Sang Raja tampak gelisah di kediamannya. Dia bingung harus bagaimana untuk menggagalkan kehamilan Sang Ratu. Dia tidak mau memiliki anak yang buruk rupa lagi seperti dahulu. Sang Raja pun bangkit lalu pergi dari kediamannya, dia menuju kediaman tabib istana. Sesampainya di sana Tabib langsung bersimpuh di hadapannya.“Ampun, Yang Mulia. Seharusnya biar hamba yang menghadap Yang Mulia,” ucap Tabib menyembunyikan keheranannya.“Apa benar istriku tengah hamil?” tanya Sang Raja memastikan sekali lagi.“Benar, Yang Mulia. Usia kandungannya sudah sebulan ini,” jawab Tabib itu.“Bagaimana mungkin itu bisa terjadi? Selama ini istriku selalu diberikan ramuan agar setiap kali aku berhubungan dengannya dia tak akan pernah hamil?” tanya Sang Raja pada dirinya sendiri.Sang Tabib pun menunggu kata-kata Sang Raja selanjutnya. Sang Raja pun menatap Sang Tabib dengan tatapan tajamnya.“Bagaimana pun kau harus menggagalkan kandungan istriku,” pinta Sang Raja.Tabib itu terbelalak mendengarnya.“Ampun,
Tanaka bingung harus bagaimana. Dia sangat yakin yang sedang bertarung itu adalah ayah dan paman-pamannya. Pihak Kerajaan pasti telah mengirimkan prajurit terbaiknya untuk mengepung mereka di hutan ini. Akhirya Tanaka bergegas memasuki gua. Dia ingin pamit pada Ibunya. Saat sudah berhasil memasuki gua, dia melihat Ibunya sudah terlelap. Dengan pelan dia membangunkan Ibunya.“Bu,” panggil Tanaka lembut.Laras terbangun dengan heran.“Kenapa, anakku?” tanya Laras.“Aku mendengar suara pertarungan di kejauhan sana. Aku khawatir itu ayah dan paman-paman sedang serang pihak kerajaan,” jawab Tanaka.Laras terbelalak mendengarnya.“Sudah aku bilang. Harusnya dalam keadaan genting begini jangan dulu berburu,” kesal Laras.“Aku pergi ke sana ya, Bu. Aku ingin membantu ayah dan paman-pamanku,” izin Tanakan.Laras tampak bingung. Satu sisi dia takut sendirian di sana, tapi suami dan paman-pamannya pasti membutuhkan pertolongan anaknya. Laras tahu, ilmu bela diri yang dikuasai Tanaka sudah mumpun
Saat matahari mulai bersinar, Tanaka tiba di dekat lapangan luas di hadapan gerbang pertama istana. Dia melihat para penduduk tengah berkumpul mengelilingi tiang gantungan. Matanya terbelalak saat melihat paman-pamannya itu sudah meregang nyawa di tiang gantungan.“Paman!” isak Tanaka tak percaya melihat paman-pamannya sudah meregang nyawa.Tanaka tampak lemah melihat mayat-mayat paman-pamannya itu. Dia terduduk lemah di bawah pohon itu.“Inilah akbibatnya bagi para pemberontak di negeri ini!” teriak Pejabat Istana di hadapan tiang gantungan itu. “Mereka telah melakukan aksi perampokan sudah lama! Siapapun yang berani seperti mereka! Mereka akan berakhir di tiang gantungan ini!”Para penduduk tampak riuh mendengarnya. Tanaka tampak geram. Air matanya mengalir. Dia mengepalkan kedua tangannya dengan dendam dan amarah. Saat Tanaka hendak berlari ke tengah kerumunan itu, tiba-tiba anak panah kecil mengenai lehernya. Tanaka mendadak rubuh ke atas tanah. Dia pingsan terkena racun dari anak
Pejabat istana datang menghadap Raja Tala. Di ruangan itu hanya ada mereka berdua. Para pengawal sedang berjaga di luar sana.“Ampun, Yang Mulia. Para perampok itu sudah berhasil kami bunuh. Dua mati di tengah hutan dan ketiganya telah berhasil dihukum gantung di hadapan rakyat sebagai pengingat bagi mereka jika ingin memberontak,” ucap Pejabat Istana itu penuh hormat.Raja Tala tertawa senang mendengarnya.“Bagus!” puji Raja Tala. “Saya berharap tidak akan ada lagi para perampok yang meresahkan di negeri ini.”“Hamba akan menyelesaikan semua tugas yang diberikan Yang Mulia dengan baik. Sesuai dengan sumpah yang hamba lakukan saat menjabat di istana ini,” ujar Pejabat Istana itu. “Jika hamba gagal melaksanakan perintah, hamba rela mati demi Yang Mulia.”“Saya akan memberikan hadiah sebagai keberhasilanmu atas tugasku.”“Ampun, Yang Mulia. Hamba tidak pantas menerima hadiah itu. Yang pantas menerimanya adalah Yang Mulia Putra Mahkota,” ujar Pejabat Istana itu.Raja Tala terbelalak mend
Jalu mengeluarkan sebuah kalung dalam kotak hitam lalu menyerahkannya pada Tanaka. Kalung dari emas bermata pedang yang terbuat dari batu permata merah. Tanaka heran.“Kenapa kau berikan kalung ini padaku?” tanya Tanaka.“Pakailah. Ini peninggalan dari leluhur kita,” ucap Jalu.Mendengar itu Tanaka langsung memakainya. Kalung itu adalah kalung yang dipakaikan Para Tetua di istana saat dia baru dilahirkan dulu. Kalung pertanda penerus tahta di kerajaan Warih. Saat Raja Tala memerintahkan untuk mengasingkan Tanaka kepada Jalu, Sang Raja lupa mengeluarkan kalung itu dari lehernya. Jalu pun diam-diam melepas kalung itu. Dia yakin suatu saat kalung itu akan berguna untuknya. Bagaimana pun perbuatan Sang Raja tidak dapat diterimanya. Namun pada saat itu dia tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti titahnya. Jika tidak, itu sama saja dia bunuh diri.“Kalung dari leluhur Nusantara?” tanya Tanaka penasaran.Jalu pun mengangguk. Dia terpaksa berbohong. Belum saatnya Tanaka untuk tahu semuanya
“Siapa kamu?! Apakah kamu mata-mata dari Putra Mahkota?” tanya Bimala.Tanaka pun langsung menggunakan jurus meringankan tubuhnya. Dengan cepat dia terbang ke atas pohon lalu melompati atas pohon satu ke atas pohon lainnya meninggalkan Bimala di sana.“Hey!” teriak Bimala.Kakek dan Neneknya berlari menghampirinya.“Ada apa, Bimala?” tanya Kakeknya heran.“Tadi aku melihat ada pemuda di sini. Sepertinya dia mengintip kita. Harusnya kita jangan dulu menutup kekuatan benda pusaka ini, Kek,” jawab Bimala.Kakek itu saling menatap dengan Nenek. Mereka tampak bingung.“Sekarang kita harus bagaimana? Apakah kita pindah saja dari sini dan mencari tempat lain untuk bersembunyi?” tanya Bimala.“Sekarang kau gunakan lagi saja kekuatan benda pusaka itu. Kita lihat saja, jika hari ini atau esok dia datang kembali, berarti lelaki itu memang utusan dari Putra Mahkota. Kalau dia tidak datang ke sini selama tujuh hari, berarti dia bukan siapa-siapa. Mungkin saja dia memang kebetulan berburu di dekat
Lelaki berjubah hitam berwajah gelap itu mendaratkan Tanaka di sebuah pulau. Tanaka terkejut melihat pulau itu dipenuhi bebatuan runcing menjulang ke langit itu. Dia berdiri di atas pasir putih itu. Dia menoleh pada Lelaki berjubah hitam itu dengan heran.“Di mana ini?” tanya Tanaka.Lelaki Berjubah Hitam berwajah gelap itu tertawa.“Kau berada di istana Yang Mulia Baluku,” jawab lelaki seram itu.“Baluku?” tanya Tanaka heran.Lelaki berjubah hitam itu tertawa.“Kau tidak tahu Baluku?”“Aku tidak tahu siapa Baluku. Apakah dia Tuan Gurumu yang akan mengajarkan ilmunya padaku?” tanya Tanaka dengan penasarannya.Lelaki berjubah hitam itu kembali tertawa. Dia tidak menjawab pertanyaan Tanka. Dia malah mengarahkan tangannya ke arah bebatuan runcing. Tiba-tiba sebuah batu bergeser hingga terlihat jelas sebuah rongga yang tampak gelap di dalamnya.“Masuklah, Tuan Guruku menunggumu di dalam sana,” pinta Lelaki berjubah hitam itu.Tanaka masih terheran-heran. Hawa dingin di tempat itu membuat
Hari sudah malam. Baluku berdiri di hadapan Tanaka di pinggir laut berbatu karang itu. Dia sudah siap mengikuti gerakan ilmu bela diri yang akan diajarkan gurunya itu.“Sekarang kau ikuti aku!” pinta Baluku. “Semua gerakan dasar yang aku kuasai berbeda dengan gerakan dasar yang kau pelajari sebelumnya.”Tanaka mengangguk.“Baik, Tuan Guru.”Tak lama kemudian Baluku tertawa. Tiba-tiba tubuhnya menjadi dua. Baluku yang asli hanya berdiri memperhatikan. Sementara tubuh bayangannya mulai melakukan gerakan dasar ilmu bela diri yang dikuasainya. Tanaka terkejut sembari mengikuti semua gerakan dasar yang dilakukan oleh tubuh bayangan Baluku.“Hebat sekali,” puji Tanaka. Baru ini dia melihat ada manusia menjadi dua.“Jaga konsentrasimu!” teriak Baluku.“Baik, Tuan Guru!” jawab Tanaka dengan gugup dan gemetar.Setelah Tanaka berhasil mengikuti semua gerakan dari bayangan tubuh Baluku. Penguasa Kegelapan itu meminta Tanaka melakukannya sendiri. Tanaka pun mencoba mengingat apa yang tadi diajark
Bimala dan Pelayan Minun tampak gelisah menantikan Tabib Istana bersama tabib-tabib lain yang sedang membantu Sang Ratu untuk melahirkan itu. Akhirnya hari itu telah tiba. Sang Ratu pun tak bisa lagi menahannya karena waktu kelahiran anak keduanya itu telah tiba.Sementara Bimala dan Pelayan Minun belum mendapat kabar dari Tanaka. Mereka tidak tahu apakah Tanaka sudah berhasil atau belum membunuh Baluku hingga kutukan itu terlepas dan tidak akan dialami oleh bayi yang sedang berusaha dikeluarkan oleh para tabib itu.Tak lama kemudian terdengar suara tangisan bayi. Bimala dan Pelayan Minun tampak haru bercampur was-was. Mereka was-was jikalau bayi itu akan terlahir buruk rupa juga seperti Tanaka.“Oh anakku!” teriak Sang Ratu di dalam sana terlihat menangis haru.Bimala dan Pelayan Minun saling menatap dengan ragu.“Apakah bayi itu juga terlahir buruk rupa?” bisik Pelayan Minun dengan penasaran pada Bimala.“Aku tidak tahu, Bi,” jawab Bimala dengan berbisik juga.“Bimala, Pelayan Setia
Baluku terbelalak ketika pulau yang menjadi tempatnya dikurung para dewa itu sudah dikelilingi kapal-kapal yang berisi pasukan dari Tanaka. Baluku kini berdiri di atas puncak batu karang yang paling tinggi. Matanya kini tertuju pada Tanaka yang berdiri gagah di samping Roh Panglima.“Kami sudah datang, Tuan Guru!” teriak Tanaka.Baluku kian geram mendengarnya.“Panglima dan prajurit-prajurit keparat! Kenapa kalian lebih setia pada muridku dibanding denganku yang sudah membangkitkan kalian dari alam roh hingga bisa hidup seperti manusia lagi?!!! Harusnya kalian berpihak padaku, bukan pada manusia buruk rupa itu!!!” teriak Baluku dengan geramnya.“Bukan kah Yang Mulia membangkitkan kami untuk setia pada Tuan Tanaka? Bukan pada Yang Mulia?” jawab Roh Panglima.Baluku kian geram mendengarnya. Baluku pun mengangkat tangannya. Seketika batu-batu kecil di atas permukaan karang itu terangkat lalu tak lama kemudian batu-batu kecil itu menyalakan api yang tampak panas.Tanaka dan Roh Panglima p
Pelayan Minun berteriak memanggil Bimala saat melihat Sang Ratu sedang kesakitan memegangi perutnya yang besar itu. Bimala bergegas datang dengan panik.“Yang Mulia!” ucap Bimala mendekat ke kasurnya. “Yang Mulia kenapa?”“Perutku sakit sekali, Bimala. Aku sepertinya hendak melahirkan.”Bimala dan Pelayang Minun pun panik mendengarnya.“Tolong panggilkan Tabib, Bi,” pinta Bimala dengan panik pada Pelayan Minun.“Baik, Nona.”Pelayan Minun pun bergegas keluar untuk memanggil Tabib. Bimala pun memegangi tangan Sang Ratu untuk menguatkannya.“Tunggu sebentar lagi, Yang Mulia. Sebentar lagi Tabib akan segera datang.”“Tapi bagaimana jika seandainya sekarang anak ini berhasil dilahirkan sementara Tanaka belum berhasil membunuh Baluku? Apakah kutukan itu akan menghilang jika setelah anak ini lahir, Tanaka baru bisa memusnahkan Baluku?” tanya Ratu dengan bingung sambil menahan sakit di perutnya.“Apapun yang terjadi, sekarang pikirkan saja kesehatan Yang Mulia Ratu dan anaknya nanti. Meskipu
“Bagaimana ini bisa terjadi?” tanya Jabali dengan terbelalak tak percaya melihat dirinya, Tanaka, Roh Panglima dan para awak kapal layarnya sedang dibawa terbang berputar mengelilingi tentara mereka yang tengah bertarung di atas lautan itu.“Inilah kemampuanku sekarang, Jabali,” ucap Tanaka.Tanaka pun memandangi Roh Panglima.“Kau hadapai Panglima Setan itu dan aku akan menghadapi murid baru Raja Iblis itu,” perinta Tanaka pada Roh Panglima.“Siap, Tuan Tanaka!”Roh Panglima pun langsung terbang melesat menuju Panglima Setan untuk menyerangnya. Panglima Setan pun terkejut melihat kedatangan Roh Panglima yang tengah melesat ke arahnya itu. Dia pun lansung meninggalkan Karan di atas kapal itu kemudian bertarung dengan Roh Panglima di atas lautan itu dengan jurus meringankan tubuhnya.Sementara Karan di atas kapalnya itu terbelalak ketika mendapati Tanaka kini sudah berada di hadapannya. Karan mundur ke belakang karena ketakutan melihat wajah Tanaka yang menghitam. Dia seperti baru itu
Tiba-tiba awak kapal tampak terbelalak ketika melihat kapal-kapal layar seperti menghadang di hadapan sana.“Tuan, Panglima! Tuan, Panglima!” teriak awak kapal itu.Tanaka dan Roh Panglima yang sedang berada di sisi kapal itu pun menoleh pada awak kapal itu.“Ada apa?” tanya Roh Panglima heran.“Di hadapan sana seperti ada puluhan kapal menghadang, Tuan,” jawab awak kapal itu.Roh Panglima dan Tanaka pun bergegas berjalan ke ujung kapal. Mereka berdua terbelalak melihat kapal-kapal di hadapan.“Tahan layarnya!!!!” teriak Roh Panglima saat melihat pasukan Karan tengah menghadang di hadapan sana dengan sepuluh kapal layar berkarangnya.Seluruh awak kapal Pasukan Tanaka pun mengatur layarnya agar kapal-kapal mereka berhenti berlayar. Saat kapal-kapal pasukan Tanaka berhenti, Tanaka berjalan ke ujung kapal lalu memperhatikan kapal-kapal pasukan Karan itu dengan jelas. Roh Panglima berdiri di sebelahnya.“Apakah benar yang berdiri paling depan di kapal layar terdepan itu murid baru Raja Ba
“Yang Mulia Ratu! Yang Mulia Ratu!” teriak pelayan setianya memasuki ruangan kediamannya. Dia tampak heran tidak melihat ada Ratu di sana.Sesaat kemudian Ratu tampak datang dari belakangnya.“Kau mencariku?” tanya Ratu heran.Pelayan Minun menatap Ratu dengan lega.“Bimala sudah datang, Yang Mulia!” ucap Pelayan Minun dengan lega.Ratu pun sangat senang mendengarnya.“Di mana dia sekarang?”“Dia ada depan gerbang kediamanmu ini, Yang Mulia,” jawab Pelayan Minum.“Suruh dia masuk! Tadi kenapa aku tidak melihatnya,” perintah Ratu.“Baik, Yang Mulia.”Pelayan Minun pun bergegas keluar dari ruangan itu. Ratu pun duduk di tempat duduknya dengan tidak sabar. Dia ingin tahu banyak bagaimana kabar Tanaka darinya. Tak lama kemudian Pelayan Minun datang bersama Bimala. Bimala langsung bersimpuh di hadapannya.“Maafkan aku, Yang Mulia,” ucap Bimala sembari meneteskan air mata. “Aku telah meninggalkan istanamu tidak pamit langsung di hadapanmu.”“Kau tak perlu merasa bersalah, Bimala. Sekarang c
Baluku berdiri di hadapan seorang lelaki yang sedang berlutut padanya. Lelaki yang dahulu tidak sengaja terdampar di sana karena perahu yang dia naiki terpaksa pecah tergulung ombak hingga dia terdampar dan diselamatkan Baluku di sana. Dia menatap lelaki itu dengan lekat, dengan wajah tegasnya.“Hari ini kau telah berhasil mendapatkan semua ilmu dariku!” ucap Baluku padanya. “Kau sendiri yang bersedia memilih untuk menjadi muridku daripada mati di tanganku! Aku tidak pernah memaksamu untuk datang ke pulauku ini. Perahumu lah yang karam dan membuatmu terdampar di sini!”“Baik, Guru!” ucap Pemuda yang bernama Karan.“Dan untuk bisa bebas dariku,” lanjut Baluku. “Kau harus mendapatkan Pedang Perak Cahaya Merah itu dari mantan Muridku si Buruk Rupa itu. Aku merasakan pedang itu sudah ada pada dirinya saat ini. Dia tengah berada di negeri Nusantara.”“Baik, Guru,” sahut Karan sekali lagi.Baluku pun menatap sebuah kapal setan yang di atasnya sudah berdiri seorang Panglima Setan, Nakoda dan
Kapal-kapal yang dinaiki Tanaka bersama kaum Sakwa itu pun akhirnya berlabuh di pelabuhan Nusantara. Roh panglima bersama prajuritnya langsung menyambut kedatangan mereka. Bimala sudah tidak sabar lagi untuk segera bertemu dengan Tanaka. Begitu pun Sakwa. Dia ingin meminta maaf pada kaumnya yang telah meninggalkan mereka di negeri raksasa itu.Saat Tanaka dan kaum sakwa itu turun dari kapal layar masing-masing. Bimala langsung berlari menuju Tanaka lalu memeluknya dengan erat.“Apakah kau berhasil mengembalikan batu permata itu pada Yang Mulia Raja Sujana?” tanya Bimala penasaran.“Batu permata itu ternyata untukku, Bimala,” jawab Tanaka.Bimala terkejut mendengarnya. “Untukmu?”“Iya,” jawab Tanaka. “Raja Sajuna menghadiahkannya padaku! Dia tahu aku hendak membunuh Raja Iblis itu. Katanya batu permata itu akan sepadang dengan kekuatan yang dimiliki raja Iblis itu.”Bimala senang mendengarnya. Kini dia semakin tenang karena Tanaka akan memiliki kekuatan lebih untuk melawan Baluku. Dia
“Ampun Yang Mulia! Jika kami memiliki kesalahan dan dosa hingga Yang Mulia berkunjung ke tempat sederhana kami ini, kami rela dihukum, Yang Mulia!” ucap ayah Numi yang tampak ketakutan melihat kedatangan Raja Saka yang secara mendadak itu.Begitu pun dengan Numi dan Ibunya, mereka pun memohon-mohon ampun pada Raja Saka. Raja Saka yang melihat itu tampak tidak enak hati dan merasa bersalah.“Berdirilah,” pinta Raja Saka.“Ampun, Yang Mulia. Berdiri di hadapan Raja adalah dosa besar bagi kami yang hanya sebagai rakyat jelata. Itu akan membuat leluhur mengutuk kami. Biarkan kampi bersimpuh begini Yang Mulia.”Numi dan Ibunya pun kembali memohon-mohon ampun pada Raja Saka. Sekarang Raja Saka tampak kebingungan sendiri. Dia pun menatap Panglimanya. Pendekar Penggebrak Bumi itu tampak kebingung. Dia tidak mengerti soal urusan asamara itu. Saat Raja Saja menatap Bari, Bari pun tampak mengangkat kedua bahunya. Sementara para warga di sekitar rumah Numi itu masih tampak berlutut di tempat masi