Kala itu kedua rekan Fen mulai mencaci makinya, karena dianggap tidak becus dalam sebuah pertarungan, sehingga membuat mereka geram akan pemuda itu.
Namun, belum sempat mereka berkata lebih jauh, En Jio kembali meminta perwakilan dari desa Dazong untuk kembali bertarung melawan dari perkawakilan desa Longwan.Hal itu membuat mereka sempat berebut untuk maju lebih dulu, akan tetapi pada akhirnya, seorang pemuda memutuskan untuk membiarkan rekan Wanita nya untuk maju terlebih dahulu."Ku harap kau tidak akan mengecewakan kami Baoyu," ujar Jun."Berisik!" timpal wanita itu.Dengan langkah yang begitu percaya diri, wanita itu maju kedalam arena pertarungan, dan dihadapkan dengan seorang wanita juga dari desa Longwan.Baoyu sempat tersenyum sinis, seolah meremehkan lawan bertarung nya, akan tetapi wanita dari desa Longwan itu, bahkan tidak memperdulikan sikap yang diberikan oleh Baoyu tersebut.Sehingga membuat Baoyu mengamDisaat yang bersamaan, Jun melompat keatas arena sembari menghunuskan golok miliknya tepat kearah Shilin, yang terlihat sedang memainkan tombak miliknya. Tidak ada basa basi diantara keduanya, melainkan langsung bertarung ketika suara gong yang mulai terdengar kembali, dalam beberapa detik kedua senjata mereka sudah bertamu satu sama lain. Jun yang merupakan peserta terakhir dari desa Dazong, menahan amarahnya karena mereka sudah tertinggal dua kekalahan dipihak mereka, hal itu sempat membuatnya mengumpat dalam hati sembari menghardik kedua rekannya, yang sudah lebih dulu kalah dalam pertarungan. "Lihat baik-baik aku akan mengalahkan mereka!" ujar Jun. "Jangan alihkan pandangan mu, lawan aku!" sahut Shilin yang mulai menyerang kembali. Jun sempat mengalihkan perhatiannya terhadap Shilin, karena merasa dirinya cukup kuat untuk menghadapi pemuda itu, terlebih ia sendiri sudah menebak jika Shilin belum begitu mahir menggunakan tombaknya. Mendapat kese
Beberapa saat yang lalu, En Jio sempat memastikan ucapan dari pemuda desa Longwan itu, untuk tidak membiarkan Jun menggunakan goloknya kembali. Namun ternyata, Kong benar-benar serius dengan ucapannya, dengan mengangguk pelan, seolah memberi isyarat kepada En Jio untuk segera membiarkan mereka bertarung. Melihat tekad dari Kong tersebut, akhirnya En Jio memutuskan untuk membiarkan Jun menggunakan goloknya kembali, dan berhadapan langsung dengan Kong yang tanpa menggunakan senjata sama sekali. "Kau akan menyesalinya," ucap Jun. "Tidak perlu banyak bicara, majulah!" timpal Kong. Tidak perlu menunggu lebih lama, Jun bahkan langsung menyerang Kong dengan penuh ambisi untuk mengalahkan pemuda itu, menggunakan golok miliknya. Dirinya sempat menebak, jika ia akan lebih mudah menghadapi lawan yang tidak memiliki senjata, akan tetapi dugaan Jun ternyata salah, ketika ia hendak mengenai Kong dengan goloknya, pemuda itu mampu mengatasi ser
Tanpa diduga, pemuda langsung memberikan sebuah serangan, sesaat Tomu dari desa Pingle, hendak memperkenalkan dirinya. Di saat yang hampir bersamaan, ratusan pasang terbuka dengan lebar, karena tidak percaya dengan gerakan pemuda itu yang begitu cepat. Tehnik pedang bayangan yang pemuda itu gunakan, telah membungkam mulut Tomu serta para peserta yang lain, tidak terkecuali Hen Swe yang mulai berdecak beberapa kali. "Jika kau menginginkan nama, sebut saja aku dengan Fu," ujarnya. Sesaat pemuda dari desa Nahui itu selesai berucap, disaat itu juga Tomu memuntahkan darah segar dari mulutnya, serta membuat ia jatuh bertekuk lutut. Jarak mereka tidak begitu jauh, hanya tiga depa dari keberadaan dirinya, akan tetapi ia bahkan tidak dapat mengikuti pergerakan pemuda itu, hingga membuat dirinya menerima serangan yang begitu telak mengenai tubuhnya, tanpa sempat menghindar lebih dulu. Di saat yang hampir sama, Tomu sempat mengutuk pe
Disaat yang hampir sama, Yelu yang tadinya masih percaya diri, kini mulai mengeluarkan keringat dingin dari sekujur tubuhnya. Bahkan tidak hanya itu, wajahnya juga ikut memucat, seolah darah berhenti mengalir, semua itu karena Keterkejutan dirinya yang menyaksikan secara langsung satu rekannya lagi, Wen Hua tumbang hampir dalam hitungan detik. Di satu sisi, Tetua dari desa Pingle bahkan jauh lebih buruk kondisinya, dikarenakan akan menerima kekalahan dengan sangat cepat, tentu hal itu tidak bisa ia terima begitu saja, terlebih ia sudah memberikan sumber daya yang cukup banyak, untuk melatih ketiga murid berbakat dari desa mereka itu. "Jangan mempermalukan desa kita, serang dia!" ujarnya. Mendengar perkataan dari Tetua nya, Yelu sempat berdecak sembari menoleh kesegala arah, ia sedang memperhatikan seluruh penonton yang mulai semakin antusias, ketika melihat dirinya akan kalah. Dengan keadaan yang seperti itu, membuat mental Yelu menjadi turun, semangat
Kala itu Hen Swe menatap dengan tajam setiap peserta yang tersisa, bahkan ia sempat menantang ketiga peserta dari desa Xidi untuk bertarung dengannya sekaligus. Hal itu ia lakukan, untuk menunjukkan kekuatan dirinya, terlebih ia ingin jika Kong serta Fu akan ketir melihat aksinya itu. Namun sayangnya, mereka bahkan tidak perduli dengan sikap yang ia berikan, sehingga hal itu membuatnya berdecak beberapa kali, sembari menatap satu peserta yang mulai melangkah maju kearah nya. "Biarkan aku menemani kau bermain untuk sementara," ujar pemuda itu. Di saat bersamaan, pemuda itu melontarkan ucapan yang sempat membuat Hen Swe kembali berdecak, akan tetapi karena merasa percuma, ia hanya bisa menarik nafasnya dengan dalam lalu memberikan tatapan yang begitu dingin kepada pemuda itu. Namun lagi-lagi pemuda itu, bahkan tidak bergeming dengan sikap yang diberikan oleh Hen Swe, meski ia telah mengintimidasi lawannya beberapa saat yang lalu.
Kala itu, Hen Swe sempat menatap Fu seolah sedang memperlihatkan kekuatan yang dia miliki. Dan disaat yang sama, Fu juga mengerti maksud dari Hen Swe yang seakan menantang dirinya. Berkat aksi yang dilakukan oleh Hen Swe itu, berhasil membuat Fu menjadi panas dan seakan ingin menyerangnya secara langsung. Hen Swe yang melihat sikap yang diberikan oleh Fu tersebut, justru semakin membuatnya menjadi parah, dengan menunjuk keberadaan Fu, akan tetapi bukan untuk menyerangnya melainkan ia melayangkan beberapa pukulan kearah Guo secara langsung. "Selesai sudah!" Di saat yang sama, Guo yang tidak sempat bereaksi dengan serangan Hen Swe, terpaksa membuatnya mundur seraya menghindari serangan itu sebisa mungkin, akan tetapi tidak semua pukulan tinju besi Hen Swe dapat dihindari dengan sempurna, dan membiarkan sebagian besar pukulan itu mengenai tubuhnya. Suara tinju yang menyentuh tubuh bahkan terdengar cukup keras, sehingga membuat Guo dipak
Dalam sekali tarikkan nafas Ling sedikit berkelit ketika serangan Chao akan mengenai wajahnya, sehingga serangan itu melesat disamping wajahnya. Bahkan tidak sampai disitu, Chao bahkan tidak berniat untuk berhenti menyerang Ling, yang masih saja bersikap dengan tenang, seakan meremehkan dirinya. Beberapa tebasan ia layangkan kearah Ling, akan tetapi lagi-lagi serangan yang ia lakukan terlihat percuma, apalagi melihat Ling yang masih tersenyum dengan tipis. "Kenapa berhenti menyerang?" tanya Ling. "Jangan terus menghindar, lawan aku!" jawab Chao. Dengan nafas yang sedikit memburu, akibat serangan yang dia lakukan terhadap Ling sebelumnya, terlebih setiap tindakan yang ia lakukan bahkan tidak bisa mengenai tubuh Ling sedikitpun. Hal itu sempat membuatnya Chao mengumpat, seraya menatap Ling dengan tajam, akan tetapi Ling bahkan tidak menunjukkan niatnya bertarung dengan pemuda itu dengan serius. Sehingga membuat para peno
Kala itu, Chao sempat menggigit bibirnya, lalu berusaha memberikan sebuah pukulan kearah dada Ling, sambil berusaha melepaska diri dari pedang yang menghimpit tangannya. Namun sayang, usaha yang ia lakukan tidak cukup untuk mengatasi gerakan Ling yang begitu cepat, sehingga ketika pukulan yang ia layangkan itu dapat ditangkap dengan mudah olehnya. Kini kedua tangannya tidak bisa bergerak dan membuatnya semakin berkeringat dingin, akan tetapi Chao bahkan tidak ingin menyerah, terlebih ia menyadari jika Ling sedang menguji dirinya. "Ku akui kau memang hebat, tapi sebaiknya tidak seperti ini!" ujar Chao. "Apa maksud ucapanmu?" tanya Ling sembari menaikkan alisnya. "Cih!" sahut Chao. Chao yang merasa dipermalukan, semakin menjadi marah atas sikap yang diberikan oleh Ling kepadanya, sehingga ia memutuskan untuk menyerang Ling menggunakan kakinya.Satu tendangan dilayangkan tepat kearah dada Ling, akan tetap belum sempat tendangan itu mengenai tubuh Ling, dengan cepat Ling menghindarin
Ling terdiam dalam keheningan, tatapannya masih terpaku pada tempat di mana sosok berjubah putih itu menghilang. Lengkukup dan En Jio berdiri di sisinya, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Namun, pertanyaan yang menggantung di udara tidak segera menemukan jawaban."Siapa dia?" En Jio akhirnya memecah kesunyian, suaranya bergetar lemah. "Penjaga Kuil Tianlong? Aku tidak pernah mendengar tentang sosok seperti itu..."Lengkukup, yang biasanya tenang dan penuh perhitungan, hanya menggelengkan kepala. "Dia muncul tepat saat kita membutuhkannya. Entah siapa atau apa tujuannya, kita sebaiknya bersyukur."Ling menghela napas panjang, tubuhnya masih lelah setelah serangan besar yang hampir menghabisi kekuatannya. "Kita harus segera pergi dari sini. Tempat ini penuh dengan kegelapan, dan aku merasakan sesuatu yang tidak beres."Mereka bertiga mengangkat diri, meskipun tubuh mereka masih t
Sima Yan berdiri tegak di hadapan Ling, Lengkukup, dan En Jio. Aura kegelapan yang memancar dari tubuhnya membuat udara di sekitar mereka terasa berat. Pedangnya yang besar dan hitam berkilauan dengan cahaya merah yang jahat, menandakan kekuatan yang luar biasa.Ling mengepalkan tangannya lebih kuat di sekitar gagang pedangnya. Napasnya terasa berat, dan dadanya bergemuruh dengan adrenalin. Dia tahu ini bukan hanya pertarungan melawan seorang musuh yang kuat, tapi juga perjuangan untuk tetap hidup."Kita tidak bisa membiarkan dia menang!" desis Ling dengan penuh semangat, meski dia tahu dalam hatinya bahwa mereka mungkin tidak akan bertahan dari pertarungan ini.Lengkukup berdiri di sampingnya, menatap dingin ke arah Sima Yan. "Kita bertarung sampai napas terakhir. Tidak ada pilihan lain."En Jio, yang masih terluka, mengangguk dengan susah payah. Meskipun kondisinya jauh dari ideal, dia tahu tidak ada waktu untuk mundur.
Ketika mereka keluar dari gua, lembah yang dulunya gelap sekarang diterangi cahaya redup matahari yang mulai tenggelam. Udara terasa lebih berat, seolah sesuatu yang jahat menyelimuti mereka dari kejauhan. Langit di atas Gunung Tianfeng mulai berubah menjadi merah darah, pertanda bahwa bahaya semakin dekat.
Suasana di dalam ruangan besar itu mendadak tegang. Pria berjubah hitam yang berdiri di hadapan mereka tampak mengintimidasi, dengan senyum penuh kebencian yang menyiratkan keyakinan mutlak pada kekuatannya. Cahaya dari kristal elemen hijau memantul di zirah hitamnya, mempertegas aura kegelapan yang menyelimuti tubuhnya."Aku adalah pengawal elemen ini," ucap pria itu dengan suara rendah yang bergetar. "Namaku Hei Long, dan kalian tak akan bisa melewati gerbang kehidupan ini."Ling menatap pria itu dengan tajam, mempersiapkan diri. "Kalau begitu, kita tak punya pilihan lain selain melawanmu."Lengkukup dan En Jio mengambil posisi di sebelah Ling. Meskipun mereka tahu bahwa Hei Long adalah lawan yang kuat, mereka tidak punya waktu untuk ragu. Kristal elemen hijau itu adalah kunci untuk melengkapi kekuatan Kitab Dewa Naga, dan mereka harus mendapatkannya, apa pun risikonya."Serahkan saja elemen itu
Malam mulai menyelimuti perbukitan, namun Ling, Lengkukup, dan En Jio terus melangkah. Suasana semakin mencekam saat kabut tipis mulai muncul, menyelimuti jalanan setapak yang semakin sempit. Hutan lebat di kiri dan kanan mereka seolah menjadi dinding kegelapan yang tak tertembus. Hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar di tengah keheningan itu."Kita semakin dekat," kata Lengkukup, matanya terus mengawasi setiap gerakan di sekitar. "Aku bisa merasakan kehadiran sesuatu yang tidak biasa di sini."Ling mengangguk setuju. Dari kitab Dewa Naga yang berada dalam genggamannya, ia bisa merasakan energi yang semakin kuat. "Lembah itu tak jauh lagi. Energi dari elemen berikutnya sangat jelas terpancar dari sana."En Jio, yang biasanya penuh semangat, kali ini tampak lebih tenang. "Apa kalian sudah siap? Kalau pasukan hitam benar-benar menunggu di sana, ini akan menjadi pertempuran yang sulit."
Setelah berhasil mengalahkan Pengawal Bayangan dan mengamankan elemen es, Ling, Lengkukup, dan En Jio melanjutkan perjalanan mereka menuju perbukitan yang lebih rendah, meninggalkan puncak es yang mencekam di belakang. Udara di sini lebih hangat, tapi suasana tegang masih melingkupi mereka. Masing-masing terdiam, merenungkan pertempuran yang baru saja mereka lalui.“Kita sekarang memiliki dua elemen,” kata Lengkukup, memecah keheningan. “Tapi musuh kita pasti semakin sadar dengan keberadaan kita.”Ling mengangguk. “Kita harus bergerak cepat. Mereka tidak akan tinggal diam dan membiarkan kita mengambil semua elemen begitu saja.”En Jio, yang biasanya ceria, kali ini terlihat lebih serius. “Kalau mereka sudah mengirim Pengawal Bayangan, berarti kekuatan besar sedang memantau kita. Kita harus siap menghadapi mereka, kapan pun mereka menyerang.”
Setelah berhasil mendapatkan elemen es dari Puncak Es, Ling, Lengkukup, dan En Jio tidak bisa beristirahat lama. Meski mereka baru saja mengalahkan serigala es yang menjaga elemen tersebut, perasaan cemas tidak pernah benar-benar pergi. Keheningan yang melingkupi pegunungan bersalju seolah menyembunyikan ancaman yang belum terungkap.“Ling,” kata Lengkukup tiba-tiba, matanya tajam menatap ke kejauhan. “Kita sedang diawasi.”Ling yang sedang mengatur napas setelah pertempuran, langsung siaga. Dia mengeluarkan pedangnya dengan gerakan cepat, memfokuskan seluruh indranya untuk mendeteksi ancaman yang disampaikan Lengkukup. Seiring angin dingin yang menusuk, bayangan mulai terlihat di balik kabut tebal.En Jio, yang sebelumnya sedang bercanda untuk menghilangkan ketegangan, kini mengalihkan pandangannya dengan wajah serius. “Sepertinya, penjaga elemen es bukan satu-satunya yang harus kita hadapi.”Dari kabut yang semakin pekat, muncul sosok-sosok berpakaian hitam. Mereka bergerak dengan k
Setelah berhasil mendapatkan elemen api dari Gunung Berapi Hitam, Ling, Lengkukup, dan En Jio tidak memiliki banyak waktu untuk merayakan keberhasilan mereka. Tantangan berikutnya, elemen es, menanti mereka di ujung dunia yang berlawanan, di Puncak Es yang dilapisi salju abadi.“Kita tidak bisa berlama-lama di sini,” ujar Ling, napasnya masih terengah-engah setelah pertarungan yang menegangkan. “Puncak Es jauh, dan kita tidak tahu apa yang menanti kita di sana.”Lengkukup menyetujui, mengangkat elemen api dengan hati-hati. Cahaya merah yang menyala dari elemen itu berdenyut lembut, memberikan rasa hangat yang kontras dengan suhu yang akan mereka hadapi di perjalanan berikutnya.“Kau benar, Ling,” katanya. “Kita harus segera bergerak. Semakin lama kita menunda, semakin besar kemungkinan musuh kita mengetahui keberadaan elemen ini.”En Jio, yang telah berhasil mengalihkan perhatian naga api, berjalan mendekat. Dia tersenyum puas, meskipun wajahnya dipenuhi keringat. “Aku tidak sabar unt
Dengan hati yang penuh semangat dan ketegangan yang meningkat, Ling, Lengkukup, dan En Jio meninggalkan pasar malam. Mereka tahu bahwa perjalanan ini akan menjadi salah satu yang paling menantang yang pernah mereka hadapi. Mereka harus mendapatkan dua elemen yang berlawanan, dan langkah pertama adalah menuju Gunung Berapi Hitam.Di jalan, Ling merenungkan kata-kata lelaki tua itu. Kekuatan tidak hanya datang dari kemampuan fisik, tetapi juga dari keputusan yang mereka buat. Perjalanan ini bukan hanya tentang mencari kunci, tetapi juga tentang menemukan diri mereka sendiri dan menguji batasan mereka.Sesampainya di tepi hutan, mereka berhenti sejenak. Ling bisa merasakan perubahan udara, dari segar menjadi panas dan berbau sulfur. “Kita sudah dekat dengan gunung,” ujarnya.“Kau yakin kita siap menghadapi makhluk yang menjaga elemen api?” Lengkukup bertanya, merasakan ketegangan di udara.“Kita harus percaya satu sama lain,” jawab Ling. “Kita sudah melalui banyak hal bersama. Ini hanya