"Apa yang menurut manusia tidak mungkin, sangat mudah bagi Allah untuk menjadikannya kenyataan. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.""T–tapi, saya sendiri yang membawa pulang jasad kaku putri saya dari Rumah Sakit. Saya juga melihat dengan mata kepala sendiri saat bayi malang itu ditimbun tanah kuning."Karel menantang tatapan kosong Sir Collin dengan pandangan penuh tanya. Percuma dia bersikeras meyakinkan Sir Collin tentang kemungkinan putrinya masih hidup. Lelaki paruh baya itu tak akan percaya.Siapa pun yang berada di posisi Sir Collin tentu akan memiliki pemikiran yang sama. Jelas-jelas dia telah menguburkan anaknya, mana mungkin jasad tanpa ruh itu bisa bangkit lagi."Anda benar, Sir. Seseorang yang sudah meninggalkan dunia ini tidak mungkin hidup lagi. Abaikan saja kata-kata saya sebelumnya, Sir!"Karel seakan menyerah pada rasa ingin tahunya, tapi yang sesungguhnya, dia masih memendam tanya.Sir Collin dapat menangkap semburat resah tersebut."Tanyakan saja jika masih ada s
"Anda penuh teka-teki. Jantung saya jadi berdebar-debar."Sir Collin tidak sedang bercanda. Jantungnya benar-benar kehilangan ritme normalnya. Ada perasaan aneh yang menyelimuti hatinya. Terlebih ketika sayup-sayup telinganya menangkap derap langkah kaki mendekat.Saat sepasang ibu dan anak dibawa keluar oleh Bibi Merry, mata Sir Collin terbelalak. Ia terlonjak tegak. Berulang kali ia mengucek mata untuk memastikan bahwa ia tidak salah lihat.Nilam dan anaknya saling lempar pandang, tak mengerti.Sir Collin ingin melompat ke arah gadis itu, tapi ia menahan diri ketika teringat dengan peringatan Karel yang memintanya untuk mengendalikan diri."Ayo duduk bersama tamu kita!" Bibi Merry merangkul pelan pundak sepasang ibu dan anak itu agar segera bergabung dengan Karel dan Sir Collin.Setelah kembali duduk, tak sedetik pun pandangan Sir Collin beralih dari Nyonya Nilam dan putrinya. Mata lelaki itu tiba-tiba mengembun.Tanpa sadar Sir Collin menarik turun masker yang menyembunyikan wajahn
"Silakan Anda pulang duluan, Sir! Sepertinya Anda butuh menenangkan pikiran," saran Karel seraya menghentikan langkah ketika Nyonya Merry memanggilnya dari teras panti.Wanita paruh baya itu menyusulnya dengan langkah tergopoh-gopoh."Baiklah. Saya tunggu kabar baik dari Anda." Sir Collin melangkah gontai menuju mobilnya.Karel tegak mematung melepas kepergian Sir Collin."Apa dia akan baik-baik saja?" tanya Bibi Merry dengan nada prihatin."Malam ini aku yakin dia tidak akan bisa tidur dengan nyenyak, tapi ke depannya, dia akan terbiasa. Sir Collin tidak serapuh itu untuk langsung hancur.""Bukan itu yang saya cemaskan. Sebaliknya, jika gadis itu benar-benar putrinya, saya takut murkanya akan menghancurkan banyak orang.""Sir Collin tidak akan mengotori tangannya sendiri. Tapi kalaupun dia melakukannya, bukankah orang-orang itu pantas mendapatkan pembalasan yang setimpal? Mereka yang menanam, mereka juga yang akan menuai."Bibi Merry menghela napas panjang. "Anda benar, Dokter J!"Bi
"Nyonya Nilam ... d–dia ...." Bahu Bibi Merry berguncang hebat. Kata-katanya terhenti, ditelan tangis.Karel memapah wanita yang terguncang itu untuk duduk di ruang tamu, lalu menyodorkan sapu tangan kepada Bibi Merry.Dia duduk dengan tenang, sabar menanti wanita paruh baya itu menyelesaikan tangisnya.Setelah Bibi Merry agak tenang, Karel mulai buka suara, "Sekarang, tolong ceritakan padaku apa yang sebenarnya terjadi pada Nyonya Nilam, Bi!"Bibi Merry menyeka cairan bening yang mengalir dari hidungnya dengan sapu tangan dari Karel."Tidak lama setelah Anda dan Sir Collin meninggalkan tempat ini, Nyonya Nilam juga pergi keluar, tapi sampai sekarang dia tidak pulang-pulang."Suatu kebetulan yang aneh atau Nyonya Nilam memang sengaja? Karel tidak dapat menentukan mana dari dua kemungkinan itu yang sesuai dengan kepergian Nyonya Nilam."Apa Anda tahu kenapa dia keluar?"Bibi Merry menggeleng. "Dia tidak pamit.""Lalu, siapa yang memberitahu Anda?""Tidak ada. Saat saya ingin mengambil
"Darurat, Bos?" Suara dengan nada mengantuk menjawab panggilan Karel."Iya. Aku mau kau mencari keberadaan seseorang. Aku akan mengirimkan fotonya setelah ini. Ingat! Jangan sampai bocor!""Siap, Bos!"Karel tahu apa yang dilakukannya saat ini jauh dari kata sopan. Tidak sepatutnya ia menelepon seseorang dini hari, apalagi membebani orang itu dengan pekerjaan.Akan tetapi, jika dia menunggu matahari terbit esok hari, nyawa Nyonya Nilam semakin berada dalam bahaya.Beruntung dia punya Red. Lelaki itu memiliki banyak anak buah yang bertebaran di mana-mana. Lebih mudah melacak keberadaan Nyonya Nilam dalam waktu singkat."Dokter J? Anda kembali ke sini?" tanya Bibi Merry, membukakan pintu untuk Karel yang bertamu menjelang subuh. "Cepatlah masuk! Saya akan membuatkan cokelat hangat untuk Anda!""Tidak usah, Bi! Temanku akan segera tiba." Setelah memutuskan untuk kembali ke panti, Karel menghubungi Kevin. Memaksa lelaki itu untuk menyusulnya."Duduklah, Bi! Ada sesuatu yang ingin kusampai
Tidur Nyonya Harrioth terganggu karena panggilan telepon dari Karel beberapa waktu yang lalu.Wanita paruh baya itu terpaksa bangun dan bekerja lebih pagi."Apa kamarnya sudah siap, Nyonya Harrioth?" tanya Karel setelah Kevin mengunci pintu utama."Sudah, Tuan!" Nyonya Harrioth memandu langkah Karel menuju kamar khusus yang telah disiapkannya.Saat Karel memintanya membersihkan kamar itu, Nyonya Harrioth segera paham bahwa tamu yang akan dibawa pulang oleh tuannya pasti bukan orang biasa.Keyakinannya terbukti setelah gadis dalam gendongan Karel dibaringkan di atas ranjang."Tuan ... gadis itu—""Anggap Anda tidak mengenalinya, Nyonya!""B–baik, Tuan!""Dia sedang demam. Tolong rawat dia dengan baik! Kalau kondisinya makin memburuk, hubungi aku secepatnya!""Baik, Tuan."Karel meninggalkan Almira yang ditemani oleh Nyonya Harrioth."Apa yang terjadi pada gadis itu? Kenapa kau membawanya pulang? Di mana ibunya?" cecar Kevin.Karel mendelik. "Kevin, jangan membombardirku dengan pertanya
Kevin menyambar lengan Karel, lalu menyeret sang sahabat menjauh begitu keluar dari kamar Almira."Kau harus menceritakan segalanya padaku. Tidak ada yang ditutupi, oke?" tuntut Kevin.Karel menyingkirkan tangan Kevin dari lengannya. "Nanti, kalau semuanya sudah jelas.""Eeh, mana bisa seperti itu?! Aku berhak mengetahui siapa ibu dan anak dalam foto itu serta apa yang terjadi pada mereka.""Kau belum menyelesaikan tugasmu?"Kevin meraba kuduk. "Hehe ... anak buahku masih bergerak," ujarnya, cengar-cengir dengan kikuk.Dering ponsel memupus cengiran Kevin. "Sorry, sepertinya ini telepon penting."Kecanggungan Kevin selamat berkat panggilan telepon dari sekretarisnya."Ada apa? Wajahmu lebih jelek dari pakaian kusut," ledek Karel setelah Kevin selesai menerima panggilan telepon dan berjalan ke arahnya."Sialan! Kau senang sekali melihat teman susah.""Apa masalahnya serius?""Ya! Jika Tuan De Groot yang bertanggung jawab atas masalah ini, dia lebih licik dari yang kita duga. Kita lenga
"Heh, kamu siapa? Enak saja mau menuntutku. Aku punya bukti, bukan asal fitnah!""Saya pemilik toko kue ini!"Karel baru saja melangkah masuk untuk mengantarkan sapu tangan Xela yang tercecer. Ia terperangah mendengar pengakuan Xela.Xela pemilik toko kue itu? Karel tersenyum samar. Ia pikir Xela akan mewarisi perusahaan Tuan De Groot. Tak disangka gadis itu punya bisnis sendiri.Tiba-tiba Karel merasa menyesal tak terlalu dalam menyelidiki latar belakang kehidupan Xela. Apa Tuan De Groot mengetahui sepak terjang Xela?Karel mengurungkan niatnya untuk segera menghampiri Xela. Ia memilih duduk pada sebuah meja yang tidak jauh dari tempat Xela berdiri.Gadis dengan rok ketat itu memindai penampilan Xela. Rasa iri atas pesona Xela yang memukau menarik sudut bibir gadis itu membentuk senyuman sinis."Oh, jadi kamu pemilik toko kue ini? Pantas saja kue yang dijual di sini menjijikkan, sama seperti pemiliknya," ejek gadis itu, merendahkan Xela.Di rumah, Xela merupakan sosok yang manja dan
"Bukankah kamu merasa puas setelah berhasil melampiaskan dendammu?" balas Xela, dengan suara yang juga bergetar.Bohong bila ia mengatakan membenci Karel dan tak lagi mencintainya.Karel melepaskan dekapannya, lalu memutar badan Xela."Tatap mataku!" pinta Karel. "Apa kau menemukan kepuasan di sana?"Xela memberanikan diri menantang netra kelam Karel. Yang ia temukan adalah secarik luka dan penyesalan yang mendalam.Entah kenapa Xela merasakan hatinya tersentuh dan tak tega melihat semburat derita yang bersemayam dalam manik mata Karel.Haruskah ia memberi kesempatan kedua kepada Karel?Allah saja Maha Pemaaf. Tidak sepatutnya ia menolak permintaan maaf yang tulus dari Karel.Karel tidak berselingkuh. Lagi pula, lelaki itu memperlakukannya dengan kasar karena ada alasan yang kuat. Andai dia yang berada di posisi Karel, mungkin dia akan melakukan hal yang lebih kejam dari itu.Dia mungkin tidak akan bersedia menyelamatkan mantan mertua yang telah menyiksanya.Berpikir bahwa masih ada ha
"Anda baru saja kembali, Nona. Sekarang, mau pergi lagi. Tidak bisakah tinggal lebih lama?" rayu Bibi Lizzy, berdiri di depan pintu seraya menggenggam erat jemari Xela. Enggan untuk melepaskannya.Xela tersenyum tipis. "Bibi, hanya untuk beberapa hari. Aku akan kembali."Sungguh Xela juga enggan untuk beranjak dari desa nan bebas polusi itu, tapi apa daya, ia tidak ingin mengambil risiko jika nanti yang mencarinya ternyata benar-benar Karel.Ia belum siap untuk bertemu dengan lelaki yang masih mengisi relung hatinya itu. Bukan karena benci, bukan. Dia malu pada diri sendiri.Rasa bencinya pada lelaki itu atas perlakuan kasar yang diterimanya menguap setelah mengetahui kejahatan ayahnya.Rasa sakit yang ia derita sungguh belum seujung kukunya penderitaan Karel.Jiwanya bergetar setiap kali membayangkan Karel disiksa, lalu dibuang ke tengah belantara dalam kondisi sekarat.Belum lagi kejahatan lain yang ditujukan ayahnya untuk Karel dan keluarganya. Bahkan, Karel harus kehilangan saudar
"Bersiaplah untuk menyambut kematian keduamu, Dokter! Ah, tidak, Karel! Panggilan 'Dokter' terlalu mewah untukmu. Cuih!" Lewis meludah jijik."Huh! Coba saja!" tantang Karel seraya mengayunkan rantai di tangan kirinya, melibas anak buah Lewis yang mulai menyerang.Enggan terlalu lama bermain tarik rantai dengan Lewis, Karel membetot kuat. Seketika suara gerincing memekakkan telinga.Di tangan Karel, dua rantai tersebut berubah menjadi senjata sakti yang meliuk di udara bak dua ekor kobra sedang menari.Jerit kesakitan melengking tinggi setiap kali rantai itu berhasil menghantam dan melilit tubuh lawan, lalu membantingnya dengan kuat.Sungguh Karel tak ingin berlama-lama menghabiskan waktu di ruang bawah tanah itu. Ia ingin menyudahi pertarungan tersebut secepatnya.Karel mengamuk seperti orang gila. Tak memberi kesempatan kepada lawan untuk menyentuh tubuhnya.Tas! Tas!Bunyi tebasan yang berpadu dengan gerincing rantai menjadi musik horror bagi Lewis dan anak buahnya. Satu per satu m
"Heh, bangun!"Setengah sadar, Karel merasakan tamparan keras di pipinya, diikuti kalimat makian."Dasar lemah!"Karel berjuang membuka kelopak matanya yang terasa berat. Samar netranya menangkap cahaya temaram."Di mana ini?" lirih Karel dengan suara lemah."Bagus! Akhirnya kau sadar. Aku tidak suka bermain-main saat kau pingsan. Tidak asyik!"Kepingan ingatan Karel telah sepenuhnya menyatu, melukis gambaran peristiwa yang ia alami sebelum tak sadarkan diri.Darahnya seketika mendidih, teringat kecurangan yang dilakukan komplotan Lewis dalam pertarungan.Cuih!Karel meludahi wajah Lewis yang tersenyum mengejek."Pengecut! Kau menjijikkan!""Hahaha ... ya, ya ... terserah apa katamu." Lewis mencengkeram dagu Karel. "Bagiku, kau bodoh! Sama seperti keledai."Keledai terkenal sebagai simbol kebodohan lantaran masuk ke lubang yang sama sampai dua kali.Manusia yang cerdas akan belajar dari kesalahan dan pengalaman pahitnya. Sementara si bijak akan memetik hikmah dari pengalaman orang lai
"Saya telah menemukan jejak istri Anda, Bos.""Katakan!"Netra kelam Karel berbinar penuh harapan. Tak sia-sia ia meminta bantuan Red."Istri Anda terbang ke Belanda. Di—""Terima kasih. Aku akan segera mentransfer bayaranmu," potong Karel, tak butuh penjelasan lebih panjang.Pikirannya hanya tertuju untuk menyusul Xela.Sebuah tas sandang cukup untuk memuat beberapa potong pakaian yang akan dibawanya.Agar lebih cepat tiba di Bandara, Karel memacu motornya.Ckiit!Decit rem membelah sunyi.Sebuah mobil SUV berwarna silver menggunting laju motor Karel, tepat di daerah sawangan."Mau kabur dariku? Dalam mimpi!" hardik suara yang sangat akrab di telinga Karel.Merasa keselamatannya terancam, Karel segera turun dari motor seraya menyingkirkan helm yang melindungi kepalanya."Aku tidak ada urusan denganmu! Kenapa kau selalu menggangguku?" balas Karel dengan nada dingin."Kau, lelaki berengsek yang membuat hidup Xela-ku menderita. Kali ini aku tidak akan mengalah lagi!"Plok! Plok!Karel be
"Di mana istriku?" tanya Karel setelah mempersilakan Herds untuk duduk."Saya tidak tahu," sahut Herds, mulai mengeluarkan sesuatu dari tas kerjanya."Kau ke sini atas perintahnya, 'kan? Tentu berkomunikasi dengannya. Apa masuk akal kau tidak mengetehui keberadaannya?""Saya mengatakan yang sebenarnya, Dokter," timpal Herds, terlihat tak terpengaruh dengan kemarahan Karel. "Nona De Groot memang menemui saya untuk menyerahkan berkas gugatan cerai untuk Anda. Sayangnya, saya tidak berpikir bahwa di saat yang sama, dia juga meninggalkan rumah Anda." Herds menyodorkan berkas perceraian tersebut kepada Karel. "Tolong tanda tangani, Dokter!"Karel memeriksa kelengkapan berkas yang disodorkan oleh Herds. Matanya membelalak melihat fotokopi buku nikah yang terlampir. Seketika ia membanting berkas tersebut ke atas meja, kemudian berlari ke kamar.Karel memeriksa laci nakas dan mengobrak-abrik isinya."Berkas itu ... Ya Tuhan!"Karel mengusap mukanya dengan kasar kala tak lagi menemukan kumpula
"Anda jangan main-main, Nyonya! Xela pergi dengan membawa koper. Ke mana lagi dia pergi bila tidak kembali ke sini?" sergah Karel, mengira Nyonya Beth sengaja merahasiakan keberadaan Xela dari dirinya."Sungguh, Dokter J. Saya tidak bohong," sanggah Nyonya Beth. "Semenjak datang terakhir kali menemui Tuan De Groot, Nona Muda tidak pernah ke sini lagi."Karel menyelami manik mata Nyonya Beth dengan tatapan lekat. Tak ada kebohongan yang ia temukan. Sebaliknya, riak kecemasan terpatri jelas di sana."Lalu, ke mana perginya Xela?" gumam Karel, seakan berbicara pada diri sendiri.Nyonya Beth juga terdiam. Sesaat kemudian ia berkata dengan nada bimbang, "Apa mungkin ... Nona Muda ... pergi membesuk Tuan De Groot?""Huh? Bukankah baru seminggu yang lalu ayah mertuaku keluar dari rumah sakit? Kenapa dia bisa kambuh?""B–bukan itu, Dokter. Kesehatan Tuan De Groot baik-baik saja. Tuan ... Tuan ... ah, saya juga tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi," kata Nyonya Beth, terbata-bata.Karel
"Aaargh!" Karel mendengkus kesal. "Xela tidak ada di rumah Clara. Ke mana dia? Apa mungkin pulang ke rumah ayahnya?"Tak ingin kehilangan jejak Xela, Karel pun memacu motornya menuju kediaman Tuan De Groot.Namun, baru saja turun dari motor, sebuah tendangan membuatnya terjatuh. Motor pun ikut roboh."Berengsek! Masih berani kau menginjakkan kaki di rumah ini!" umpat Lewis.Matanya yang penuh kebencian menyala-nyala terbakar amarah.Karel bangkit seraya menepis debu dan kotoran yang melekat di tubuhnya. Abai akan motor yang masih tergolek."Ini rumah mertuaku. Kapan pun aku bisa datang ke sini.""Banyak bacot!" geram Lewis, kembali menyerang Karel.Karel yang masih kacau memikirkan Xela bereaksi lambat. Tak khayal serangan itu mendarat di dadanya. Seketika ia terjengkang. Untung kerimbunan tanaman hias menahan punggungnya."Jangan pernah bertingkah sok suci di hadapanku!" hardik Lewis. "Aku tahu siapa kau. Di balik nama besarmu, kau hanyalah seekor rubah licik!"Karel menyeringai. "Ba
"Pergi kau dari sini dan jangan pernah kembali lagi!" Karel menyeret kasar lengan Xela, turun dari teras rumah kayu milik ayahnya."Akh!" Xela menjerit kesakitan.Karel mengempaskannya hingga tersungkur ke tanah."Simpan air mata buayamu itu! Aku tidak akan tertipu," sentak Karel dengan nada dingin. "Percuma kau mengarang cerita pada temanmu. Aku tidak akan percaya!"Xela tergugu."Apa salahku padamu?" tanya Xela. Suaranya terdengar parau."Banyak! Dan aku membencimu hingga ke sum-sum tulangku. Enyah!"Tes! Tes!"Aish! Hujan lagi!" gerutu Karel, melindungi kepalanya dari terpaan hujan dengan telapak tangan sambil berlari menuju rumah ayahnya.Ternyata segala luapan emosinya terhadap Xela hanyalah angan dalam lamunan."Sayang sekali kau terlambat, Nak!" kata Tuan Jaffan begitu Karel melangkah masuk setelah melepas kemejanya yang basah dan memerasnya."Dia baru saja pergi," imbuh Tuan Jaffan."Dia? Siapa?" tanya Karel, terbayang siluet sosok wanita yang mirip dengan Xela melangkah kelua