"Aduh!" Nyonya Nilam menjerit lirih, lalu cepat-cepat membekap mulut.Grep!Gesit Karel menarik lengan Nyonya Nilam untuk bersembunyi di balik kerimbunan tanaman perdu saat mendengar derap langkah kaki berlari ke arah mereka.Nyonya Nilam tidak berani protes terhadap perlakuan Karel, meskipun kulitnya terasa perih akibat tertusuk duri dari tanaman perdu yang membentengi diri mereka dari pandangan para penculik."Berengsek! Cepat sekali wanita itu menghilang!" Si pendek menggerundel sambil berkacak pinggang.Netra tajam Karel terus mengawasi si pendek dan komplotannya.Dor! Dor!Rekan si pendek bermain kartu membidikkan senapan angin ke arah semak yang menimbulkan suara berisik.Tungkainya yang panjang membuat sosok berbadan kekar itu tampak menjulang.Karel menggenggam erat tangan Nyonya Nilam seraya membekap mulut wanita itu. Jika Nyonya Nilam bersuara, bisa tamat riwayat mereka.Moncong senapan si tungkai panjang yang berdagu lancip itu terus berputar mengikuti arah timbulnya suara
"Tuan," lirih sang sopir memanggil Karel sembari melirik gusar dari kaca spion."Kita diadang," imbuhnya, sedikit mengurangi kecepatan laju mobil."Aku ... t–tidak mau kembali ke tempat itu!" Nyonya Nilam gemetar, spontan menarik lengan baju Karel."Tenang, Nyonya! Bersikaplah biasa saja! Sandarkan kepala Anda di pundakku dan pejamkan mata!" hibur Karel.Matanya tersenyum mendapati Nyonya Nilam mau bekerja sama dengan bersikap patuh.Karel menatap lurus ke depan, berbicara pada sang sopir, "Jangan membuat mereka curiga!""Baik, Tuan."Lambaian tangan dari sisi kiri dan kanan jalan memaksa sang sopir menginjak pedal rem. Tidak lama kemudian, seseorang mengetuk kaca jendela.Sopir tersebut menurunkan kaca dengan jantung berdebar-debar."Anda butuh tumpangan, Tuan?" ujar sang sopir berbasa-basi."Kami sedang mencari saudara perempuan kami yang kabur dari rumah. Ini sudah malam dan sangat berbahaya untuk wanita berkeliaran di luar. Apa ada yang menumpang mobil Anda?"Pintar sekali komplot
"Ini tidak bisa dibiarkan! Kita harus menyerang balik. Gigi dibalas gigi, mata dibalas mata.""Lalu apa yang akan kau dapatkan dengan menerapkan prinsip itu? Bukankah itu sama saja dengan bunuh diri berkedok balas dendam?""Karel, kau tahu apa yang baru saja dilakukan oleh Tuan De Groot pada perusahaan kita?" Kevin mulai sewot, duduk di bibir ranjang Karel sambil menunggu sang sahabat selesai berdandan."Bukankah itu tugasmu untuk menyelidiki dan mengatasinya?" balas Karel seraya meraih jaket yang tergeletak di samping Kevin."Astaga, Karel! Aku lagi serius lo. Kali ini trik kotor Tuan De Groot tidak main-main. Dia berani memalsukan produk makanan olahan kita dengan kemasan yang nyaris sama persis, tapi dengan kualitas yang mengecewakan. Aku saja hampir tertipu saat melihat sepintas lalu.""Kalau kau sampai tertipu oleh tampilan produk palsu, aku mungkin harus segera memikirkan kandidat penggantimu." Karel menarik ritsleting jaket ke atas."Sialan! Aku susah payah mengembangkan perusah
"Kau lebih sayang pada orang yang membayarmu daripada nyawamu," sindir Karel dengan nada mengejek. "Baiklah. Aku tidak akan mengemis informasi apa pun darimu, jika itu memang menjadi pilihanmu. Selamat membusuk di penjara bawah tanah ini!"Karel menapak mundur, menjauh dari terali besi yang mengukung si dagu lancip. "Ayo kita tinggalkan tempat ini!" ajak Karel pada Red yang ternganga.Lelaki itu tak percaya Karel akan menyerah dengan begitu mudah. "T–tapi, Bos—""Dia lebih mencintai kematian! Biarkan saja dia dengan pilihannya!" balas Karel, berjalan kian menjauh menggapai mulut lorong tanpa menoleh ke belakang.Si dagu lancip tiba-tiba gemetar. Ia hanya sok jual mahal agar bisa mendapatkan posisi tawar yang lebih tinggi.Tak disangka Karel justru mengalah dan memilih pergi. Bagaimana kalau dia benar-benar mati membusuk di penjara bawah tanah itu? Tidak! Dia tidak ingin mati tanpa jejak."Tungguuu! Jangan pergiiii!" pekik si dagu lancip.Seulas senyum tersungging di bibirnya kala Kare
Karel membuka terali dengan kunci yang diserahkan Red. Ia mendatangi si pendek yang tertelentang dengan mata terpejam. Sesekali bibirnya meringis, menahan sakit pada punggungnya."Aku tahu kau belum mati! Bangunlah!" Karel menendang telapak kaki si pendek.Si pendek membuka mata takut-takut. "Aakh! Jauhkan ular itu dariku!"Red mengelus kepala ular di tangannya. Seringai mengejek menghias wajah sangarnya."Semakin lama kau bermain-main, aku tak keberatan menyumpalkan kepala ular ini ke mulutmu!"Si pendek merinding, bergegas berguling, merapat ke dinding."Iya, iya. Aku bicara!" Si pendek bersandar, lupa akan rasa sakit pada punggungnya.Karel berjongkok di depan si pendek. "Bicaralah!" titahnya, siap menekan tombol perekam pada ponselnya. "Siapa bocah itu? Kenapa kalian melenyapkannya?"Si pendek masih membisu. Terbayang hukuman yang akan diterimanya bila ia membocorkan rahasia dua belas tahun yang lalu.Red mendorong kepala ular mendekati wajah si pendek."Aaakh! Hush! Hush!" Si pen
"Jangan main-main, Clark! Apa yang terjadi, hah?! Kecelakaan kerja atau ada karyawan yang melakukan tindak kriminal? Jawab!""Sebaiknya Anda baca sendiri beritanya, Tuan!" Clark menyodorkan tabletnya kepada Tuan De Groot.Sebuah judul artikel terpampang pada pencarian teratas.[Polisi Memasang Police Line pada Salah Satu Anak Perusahaan De Groot Company yang Memalsukan Produk Sanum Corporation]Tuan De Groot terenyak dengan butiran keringat yang mengalir deras.Ia mengeluarkan sehelai sapu tangan, lalu menyeka peluh di pelipis dan lehernya dengan jemari bergetar."Ceroboh! Bagaimana polisi bisa tahu, hah?" hardik Tuan De Groot setelah mampu menguasai keterkejutannya. "Dasar sampah semuanya! Bisa-bisanya kalian membiarkan polisi masuk ke unit produksi!"Mata Tuan De Groot berkilat garang. "Stok barang masih banyak?""Semua sangat tiba-tiba, Tuan! Barang yang baru diproduksi belum sempat dipindahkan ke gudang lain."Braak!Tuan De Groot menggebrak meja. Rahangnya mengeras."Bodoh! Menye
Terkantuk-kantuk Kevin bersandar pada jok mobilnya. Cukup lama mobil box yang ia yakini mengantar produk palsu itu membongkar muatan.'Apa jangan-jangan manajer itu mengkhianatiku?' batin Kevin, melirik arloji di pergelangan tangannya. Sudah mendekati jam makan siang. 'Ah, tidak mungkin!'Saat ia hampir menyerah karena bosan dan lelah, sebuah mobil box berwarna putih meninggalkan pelataran parkir supermarket yang diawasinya.Cepat-cepat Kevin mengeluarkan ponsel, menghubungi seseorang. "Ikuti mobil itu! Ingat, dalam jarak aman!"Kevin menyalakan mesin tanpa menunggu respons dari lawan bicaranya. Seringai licik terbit di wajahnya."Kayaknya ada yang membuntuti kita," ujar seorang lelaki berambut gimbal pada rekannya yang sedang berkonsentrasi mengemudi.Sopir itu melirik spion samping sekilas. Tampak beberapa mobil jenis SUV melaju di belakangnya."Perhatikan kecepatan mobil itu!" perintah sang sopir yang berkumis tipis itu kepada si gimbal.Ia menginjak pedal gas lebih kuat. Mobil pun
"Aunty! Aunty sengaja ya bohongi aku?" dumel Xela, celingukan di ruang tamu. "Mana Deon-nya? Enggak ada tuh."Nyonya Beth tergopoh-gopoh mendatangi Xela. "Lo, barusan ada kok, Non. Benaran! Tuh buktinya!"Nyonya Beth menunjuk buket bunga yang tergeletak di atas meja.Xela mengayun langkah mendekati meja. Seulas senyum samar tersungging di bibirnya kala meraih buket bunga dari atas meja. Refleks ia membawa buket bunga itu ke hidung.Mata Xela terpejam, meresapi wangi Blue Moon Rose yang menguar dengan kesegaran paripurna."Ih, Nona! Saya jadi dikacangi gara-gara tuh mawar!" celetuk Nyonya Beth, menyikut Xela dengan raut muka menggoda."Apaan sih, Aunty! Ini bunga favoritku, tahu?!" Xela tersipu malu. Pipinya yang bening bersemu merah."Yakin cuma bunganya yang favorit? Tuan Deon limited edition lo ...." Nyonya Beth semakin betah menggoda Xela.Xela terdiam. Sedikit bergidik membayangkan bekas luka di wajah Karel yang tampak menyeramkan.Seakan tahu apa yang dipikirkan oleh nona mudanya
"Bukankah kamu merasa puas setelah berhasil melampiaskan dendammu?" balas Xela, dengan suara yang juga bergetar.Bohong bila ia mengatakan membenci Karel dan tak lagi mencintainya.Karel melepaskan dekapannya, lalu memutar badan Xela."Tatap mataku!" pinta Karel. "Apa kau menemukan kepuasan di sana?"Xela memberanikan diri menantang netra kelam Karel. Yang ia temukan adalah secarik luka dan penyesalan yang mendalam.Entah kenapa Xela merasakan hatinya tersentuh dan tak tega melihat semburat derita yang bersemayam dalam manik mata Karel.Haruskah ia memberi kesempatan kedua kepada Karel?Allah saja Maha Pemaaf. Tidak sepatutnya ia menolak permintaan maaf yang tulus dari Karel.Karel tidak berselingkuh. Lagi pula, lelaki itu memperlakukannya dengan kasar karena ada alasan yang kuat. Andai dia yang berada di posisi Karel, mungkin dia akan melakukan hal yang lebih kejam dari itu.Dia mungkin tidak akan bersedia menyelamatkan mantan mertua yang telah menyiksanya.Berpikir bahwa masih ada ha
"Anda baru saja kembali, Nona. Sekarang, mau pergi lagi. Tidak bisakah tinggal lebih lama?" rayu Bibi Lizzy, berdiri di depan pintu seraya menggenggam erat jemari Xela. Enggan untuk melepaskannya.Xela tersenyum tipis. "Bibi, hanya untuk beberapa hari. Aku akan kembali."Sungguh Xela juga enggan untuk beranjak dari desa nan bebas polusi itu, tapi apa daya, ia tidak ingin mengambil risiko jika nanti yang mencarinya ternyata benar-benar Karel.Ia belum siap untuk bertemu dengan lelaki yang masih mengisi relung hatinya itu. Bukan karena benci, bukan. Dia malu pada diri sendiri.Rasa bencinya pada lelaki itu atas perlakuan kasar yang diterimanya menguap setelah mengetahui kejahatan ayahnya.Rasa sakit yang ia derita sungguh belum seujung kukunya penderitaan Karel.Jiwanya bergetar setiap kali membayangkan Karel disiksa, lalu dibuang ke tengah belantara dalam kondisi sekarat.Belum lagi kejahatan lain yang ditujukan ayahnya untuk Karel dan keluarganya. Bahkan, Karel harus kehilangan saudar
"Bersiaplah untuk menyambut kematian keduamu, Dokter! Ah, tidak, Karel! Panggilan 'Dokter' terlalu mewah untukmu. Cuih!" Lewis meludah jijik."Huh! Coba saja!" tantang Karel seraya mengayunkan rantai di tangan kirinya, melibas anak buah Lewis yang mulai menyerang.Enggan terlalu lama bermain tarik rantai dengan Lewis, Karel membetot kuat. Seketika suara gerincing memekakkan telinga.Di tangan Karel, dua rantai tersebut berubah menjadi senjata sakti yang meliuk di udara bak dua ekor kobra sedang menari.Jerit kesakitan melengking tinggi setiap kali rantai itu berhasil menghantam dan melilit tubuh lawan, lalu membantingnya dengan kuat.Sungguh Karel tak ingin berlama-lama menghabiskan waktu di ruang bawah tanah itu. Ia ingin menyudahi pertarungan tersebut secepatnya.Karel mengamuk seperti orang gila. Tak memberi kesempatan kepada lawan untuk menyentuh tubuhnya.Tas! Tas!Bunyi tebasan yang berpadu dengan gerincing rantai menjadi musik horror bagi Lewis dan anak buahnya. Satu per satu m
"Heh, bangun!"Setengah sadar, Karel merasakan tamparan keras di pipinya, diikuti kalimat makian."Dasar lemah!"Karel berjuang membuka kelopak matanya yang terasa berat. Samar netranya menangkap cahaya temaram."Di mana ini?" lirih Karel dengan suara lemah."Bagus! Akhirnya kau sadar. Aku tidak suka bermain-main saat kau pingsan. Tidak asyik!"Kepingan ingatan Karel telah sepenuhnya menyatu, melukis gambaran peristiwa yang ia alami sebelum tak sadarkan diri.Darahnya seketika mendidih, teringat kecurangan yang dilakukan komplotan Lewis dalam pertarungan.Cuih!Karel meludahi wajah Lewis yang tersenyum mengejek."Pengecut! Kau menjijikkan!""Hahaha ... ya, ya ... terserah apa katamu." Lewis mencengkeram dagu Karel. "Bagiku, kau bodoh! Sama seperti keledai."Keledai terkenal sebagai simbol kebodohan lantaran masuk ke lubang yang sama sampai dua kali.Manusia yang cerdas akan belajar dari kesalahan dan pengalaman pahitnya. Sementara si bijak akan memetik hikmah dari pengalaman orang lai
"Saya telah menemukan jejak istri Anda, Bos.""Katakan!"Netra kelam Karel berbinar penuh harapan. Tak sia-sia ia meminta bantuan Red."Istri Anda terbang ke Belanda. Di—""Terima kasih. Aku akan segera mentransfer bayaranmu," potong Karel, tak butuh penjelasan lebih panjang.Pikirannya hanya tertuju untuk menyusul Xela.Sebuah tas sandang cukup untuk memuat beberapa potong pakaian yang akan dibawanya.Agar lebih cepat tiba di Bandara, Karel memacu motornya.Ckiit!Decit rem membelah sunyi.Sebuah mobil SUV berwarna silver menggunting laju motor Karel, tepat di daerah sawangan."Mau kabur dariku? Dalam mimpi!" hardik suara yang sangat akrab di telinga Karel.Merasa keselamatannya terancam, Karel segera turun dari motor seraya menyingkirkan helm yang melindungi kepalanya."Aku tidak ada urusan denganmu! Kenapa kau selalu menggangguku?" balas Karel dengan nada dingin."Kau, lelaki berengsek yang membuat hidup Xela-ku menderita. Kali ini aku tidak akan mengalah lagi!"Plok! Plok!Karel be
"Di mana istriku?" tanya Karel setelah mempersilakan Herds untuk duduk."Saya tidak tahu," sahut Herds, mulai mengeluarkan sesuatu dari tas kerjanya."Kau ke sini atas perintahnya, 'kan? Tentu berkomunikasi dengannya. Apa masuk akal kau tidak mengetehui keberadaannya?""Saya mengatakan yang sebenarnya, Dokter," timpal Herds, terlihat tak terpengaruh dengan kemarahan Karel. "Nona De Groot memang menemui saya untuk menyerahkan berkas gugatan cerai untuk Anda. Sayangnya, saya tidak berpikir bahwa di saat yang sama, dia juga meninggalkan rumah Anda." Herds menyodorkan berkas perceraian tersebut kepada Karel. "Tolong tanda tangani, Dokter!"Karel memeriksa kelengkapan berkas yang disodorkan oleh Herds. Matanya membelalak melihat fotokopi buku nikah yang terlampir. Seketika ia membanting berkas tersebut ke atas meja, kemudian berlari ke kamar.Karel memeriksa laci nakas dan mengobrak-abrik isinya."Berkas itu ... Ya Tuhan!"Karel mengusap mukanya dengan kasar kala tak lagi menemukan kumpula
"Anda jangan main-main, Nyonya! Xela pergi dengan membawa koper. Ke mana lagi dia pergi bila tidak kembali ke sini?" sergah Karel, mengira Nyonya Beth sengaja merahasiakan keberadaan Xela dari dirinya."Sungguh, Dokter J. Saya tidak bohong," sanggah Nyonya Beth. "Semenjak datang terakhir kali menemui Tuan De Groot, Nona Muda tidak pernah ke sini lagi."Karel menyelami manik mata Nyonya Beth dengan tatapan lekat. Tak ada kebohongan yang ia temukan. Sebaliknya, riak kecemasan terpatri jelas di sana."Lalu, ke mana perginya Xela?" gumam Karel, seakan berbicara pada diri sendiri.Nyonya Beth juga terdiam. Sesaat kemudian ia berkata dengan nada bimbang, "Apa mungkin ... Nona Muda ... pergi membesuk Tuan De Groot?""Huh? Bukankah baru seminggu yang lalu ayah mertuaku keluar dari rumah sakit? Kenapa dia bisa kambuh?""B–bukan itu, Dokter. Kesehatan Tuan De Groot baik-baik saja. Tuan ... Tuan ... ah, saya juga tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi," kata Nyonya Beth, terbata-bata.Karel
"Aaargh!" Karel mendengkus kesal. "Xela tidak ada di rumah Clara. Ke mana dia? Apa mungkin pulang ke rumah ayahnya?"Tak ingin kehilangan jejak Xela, Karel pun memacu motornya menuju kediaman Tuan De Groot.Namun, baru saja turun dari motor, sebuah tendangan membuatnya terjatuh. Motor pun ikut roboh."Berengsek! Masih berani kau menginjakkan kaki di rumah ini!" umpat Lewis.Matanya yang penuh kebencian menyala-nyala terbakar amarah.Karel bangkit seraya menepis debu dan kotoran yang melekat di tubuhnya. Abai akan motor yang masih tergolek."Ini rumah mertuaku. Kapan pun aku bisa datang ke sini.""Banyak bacot!" geram Lewis, kembali menyerang Karel.Karel yang masih kacau memikirkan Xela bereaksi lambat. Tak khayal serangan itu mendarat di dadanya. Seketika ia terjengkang. Untung kerimbunan tanaman hias menahan punggungnya."Jangan pernah bertingkah sok suci di hadapanku!" hardik Lewis. "Aku tahu siapa kau. Di balik nama besarmu, kau hanyalah seekor rubah licik!"Karel menyeringai. "Ba
"Pergi kau dari sini dan jangan pernah kembali lagi!" Karel menyeret kasar lengan Xela, turun dari teras rumah kayu milik ayahnya."Akh!" Xela menjerit kesakitan.Karel mengempaskannya hingga tersungkur ke tanah."Simpan air mata buayamu itu! Aku tidak akan tertipu," sentak Karel dengan nada dingin. "Percuma kau mengarang cerita pada temanmu. Aku tidak akan percaya!"Xela tergugu."Apa salahku padamu?" tanya Xela. Suaranya terdengar parau."Banyak! Dan aku membencimu hingga ke sum-sum tulangku. Enyah!"Tes! Tes!"Aish! Hujan lagi!" gerutu Karel, melindungi kepalanya dari terpaan hujan dengan telapak tangan sambil berlari menuju rumah ayahnya.Ternyata segala luapan emosinya terhadap Xela hanyalah angan dalam lamunan."Sayang sekali kau terlambat, Nak!" kata Tuan Jaffan begitu Karel melangkah masuk setelah melepas kemejanya yang basah dan memerasnya."Dia baru saja pergi," imbuh Tuan Jaffan."Dia? Siapa?" tanya Karel, terbayang siluet sosok wanita yang mirip dengan Xela melangkah kelua