Bimala berhasil membawa pasukan Raja Saka di hadapan air terjun itu. Air terjun itu tampak indah. Airnya sangat jernih. Di sekitar air terjun itu adalah hutan belantara yang ditumbuhi pepohon rimbun dan dibawahnya ditumbuhi semak-semak belukar. Bimala mendarat bersama pasukan perinya setelah terbang mengiringi pasukan raja Saka dengan menunggangi kuda masing-masing.Raja Saka dan Bari turun dari kereta kencananya. Begitupun dengan Pendekar Penggebrak Bumi dan para pendekar lainnya. Mereka turun dari kuda masing-masing.“Aku baru ini melihat air terjun seindah ini,” ucap Saka dengan takjubnya.“Sepertinya air terjun ini sangat tersembunyi hingga tidak terlihat bekas manusia yang pernah mengunjunginya,” sahut Bari.“Iya,” ucap Raja Saka. “Sepertinya kita akan aman bersembunyi di sini.”Tak lama kemudian terdengar suara harimau di dalam hutan sana. Raja Saka tampak ketakutan sementara para pendekarnya lalu mengelilingi raja Saka dan Bari untuk melindungi mereka.“Jangan takut,” ucap Bima
Saat para pendekar itu sedang keluar mencari makanan, Bimala tampak duduk bersila di dekat Raja Saka dan Bari. Dia mencoba kembali menerawang keberadaan Tanaka saat ini. Namun saat berkali-kali dia mencoba melakukannya, dia tidak bisa menerawangnya. Bimala pun mencoba melakukannya sekali lagi. Saat Bimala kembali mencoba menerawang keberadaan Tanaka, Bari mengajak Saka pergi dari sana untuk berkeliling gua. Bari tidak ingin menganggu Bimala. Saka dan Bari pun pergi dari sana lalu melihat-lihat keadaan isi gua itu. Dua pendekar yang sengaja menjaga Saka mengikuti mereka.Bimala kembali membuka matanya karena masih belum berhasil mencari tahu keberadaan Tanaka.“Di mana kamu, Tanaka,” tanya Bimala dengan khawatirnya.Dia pun teringat saat Roh Panglima begitu sedih saat Raja di negeri raksasa itu hanya mengizinkan Bimala dan para perinya saja yang keluar dari negeri raksasa itu. Roh Panglima berpikir Bimala dan Tanaka tak akan kembali untuk mengeluarkan mereka di sana.“Tenang saja, aku
Sementara itu, Tanaka tengah duduk di atas batu bersama Pendekar Dua Alam itu. Mereka memandangi pemandangan di negeri kabut itu. Tanaka heran, kenapa negeri itu dinamai dengan negeri kabut padahal dia tidak melihat kabut sama sekali. Dia melihat pemandangan padang rumput yang luas dan di ujung sana dia melihat hutan belantara yang membentuk garis dari ujung ke ujung.“Apa yang ingin kau ajarkan padaku agar aku bisa melawan raja Nepis itu?” tanya Tanaka penasaran.“Aku tidak akan menurunkan ilmuku padamu,” jawab Pendekar Dua Alam. “Kekuatan itu adalah mata air abadi itu.”Tanaka terkejut mendengar itu. Dia pikir Pendekar Dua Alam akan menurunkan kesaktiannya padanya.“Aku tidak mau meminum mata air abadi itu,” ucap Tanaka.“Kenapa? Maha Dewa memintaku menolongku karena itu,” tanya Pendekar Dua Alam heran.“Aku tidak akan sanggup jika perempuan yang aku cintai meninggalkanku duluan sementara aku harus hidup abadi.”“Tapi itulah satu-satunya cara agar kau bisa mengalahkan Raja Nepis dan
Pendekar Dua Alam membangunkan Tanaka di pagi itu. Tanaka terbangun dengan heran.“Apakah sudah tiba waktunya?” tanya Tanaka heran.“Iya, sudah tiba waktunya.”Tanaka pun langsung bangkit dan bersiap pergi bersama Pendekar Dua Alam itu.“Mari kita pergi ke negeri abadi itu,” ucap Tanaka yang sudah tidak sabar untuk dibawa Pendekar Dua Alam ke sana.Pendekar Dua Alam tertawa.“Sabar, anak muda! Sekarang kau cuci dulu wajahmu itu lalu setelah itu habiskan makananmu. Aku sudah membakar seekor ayam untukmu. Kau harus habiskan semuanya.”Tanaka terbelalak mendengar itu. “Yang benar saja? Kau kira perutku ini perut apa?”“Ingat,” ucap Pendekar Dua Alam. “Kita akan melakukan perjalanan dengan kekuatan cahaya. Tempat itu sangat jauh dari sini. Kedua umurku jauh lebh tua darimu, kau harus menunjukkan rasa hormat padaku.”“Maaf, Kek.”“Kau pikir aku sudah kakek-kakek?” protes Pendekar Dua Alam.Tanaka malah menghela napas.“Kalau bukan aku memanggilmu dengan panggilan kakek, memangnya kau ingin
Pendekar Dua Alam pun membawa Tanaka pada batu pipih yang cukup diinjak oleh sepuluh orang. Dia pun meminta Tanaka untuk menginjak batu pipih itu bersamanya. Sepertinya batu itu adalah landasan untuk Pendekar Dua Alam melakukan ilmu menghilangnya.“Akhir-akhir ini aku pernah bermipi yang sama berkali-kali,” ucap Pendekar Dua Alam.“Mimpi apa itu, Guru?” tanya Tanaka penasaran.Pendekar Dua Alam pun memandangi Tanaka dengan lekat. “Aku melihat seorang pendekar berkaki satu membawa pasukannya menemuiku di negeri kabut ini. Dia memintaku untuk membangunkanmu kembali.”Tanaka terbelalak mendengar itu.“Maksudmu, aku akan mati muda?”“Tidak, bukan begitu maksudku. Makanya kau diam dulu jangan sela omonganku.”“Maaf,” ucap Tanaka yang akhirnya kembali terdiam.Pendekar Dua Alam pun kembali melanjutkan kata-katanya. “Dia bilang, dia adalah Chandaka Uddhiharta utusan para dewa. Dia memintaku membangkitkanmu kembali untuk membunuh anak-anak iblis yang pada saat itu sudah keluar dari kurunganny
Pendekar Dua Alam pun dengan sigap mengarahkan pedangnya ke arah ular besar yang siap mematoknya itu. Seketika cahaya keluar dari ujung pedangnya. Tanaka masih gemetar di dekatnya. Selama ini dia sudah berhasil menaklukkan seekor naga, namun entah kenapa disaat lemah tak bertenaga seperti itu dia tampak ciut dan lagi, di dekat Pendekar Dua Alam itu dia tidak berdaya.Ular itu pun akhirnya menjauh dari mereka. Tanaka tampak lega melihatnya.“Apa dia menyerah?” tanya Tanaka.“Ia tahu kalau kita bukan ancaman buatnya, makanya ia tidak berani menyerang kita,” jawab Pendekar Dua Alam.Tiba-tiba dia melihat daun biru yang dicari-carinya itu tumbuh di dalam semak-semak. Tanaman itu seperti rumput yang tidak begitu tinggi, namun daun-daunnya terlihat lebar dan terdapat bunga kecil berwarna putih di atasnya.“Itu tanamannya,” ucap Pendekar Dua Alam bergegas menuju tanaman itu lalu menarik satu daun di dalam semak-semak itu kemudian menyerahkannya pada Tanaka.“Kunyah lah,” pinta Pendekar Dua A
Salah satu Tetua menghadap Raja Nepis dengan gemetar.“Ampun Yang Mulia, hamba telah mengumumkan kepada seluruh penduduk nusantara, namun tak ada satupun yang mau mendaftar untuk menjadi calon prajuritmu.”Raja Nepis geram mendengar itu.“Kenapa sampai begitu? Apakah mereka tidak takut padaku?” tanya raja Nepis dengan geram.“Katanya... katanya...”“Katanya kenapa?!!!” teriak raja Nepis yang semakin kesal melihat Tetua itu berkata dengan gemetar ketakutan.“Katanya engkau sudah bukan raja mereka lagi. Mereka malah menyuruh engkau untuk keluar dari istana agar raja Saka yang kini bersembunyi bisa menduduki istananya,” jawab Tetua itu.Raja Nepis semakin geram mendengar itu.“Kita harus menemukan budak yang ingin menggulingkan tahtaku itu,” ucap Raja Nepis dengan geramnya. “Kalau dia sudah mati, maka tak ada asalan bagi penduduk untuk menolakku! Jika budak itu sudah berhasil kita bunuh dan penduduk masih saja tidak mau menerimaku sebagai raja di negeri ini, maka tunggulah hukuman dariku
Tanpa berpikir panjang, pasukan berkuda yang mengenakan pakaian perang itu langsung melesatkan anak panah dan tombak ke arah Tanaka. Seketika Tanaka mengeluarkan api di tubuhnya lalu menangkis satu persatu senjata yang diarahkan padanya. Pasukan itu ternganga melihat anak panah dan tombak itu tampak terbakar lalu melesat jauh ke luar pasar.Kobaran api menyala membuat orang-orang di pasar itu berlarian ketakutan. Tanaka menatap pimpinan dan pasukan itu.“Aku datang ke sini tidak berniat untuk mengusik kalian!” tegas Tanaka. “Aku hanya tidak suka melihat ada manusia yang diperjual belikan!”Pimpinan pasukan itu pun menatap ke seluruh pasukannya untuk memberikan kode agar pergi dari sana. Akhirnya semuanya pergi dari sana. Kobaran api di tubuh Tanaka tampak lenyap. Dia lega melihat pasukan itu akhirnya pergi dari sana.“Kau memang senang membuat ulah!” kesal Pendekar Dua Alam.“Maafkan aku,” ucap Tanaka. “Aku tidak tahan melihat orang itu menjual manusia.”Pendekar Dua Alam pun menghela
Bimala dan Pelayan Minun tampak gelisah menantikan Tabib Istana bersama tabib-tabib lain yang sedang membantu Sang Ratu untuk melahirkan itu. Akhirnya hari itu telah tiba. Sang Ratu pun tak bisa lagi menahannya karena waktu kelahiran anak keduanya itu telah tiba.Sementara Bimala dan Pelayan Minun belum mendapat kabar dari Tanaka. Mereka tidak tahu apakah Tanaka sudah berhasil atau belum membunuh Baluku hingga kutukan itu terlepas dan tidak akan dialami oleh bayi yang sedang berusaha dikeluarkan oleh para tabib itu.Tak lama kemudian terdengar suara tangisan bayi. Bimala dan Pelayan Minun tampak haru bercampur was-was. Mereka was-was jikalau bayi itu akan terlahir buruk rupa juga seperti Tanaka.“Oh anakku!” teriak Sang Ratu di dalam sana terlihat menangis haru.Bimala dan Pelayan Minun saling menatap dengan ragu.“Apakah bayi itu juga terlahir buruk rupa?” bisik Pelayan Minun dengan penasaran pada Bimala.“Aku tidak tahu, Bi,” jawab Bimala dengan berbisik juga.“Bimala, Pelayan Setia
Baluku terbelalak ketika pulau yang menjadi tempatnya dikurung para dewa itu sudah dikelilingi kapal-kapal yang berisi pasukan dari Tanaka. Baluku kini berdiri di atas puncak batu karang yang paling tinggi. Matanya kini tertuju pada Tanaka yang berdiri gagah di samping Roh Panglima.“Kami sudah datang, Tuan Guru!” teriak Tanaka.Baluku kian geram mendengarnya.“Panglima dan prajurit-prajurit keparat! Kenapa kalian lebih setia pada muridku dibanding denganku yang sudah membangkitkan kalian dari alam roh hingga bisa hidup seperti manusia lagi?!!! Harusnya kalian berpihak padaku, bukan pada manusia buruk rupa itu!!!” teriak Baluku dengan geramnya.“Bukan kah Yang Mulia membangkitkan kami untuk setia pada Tuan Tanaka? Bukan pada Yang Mulia?” jawab Roh Panglima.Baluku kian geram mendengarnya. Baluku pun mengangkat tangannya. Seketika batu-batu kecil di atas permukaan karang itu terangkat lalu tak lama kemudian batu-batu kecil itu menyalakan api yang tampak panas.Tanaka dan Roh Panglima p
Pelayan Minun berteriak memanggil Bimala saat melihat Sang Ratu sedang kesakitan memegangi perutnya yang besar itu. Bimala bergegas datang dengan panik.“Yang Mulia!” ucap Bimala mendekat ke kasurnya. “Yang Mulia kenapa?”“Perutku sakit sekali, Bimala. Aku sepertinya hendak melahirkan.”Bimala dan Pelayang Minun pun panik mendengarnya.“Tolong panggilkan Tabib, Bi,” pinta Bimala dengan panik pada Pelayan Minun.“Baik, Nona.”Pelayan Minun pun bergegas keluar untuk memanggil Tabib. Bimala pun memegangi tangan Sang Ratu untuk menguatkannya.“Tunggu sebentar lagi, Yang Mulia. Sebentar lagi Tabib akan segera datang.”“Tapi bagaimana jika seandainya sekarang anak ini berhasil dilahirkan sementara Tanaka belum berhasil membunuh Baluku? Apakah kutukan itu akan menghilang jika setelah anak ini lahir, Tanaka baru bisa memusnahkan Baluku?” tanya Ratu dengan bingung sambil menahan sakit di perutnya.“Apapun yang terjadi, sekarang pikirkan saja kesehatan Yang Mulia Ratu dan anaknya nanti. Meskipu
“Bagaimana ini bisa terjadi?” tanya Jabali dengan terbelalak tak percaya melihat dirinya, Tanaka, Roh Panglima dan para awak kapal layarnya sedang dibawa terbang berputar mengelilingi tentara mereka yang tengah bertarung di atas lautan itu.“Inilah kemampuanku sekarang, Jabali,” ucap Tanaka.Tanaka pun memandangi Roh Panglima.“Kau hadapai Panglima Setan itu dan aku akan menghadapi murid baru Raja Iblis itu,” perinta Tanaka pada Roh Panglima.“Siap, Tuan Tanaka!”Roh Panglima pun langsung terbang melesat menuju Panglima Setan untuk menyerangnya. Panglima Setan pun terkejut melihat kedatangan Roh Panglima yang tengah melesat ke arahnya itu. Dia pun lansung meninggalkan Karan di atas kapal itu kemudian bertarung dengan Roh Panglima di atas lautan itu dengan jurus meringankan tubuhnya.Sementara Karan di atas kapalnya itu terbelalak ketika mendapati Tanaka kini sudah berada di hadapannya. Karan mundur ke belakang karena ketakutan melihat wajah Tanaka yang menghitam. Dia seperti baru itu
Tiba-tiba awak kapal tampak terbelalak ketika melihat kapal-kapal layar seperti menghadang di hadapan sana.“Tuan, Panglima! Tuan, Panglima!” teriak awak kapal itu.Tanaka dan Roh Panglima yang sedang berada di sisi kapal itu pun menoleh pada awak kapal itu.“Ada apa?” tanya Roh Panglima heran.“Di hadapan sana seperti ada puluhan kapal menghadang, Tuan,” jawab awak kapal itu.Roh Panglima dan Tanaka pun bergegas berjalan ke ujung kapal. Mereka berdua terbelalak melihat kapal-kapal di hadapan.“Tahan layarnya!!!!” teriak Roh Panglima saat melihat pasukan Karan tengah menghadang di hadapan sana dengan sepuluh kapal layar berkarangnya.Seluruh awak kapal Pasukan Tanaka pun mengatur layarnya agar kapal-kapal mereka berhenti berlayar. Saat kapal-kapal pasukan Tanaka berhenti, Tanaka berjalan ke ujung kapal lalu memperhatikan kapal-kapal pasukan Karan itu dengan jelas. Roh Panglima berdiri di sebelahnya.“Apakah benar yang berdiri paling depan di kapal layar terdepan itu murid baru Raja Ba
“Yang Mulia Ratu! Yang Mulia Ratu!” teriak pelayan setianya memasuki ruangan kediamannya. Dia tampak heran tidak melihat ada Ratu di sana.Sesaat kemudian Ratu tampak datang dari belakangnya.“Kau mencariku?” tanya Ratu heran.Pelayan Minun menatap Ratu dengan lega.“Bimala sudah datang, Yang Mulia!” ucap Pelayan Minun dengan lega.Ratu pun sangat senang mendengarnya.“Di mana dia sekarang?”“Dia ada depan gerbang kediamanmu ini, Yang Mulia,” jawab Pelayan Minum.“Suruh dia masuk! Tadi kenapa aku tidak melihatnya,” perintah Ratu.“Baik, Yang Mulia.”Pelayan Minun pun bergegas keluar dari ruangan itu. Ratu pun duduk di tempat duduknya dengan tidak sabar. Dia ingin tahu banyak bagaimana kabar Tanaka darinya. Tak lama kemudian Pelayan Minun datang bersama Bimala. Bimala langsung bersimpuh di hadapannya.“Maafkan aku, Yang Mulia,” ucap Bimala sembari meneteskan air mata. “Aku telah meninggalkan istanamu tidak pamit langsung di hadapanmu.”“Kau tak perlu merasa bersalah, Bimala. Sekarang c
Baluku berdiri di hadapan seorang lelaki yang sedang berlutut padanya. Lelaki yang dahulu tidak sengaja terdampar di sana karena perahu yang dia naiki terpaksa pecah tergulung ombak hingga dia terdampar dan diselamatkan Baluku di sana. Dia menatap lelaki itu dengan lekat, dengan wajah tegasnya.“Hari ini kau telah berhasil mendapatkan semua ilmu dariku!” ucap Baluku padanya. “Kau sendiri yang bersedia memilih untuk menjadi muridku daripada mati di tanganku! Aku tidak pernah memaksamu untuk datang ke pulauku ini. Perahumu lah yang karam dan membuatmu terdampar di sini!”“Baik, Guru!” ucap Pemuda yang bernama Karan.“Dan untuk bisa bebas dariku,” lanjut Baluku. “Kau harus mendapatkan Pedang Perak Cahaya Merah itu dari mantan Muridku si Buruk Rupa itu. Aku merasakan pedang itu sudah ada pada dirinya saat ini. Dia tengah berada di negeri Nusantara.”“Baik, Guru,” sahut Karan sekali lagi.Baluku pun menatap sebuah kapal setan yang di atasnya sudah berdiri seorang Panglima Setan, Nakoda dan
Kapal-kapal yang dinaiki Tanaka bersama kaum Sakwa itu pun akhirnya berlabuh di pelabuhan Nusantara. Roh panglima bersama prajuritnya langsung menyambut kedatangan mereka. Bimala sudah tidak sabar lagi untuk segera bertemu dengan Tanaka. Begitu pun Sakwa. Dia ingin meminta maaf pada kaumnya yang telah meninggalkan mereka di negeri raksasa itu.Saat Tanaka dan kaum sakwa itu turun dari kapal layar masing-masing. Bimala langsung berlari menuju Tanaka lalu memeluknya dengan erat.“Apakah kau berhasil mengembalikan batu permata itu pada Yang Mulia Raja Sujana?” tanya Bimala penasaran.“Batu permata itu ternyata untukku, Bimala,” jawab Tanaka.Bimala terkejut mendengarnya. “Untukmu?”“Iya,” jawab Tanaka. “Raja Sajuna menghadiahkannya padaku! Dia tahu aku hendak membunuh Raja Iblis itu. Katanya batu permata itu akan sepadang dengan kekuatan yang dimiliki raja Iblis itu.”Bimala senang mendengarnya. Kini dia semakin tenang karena Tanaka akan memiliki kekuatan lebih untuk melawan Baluku. Dia
“Ampun Yang Mulia! Jika kami memiliki kesalahan dan dosa hingga Yang Mulia berkunjung ke tempat sederhana kami ini, kami rela dihukum, Yang Mulia!” ucap ayah Numi yang tampak ketakutan melihat kedatangan Raja Saka yang secara mendadak itu.Begitu pun dengan Numi dan Ibunya, mereka pun memohon-mohon ampun pada Raja Saka. Raja Saka yang melihat itu tampak tidak enak hati dan merasa bersalah.“Berdirilah,” pinta Raja Saka.“Ampun, Yang Mulia. Berdiri di hadapan Raja adalah dosa besar bagi kami yang hanya sebagai rakyat jelata. Itu akan membuat leluhur mengutuk kami. Biarkan kampi bersimpuh begini Yang Mulia.”Numi dan Ibunya pun kembali memohon-mohon ampun pada Raja Saka. Sekarang Raja Saka tampak kebingungan sendiri. Dia pun menatap Panglimanya. Pendekar Penggebrak Bumi itu tampak kebingung. Dia tidak mengerti soal urusan asamara itu. Saat Raja Saja menatap Bari, Bari pun tampak mengangkat kedua bahunya. Sementara para warga di sekitar rumah Numi itu masih tampak berlutut di tempat masi