Karel mengabaikan Xela yang bersimpuh seraya memagut kakinya."Ya. Kau benar. Aku menyesal," lirih Karel, membuang pandang ke langit biru, menahan sebak di dada.Isak Xela terhenti. Ia menengadah dengan wajah semringah."Aku menyesal pernah jatuh cinta padamu," imbuh Karel, merampas binar cerah di mata Xela. "Jika aku bisa memutar waktu, aku berharap tidak akan pernah bertemu denganmu."Jleb!Sakit. Perihnya menikam jantung Xela hingga belitan lengannya pada kaki Karel spontan terlepas."A–apa aku tak seberharga itu di matamu?" lirih Xela, tergugu pilu.Karel menapak mundur. "Mencintai dan menikahimu adalah penyesalan terbesar dalam hidupku!" sentak Karel, menaiki sepedanya tanpa memedulikan Xela yang masih bersimpuh di atas trotoar. "Bodohnya aku yang percaya begitu saja pada wajah polos penipu ulung seperti dirimu. Minggir!"Xela mematung. Air matanya meluruh tanpa sedu sedan.'Penipu ulung! Penipu ulung!' Dua kata itu terus bergema di kepala Xela hingga ia tak lagi menyadari bahwa
"Terima kasih, Dokter J! Saya senang sekali Anda bersedia menangani pasien VIP kami yang unik itu," cerocos Dokter Smith begitu Karel selesai melakukan operasi dan menemuinya di kantor."Tidak perlu berterima kasih, Dokter Smith. Aku sudah sepakat untuk membantu Anda selagi aku mampu dan ada waktu."Karel mengenyakkan pantat di atas sofa ruang kerja Dokter Smith, sekadar melepas lelah."Dokter kami telah lama menyarankan operasi, tapi pasien selalu menolak. Saat kondisinya semakin parah, dokter kami tak lagi berani mengambil tindakan.""Kenapa begitu? Bukankah dokter harus mengutamakan upaya penyelamatan terhadap nyawa pasien?" tanya Karel, heran."Kami sadar akan hal itu," sahut Dokter Smith. "Hanya saja, tidak mudah berhadapan dengan keluarga pasien. Untung saja saat pasien drop, ada salah satu dari keluarganya yang pernah mendengar tindakan Anda terhadap Tuan Julian."Karel hanya manggut-manggut."Oh ya, Tuan Julian baru-baru ini menghubungi saya. Mengundang Anda untuk menghadiri j
"Anda terlalu memandang rendah orang lain, Pak! Satu kata dariku, maka seluruh rumah sakit di kota ini akan menolak untuk mengobati istrimu!"Karel jadi geram melihat keangkuhan lelaki itu. Sungguh lelaki yang tak tahu diri. Sedang terjepit saja dia bersikap sombong, apalagi berada di posisi atas. Dia pasti akan bersikap lebih semena-mena terhadap orang lain.Rasa iba Karel saat mendengar rengekan lelaki itu tadi menguap tak berbekas."Mimpi!"Karel menyeringai di balik maskernya. "Bersiaplah!"Karel mengetikkan pesan tepat di muka Berg. Sebenarnya ia tidak tega untuk mempermainkan hidup seorang pasien. Ia hanya ingin memberi Berg sedikit pelajaran.Tidak lama setelah Karel menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku, gawai di genggaman Berg menjerit."D–dad, perawat memaksa untuk memindahkan mommy," lirih suara seorang gadis melapor panik. "Bagaimana ini?""A–apa?! T–tidak mungkin!"Kedua lutut Berg mendadak lemas. Ponselnya pun terempas. Mata tuanya melotot tak percaya pada Karel."K–
"Tuan, saya sudah mengerahkan tenaga ahli untuk menurunkan berita tersebut, tapi—""Kalian gagal?!" potong Tuan De Groot berang. "Ahli seperti apa yang kau bayar, hah?! Menurunkan berita itu saja tidak bisa! Cari pakar IT yang mumpuni, jangan pencandu game online yang berkedok ahli IT!""B–baik, Tuan!"Kena damprat di usia dewasa sungguh tak mengenakkan. Daripada mendengar umpatan dan makian lebih lama dari Tuan De Groot, lebih baik cepat-cepat kabur."Aaargh! Kenapa tidak ada yang berjalan mulus!" gerung Tuan De Groot, mengepalkan tangan dengan erat.Tok! Tok!Clark masuk tanpa menunggu respons dari Tuan De Groot.Tuan De Groot menoleh. Menatap sinis pada amplop cokelat yang berada dalam genggaman Clark."Apa kau juga datang dengan membawa berita buruk?""Maaf, Tuan!" Clark meletakkan amplop itu di atas meja kerja Tuan De Groot.Tuan De Groot mengulurkan tangan, meraih amplop tersebut dengan gerakan lesu.Matanya melotot, memindai satu per satu helaian foto yang menghuni amplop itu.
"Bos, kami berhasil menggali informasi tentang Nyonya Besar," lapor Red dengan suara terdengar antusias.Karel yang masih menempelkan ponsel di telinga terdiam sejenak.'Aish, bisa-bisanya aku melupakan kasus itu!' maki Karel dalam hati, menyadari bahwa dirinya sudah cukup lama mengabaikan sebuah kasus yang diselidikinya."Katakan!" pinta Karel kemudian."Dugaan Anda benar, Bos.""Hah? Kau yakin, Red? Punya bukti valid?"Ia harus memastikan kebenaran tersebut sebelum mengambil tindakan terhadap Nyonya Besar. Jangan sampai salah sasaran. Sebab, jika memang identitas orang tersebut sesuai dengan kecurigaannya, maka penyelesaiannya tentu tidak mudah. Ia akan berhadapan dengan orang besar."Yakin, Bos! Kami juga mendapatkan bukti rekaman suara dan video. Semua telah saya kirim ke email Anda.""Oke. Thanks!"Karel menyeruput kopinya hingga tandas. Minuman berwarna hitam pekat tersebut terasa jauh lebih nikmat daripada sebelumnya.Suasana kafe yang semula terasa sedikit membosankan, mendada
"Minggir! Jangan menghalangiku!""Itu sangat berbahaya, Bung! Tunggu apinya padam dulu bila mau ke sana."Karel dan seorang warga bersitegang."Sabar, Bro! Semua aman terkendali."Merasa sangat mengenali suara orang yang baru saja berbicara seraya menepuk pundaknya, Karel memutar badan. Sorot matanya menuntut penjelasan.Kevin tersenyum kecil seraya mengangguk.Karel tak lagi nekat untuk menerobos masuk. Bukan perihal kerugian harta benda yang membuatnya begitu khawatir, melainkan jalan rahasia yang menjadi penghubung gubuk kecilnya dengan rumah utama.Senyum dan anggukan Kevin telah menghalau kekhawatiran itu."Sabar, Bung! Ini ujian," hibur salah satu warga yang tadi mencegah Karel. "Aku tidak keberatan kamu menginap di rumahku untuk sementara waktu."Tawaran lelaki yang terlihat sepantaran dengan dirinya itu menyentuh hati Karel. Ia merasa takjub mengetahui bahwa masih ada manusia berhati malaikat di tengah kekejaman dunia yang dikuasai para iblis.Karel tak menyahut. Fokusnya teral
"Anda yakin mau bawa mobil sendiri, Nona? Apa tidak sebaiknya diantar sopir saja?""Iya. Tidak perlu, Aunty. Aku baik-baik saja. Jangan khawatir!""Tapi, Nona ... bagaimana kalau ayah Anda mengetahuinya?""Apa Aunty lupa? Ayahku bahkan tak peduli apakah aku hidup atau mati."Nyonya Beth tersenyum kecut. Xela terlalu frontal mengekspresikan kekecewaannya pada sang ayah."Baiklah. Jika itu mau Anda, Nona. Jaga diri baik-baik!""Pasti!"Xela tak yakin apakah kehidupannya akan bisa berjalan dengan normal setelah Karel menjatuhkan talak padanya. Ia hanya tidak ingin terlihat lemah dan hancur."Eh, apa ini?"Xela kaget ketika mendapati sebuah amplop teronggok di atas lantai begitu ia membuka pintu untuk keluar.Ragu-ragu ia mengulurkan tangan untuk menjangkau amplop itu."Aunty!" jerit Xela, memanggil Nyonya Beth."Ya, Nona. Ada apa?" Nyonya Beth menghampiri Xela dengan wajah terlihat panik."Aunty tahu siapa yang menaruh amplop ini di depan pintu?"Nyonya Beth menggeleng. "Saya belum kelua
"Gila! Ternyata mantan mertuamu itu sangat licik, Bro!""Baru sadar?""Aku tahu dia menghalalkan segala untuk mencapai tujuan bisnisnya, tapi aku tak menyangka dia akan mengorbankan orang kepercayaannya menjadi kambing hitam. Padahal, semua bukti memberatkannya!" omel Kevin panjang lebar. Geram dengan kenyataan bahwa bukan Tuan De Groot yang mendekam di balik jeruji besi, melainkan Clark. Sementara Tuan De Groot hanya berstatus sebagai saksi."Aku sudah menduganya.""Apa?! Jadi, sejak awal kau sudah mencurigainya?""Hem!""Sialan! Kau membuatku terlihat bodoh."Karel menutup macbook miliknya. Ia memutar kursi, menghadap Kevin yang melangkah mendatangi meja kerjanya.Dia baru saja menyelesaikan artikel ilmiah tentang penelitian terbarunya. Tak seorang pun boleh mengetahui hasil penelitian tersebut sebelum dipublikasikan, walaupun itu Kevin.Karel menaikkan kedua kaki ke atas meja ketika Kevin mengabaikan kursi yang disediakannya dan lebih memilih untuk mengenyakkan bokong di sudut kana
"Bukankah kamu merasa puas setelah berhasil melampiaskan dendammu?" balas Xela, dengan suara yang juga bergetar.Bohong bila ia mengatakan membenci Karel dan tak lagi mencintainya.Karel melepaskan dekapannya, lalu memutar badan Xela."Tatap mataku!" pinta Karel. "Apa kau menemukan kepuasan di sana?"Xela memberanikan diri menantang netra kelam Karel. Yang ia temukan adalah secarik luka dan penyesalan yang mendalam.Entah kenapa Xela merasakan hatinya tersentuh dan tak tega melihat semburat derita yang bersemayam dalam manik mata Karel.Haruskah ia memberi kesempatan kedua kepada Karel?Allah saja Maha Pemaaf. Tidak sepatutnya ia menolak permintaan maaf yang tulus dari Karel.Karel tidak berselingkuh. Lagi pula, lelaki itu memperlakukannya dengan kasar karena ada alasan yang kuat. Andai dia yang berada di posisi Karel, mungkin dia akan melakukan hal yang lebih kejam dari itu.Dia mungkin tidak akan bersedia menyelamatkan mantan mertua yang telah menyiksanya.Berpikir bahwa masih ada ha
"Anda baru saja kembali, Nona. Sekarang, mau pergi lagi. Tidak bisakah tinggal lebih lama?" rayu Bibi Lizzy, berdiri di depan pintu seraya menggenggam erat jemari Xela. Enggan untuk melepaskannya.Xela tersenyum tipis. "Bibi, hanya untuk beberapa hari. Aku akan kembali."Sungguh Xela juga enggan untuk beranjak dari desa nan bebas polusi itu, tapi apa daya, ia tidak ingin mengambil risiko jika nanti yang mencarinya ternyata benar-benar Karel.Ia belum siap untuk bertemu dengan lelaki yang masih mengisi relung hatinya itu. Bukan karena benci, bukan. Dia malu pada diri sendiri.Rasa bencinya pada lelaki itu atas perlakuan kasar yang diterimanya menguap setelah mengetahui kejahatan ayahnya.Rasa sakit yang ia derita sungguh belum seujung kukunya penderitaan Karel.Jiwanya bergetar setiap kali membayangkan Karel disiksa, lalu dibuang ke tengah belantara dalam kondisi sekarat.Belum lagi kejahatan lain yang ditujukan ayahnya untuk Karel dan keluarganya. Bahkan, Karel harus kehilangan saudar
"Bersiaplah untuk menyambut kematian keduamu, Dokter! Ah, tidak, Karel! Panggilan 'Dokter' terlalu mewah untukmu. Cuih!" Lewis meludah jijik."Huh! Coba saja!" tantang Karel seraya mengayunkan rantai di tangan kirinya, melibas anak buah Lewis yang mulai menyerang.Enggan terlalu lama bermain tarik rantai dengan Lewis, Karel membetot kuat. Seketika suara gerincing memekakkan telinga.Di tangan Karel, dua rantai tersebut berubah menjadi senjata sakti yang meliuk di udara bak dua ekor kobra sedang menari.Jerit kesakitan melengking tinggi setiap kali rantai itu berhasil menghantam dan melilit tubuh lawan, lalu membantingnya dengan kuat.Sungguh Karel tak ingin berlama-lama menghabiskan waktu di ruang bawah tanah itu. Ia ingin menyudahi pertarungan tersebut secepatnya.Karel mengamuk seperti orang gila. Tak memberi kesempatan kepada lawan untuk menyentuh tubuhnya.Tas! Tas!Bunyi tebasan yang berpadu dengan gerincing rantai menjadi musik horror bagi Lewis dan anak buahnya. Satu per satu m
"Heh, bangun!"Setengah sadar, Karel merasakan tamparan keras di pipinya, diikuti kalimat makian."Dasar lemah!"Karel berjuang membuka kelopak matanya yang terasa berat. Samar netranya menangkap cahaya temaram."Di mana ini?" lirih Karel dengan suara lemah."Bagus! Akhirnya kau sadar. Aku tidak suka bermain-main saat kau pingsan. Tidak asyik!"Kepingan ingatan Karel telah sepenuhnya menyatu, melukis gambaran peristiwa yang ia alami sebelum tak sadarkan diri.Darahnya seketika mendidih, teringat kecurangan yang dilakukan komplotan Lewis dalam pertarungan.Cuih!Karel meludahi wajah Lewis yang tersenyum mengejek."Pengecut! Kau menjijikkan!""Hahaha ... ya, ya ... terserah apa katamu." Lewis mencengkeram dagu Karel. "Bagiku, kau bodoh! Sama seperti keledai."Keledai terkenal sebagai simbol kebodohan lantaran masuk ke lubang yang sama sampai dua kali.Manusia yang cerdas akan belajar dari kesalahan dan pengalaman pahitnya. Sementara si bijak akan memetik hikmah dari pengalaman orang lai
"Saya telah menemukan jejak istri Anda, Bos.""Katakan!"Netra kelam Karel berbinar penuh harapan. Tak sia-sia ia meminta bantuan Red."Istri Anda terbang ke Belanda. Di—""Terima kasih. Aku akan segera mentransfer bayaranmu," potong Karel, tak butuh penjelasan lebih panjang.Pikirannya hanya tertuju untuk menyusul Xela.Sebuah tas sandang cukup untuk memuat beberapa potong pakaian yang akan dibawanya.Agar lebih cepat tiba di Bandara, Karel memacu motornya.Ckiit!Decit rem membelah sunyi.Sebuah mobil SUV berwarna silver menggunting laju motor Karel, tepat di daerah sawangan."Mau kabur dariku? Dalam mimpi!" hardik suara yang sangat akrab di telinga Karel.Merasa keselamatannya terancam, Karel segera turun dari motor seraya menyingkirkan helm yang melindungi kepalanya."Aku tidak ada urusan denganmu! Kenapa kau selalu menggangguku?" balas Karel dengan nada dingin."Kau, lelaki berengsek yang membuat hidup Xela-ku menderita. Kali ini aku tidak akan mengalah lagi!"Plok! Plok!Karel be
"Di mana istriku?" tanya Karel setelah mempersilakan Herds untuk duduk."Saya tidak tahu," sahut Herds, mulai mengeluarkan sesuatu dari tas kerjanya."Kau ke sini atas perintahnya, 'kan? Tentu berkomunikasi dengannya. Apa masuk akal kau tidak mengetehui keberadaannya?""Saya mengatakan yang sebenarnya, Dokter," timpal Herds, terlihat tak terpengaruh dengan kemarahan Karel. "Nona De Groot memang menemui saya untuk menyerahkan berkas gugatan cerai untuk Anda. Sayangnya, saya tidak berpikir bahwa di saat yang sama, dia juga meninggalkan rumah Anda." Herds menyodorkan berkas perceraian tersebut kepada Karel. "Tolong tanda tangani, Dokter!"Karel memeriksa kelengkapan berkas yang disodorkan oleh Herds. Matanya membelalak melihat fotokopi buku nikah yang terlampir. Seketika ia membanting berkas tersebut ke atas meja, kemudian berlari ke kamar.Karel memeriksa laci nakas dan mengobrak-abrik isinya."Berkas itu ... Ya Tuhan!"Karel mengusap mukanya dengan kasar kala tak lagi menemukan kumpula
"Anda jangan main-main, Nyonya! Xela pergi dengan membawa koper. Ke mana lagi dia pergi bila tidak kembali ke sini?" sergah Karel, mengira Nyonya Beth sengaja merahasiakan keberadaan Xela dari dirinya."Sungguh, Dokter J. Saya tidak bohong," sanggah Nyonya Beth. "Semenjak datang terakhir kali menemui Tuan De Groot, Nona Muda tidak pernah ke sini lagi."Karel menyelami manik mata Nyonya Beth dengan tatapan lekat. Tak ada kebohongan yang ia temukan. Sebaliknya, riak kecemasan terpatri jelas di sana."Lalu, ke mana perginya Xela?" gumam Karel, seakan berbicara pada diri sendiri.Nyonya Beth juga terdiam. Sesaat kemudian ia berkata dengan nada bimbang, "Apa mungkin ... Nona Muda ... pergi membesuk Tuan De Groot?""Huh? Bukankah baru seminggu yang lalu ayah mertuaku keluar dari rumah sakit? Kenapa dia bisa kambuh?""B–bukan itu, Dokter. Kesehatan Tuan De Groot baik-baik saja. Tuan ... Tuan ... ah, saya juga tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi," kata Nyonya Beth, terbata-bata.Karel
"Aaargh!" Karel mendengkus kesal. "Xela tidak ada di rumah Clara. Ke mana dia? Apa mungkin pulang ke rumah ayahnya?"Tak ingin kehilangan jejak Xela, Karel pun memacu motornya menuju kediaman Tuan De Groot.Namun, baru saja turun dari motor, sebuah tendangan membuatnya terjatuh. Motor pun ikut roboh."Berengsek! Masih berani kau menginjakkan kaki di rumah ini!" umpat Lewis.Matanya yang penuh kebencian menyala-nyala terbakar amarah.Karel bangkit seraya menepis debu dan kotoran yang melekat di tubuhnya. Abai akan motor yang masih tergolek."Ini rumah mertuaku. Kapan pun aku bisa datang ke sini.""Banyak bacot!" geram Lewis, kembali menyerang Karel.Karel yang masih kacau memikirkan Xela bereaksi lambat. Tak khayal serangan itu mendarat di dadanya. Seketika ia terjengkang. Untung kerimbunan tanaman hias menahan punggungnya."Jangan pernah bertingkah sok suci di hadapanku!" hardik Lewis. "Aku tahu siapa kau. Di balik nama besarmu, kau hanyalah seekor rubah licik!"Karel menyeringai. "Ba
"Pergi kau dari sini dan jangan pernah kembali lagi!" Karel menyeret kasar lengan Xela, turun dari teras rumah kayu milik ayahnya."Akh!" Xela menjerit kesakitan.Karel mengempaskannya hingga tersungkur ke tanah."Simpan air mata buayamu itu! Aku tidak akan tertipu," sentak Karel dengan nada dingin. "Percuma kau mengarang cerita pada temanmu. Aku tidak akan percaya!"Xela tergugu."Apa salahku padamu?" tanya Xela. Suaranya terdengar parau."Banyak! Dan aku membencimu hingga ke sum-sum tulangku. Enyah!"Tes! Tes!"Aish! Hujan lagi!" gerutu Karel, melindungi kepalanya dari terpaan hujan dengan telapak tangan sambil berlari menuju rumah ayahnya.Ternyata segala luapan emosinya terhadap Xela hanyalah angan dalam lamunan."Sayang sekali kau terlambat, Nak!" kata Tuan Jaffan begitu Karel melangkah masuk setelah melepas kemejanya yang basah dan memerasnya."Dia baru saja pergi," imbuh Tuan Jaffan."Dia? Siapa?" tanya Karel, terbayang siluet sosok wanita yang mirip dengan Xela melangkah kelua