Wu Long berdiri tegak, menghadapi Titan Kegelapan yang kini sepenuhnya bangkit. Tubuh raksasa makhluk itu memancarkan api hitam yang bergejolak, dan matanya yang merah menyala seolah menembus jiwa siapa pun yang menatapnya. Tanah di bawah kaki Titan Kegelapan retak, memancarkan aura gelap yang membuat udara di sekitar terasa berat."Wu Long, kita harus menyerang dengan seluruh kekuatan yang kita miliki," seru Naga Putih, mengepakkan sayapnya dengan megah. Armor barunya yang berkilauan menahan percikan api gelap yang beterbangan dari tubuh Titan.Wu Long mengangguk, menggenggam erat pedang emasnya. "Tidak ada jalan mundur sekarang. Kita harus menghancurkan Batu Jiwa Kegelapan."Titan Kegelapan mengangkat tangannya yang raksasa, menciptakan bola energi hitam sebesar gunung. Dengan gerakan lambat namun penuh kekuatan, ia melemparkan bola itu ke arah Wu Long dan Naga Putih."Hati-hati!" teriak Naga Putih sambil melesat ke udara, menghindari serangan mematikan itu. Wu Long berlari dengan k
"WU LONG!"Suara nyaring itu menembus kesadaran Wu Long seperti lonceng yang berdentang terlalu dekat. Ia terbangun seketika, tubuhnya melompat dari tempat tidur seperti prajurit yang disergap musuh. Dadanya naik turun, napasnya terengah-engah."Hihihi... kamu masih saja menggemaskan, Wu Long," suara perempuan itu menggema di ruangan, manis tapi penuh keusilan yang membuat bulu kuduknya berdiri.Wu Long memicingkan matanya, pandangannya masih buram. Jantungnya berdetak keras, seperti baru saja keluar dari medan pertempuran. "Aku... di mana ini? Bukankah aku sedang bertarung melawan Darkness Titan?" gumamnya, kebingungan.Ketika matanya mulai menyesuaikan dengan cahaya lembut di ruangan, pandangannya jatuh pada sosok perempuan di atas ranjangnya. Kulitnya putih bercahaya, tubuhnya bersandar santai di atas kasur dengan pakaian yang lebih cocok disebut kain tipis daripada gaun. Wajah itu terlalu familiar, terlalu berbahaya."Tuan Putri..." Wu Long menelan ludah, suaranya tercekat. Jantun
Wu Long berdiri mematung, matanya tertuju pada Putri Kaisar yang kini menatapnya dengan campuran rasa terluka dan keras kepala. Udara di kamar itu terasa berat, seperti menekan setiap langkah yang ingin ia ambil. "Aku tidak mengerti kenapa kau terus menyalahkan dirimu," kata Putri Kaisar akhirnya, nadanya bergetar. "Ayahku yang terlalu keras. Kau hanya korban." Wu Long tertawa pahit, suara itu menggema di ruangan. "Korban? Kau menyebutku korban, Tuan Putri? Kau tahu apa yang terjadi selama aku di Dunia Fana? Bertahun-tahun aku hidup dengan dosa yang tak pernah kuhindari, memikul kenangan yang seharusnya tidak pernah ada. Aku bukan hanya korban, aku adalah pelanggar. Dan itu karena kita berdua terlalu bodoh untuk memahami batas." Putri Kaisar bangkit dari tempat tidur, gaunnya melambai mengikuti gerakannya. Langkahnya pelan namun penuh tekanan, seperti seorang ratu yang hendak memberikan titah. "Jadi, apa yang kau inginkan sekarang, Wu Long? Menghapus semua itu? Berpura-pura kita ti
Wu Long merasa tubuhnya menegang saat tatapannya bertemu dengan Kaisar Nirvana Surgawi. Mata sang kaisar, tajam seperti pedang, menyapu kamar itu. Di belakangnya, dua pengawal berdiri siaga dengan tangan di gagang senjata mereka, siap bergerak kapan saja. "Jadi, ini yang kau lakukan begitu kembali ke Nirvana Surgawi?" suara Kaisar menggema, dingin dan penuh wibawa. "Berani-beraninya kau mencoreng kehormatan istana ini untuk kedua kalinya, Wu Long." Wu Long melangkah mundur, merasakan dinding dingin kamar menyentuh punggungnya. "Yang Mulia, ini tidak seperti yang Anda pikirkan." Namun, sebelum ia bisa melanjutkan, Putri Kaisar maju ke depan, berdiri di antara Wu Long dan ayahnya. "Ayah, jangan salahkan dia!" katanya dengan nada tegas, tetapi penuh emosi. "Aku yang memanggilnya ke sini. Aku yang memaksanya untuk tinggal. Wu Long tidak bersalah." Sang kaisar mendengus, pandangannya beralih dari putrinya ke Wu Long. "Tentu saja, kau membelanya. Seperti dulu, kau selalu membela pria in
Wu Long berdiri di gerbang Nirvana Surgawi, menghadap lorong berliku yang perlahan memudar ke dalam bayangan gelap. Langit yang biasanya bercahaya kini tampak suram, seolah mengetahui perjalanan berbahaya yang akan ia tempuh. Di sisinya, Putri Kaisar berdiri dengan mantel panjang berwarna emas yang berkibar lembut oleh angin. Mata indahnya bersinar dengan keteguhan, meski Wu Long tahu betul bahwa ini bukan dunia yang aman baginya."Tuan Putri, aku mohon sekali lagi, kembalilah ke istana. Alam Kegelapan bukan tempat untukmu," ujar Wu Long, suaranya penuh kekhawatiran.Putri Kaisar menatapnya tajam, tangannya mencengkeram pedang tipis yang ia bawa. "Wu Long, kau tahu aku keras kepala. Kau tak akan bisa menghentikanku. Jika kau ingin aku selamat, pastikan kita berdua kembali dengan selamat."Wu Long menghela napas, menyadari bahwa membujuknya adalah usaha sia-sia. "Baiklah, tapi tetaplah di belakangku dan jangan lakukan hal yang gegabah. Makhluk di sana tidak seperti yang pernah kau hada
Wu Long dan Putri Kaisar melanjutkan perjalanan mereka, menyusuri lorong yang semakin menyesakkan. Cahaya dari obor yang Wu Long bawa semakin redup, seperti tertelan oleh kegelapan yang merambat dari segala arah. Napas mereka terdengar berat, seiring dengan langkah yang semakin hati-hati."Wu Long," bisik Putri Kaisar, menghentikan langkahnya. "Apakah kau merasakan itu?"Wu Long mengangguk, memasang kewaspadaan. Udara di sekitar mereka tiba-tiba terasa lebih berat, seperti ditekan oleh kehadiran sesuatu yang besar dan berbahaya. Langit-langit lorong bergetar perlahan, menandakan sesuatu yang raksasa sedang bergerak mendekat.Dari ujung lorong, sebuah bayangan besar muncul. Makhluk itu tampak seperti seorang raksasa, dengan tubuh yang diselimuti batu hitam berkilauan dan mata bersinar merah darah. Setiap langkahnya mengguncang tanah, menciptakan getaran yang memekakkan telinga."Itu... itu Penjaga Titan Kegelapan," kata Wu Long, suaranya nyaris berbisik. "Dia jauh lebih kuat dari makhl
Wu Long berdiri, matanya terpaku pada sosok misterius yang muncul dari bayangan. Udara di sekeliling terasa semakin dingin, seolah menyambut kehadiran ancaman baru yang tak kasat mata. Sosok itu, seorang pria dengan jubah hitam panjang dan mata yang berkilauan seperti obsidian, menyeringai tipis."Kalian berdua benar-benar mengesankan," katanya dengan suara serak namun penuh kekuatan. "Tapi melawan aku adalah cerita yang berbeda."Wu Long merasakan keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia menatap Putri Kaisar yang masih lemah di pelukannya. "Tuan Putri, kau harus mundur. Ini terlalu berbahaya.""Tidak, Wu Long," balas Putri Kaisar dengan suara lemah namun penuh tekad. "Kita sudah sampai sejauh ini bersama. Aku tidak akan meninggalkanmu."Pria berjubah hitam itu mengangkat satu tangan, dan dari udara tipis, bayangan mulai bergerak, membentuk sosok-sosok mengerikan dengan cakar tajam dan mata merah menyala. Mereka mengepung Wu Long dan Putri Kaisar, membuat pelarian tampak mustahil."
Wu Long dan Putri Kaisar bergerak dengan cepat melalui lorong-lorong istana yang gelap, hanya diterangi oleh cahaya redup dari lentera kuno yang menggantung di dinding. Suara langkah kaki mereka bergema samar, menciptakan suasana tegang yang menyelimuti mereka."Kita harus mencari jalan keluar sebelum dia kembali," kata Wu Long dengan nada tegas namun pelan. Matanya terus mengamati setiap sudut, waspada terhadap serangan mendadak."Aku tahu tempat persembunyian," balas Putri Kaisar, napasnya sedikit terengah. "Di belakang aula utama, ada lorong rahasia yang hanya diketahui keluarga kerajaan."Wu Long mengangguk, menggenggam pedangnya lebih erat. "Kalau begitu, tunjukkan jalannya. Tapi kita harus berhati-hati—dia pasti memiliki lebih banyak trik."Namun, langkah mereka terhenti ketika sebuah tawa dingin menggema di udara. Suara itu tidak berasal dari satu arah, melainkan mengelilingi mereka, membuat bulu kuduk meremang."Kalian pikir bisa lari dariku begitu saja?" suara pria berjubah h
Desa Rembulan, yang dulunya muram akibat kehancuran oleh Phoenix Iblis, kini bersinar kembali berkat bantuan dari Perguruan Matahari dan Rembulan. Hari ini, desa yang biasanya sepi itu dipenuhi keceriaan dan tawa penduduknya.Di sudut-sudut desa, aroma masakan menggoda tercium dari dapur-dapur rumah. Para ibu sibuk menyiapkan berbagai hidangan lezat, wajah mereka berseri-seri saat mencicipi masakan. Anak-anak berlarian riang, tertawa lepas, sementara para pria menghias jalanan dengan lentera warna-warni, menciptakan suasana meriah yang belum pernah dirasakan sebelumnya.Keramaian ini bukan tanpa alasan. Para pendekar dari Benua Andalas dan Benua Empat Elemen berdatangan, memenuhi desa untuk menghadiri pernikahan Pendekar Naga Putih, yang juga dikenal sebagai Pendekar Seruling Bambu Putih, serta Pendekar Pedang Matahari dan Rembulan. Wu Long, yang kini menjadi sosok ternama di Benua Andalas, menarik perhatian banyak praktisi bela diri yang ingin menyaksikan hari bahagianya.Di tengah ke
Dalam sekejap, transformasi Wu Long pun terjadi. Tubuhnya bergetar hebat, seolah tersambar energi purba yang mengalir deras dalam nadinya. Kulitnya mulai berubah, berkilauan putih keperakan yang memantulkan cahaya bulan, dan sisik-sisik halus muncul di lengannya. Dengan raungan yang menggelegar, Wu Long berubah menjadi Naga Putih, makhluk legendaris yang pernah hanya ada dalam dongeng. Di udara, bayang-bayang tubuh raksasa itu menyapu langit, menantang nasib dengan aura keagungan yang mempesona.Tak jauh dari sana, Phoenix Iblis—makhluk dengan tubuh berselimut api hitam dan mata menyala merah—menyaksikan perubahan itu dengan tatapan penuh amarah. Suara sayapnya mengibas keras, mengirimkan gelombang panas yang menyambar, seolah menolak kehadiran Naga Putih yang kini menaklukkan kegelapan malam. Tanpa ragu, kedua kekuatan kuno itu pun bertabrakan di angkasa.Pertempuran di antara awan mulai bergemuruh. Naga Putih menghembuskan semburan embun beku yang membeku segala yang disentuhnya, me
Malam itu, langit di atas Desa Phoenix Merah tampak pekat, seolah ditelan kegelapan. Angin menderu di antara pepohonan, menerbangkan debu dan dedaunan kering, membawa serta firasat buruk yang menggantung di udara. Para penjaga di menara dan gerbang utama menggenggam erat senjata mereka, merasakan sesuatu yang tak biasa. Namun, mereka tidak mengetahui bahwa di balik bayangan pepohonan yang menjulang, puluhan sosok bergerak dalam keheningan, mata mereka penuh tekad dan tangan menggenggam senjata tajam. Pasukan Aliansi Pendekar Putih telah bersiap.Wu Long mengangkat tangannya perlahan, memberi isyarat. Bayangan-bayangan di sekitarnya segera berpencar. Tim pertama, yang dipimpin oleh lima pendekar terbaik dari Perguruan Pedang Patah, bergerak seperti bayangan malam. Nafas mereka nyaris tak terdengar, langkah kaki mereka menyatu dengan kegelapan. Dalam sekejap, seorang penjaga di menara sinyal api tersentak, matanya membelalak sebelum pedang melintasi tenggorokannya. Darah hangat mengalir
Malam itu, di Desa Rembulan, pusat pergerakan Aliansi Pendekar Putih, udara dipenuhi ketegangan yang membara. Angin malam berembus membawa aroma tanah basah dan asap dari obor-obor yang menyala di sepanjang jalan utama desa. Aula besar yang terbuat dari kayu jati tua bergetar oleh langkah-langkah tegas para pendekar dari keempat perguruan yang telah bersatu. Mereka duduk mengelilingi meja panjang yang penuh dengan peta, sketsa formasi, serta gulungan laporan dari mata-mata yang telah menyusup ke Desa Phoenix Merah. Wu Long berdiri tegap di tengah ruangan, sorot matanya tajam menelusuri wajah-wajah penuh tekad di sekelilingnya. Suaranya dalam dan tegas ketika ia berbicara, "Kita telah mengumpulkan kekuatan dari Perguruan Pedang Patah, Tapak Sakti, Cakar Tengkorak, dan Jari Sakti. Namun, menghadapi Phoenix Iblis Lie Wei bukanlah tugas mudah. Kita harus memiliki strategi yang matang." Shun Ming, seorang ahli taktik dari Perguruan Matahari dan Rembulan, menatap peta yang tergelar di meja
Wu Long, Shun Ming, dan Diao Chan duduk mengelilingi meja kayu di dalam pondok sederhana. Peta besar terbentang di atas meja, menampilkan lokasi perguruan-perguruan yang mereka rencanakan untuk direkrut dalam perlawanan melawan Phoenix Iblis Lie Wei.Langkah Pertama : Perguruan Pedang Patah di Kota Bintang"Perguruan Pedang Patah dikenal dengan teknik pedang mereka yang tak tertandingi," kata Shun Ming sambil menunjuk lokasi Kota Bintang di peta. "Namun, mereka terkenal menjaga netralitas dan jarang terlibat dalam konflik antar perguruan."Wu Long mengangguk. "Kita harus meyakinkan mereka bahwa ancaman Lie Wei tidak hanya terhadap beberapa perguruan, tetapi terhadap seluruh dunia persilatan."Diao Chan menambahkan, "Mungkin kita bisa menunjukkan bukti kekejaman Lie Wei di Desa Rembulan untuk menggugah hati mereka."Dengan rencana tersebut, ketiganya berangkat menuju Kota Bintang. Setibanya di sana, mereka disambut oleh suasana kota yang ramai, dengan para pedagang dan pendekar berlalu
Shun Ming menatap Wu Long dengan tatapan tajam, alisnya sedikit berkerut, seolah mencoba menebak siapa gadis cantik yang berdiri di samping kekasihnya. Udara di antara mereka terasa tegang, seakan waktu berhenti sejenak.Wu Long menarik napas dalam-dalam, lalu berkata dengan suara pelan namun tegas, "Shun Ming, aku baru saja dari Desa Rembulan sebelum datang ke sini untuk menemuimu."Sebelum Shun Ming sempat merespons, gadis di samping Wu Long melangkah maju. Dengan senyum lembut namun mata yang penuh keyakinan, dia berkata, "Kak Shun Ming, aku sudah mengetahui hubungan kalian sebagai kekasih. Perkenalkan, aku adalah Diao Chan, kekasih Wu Long dari kehidupan sebelumnya di Dunia Atas Nirvana Surgawi, sebelum ia terlahir kembali ke dunia fana ini."Glek!Wu Long menelan ludah, jantungnya berdegup kencang. Kejujuran Diao Chan yang tiba-tiba membuatnya cemas, terutama karena mereka sangat membutuhkan bantuan Shun Ming. Dia melirik ke arah Shun Ming, mencoba membaca ekspresi di wajahnya ya
Wu Long menatap tajam ke arah kedua murid senior yang kini terhuyung mundur. Si wajah berbintik, dengan pedang terhunus, tampak ragu sejenak sebelum kembali menyerang. Namun, dengan gerakan lincah, Wu Long menghindar dan memberikan tamparan keras ke pipi lawannya.PLAAK!Si wajah berbintik terjatuh, pedangnya terlepas dari genggaman. Sementara itu, si gempal yang masih terkejut dengan tamparan sebelumnya, mencoba bangkit dan menyerang dari belakang. Namun, Wu Long sudah mengantisipasinya. Dengan cepat, ia memutar tubuh dan menendang perut si gempal, membuatnya terjatuh kembali."Beraninya kalian menghina tamuku!" Tiba-tiba terdengar suara berat dan berwibawa. Dari arah gerbang perguruan, muncul seorang gadis cantik dengan jubah putih bersih, wajahnya memancarkan ketegasan. Dia adalah Shun Ming, pemimpin Perguruan Matahari dan Rembulan.Kedua murid yang tergeletak di tanah segera mengenali suara itu. Dengan wajah pucat, mereka berusaha bangkit dan berlutut di hadapan Shun Ming."Ketua.
Kabut tipis menyelimuti reruntuhan Desa Rembulan. Asap masih mengepul dari puing-puing hangus yang tersisa, menyebarkan aroma kayu terbakar yang menusuk hidung. Angin membawa bisikan duka dari rumah-rumah yang kini hanya tinggal arang."Siapa yang melakukan ini semua, Wu Long?" tanya Putri Diao Chan dengan suara bergetar, matanya menyapu kehancuran di sekeliling mereka.Wu Long mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. Matanya yang tajam menyiratkan kemarahan yang bergejolak di dadanya. "Siapapun yang melakukannya... harus membayar dengan nyawanya! Aku curiga ini perbuatan Lie Wei!" katanya, suaranya dingin seperti bilah pedang yang baru diasah. "Sepertinya dia bangkit kembali, seperti phoenix yang muncul dari abu."Diao Chan menoleh, alisnya berkerut. "Tapi... kenapa ia membakar Desa Rembulan?"Wu Long menarik napas dalam sebelum menjawab. "Ia menyimpan dendam kesumat padaku. Gadis yang ia cintai memilihku sebagai kekasihnya."Sejenak, Diao Chan terdiam. Meski telah menerima kenyataan,
Langit senja membentang luas, menyajikan perpaduan warna ungu yang bercampur jingga di cakrawala, seolah melukiskan keindahan terakhir sebelum malam menelan dunia. Namun, keindahan itu tak mampu menutupi bau pahit dari kayu yang terbakar dan daging yang hangus. Udara berat dengan abu yang melayang-layang, menyelubungi Desa Rembulan yang kini hanya tersisa puing dan arang.Wu Long melangkah perlahan, butiran debu dan serpihan bara terangkat setiap kakinya menyentuh tanah. Jubahnya berkibar dihembus angin yang dingin dan menyusup hingga ke tulang. Matanya menyapu pemandangan mengerikan di depannya—rumah-rumah yang hancur, tiang-tiang kayu yang masih berderak perlahan sebelum ambruk, dan kehampaan yang lebih menyakitkan dari suara jerit kesakitan.Tidak ada suara tawa anak-anak yang dulu bermain di jalanan, tidak ada pedagang yang sibuk menawarkan barang dagangan mereka. Desa ini, yang seharusnya penuh dengan kehidupan, kini menjadi kuburan tanpa nisan.Di sisinya, Putri Diao Chan menutu