Putra Mahkota dan Bimala pun tiba di kediaman baru Kakek dan Neneknya menggunakan kereta kencana yang dikawal para Prajurit Penjaga. Bimala tampak lega melihat kediamannya begitu luas dan indah. Tempat itu berada cukup jauh dari istana. Bimala lega melihat banyak prajurit yang menjaga kediaman itu. Dan terlihat beberapa pelayan yang menyambut kedatangan mereka dengan penuh hormat.Saat Bimala dan Putra Mahkota turun dari sana, Kakek dan Neneknya keluar dari kediaman itu dan langsung berlari mendekati Bimala.“Cucuku!” teriak Neneknya penuh haru.Neneknya langsung memeluk gadis itu dengan lega.“Apa kau baik-baik saja?” tanya Neneknya.Bimala mengangguk sambil berurai air mata. Dia sungguh lega melihat Kakek dan Neneknya berada di tempat itu dengan aman.“Kenapa kau menangis?” tanya Kakeknya heran.“Dia terharu bisa bertemu dengan kalian lagi,” ucap Putra Mahkota.“Terima kasih telah menjaga cucuku,” ucap Kakek itu. Dia yakin Bimala bahagia bersama Pangeran itu.Mereka pun memasuki ked
Putra Mahkota dan Bimala tiba di Istana. Calon raja yang tampan itu mengantarkan Bimala ke dalam kediamannya. Bimala tampak risih. Dia khawatir Putra Mahkota berbuat yang tidak-tidak.“Kau bisa kembali ke kediamanmu,” pinta Bimala.Putra Mahkota pun mendekat lalu seketika memeluknya dari belakang. Bimala mendorong tubuh Putra Mahkota dengan keras hingga dia terjatuh ke atas lantai.“Apa yang kau lakukan?” tanya Bimala dengan geramnya.Putra Mahkota tampak kesal. Amarahnya memuncak. Dia bangkit lalu menatap Bimala dengan amarah.“Aku calon suamimu! Jadi aku bebas untuk melakukan apapun yang kuinginkan darimu!” teriak Putra Mahkota penuh amarah.“Kita belum menikah! Aku harap kau jangan menyentuhku sebelum pernikahan dilakukan!” pinta Bimala dengan amarah.Putra Mahkota pun menarik paksa tangan Bimala menuju kamar. Bimala hendak melawan, namun tarikan tangan Putra Mahkota begitu kuat.“Lepaskan aku! Lepaskan!” teriak Bimala.Putra Mahkota terus saja menariknya ke dalam kamar. Saat merek
Hawa dingin menyeruak menembus tulang Tanaka. Tubuhnya menggigil di hari kedua dia melakukan pertapaan itu. Roh Panglima masih setia berdiri menunggunya. Dia menatap lekat Tuan buruk rupanya itu.Seketika, dalam bayangan Tanaka, datang seorang gadis bergaun putih dan bermahkota perak yang bercahaya.“Tanaka!” panggil gadis itu dengan lembut.Tanaka tampak kesusahan untuk berkonsentrasi. Tiba-tiba jiwanya terangkat. Dia berdiri di sebuah alam yang dipenuhi kabut putih. Tanaka terbelalak melihat gadis cantik bermahkota perak itu tengah tersenyum padanya.“Si... siapa kamu?” tanya Tanaka.“Aku bisa merubah wajahmu menjadi tampan jika kau mau,” rayu gadis itu.“Be... benarkah?” tanya Tanaka yang mulai tertarik padanya.Sementar itu, Roh Panglima melihat Tanaka seperti bicara sendiri dalam pertapaannya. Dia mendekat lalu duduk di hadapannya dengan heran.“Apa yang terjadi padanya?” tanya Roh Panglima dengan heran.Tak lama kemudian dia melihat ular putih berukuran kecil sedang meniki tubuh
Tetes-tetes air dari langit-langit gua menetes ke bahu kiri Tanaka. Roh Panglima tampak khawatir melihatnya. Jika air itu terus menetes dari langit-langit gua hingga pertapaannya selesai, tetesan itu akan melukai bahu kiri Tuannya. Roh Panglima pun berdiri lalu menengadahkan tangannya ke tetesan air itu. Dia menghalangi tetesan air itu untuk jatuh ke bahu kiri Tuannya.Tanaka mulai merasa sangat lapar dan haus. Di mencoba menahannya saat tenaganya mulai berkurang. Dia mencoba untuk terus berkonsentrasi agar pertapaannya berhasil sempurna sampai hari terakhirnya.Sementara itu, Kuda Putih yang membawa Bimala tiba di depan mata air yang jernih. Mata air yang berbeda dari sebelumnya yang pernah dia kunjungi bersama Kakek dan Neneknya. Gadis itu heran kenapa Kuda itu membawanya ke sana.Bimala pun turun dari kuda sambil memegang pedangnya. Dia melihat ke sekitarnya dengan heran. Tempat itu begitu dingin. Pohon-pohon di sekitar aliran air terjun itu tampak rimbun dan tinggi-tinggi. Semak-s
“Kenapa aku harus merasakan ini, Tuan Guruku?!” erang Tanaka sambil menahan sakit dari anak panah yang bertubi-tubi menusuk dadanya.Tak ada suara yang terdengar lagi. Sesaat kemudian dia tampak lemas. Kepalanya menjutai tak berdaya. Air liur menetesi tanah di bawahnya. Dan tepat di tengah malam itu, Lelaki Buruk Rupa itu terbangun. Dia terkejut melihat Baluku tersenyum di hadapannya. Tanaka melihat ke sekitar. Dia masih berada di dalam gua itu. Dia cubit lengannya. Rupanya yang dia rasakan tadi hanya mimpi. Namun tanaka heran, kenapa dia bisa merasakan sakitnya? Bukan kah jika bermimpi tak akan terasa sakit? Pikirnya.Seketika Roh Panglima memberikan makanan dan minuman padanya. Tanaka langsung meminum airnya dengan kehausan dan memakan makanannya dengan cepat dan lahap.“Kau telah selesai melakukan tugas terakhirmu, muridku,” ucap Baluku.Tanaka terbelalak mendengarnya hingga dia berhenti makan.“Aku telah selesai melakukan tugas terakhirku?”“Ya,” sahut Baluku. “Sekarang semua roh
Pagi sekali Ratu Anin tampak gelisah di kamarnya. Dia masih belum mendapatkan jawaban alasan Raja Tala untuk menggugurkan kandungannya. Sudah lebih satu bulan dia mencari tahu bersama Kepala Pelayannya, namun tak kunjung mendapatkan jawaban juga.“Aku harus menyamar,” ucap Ratu Anin dalam hatinya.Saat itu juga, Ratu Anin menyamar menjadi pelayan. Dia meminta Kepala Pelayan untuk mendadaninya. Dia ingin memasuki kediaman Raja dan berharap bisa menemukan sebuah petunjuk untuk jawabannya. Saat sudah berdandan ala pelayan, Ratu Anin pun diam-diam pergi ke kediaman Raja. Dia bersekongkol dengan pelayan yang selalu mengantarkan makanan dan keperluan di kediaman Raja. Kini Sang Ratu dapat masuk dengan lega sambil membawa makanan dan minuman untuk Sang Raja.Prajurit Penjaga di kediaman Sang Raja pun membiarkan Ratu Anin masuk. Mereka sama sekali tidak menyadarinya. Saat Ratu Anin hampir tiba di depan pintu ruangan Raja, tiba-tiba dia mendengar obrolan Sang Raja dengan Pejabat Istana di dala
Sang Ratupun tengah memacukan kudanya menembus hutan belantara. Kepala Pelayan dan empat pelayan lain mengikutinya dengan kuda masing-masing. Mereka tidak tahu kemana Sang Ratu akan membawanya. Tak lama kemudian, sepuluh lelaki bertopeng keluar dari balik pohon lalu menghadang mereka. Sontak Sang Ratu dan kelima pelayannya langsug menghentikan kuda masing-masing.“Bukankah para perampok itu telah dihukum gantung semua? Kenapa masih ada di negeri ini?” tanya Sang Ratu pada pelayannya.“Ampun, Yang Mulia, hamba tidak tahu.”Para perampok itu tertawa.“Kau pikir hanya mereka saja yang bisa merampok di negeri ini?” ucap salah satu dari mereka yang berbadan paling besar dan tinggi itu. “Sekarang turun dari kuda kalian, serahkan semua harta benda yang kalian miliki dan kuda-kuda itu pada kami!”Kelima pelayan yang sudah terlatih itu langsung melompat dari atas kuda masing-masing lalu mengeluarkan pedang di punggung dan bersiap melawan mereka.Para perampok itu tertawa.“Kau pikir kami takut
Para Prajurit yang datang dengan kuda masing-masing itu ternganga saat melihat pohon-pohon di tempat persembunyian Putra Mahkota tampak terbakar. Di tengah-tengah berdiri Putra Mahkota dengan mata menyala dan wajah sedikit menghitam. Di sekitar Putra Mahkota tampak puing-puing sisa dahan yang terbakar. Pimpinan Prajurit tampak mengangkat tangan untuk menghentikan pasukan di belakangnya. Pasukan di belakangnya heran.“Kenapa?”“Apa dia benar-benar Putra Mahkota yang kita cari?” tanya Pimpinan Prajurit dengan heran.Pasukannya menatap Putra Mahkota dengan lekat. Seketika Putra Mahkota menoleh pada mereka dengan mata yang sudah tidak lagi menyala.“Ada apa kalian menyusulku kemari?” tanya Putra Mahkota.Semua pun langsung turun dari kuda lalu berlutut padanya saat menyadari dia memang Putra Mahkota.“Ampun, Yang Mulia. Yang Mulia Raja meminta kami untuk menjemput Yang Mulia,” jawab Pimpinan Prajurit itu.Putra Mahkota terbelalak mendengarnya.“Ayah tahu aku sedang bersembunyi di sini?” t
Bimala dan Pelayan Minun tampak gelisah menantikan Tabib Istana bersama tabib-tabib lain yang sedang membantu Sang Ratu untuk melahirkan itu. Akhirnya hari itu telah tiba. Sang Ratu pun tak bisa lagi menahannya karena waktu kelahiran anak keduanya itu telah tiba.Sementara Bimala dan Pelayan Minun belum mendapat kabar dari Tanaka. Mereka tidak tahu apakah Tanaka sudah berhasil atau belum membunuh Baluku hingga kutukan itu terlepas dan tidak akan dialami oleh bayi yang sedang berusaha dikeluarkan oleh para tabib itu.Tak lama kemudian terdengar suara tangisan bayi. Bimala dan Pelayan Minun tampak haru bercampur was-was. Mereka was-was jikalau bayi itu akan terlahir buruk rupa juga seperti Tanaka.“Oh anakku!” teriak Sang Ratu di dalam sana terlihat menangis haru.Bimala dan Pelayan Minun saling menatap dengan ragu.“Apakah bayi itu juga terlahir buruk rupa?” bisik Pelayan Minun dengan penasaran pada Bimala.“Aku tidak tahu, Bi,” jawab Bimala dengan berbisik juga.“Bimala, Pelayan Setia
Baluku terbelalak ketika pulau yang menjadi tempatnya dikurung para dewa itu sudah dikelilingi kapal-kapal yang berisi pasukan dari Tanaka. Baluku kini berdiri di atas puncak batu karang yang paling tinggi. Matanya kini tertuju pada Tanaka yang berdiri gagah di samping Roh Panglima.“Kami sudah datang, Tuan Guru!” teriak Tanaka.Baluku kian geram mendengarnya.“Panglima dan prajurit-prajurit keparat! Kenapa kalian lebih setia pada muridku dibanding denganku yang sudah membangkitkan kalian dari alam roh hingga bisa hidup seperti manusia lagi?!!! Harusnya kalian berpihak padaku, bukan pada manusia buruk rupa itu!!!” teriak Baluku dengan geramnya.“Bukan kah Yang Mulia membangkitkan kami untuk setia pada Tuan Tanaka? Bukan pada Yang Mulia?” jawab Roh Panglima.Baluku kian geram mendengarnya. Baluku pun mengangkat tangannya. Seketika batu-batu kecil di atas permukaan karang itu terangkat lalu tak lama kemudian batu-batu kecil itu menyalakan api yang tampak panas.Tanaka dan Roh Panglima p
Pelayan Minun berteriak memanggil Bimala saat melihat Sang Ratu sedang kesakitan memegangi perutnya yang besar itu. Bimala bergegas datang dengan panik.“Yang Mulia!” ucap Bimala mendekat ke kasurnya. “Yang Mulia kenapa?”“Perutku sakit sekali, Bimala. Aku sepertinya hendak melahirkan.”Bimala dan Pelayang Minun pun panik mendengarnya.“Tolong panggilkan Tabib, Bi,” pinta Bimala dengan panik pada Pelayan Minun.“Baik, Nona.”Pelayan Minun pun bergegas keluar untuk memanggil Tabib. Bimala pun memegangi tangan Sang Ratu untuk menguatkannya.“Tunggu sebentar lagi, Yang Mulia. Sebentar lagi Tabib akan segera datang.”“Tapi bagaimana jika seandainya sekarang anak ini berhasil dilahirkan sementara Tanaka belum berhasil membunuh Baluku? Apakah kutukan itu akan menghilang jika setelah anak ini lahir, Tanaka baru bisa memusnahkan Baluku?” tanya Ratu dengan bingung sambil menahan sakit di perutnya.“Apapun yang terjadi, sekarang pikirkan saja kesehatan Yang Mulia Ratu dan anaknya nanti. Meskipu
“Bagaimana ini bisa terjadi?” tanya Jabali dengan terbelalak tak percaya melihat dirinya, Tanaka, Roh Panglima dan para awak kapal layarnya sedang dibawa terbang berputar mengelilingi tentara mereka yang tengah bertarung di atas lautan itu.“Inilah kemampuanku sekarang, Jabali,” ucap Tanaka.Tanaka pun memandangi Roh Panglima.“Kau hadapai Panglima Setan itu dan aku akan menghadapi murid baru Raja Iblis itu,” perinta Tanaka pada Roh Panglima.“Siap, Tuan Tanaka!”Roh Panglima pun langsung terbang melesat menuju Panglima Setan untuk menyerangnya. Panglima Setan pun terkejut melihat kedatangan Roh Panglima yang tengah melesat ke arahnya itu. Dia pun lansung meninggalkan Karan di atas kapal itu kemudian bertarung dengan Roh Panglima di atas lautan itu dengan jurus meringankan tubuhnya.Sementara Karan di atas kapalnya itu terbelalak ketika mendapati Tanaka kini sudah berada di hadapannya. Karan mundur ke belakang karena ketakutan melihat wajah Tanaka yang menghitam. Dia seperti baru itu
Tiba-tiba awak kapal tampak terbelalak ketika melihat kapal-kapal layar seperti menghadang di hadapan sana.“Tuan, Panglima! Tuan, Panglima!” teriak awak kapal itu.Tanaka dan Roh Panglima yang sedang berada di sisi kapal itu pun menoleh pada awak kapal itu.“Ada apa?” tanya Roh Panglima heran.“Di hadapan sana seperti ada puluhan kapal menghadang, Tuan,” jawab awak kapal itu.Roh Panglima dan Tanaka pun bergegas berjalan ke ujung kapal. Mereka berdua terbelalak melihat kapal-kapal di hadapan.“Tahan layarnya!!!!” teriak Roh Panglima saat melihat pasukan Karan tengah menghadang di hadapan sana dengan sepuluh kapal layar berkarangnya.Seluruh awak kapal Pasukan Tanaka pun mengatur layarnya agar kapal-kapal mereka berhenti berlayar. Saat kapal-kapal pasukan Tanaka berhenti, Tanaka berjalan ke ujung kapal lalu memperhatikan kapal-kapal pasukan Karan itu dengan jelas. Roh Panglima berdiri di sebelahnya.“Apakah benar yang berdiri paling depan di kapal layar terdepan itu murid baru Raja Ba
“Yang Mulia Ratu! Yang Mulia Ratu!” teriak pelayan setianya memasuki ruangan kediamannya. Dia tampak heran tidak melihat ada Ratu di sana.Sesaat kemudian Ratu tampak datang dari belakangnya.“Kau mencariku?” tanya Ratu heran.Pelayan Minun menatap Ratu dengan lega.“Bimala sudah datang, Yang Mulia!” ucap Pelayan Minun dengan lega.Ratu pun sangat senang mendengarnya.“Di mana dia sekarang?”“Dia ada depan gerbang kediamanmu ini, Yang Mulia,” jawab Pelayan Minum.“Suruh dia masuk! Tadi kenapa aku tidak melihatnya,” perintah Ratu.“Baik, Yang Mulia.”Pelayan Minun pun bergegas keluar dari ruangan itu. Ratu pun duduk di tempat duduknya dengan tidak sabar. Dia ingin tahu banyak bagaimana kabar Tanaka darinya. Tak lama kemudian Pelayan Minun datang bersama Bimala. Bimala langsung bersimpuh di hadapannya.“Maafkan aku, Yang Mulia,” ucap Bimala sembari meneteskan air mata. “Aku telah meninggalkan istanamu tidak pamit langsung di hadapanmu.”“Kau tak perlu merasa bersalah, Bimala. Sekarang c
Baluku berdiri di hadapan seorang lelaki yang sedang berlutut padanya. Lelaki yang dahulu tidak sengaja terdampar di sana karena perahu yang dia naiki terpaksa pecah tergulung ombak hingga dia terdampar dan diselamatkan Baluku di sana. Dia menatap lelaki itu dengan lekat, dengan wajah tegasnya.“Hari ini kau telah berhasil mendapatkan semua ilmu dariku!” ucap Baluku padanya. “Kau sendiri yang bersedia memilih untuk menjadi muridku daripada mati di tanganku! Aku tidak pernah memaksamu untuk datang ke pulauku ini. Perahumu lah yang karam dan membuatmu terdampar di sini!”“Baik, Guru!” ucap Pemuda yang bernama Karan.“Dan untuk bisa bebas dariku,” lanjut Baluku. “Kau harus mendapatkan Pedang Perak Cahaya Merah itu dari mantan Muridku si Buruk Rupa itu. Aku merasakan pedang itu sudah ada pada dirinya saat ini. Dia tengah berada di negeri Nusantara.”“Baik, Guru,” sahut Karan sekali lagi.Baluku pun menatap sebuah kapal setan yang di atasnya sudah berdiri seorang Panglima Setan, Nakoda dan
Kapal-kapal yang dinaiki Tanaka bersama kaum Sakwa itu pun akhirnya berlabuh di pelabuhan Nusantara. Roh panglima bersama prajuritnya langsung menyambut kedatangan mereka. Bimala sudah tidak sabar lagi untuk segera bertemu dengan Tanaka. Begitu pun Sakwa. Dia ingin meminta maaf pada kaumnya yang telah meninggalkan mereka di negeri raksasa itu.Saat Tanaka dan kaum sakwa itu turun dari kapal layar masing-masing. Bimala langsung berlari menuju Tanaka lalu memeluknya dengan erat.“Apakah kau berhasil mengembalikan batu permata itu pada Yang Mulia Raja Sujana?” tanya Bimala penasaran.“Batu permata itu ternyata untukku, Bimala,” jawab Tanaka.Bimala terkejut mendengarnya. “Untukmu?”“Iya,” jawab Tanaka. “Raja Sajuna menghadiahkannya padaku! Dia tahu aku hendak membunuh Raja Iblis itu. Katanya batu permata itu akan sepadang dengan kekuatan yang dimiliki raja Iblis itu.”Bimala senang mendengarnya. Kini dia semakin tenang karena Tanaka akan memiliki kekuatan lebih untuk melawan Baluku. Dia
“Ampun Yang Mulia! Jika kami memiliki kesalahan dan dosa hingga Yang Mulia berkunjung ke tempat sederhana kami ini, kami rela dihukum, Yang Mulia!” ucap ayah Numi yang tampak ketakutan melihat kedatangan Raja Saka yang secara mendadak itu.Begitu pun dengan Numi dan Ibunya, mereka pun memohon-mohon ampun pada Raja Saka. Raja Saka yang melihat itu tampak tidak enak hati dan merasa bersalah.“Berdirilah,” pinta Raja Saka.“Ampun, Yang Mulia. Berdiri di hadapan Raja adalah dosa besar bagi kami yang hanya sebagai rakyat jelata. Itu akan membuat leluhur mengutuk kami. Biarkan kampi bersimpuh begini Yang Mulia.”Numi dan Ibunya pun kembali memohon-mohon ampun pada Raja Saka. Sekarang Raja Saka tampak kebingungan sendiri. Dia pun menatap Panglimanya. Pendekar Penggebrak Bumi itu tampak kebingung. Dia tidak mengerti soal urusan asamara itu. Saat Raja Saja menatap Bari, Bari pun tampak mengangkat kedua bahunya. Sementara para warga di sekitar rumah Numi itu masih tampak berlutut di tempat masi