"Lumayan mirip! Sepertinya Anda berniat sekali menghancurkan toko kue ini, Nona."Karel berkata santai sambil mencabut salah satu kecoak yang kepalanya setengah tenggelam, seolah-olah sedang menikmati kue lezat yang menjadi hidangannya.Deg!Hati pelanggan yang congkak itu bergetar. Tatapannya jadi gelisah dengan bola mata yang bergerak liar."A–apa maksudmu?" tanya wanita itu agak terbata. Punggungnya seketika dibanjiri keringat.Karel menyeringai. "Hewan menjijikkan ini," ujarnya. "Di mana Anda membelinya?"Karel mengangkat kecoak di tangannya lebih tinggi, kemudian melempar binatang sumber penyakit tersebut ke sembarang arah."Aaakh! Menjijikkan!" jerit seorang pengunjung wanita yang terkena lemparan Karel. "Singkirkan binatang itu dari mejaku!"Tangan wanita itu bergetar, menunjuk pada kecoak mati di atas meja."Itu hanya realia, Nona! Anda tidak perlu merasa takut," balas Karel, mengambil seekor kecoak lainnya dari atas kue. "Kalau Anda tak percaya, pegang saja!"Mendengar provok
"Kamu mau ganti rugi, kan?" tanya Xela pada sang wanita pengganggu setelah menerima sesuatu yang tertutup kain dari karyawannya. "Kamu akan mendapatkannya."Xela melangkah maju. Memangkas jarak antara dirinya dan wanita itu.Karel mengerutkan kening. Penasaran dengan apa yang akan dilakukan Xela pada wanita itu. Firasatnya mengatakan bahwa Xela sedang memainkan trik untuk membalas perlakuan si rubah licik."Lunasi secepatnya, Nona!" seru Karel, memprovokasi Xela. "Waktu Anda terlalu berharga untuk terbuang sia-sia! Roda bisnis terus berputar. Coba hitung seberapa besar kerugian yang Anda alami karena permainan kotor ini!"Karel sukses mengobarkan api kemurkaan dalam diri Xela.Semenjak kemunculan wanita itu, karyawannya berhenti melayani pelanggan, bahkan mungkin juga belum memproduksi roti baru lagi.Semua bergabung ke depan, menyaksikan perseteruan antara dirinya dan si rubah licik.Dia harus menyelesaikan kekacauan itu segera."Pegang dia!" titah Xela pada karyawannya.Dua orang ga
"Aku memang marah, tapi aku tidak sekejam itu." Xela mengulum senyum.Tangannya yang terkepal membuka perlahan. Tampak sehelai plastik bening yang masih dihuni oleh seekor kecoak."Jadi ... itu cuma—""Ya! Aku mengembalikan senjata itu pada pemiliknya."Embusan napas lega mengudara di seantero toko kue Xela."Fiuh! Senjata makan tuan. Wanita itu pantas mendapatkannya!" celetuk salah satu pengunjung, setuju dengan apa yang baru saja dilakukan Xela pada rubah licik itu."Mohon maaf atas ketidaknyamanan ini, Tuan-Tuan dan Nyonya-Nyonya. Sebagai tanda permintaan maaf yang tulus dari kami, silakan nikmati kue yang kalian suka. Gratis!" umum Xela, tersenyum ramah pada pelanggan yang setia menonton aksi laganya dengan si rubah licik. "Terima kasih, Nona!" Mereka menerima tawaran Xela dengan senang hati, sebagai tanda ikut merayakan keberhasilan sang pemilik toko mengusir seekor hama.Karyawan Xela bekerja dengan gesit. Dalam hitungan menit, ruangan kembali bersih dan wangi. Setiap meja yang
"Masih ada lagi barang yang ingin diubah posisinya, Nona?" tanya Karel seraya menyeka keringat di keningnya dengan punggung tangan.Lebih dari satu jam ia menata ulang ruang kerja Xela. Bahunya terasa pegal.Xela tak mudah dipuaskan. Berulang kali Karel memindahkan barang yang sama dengan posisi yang berbeda.Xela memindai seisi ruangannya dalam bisu. Posisi meja kerja kini lebih bercahaya setelah dipindah menghadap jendela.Lukisan pemandangan yang semula terpajang pada dinding sebelah kanan pintu, kini telah dihuni oleh lemari arsip.Lukisan penuh kenangan itu telah menggantung indah pada dinding yang berhadapan langsung dengan pintu. Satu set sofa tepat berada di bawahnya.Tok! Tok!"Masuk!"Seorang gadis muda mendorong daun pintu begitu mendengar perintah dari Xela."Bunga pesanan Anda, Nona!" ujar si kurir.Tangannya membawa satu pot Blue Moon Rose yang sedang mekar. Wangi khasnya menguar di udara. Menghadirkan perasaan damai."Taruh di dekat jendela!"Bergegas gadis itu meletakka
"Nyonya Besar!""Apa dia tidak punya nama?""Hanya itu yang saya tangkap saat tak sengaja menguping salah satu dari komplotan penculik tersebut menelepon seseorang. Dia tidak pernah menyebut nama."Jemari Karel mengetuk pelan di atas meja. 'Nyonya Besar ... Nyonya Besar ....'' Berulang kali Karel membisik dua kata itu dalam hati. Otaknya sibuk bergerilya, mereka-reka siapa kira-kira nyonya besar yang dimaksud oleh komplotan itu.Dari pihak Nyonya Nilam-kah? Atau keluarga Sir Collin? Karel belum mampu menarik benang merah dari sekelumit informasi itu."Habiskan makananmu! Setelah itu, antar aku ke lokasi penyekapan!""Siap, Bos!"Red semangat menyantap hidangan yang baru saja tiba lantaran ia telah melewatkan sarapan pagi.Selesai membayar tagihan untuk makanan dan minuman yang mereka pesan, Karel meluncur ke lokasi, didampingi Red sebagai navigator.Cukup jauh jarak yang mereka tempuh. Lebih dari tiga jam perjalanan."Apa tidak sebaiknya kita menyelinap masuk setelah matahari terbenam
"Apa yang kalian lakukan di sini, hah?!"Terdengar hardikan keras disertai entakan sepatu bernada berat. "Angkat tangan!"Karel saling beradu tatap dengan Red di bawah temaram cahaya matahari yang merangkak senja. Perlahan mereka mulai mengangkat tangan dengan ragu-ragu."A–ampun, Pak!"Mendengar cicit bernada cemas dari kejauhan, Karel dan Red serentak menurunkan tangan yang nyaris terangkat. Keduanya saling lempar senyuman tipis.Ternyata, bentakan dari salah satu penjaga pondok itu tidak ditujukan untuk mereka. Sesaat mereka tetap menguping."K–kami ha–hanya melintas. K–kami hendak berburu."Dari suara yang tergagap, Karel tebak mereka adalah dua orang pemuda berusia sekitar awal kepala dua."Periksa!" titah sang penjaga kepada temannya."Sepertinya mereka jujur, Komandan!" lapor rekannya sesaat kemudian."Hem! Pergi jauh-jauh dari sini! Jika aku melihat wajah kalian lagi di sekitar tempat ini, kalian berdua akan mati!""I–iya, Pak. T–terima kasih!"Pendengaran Karel yang tajam dap
Buk!Tanpa sadar Karel meninju dinding.Dua pria yang sedang bermain kartu menghentikan permainan mereka. Jemari mereka menunjuk ke dua arah yang berbeda, memberi kode untuk berpencar."Tidak ada siapa-siapa di sini!" seru lelaki yang agak pendek."Pasang matamu dengan benar! Kalau sampai kamu melewatkan sesuatu, habislah kita!" Rekannya dari sisi lain balas berteriak."Sumpah! Aku tidak menemukan penyusup. Hanya ini!" Si pendek membuka genggaman tangannya, memamerkan beberapa butir buah ek yang disinari dengan cahaya senter dari ponsel."Ck! Banyak sekali tupai di sekitar pondok ini," gerutu rekan si pendek yang berdagu lancip. "Seenaknya saja mereka mengganggu permainan kita. Ayo lanjut lagi!""Ayooo ... siapa takut? Huh! Padahal aku hampir saja menang tadi. Dasar tupai sialan!" Si pendek ikut menggerutu, lalu bergegas menghuni kembali tempat duduknya.Berbaring menelungkup di atas palang kayu pada bagian atas dinding sebuah kamar, Karel terbelalak melihat sesosok perempuan duduk te
"Aduh!" Nyonya Nilam menjerit lirih, lalu cepat-cepat membekap mulut.Grep!Gesit Karel menarik lengan Nyonya Nilam untuk bersembunyi di balik kerimbunan tanaman perdu saat mendengar derap langkah kaki berlari ke arah mereka.Nyonya Nilam tidak berani protes terhadap perlakuan Karel, meskipun kulitnya terasa perih akibat tertusuk duri dari tanaman perdu yang membentengi diri mereka dari pandangan para penculik."Berengsek! Cepat sekali wanita itu menghilang!" Si pendek menggerundel sambil berkacak pinggang.Netra tajam Karel terus mengawasi si pendek dan komplotannya.Dor! Dor!Rekan si pendek bermain kartu membidikkan senapan angin ke arah semak yang menimbulkan suara berisik.Tungkainya yang panjang membuat sosok berbadan kekar itu tampak menjulang.Karel menggenggam erat tangan Nyonya Nilam seraya membekap mulut wanita itu. Jika Nyonya Nilam bersuara, bisa tamat riwayat mereka.Moncong senapan si tungkai panjang yang berdagu lancip itu terus berputar mengikuti arah timbulnya suara
"Bukankah kamu merasa puas setelah berhasil melampiaskan dendammu?" balas Xela, dengan suara yang juga bergetar.Bohong bila ia mengatakan membenci Karel dan tak lagi mencintainya.Karel melepaskan dekapannya, lalu memutar badan Xela."Tatap mataku!" pinta Karel. "Apa kau menemukan kepuasan di sana?"Xela memberanikan diri menantang netra kelam Karel. Yang ia temukan adalah secarik luka dan penyesalan yang mendalam.Entah kenapa Xela merasakan hatinya tersentuh dan tak tega melihat semburat derita yang bersemayam dalam manik mata Karel.Haruskah ia memberi kesempatan kedua kepada Karel?Allah saja Maha Pemaaf. Tidak sepatutnya ia menolak permintaan maaf yang tulus dari Karel.Karel tidak berselingkuh. Lagi pula, lelaki itu memperlakukannya dengan kasar karena ada alasan yang kuat. Andai dia yang berada di posisi Karel, mungkin dia akan melakukan hal yang lebih kejam dari itu.Dia mungkin tidak akan bersedia menyelamatkan mantan mertua yang telah menyiksanya.Berpikir bahwa masih ada ha
"Anda baru saja kembali, Nona. Sekarang, mau pergi lagi. Tidak bisakah tinggal lebih lama?" rayu Bibi Lizzy, berdiri di depan pintu seraya menggenggam erat jemari Xela. Enggan untuk melepaskannya.Xela tersenyum tipis. "Bibi, hanya untuk beberapa hari. Aku akan kembali."Sungguh Xela juga enggan untuk beranjak dari desa nan bebas polusi itu, tapi apa daya, ia tidak ingin mengambil risiko jika nanti yang mencarinya ternyata benar-benar Karel.Ia belum siap untuk bertemu dengan lelaki yang masih mengisi relung hatinya itu. Bukan karena benci, bukan. Dia malu pada diri sendiri.Rasa bencinya pada lelaki itu atas perlakuan kasar yang diterimanya menguap setelah mengetahui kejahatan ayahnya.Rasa sakit yang ia derita sungguh belum seujung kukunya penderitaan Karel.Jiwanya bergetar setiap kali membayangkan Karel disiksa, lalu dibuang ke tengah belantara dalam kondisi sekarat.Belum lagi kejahatan lain yang ditujukan ayahnya untuk Karel dan keluarganya. Bahkan, Karel harus kehilangan saudar
"Bersiaplah untuk menyambut kematian keduamu, Dokter! Ah, tidak, Karel! Panggilan 'Dokter' terlalu mewah untukmu. Cuih!" Lewis meludah jijik."Huh! Coba saja!" tantang Karel seraya mengayunkan rantai di tangan kirinya, melibas anak buah Lewis yang mulai menyerang.Enggan terlalu lama bermain tarik rantai dengan Lewis, Karel membetot kuat. Seketika suara gerincing memekakkan telinga.Di tangan Karel, dua rantai tersebut berubah menjadi senjata sakti yang meliuk di udara bak dua ekor kobra sedang menari.Jerit kesakitan melengking tinggi setiap kali rantai itu berhasil menghantam dan melilit tubuh lawan, lalu membantingnya dengan kuat.Sungguh Karel tak ingin berlama-lama menghabiskan waktu di ruang bawah tanah itu. Ia ingin menyudahi pertarungan tersebut secepatnya.Karel mengamuk seperti orang gila. Tak memberi kesempatan kepada lawan untuk menyentuh tubuhnya.Tas! Tas!Bunyi tebasan yang berpadu dengan gerincing rantai menjadi musik horror bagi Lewis dan anak buahnya. Satu per satu m
"Heh, bangun!"Setengah sadar, Karel merasakan tamparan keras di pipinya, diikuti kalimat makian."Dasar lemah!"Karel berjuang membuka kelopak matanya yang terasa berat. Samar netranya menangkap cahaya temaram."Di mana ini?" lirih Karel dengan suara lemah."Bagus! Akhirnya kau sadar. Aku tidak suka bermain-main saat kau pingsan. Tidak asyik!"Kepingan ingatan Karel telah sepenuhnya menyatu, melukis gambaran peristiwa yang ia alami sebelum tak sadarkan diri.Darahnya seketika mendidih, teringat kecurangan yang dilakukan komplotan Lewis dalam pertarungan.Cuih!Karel meludahi wajah Lewis yang tersenyum mengejek."Pengecut! Kau menjijikkan!""Hahaha ... ya, ya ... terserah apa katamu." Lewis mencengkeram dagu Karel. "Bagiku, kau bodoh! Sama seperti keledai."Keledai terkenal sebagai simbol kebodohan lantaran masuk ke lubang yang sama sampai dua kali.Manusia yang cerdas akan belajar dari kesalahan dan pengalaman pahitnya. Sementara si bijak akan memetik hikmah dari pengalaman orang lai
"Saya telah menemukan jejak istri Anda, Bos.""Katakan!"Netra kelam Karel berbinar penuh harapan. Tak sia-sia ia meminta bantuan Red."Istri Anda terbang ke Belanda. Di—""Terima kasih. Aku akan segera mentransfer bayaranmu," potong Karel, tak butuh penjelasan lebih panjang.Pikirannya hanya tertuju untuk menyusul Xela.Sebuah tas sandang cukup untuk memuat beberapa potong pakaian yang akan dibawanya.Agar lebih cepat tiba di Bandara, Karel memacu motornya.Ckiit!Decit rem membelah sunyi.Sebuah mobil SUV berwarna silver menggunting laju motor Karel, tepat di daerah sawangan."Mau kabur dariku? Dalam mimpi!" hardik suara yang sangat akrab di telinga Karel.Merasa keselamatannya terancam, Karel segera turun dari motor seraya menyingkirkan helm yang melindungi kepalanya."Aku tidak ada urusan denganmu! Kenapa kau selalu menggangguku?" balas Karel dengan nada dingin."Kau, lelaki berengsek yang membuat hidup Xela-ku menderita. Kali ini aku tidak akan mengalah lagi!"Plok! Plok!Karel be
"Di mana istriku?" tanya Karel setelah mempersilakan Herds untuk duduk."Saya tidak tahu," sahut Herds, mulai mengeluarkan sesuatu dari tas kerjanya."Kau ke sini atas perintahnya, 'kan? Tentu berkomunikasi dengannya. Apa masuk akal kau tidak mengetehui keberadaannya?""Saya mengatakan yang sebenarnya, Dokter," timpal Herds, terlihat tak terpengaruh dengan kemarahan Karel. "Nona De Groot memang menemui saya untuk menyerahkan berkas gugatan cerai untuk Anda. Sayangnya, saya tidak berpikir bahwa di saat yang sama, dia juga meninggalkan rumah Anda." Herds menyodorkan berkas perceraian tersebut kepada Karel. "Tolong tanda tangani, Dokter!"Karel memeriksa kelengkapan berkas yang disodorkan oleh Herds. Matanya membelalak melihat fotokopi buku nikah yang terlampir. Seketika ia membanting berkas tersebut ke atas meja, kemudian berlari ke kamar.Karel memeriksa laci nakas dan mengobrak-abrik isinya."Berkas itu ... Ya Tuhan!"Karel mengusap mukanya dengan kasar kala tak lagi menemukan kumpula
"Anda jangan main-main, Nyonya! Xela pergi dengan membawa koper. Ke mana lagi dia pergi bila tidak kembali ke sini?" sergah Karel, mengira Nyonya Beth sengaja merahasiakan keberadaan Xela dari dirinya."Sungguh, Dokter J. Saya tidak bohong," sanggah Nyonya Beth. "Semenjak datang terakhir kali menemui Tuan De Groot, Nona Muda tidak pernah ke sini lagi."Karel menyelami manik mata Nyonya Beth dengan tatapan lekat. Tak ada kebohongan yang ia temukan. Sebaliknya, riak kecemasan terpatri jelas di sana."Lalu, ke mana perginya Xela?" gumam Karel, seakan berbicara pada diri sendiri.Nyonya Beth juga terdiam. Sesaat kemudian ia berkata dengan nada bimbang, "Apa mungkin ... Nona Muda ... pergi membesuk Tuan De Groot?""Huh? Bukankah baru seminggu yang lalu ayah mertuaku keluar dari rumah sakit? Kenapa dia bisa kambuh?""B–bukan itu, Dokter. Kesehatan Tuan De Groot baik-baik saja. Tuan ... Tuan ... ah, saya juga tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi," kata Nyonya Beth, terbata-bata.Karel
"Aaargh!" Karel mendengkus kesal. "Xela tidak ada di rumah Clara. Ke mana dia? Apa mungkin pulang ke rumah ayahnya?"Tak ingin kehilangan jejak Xela, Karel pun memacu motornya menuju kediaman Tuan De Groot.Namun, baru saja turun dari motor, sebuah tendangan membuatnya terjatuh. Motor pun ikut roboh."Berengsek! Masih berani kau menginjakkan kaki di rumah ini!" umpat Lewis.Matanya yang penuh kebencian menyala-nyala terbakar amarah.Karel bangkit seraya menepis debu dan kotoran yang melekat di tubuhnya. Abai akan motor yang masih tergolek."Ini rumah mertuaku. Kapan pun aku bisa datang ke sini.""Banyak bacot!" geram Lewis, kembali menyerang Karel.Karel yang masih kacau memikirkan Xela bereaksi lambat. Tak khayal serangan itu mendarat di dadanya. Seketika ia terjengkang. Untung kerimbunan tanaman hias menahan punggungnya."Jangan pernah bertingkah sok suci di hadapanku!" hardik Lewis. "Aku tahu siapa kau. Di balik nama besarmu, kau hanyalah seekor rubah licik!"Karel menyeringai. "Ba
"Pergi kau dari sini dan jangan pernah kembali lagi!" Karel menyeret kasar lengan Xela, turun dari teras rumah kayu milik ayahnya."Akh!" Xela menjerit kesakitan.Karel mengempaskannya hingga tersungkur ke tanah."Simpan air mata buayamu itu! Aku tidak akan tertipu," sentak Karel dengan nada dingin. "Percuma kau mengarang cerita pada temanmu. Aku tidak akan percaya!"Xela tergugu."Apa salahku padamu?" tanya Xela. Suaranya terdengar parau."Banyak! Dan aku membencimu hingga ke sum-sum tulangku. Enyah!"Tes! Tes!"Aish! Hujan lagi!" gerutu Karel, melindungi kepalanya dari terpaan hujan dengan telapak tangan sambil berlari menuju rumah ayahnya.Ternyata segala luapan emosinya terhadap Xela hanyalah angan dalam lamunan."Sayang sekali kau terlambat, Nak!" kata Tuan Jaffan begitu Karel melangkah masuk setelah melepas kemejanya yang basah dan memerasnya."Dia baru saja pergi," imbuh Tuan Jaffan."Dia? Siapa?" tanya Karel, terbayang siluet sosok wanita yang mirip dengan Xela melangkah kelua