!" keluh Nyonya Beth, merasakan nyeri pada pergelangan tangannya lantaran Xela nekad menyeret paksa dirinya untuk menyeberang jalan."Tadi ada kok, Aunty." Xela berputar-putar ke segala arah, mencari sosok yang ia yakini sebagai Karel, sang mantan suami.Lelah tak menemukan sosok yang sangat dirindukannya selama bertahun-tahun, Xela berjongkok, memeluk lutut."Kenapa aku harus selalu kehilangan orang kusayangi, Aunty? Kenapa?" lirih Xela, terdampar di ambang rasa putus asa."Mungkin tadi Anda hanya salah lihat, Nona. Mari kita pulang!" Nyonya Beth menarik lengan atas Xela untuk membantunya berdiri. "Kalau memang Anda masih berjodoh dengan Tuan Karel, suatu saat Tuhan pasti akan mempertemukan kalian. Sekarang kita pulang dulu ya, Nona! Anda butuh istirahat."Nyonya Beth merasa prihatin dengan Xela, kala wanita itu mencoba melupakan Karel dan membuka hati untuk pria lain, Tuan De Groot justru memisahkan Xela dari Deon.
Karel menoleh sesaat, kemudian kembali meneruskan langkah."Tunggu, Karel! Aku tahu itu kamu!" jerit Xela, tertatih menyeret langkah kakinya yang terasa nyeri akibat tersandung tadi. "Jangan pergi! Kumohon ....""Anda salah orang, Nona!" Karel mendudu menaiki sepedanya, tak lagi menghiraukan panggilan Xela.Seulas senyum kepuasan terbit di wajah Karel. Mendengar Xela merengek untuk mencegah kepergiannya menghadirkan sensasi yang menyenangkan dalam diri Karel. Anehnya, sisi terdalam hatinya justru merasa perih ketika teringat wajah sendu Xela.Karel mengayuh sepedanya dengan perasaan dongkol. Jengkel pada kelemahan hatinya yang masih saja menyimpan kepedulian terhadap Xela.Ckiit!Sebuah mobil berhenti mendadak, menikung dan memotong laju sepeda Karel saat ia turun dari trotoar."Ternyata kau masih hidup, heh? Punya nyawa cadangan?" ejek salah satu dari tiga pria yang meluncur dari mobil dan mengepung Karel."Dia hanya beruntung, Big Bro!""Iya. Kali ini kita akan pastikan dia mati!"D
'Apa aku terlalu kasar ya pada Xela?' Karel dihantui rasa bersalah.Terakhir bertemu dengan Xela, ia melontarkan kata-kata pedas yang berhasil membobol bendungan air mata Xela."Pergi! Kau membuatku berada dalam masalah!" usir Karel dengan nada ketus."Bertahun-tahun aku kelimpungan mencari dan menunggumu. Aku merindukanmu, Karel. Apa salahku hingga kamu sangat membenciku?"Xela tak percaya rasa rindunya hanya bertepuk sebelah tangan. Padahal, ia sudah membayangkan betapa indah pertemuannya dengan Karel setelah melewati perpisahan panjang.Karel mendengkus. Semakin dongkol dengan sikap Xela yang dinilainya sok polos."Nona Muda De Groot memang tak pernah salah," sarkas Karel seraya menegakkan sepedanya. "Aku yang salah. Terlalu percaya pada cinta semu yang menipu. Pergilah! Aku tidak ingin lagi melihatmu."Hati Karel sakit saat mengucapkan kata-kata itu, tapi bayang kekejaman Tuan De Groot memaksanya untuk menelan rasa sakit itu."Tidak, Karel! Kamu ... masih suamiku. Walau kita hanya
"Bukankah kamu merasa puas setelah berhasil melampiaskan dendammu?" balas Xela, dengan suara yang juga bergetar.Bohong bila ia mengatakan membenci Karel dan tak lagi mencintainya.Karel melepaskan dekapannya, lalu memutar badan Xela."Tatap mataku!" pinta Karel. "Apa kau menemukan kepuasan di sana?"Xela memberanikan diri menantang netra kelam Karel. Yang ia temukan adalah secarik luka dan penyesalan yang mendalam.Entah kenapa Xela merasakan hatinya tersentuh dan tak tega melihat semburat derita yang bersemayam dalam manik mata Karel.Haruskah ia memberi kesempatan kedua kepada Karel?Allah saja Maha Pemaaf. Tidak sepatutnya ia menolak permintaan maaf yang tulus dari Karel.Karel tidak berselingkuh. Lagi pula, lelaki itu memperlakukannya dengan kasar karena ada alasan yang kuat. Andai dia yang berada di posisi Karel, mungkin dia akan melakukan hal yang lebih kejam dari itu.Dia mungkin tidak akan bersedia menyelamatkan mantan mertua yang telah menyiksanya.Berpikir bahwa masih ada ha
"Anda baru saja kembali, Nona. Sekarang, mau pergi lagi. Tidak bisakah tinggal lebih lama?" rayu Bibi Lizzy, berdiri di depan pintu seraya menggenggam erat jemari Xela. Enggan untuk melepaskannya.Xela tersenyum tipis. "Bibi, hanya untuk beberapa hari. Aku akan kembali."Sungguh Xela juga enggan untuk beranjak dari desa nan bebas polusi itu, tapi apa daya, ia tidak ingin mengambil risiko jika nanti yang mencarinya ternyata benar-benar Karel.Ia belum siap untuk bertemu dengan lelaki yang masih mengisi relung hatinya itu. Bukan karena benci, bukan. Dia malu pada diri sendiri.Rasa bencinya pada lelaki itu atas perlakuan kasar yang diterimanya menguap setelah mengetahui kejahatan ayahnya.Rasa sakit yang ia derita sungguh belum seujung kukunya penderitaan Karel.Jiwanya bergetar setiap kali membayangkan Karel disiksa, lalu dibuang ke tengah belantara dalam kondisi sekarat.Belum lagi kejahatan lain yang ditujukan ayahnya untuk Karel dan keluarganya. Bahkan, Karel harus kehilangan saudar
"Bersiaplah untuk menyambut kematian keduamu, Dokter! Ah, tidak, Karel! Panggilan 'Dokter' terlalu mewah untukmu. Cuih!" Lewis meludah jijik."Huh! Coba saja!" tantang Karel seraya mengayunkan rantai di tangan kirinya, melibas anak buah Lewis yang mulai menyerang.Enggan terlalu lama bermain tarik rantai dengan Lewis, Karel membetot kuat. Seketika suara gerincing memekakkan telinga.Di tangan Karel, dua rantai tersebut berubah menjadi senjata sakti yang meliuk di udara bak dua ekor kobra sedang menari.Jerit kesakitan melengking tinggi setiap kali rantai itu berhasil menghantam dan melilit tubuh lawan, lalu membantingnya dengan kuat.Sungguh Karel tak ingin berlama-lama menghabiskan waktu di ruang bawah tanah itu. Ia ingin menyudahi pertarungan tersebut secepatnya.Karel mengamuk seperti orang gila. Tak memberi kesempatan kepada lawan untuk menyentuh tubuhnya.Tas! Tas!Bunyi tebasan yang berpadu dengan gerincing rantai menjadi musik horror bagi Lewis dan anak buahnya. Satu per satu m
"Heh, bangun!"Setengah sadar, Karel merasakan tamparan keras di pipinya, diikuti kalimat makian."Dasar lemah!"Karel berjuang membuka kelopak matanya yang terasa berat. Samar netranya menangkap cahaya temaram."Di mana ini?" lirih Karel dengan suara lemah."Bagus! Akhirnya kau sadar. Aku tidak suka bermain-main saat kau pingsan. Tidak asyik!"Kepingan ingatan Karel telah sepenuhnya menyatu, melukis gambaran peristiwa yang ia alami sebelum tak sadarkan diri.Darahnya seketika mendidih, teringat kecurangan yang dilakukan komplotan Lewis dalam pertarungan.Cuih!Karel meludahi wajah Lewis yang tersenyum mengejek."Pengecut! Kau menjijikkan!""Hahaha ... ya, ya ... terserah apa katamu." Lewis mencengkeram dagu Karel. "Bagiku, kau bodoh! Sama seperti keledai."Keledai terkenal sebagai simbol kebodohan lantaran masuk ke lubang yang sama sampai dua kali.Manusia yang cerdas akan belajar dari kesalahan dan pengalaman pahitnya. Sementara si bijak akan memetik hikmah dari pengalaman orang lai
"Saya telah menemukan jejak istri Anda, Bos.""Katakan!"Netra kelam Karel berbinar penuh harapan. Tak sia-sia ia meminta bantuan Red."Istri Anda terbang ke Belanda. Di—""Terima kasih. Aku akan segera mentransfer bayaranmu," potong Karel, tak butuh penjelasan lebih panjang.Pikirannya hanya tertuju untuk menyusul Xela.Sebuah tas sandang cukup untuk memuat beberapa potong pakaian yang akan dibawanya.Agar lebih cepat tiba di Bandara, Karel memacu motornya.Ckiit!Decit rem membelah sunyi.Sebuah mobil SUV berwarna silver menggunting laju motor Karel, tepat di daerah sawangan."Mau kabur dariku? Dalam mimpi!" hardik suara yang sangat akrab di telinga Karel.Merasa keselamatannya terancam, Karel segera turun dari motor seraya menyingkirkan helm yang melindungi kepalanya."Aku tidak ada urusan denganmu! Kenapa kau selalu menggangguku?" balas Karel dengan nada dingin."Kau, lelaki berengsek yang membuat hidup Xela-ku menderita. Kali ini aku tidak akan mengalah lagi!"Plok! Plok!Karel be
"Di mana istriku?" tanya Karel setelah mempersilakan Herds untuk duduk."Saya tidak tahu," sahut Herds, mulai mengeluarkan sesuatu dari tas kerjanya."Kau ke sini atas perintahnya, 'kan? Tentu berkomunikasi dengannya. Apa masuk akal kau tidak mengetehui keberadaannya?""Saya mengatakan yang sebenarnya, Dokter," timpal Herds, terlihat tak terpengaruh dengan kemarahan Karel. "Nona De Groot memang menemui saya untuk menyerahkan berkas gugatan cerai untuk Anda. Sayangnya, saya tidak berpikir bahwa di saat yang sama, dia juga meninggalkan rumah Anda." Herds menyodorkan berkas perceraian tersebut kepada Karel. "Tolong tanda tangani, Dokter!"Karel memeriksa kelengkapan berkas yang disodorkan oleh Herds. Matanya membelalak melihat fotokopi buku nikah yang terlampir. Seketika ia membanting berkas tersebut ke atas meja, kemudian berlari ke kamar.Karel memeriksa laci nakas dan mengobrak-abrik isinya."Berkas itu ... Ya Tuhan!"Karel mengusap mukanya dengan kasar kala tak lagi menemukan kumpula
"Anda jangan main-main, Nyonya! Xela pergi dengan membawa koper. Ke mana lagi dia pergi bila tidak kembali ke sini?" sergah Karel, mengira Nyonya Beth sengaja merahasiakan keberadaan Xela dari dirinya."Sungguh, Dokter J. Saya tidak bohong," sanggah Nyonya Beth. "Semenjak datang terakhir kali menemui Tuan De Groot, Nona Muda tidak pernah ke sini lagi."Karel menyelami manik mata Nyonya Beth dengan tatapan lekat. Tak ada kebohongan yang ia temukan. Sebaliknya, riak kecemasan terpatri jelas di sana."Lalu, ke mana perginya Xela?" gumam Karel, seakan berbicara pada diri sendiri.Nyonya Beth juga terdiam. Sesaat kemudian ia berkata dengan nada bimbang, "Apa mungkin ... Nona Muda ... pergi membesuk Tuan De Groot?""Huh? Bukankah baru seminggu yang lalu ayah mertuaku keluar dari rumah sakit? Kenapa dia bisa kambuh?""B–bukan itu, Dokter. Kesehatan Tuan De Groot baik-baik saja. Tuan ... Tuan ... ah, saya juga tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi," kata Nyonya Beth, terbata-bata.Karel
"Aaargh!" Karel mendengkus kesal. "Xela tidak ada di rumah Clara. Ke mana dia? Apa mungkin pulang ke rumah ayahnya?"Tak ingin kehilangan jejak Xela, Karel pun memacu motornya menuju kediaman Tuan De Groot.Namun, baru saja turun dari motor, sebuah tendangan membuatnya terjatuh. Motor pun ikut roboh."Berengsek! Masih berani kau menginjakkan kaki di rumah ini!" umpat Lewis.Matanya yang penuh kebencian menyala-nyala terbakar amarah.Karel bangkit seraya menepis debu dan kotoran yang melekat di tubuhnya. Abai akan motor yang masih tergolek."Ini rumah mertuaku. Kapan pun aku bisa datang ke sini.""Banyak bacot!" geram Lewis, kembali menyerang Karel.Karel yang masih kacau memikirkan Xela bereaksi lambat. Tak khayal serangan itu mendarat di dadanya. Seketika ia terjengkang. Untung kerimbunan tanaman hias menahan punggungnya."Jangan pernah bertingkah sok suci di hadapanku!" hardik Lewis. "Aku tahu siapa kau. Di balik nama besarmu, kau hanyalah seekor rubah licik!"Karel menyeringai. "Ba
"Pergi kau dari sini dan jangan pernah kembali lagi!" Karel menyeret kasar lengan Xela, turun dari teras rumah kayu milik ayahnya."Akh!" Xela menjerit kesakitan.Karel mengempaskannya hingga tersungkur ke tanah."Simpan air mata buayamu itu! Aku tidak akan tertipu," sentak Karel dengan nada dingin. "Percuma kau mengarang cerita pada temanmu. Aku tidak akan percaya!"Xela tergugu."Apa salahku padamu?" tanya Xela. Suaranya terdengar parau."Banyak! Dan aku membencimu hingga ke sum-sum tulangku. Enyah!"Tes! Tes!"Aish! Hujan lagi!" gerutu Karel, melindungi kepalanya dari terpaan hujan dengan telapak tangan sambil berlari menuju rumah ayahnya.Ternyata segala luapan emosinya terhadap Xela hanyalah angan dalam lamunan."Sayang sekali kau terlambat, Nak!" kata Tuan Jaffan begitu Karel melangkah masuk setelah melepas kemejanya yang basah dan memerasnya."Dia baru saja pergi," imbuh Tuan Jaffan."Dia? Siapa?" tanya Karel, terbayang siluet sosok wanita yang mirip dengan Xela melangkah kelua