Setelah kepergian Du Shen, kesunyian merayapi medan pertarungan yang kini hancur lebur. Bau darah bercampur dengan aroma tanah yang terkikis masih memenuhi udara. Beberapa mayat yang hancur dan membusuk berserakan di berbagai sudut, menciptakan pemandangan yang mengerikan.Dari balik pepohonan, seseorang akhirnya muncul. Sosok berjubah hitam yang sebelumnya datang bersama Mo Difeng kini berdiri dengan tubuh gemetar. Ia adalah satu-satunya yang berhasil selamat dari gelombang energi Qi beracun yang dipancarkan oleh Du Shen.'Sial! Mo tua berhasil dikalahkan oleh pria itu. Aku tidak menyangka kekuatannya begitu mengerikan. Beruntung aku memiliki teknik pelarian bawah tanah, kalau tidak, aku juga sudah menjadi mayat seperti mereka,' batinnya, menelan ludah dengan susah payah.Ia menatap ke arah Du Shen pergi, matanya berusaha memastikan bahwa musuh mengerikan itu benar-benar telah lenyap dari pandangan. Namun, sedetik kemudian, bulu kuduknya meremang. Perasaan aneh menyelinap ke dalam
Tiga hari telah berlalu. Hari ini, halaman utama kediaman klan Murong dipenuhi oleh ratusan anggotanya yang berkumpul dalam duka dan kemarahan.Di tengah lapangan yang luas, deretan peti mati berlapis kayu hitam tertata rapi. Aroma dupa memenuhi udara, menciptakan suasana suram yang menekan dada setiap orang yang hadir.Wajah para anggota klan Murong mengeras, mata mereka dipenuhi kemarahan yang bergejolak. Tak ada yang bisa menerima kenyataan bahwa dua tetua utama mereka—Murong Giu dan Murong Yi—berakhir tragis dengan tubuh hampir hancur.Di barisan terdepan, Murong Liang, Tetua Keempat, mengepalkan tangannya erat. Urat-uratnya menegang di balik kulitnya yang keriput."Siapa yang berani melakukan ini?" suaranya bergemuruh, mengguncang seluruh halaman. "Membunuh seorang tetua dari Klan Murong… sungguh dosa yang tak termaafkan!"Matanya membara penuh kebencian, menatap tajam ke arah peti mati seolah mengutuk musuh yang telah merenggut saudara seperjuangannya.Di sisinya, Murong Ning, T
Di dalam aula utama kediaman Klan Hao, ketegangan terasa memenuhi udara. Cahaya lentera redup memantulkan bayangan suram di wajah para laki-laki yang berkumpul di sekitar meja bundar. Hao Jifeng, Kepala Klan Hao, mengerutkan kening begitu membaca isi gulungan pesan yang baru saja dikirim oleh Klan Murong. Garis-garis di dahinya semakin dalam, mencerminkan betapa berat beban yang kini menghimpit pikirannya. Di sampingnya, Tetua Jiang mengambil gulungan itu dan mulai membacanya dengan seksama. Tak butuh waktu lama hingga ekspresinya berubah menjadi muram, lalu dalam sekejap matanya menyala penuh amarah. "Bisa-bisanya mereka mengatakan hal seperti ini! Dari pada sebuah permintaan, mereka justru memaksa kita untuk tunduk lebih dalam!" geramnya, telapak tangannya mengepal hingga buku-buku jarinya memutih. Ia membanting gulungan itu ke meja dengan kasar, membuat beberapa cangkir teh di atas meja bergetar. "Kepala klan, apapun yang terjadi, aku menolak menikahkan cucuku dengan bajingan
Keesokan harinya, Du Shen duduk bersila di dalam sebuah ruangan khusus yang telah dipersiapkan untuknya sebagai pemimpin baru Paviliun Alkemis. Ruangan itu lebih megah dibandingkan kamar-kamar biasa, dengan rak-rak penuh kitab kuno dan berbagai alat alkimia tersusun rapi di sepanjang dinding. Di tangannya, ia menggenggam sebuah mutiara hitam, benda yang sebelumnya direnggutnya dari Mo Difeng. Permukaannya halus dan tampak memancarkan aura warna-warni yang berputar pelan seperti pusaran kabut di dalamnya.Du Shen menyipitkan mata. "Seperti yang kuduga, Mutiara Hitam ini bukan benda biasa. Peninggalan seorang leluhur kuno… tapi apa sebenarnya yang tersembunyi di dalamnya?" gumamnya sambil membolak-balik benda itu di tangannya.Dengan napas teratur, ia mulai mengalirkan kesadarannya ke dalam Mutiara Hitam tersebut. Saat itu juga, sesuatu terjadi—sebuah inskripsi kuno terpancar dari permukaannya, membentuk pola-pola bercahaya yang melindungi setiap sisi mutiara itu.Du Shen tetap tenang
Langit di atas Paviliun Alkemis, sesosok pria paruh baya berdiri melayang dengan jubah hitam dengan bordiran emas berkibar tertiup angin. Murong Bai, sosok yang disebut-sebut sebagai penguasa kota Danau Hitam, menatap tajam ke arah Paviliun Alkemis di bawahnya. Sorot matanya dipenuhi rasa ingin tahu sekaligus kewaspadaan.Aura tekanan yang ia pancarkan begitu kuat hingga para murid Paviliun Alkemis yang ada di halaman mulai merasa gemetar dan menundukkan kepala mereka, takut untuk menatap langsung sosok yang begitu menakutkan itu."Apa yang sebenarnya terjadi di sini?" Suaranya berat dan dalam, bergema di seluruh area Paviliun.Beberapa murid hanya bisa saling berpandangan dengan wajah tegang, tak seorang pun berani menjawab. Namun, sebelum suasana menjadi lebih mencekam, seorang pria tua dengan jubah panjang keluar dari dalam bangunan utama Paviliun.Dia adalah Ye Long, mantan pemimpin Paviliun Alkemis, sosok yang dihormati di kota Danau Hitam sebagai ahli alkimia. Langkahnya tenang
Gelombang energi yang begitu menekan tiba-tiba menyelimuti seluruh dunia di sekitar Paviliun Alkemis. Sebagai sosok terkuat di kota ini, Murong Bai tak pernah merasakan tekanan sekuat ini sebelumnya. Napasnya terasa sedikit tersengal, alisnya berkerut semakin dalam.'Apa ini!?' pikirnya. 'Tekanan aura yang begitu kuat… Dari mana datangnya? Di kota ini, tak seharusnya ada seseorang yang mampu memancarkan kekuatan seperti ini!'Matanya yang tajam menyapu ke segala arah, mencari sumber energi tersebut. Sejenak, perasaan tidak nyaman menyelusup ke dalam hatinya. Namun, sebagai kultivator di ranah Golden Core tahap lima, Murong Bai menepis keraguan itu.'Hmph! Ini pasti hanya kebetulan! Tak mungkin ada yang bisa menandingiku di tempat ini!' desisnya dalam hati.Dengan keyakinan itu, ia menegakkan tubuhnya dan melepaskan tekanan auranya sendiri. Angin berputar kencang di sekelilingnya, menekan apapun di sekitarnya. Murid-murid hingga para pelayan Paviliun Alkemis yang masih berada di halam
Murong Bai mengatupkan kedua tangannya, dan mulai membentuk serangkaian segel tangan yang kompleks. Jari-jarinya bergerak cepat, menciptakan pola-pola bercahaya yang memancarkan aura keemasan. Dalam hitungan detik, diagram inskripsi kuno terbentuk di atas kepalanya, berputar perlahan, mengeluarkan riak energi petir yang berderak ganas. Langit di atas Kota Danau Hitam, yang sebelumnya cerah, mendadak dipenuhi oleh awan hitam yang berputar-putar, seolah merespon kemarah Murong Bai. Setiap kilatan petir yang menyambar dari lingkaran diagram itu menyebarkan tekanan spiritual yang membuat para kultivator di bawahnya merasakan ketakutan yang mencekam. Dari lingkaran diagram inskripsi itu, sesuatu mulai muncul. Sepasang mata biru terang bersinar tajam di balik kilatan petir, diikuti oleh wujud besar yang perlahan membentuk tubuhnya. Seekor naga petir raksasa keluar dari dalam diagram, sisik-sisiknya memancarkan kilatan cahaya biru yang mengalir seperti arus listrik. Naga tersebut men
"Kepala klan!?" Suara seruan lantang terdengar ketika seorang pria paruh baya muncul, diikuti oleh sekelompok orang berjubah khas klan Murong. Mereka adalah para tetua klan Murong yang segera bergerak ke atas langit setelah merasakan energi pertempuran yang dahsyat. Murong Bai, pemimpin mereka, terlihat berdiri dengan napas tersengal dan darah masih terlihat di sudut bibirnya. Murong Ning, salah satu tetua terkuat klan, segera terbang mendekat, diikuti oleh Murong Liang dan yang lainnya. Tatapan mereka dipenuhi keterkejutan dan ketidakpercayaan saat melihat kondisi pemimpin mereka yang harusnya menjadi yang tak terkalahkan. "Kau! Siapa kau sebenarnya?!" bentak Murong Liang, suaranya penuh amarah. "Berani-beraninya menyerang kepala klan kami! Apa kau tidak tahu dengan siapa kau berurusan!?" Namun, pemuda yang berdiri tak jauh di hadapannya hanya tersenyum tipis. Pandangan Du Shen tetap tenang, tanpa sedikit pun rasa gentar. "Apa pentingnya mengetahui siapa kalian?" katanya dengan
Namun ia tak begitu peduli pada patung itu dan mengalihkan perhatian ke segala arah di dalam aula yang luas itu."Hmm?" Du Shen bergumam lirih sambil menatap sekeliling ruangan luas yang terasa sunyi. Pilar-pilar batu yang menjulang tinggi tampak kokoh menopang langit-langit aula, ia memandangi sekitar seolah tengah mencari seseorang. "Pak tua Zhao... Dia tak ada di sini. Apakah dia masih terjebak dalam dimensi ilusi sebelumnya? Atau jangan-jangan ada ruangan lain selain tempat ini?"Pikirannya terus bergulir, mencoba mencari jawaban. Namun tepat saat ia hendak bergerak untuk menyelidiki lebih jauh, seberkas aura yang familiar tiba-tiba muncul dari sisi timur aula. Aura itu samar namun mengandung nuansa yang tak asing baginya.Du Shen menoleh cepat. Matanya menajam, menyapu arah tempat datangnya aura tersebut.Beberapa langkah dari tempatnya berdiri, sesosok gadis perlahan muncul dari balik kerumunan. Ia tidak sendiri—di dekatnya berdiri dua orang asing yang tampak waspada.Satu adal
Beberapa saat berlalu dalam keheningan yang mendebarkan. Du Shen, yang sejak berdiri tegak dengan mata tertutup, akhirnya membuka kelopak matanya perlahan. Dari balik pupil hitamnya, semburat cahaya hijau tua berkilat tajam seperti bara yang baru saja menyala dari arang yang tertiup angin kencang. Aura dari tubuhnya seketika merembes.Seketika itu pula, atmosfer di sekitar mereka mendadak menjadi berat. Udara seolah menebal, menekan tubuh seperti selimut raksasa yang mengandung niat pembunuhan. Bahkan suara embusan angin tak terdengar lagi, digantikan oleh keheningan mencekam yang seperti berdiri di hadapan binatang buas purba, yang berdiri kokoh dan tak tergoyahkan bagaikan gunung es abadi.Lu Tian, yang semula berbaring santai sambil bersenandung kecil, tiba-tiba menegang. Matanya membelalak, napasnya tercekat di tenggorokan. Rasa sesak menyerangnya begitu cepat hingga ia seketika terduduk, lalu berubah jongkok dengan tangan memegangi sisi kepalanya. Keringat dingin mulai merembe
"Kau salah," ujar pemuda itu sambil menarik napas dalam. Suaranya terdengar kesal, namun tak kehilangan semangatnya. "Aku bukan datang ke sini karena kemauanku sendiri. Aku diseret masuk oleh seorang penjahat tua. Dan lihat ini, dia bahkan mengikat kakiku dengan rantai terkutuk ini." lanjutnya sambil menunjuk ke arah kakinya, Du Shen menurunkan pandangannya, memperhatikan dengan seksama. Rantai hitam itu tampak mencengkeram pergelangan kaki pemuda tersebut dengan erat, seperti binatang buas yang tertidur namun siap menerkam kapan saja. Riak aura hitam samar-samar bergelombang dari permukaannya, menebarkan hawa dingin yang menusuk. Du Shen menyipitkan mata. Energi Qi yang mengalir dari rantai itu terasa bengis, seperti mengandung kutukan yang dibentuk dari niat buruk dan dendam yang tak sederhana. "Rantai itu bukan sesuatu yang biasa," gumam Du Shen, lebih kepada dirinya sendiri. Pemuda itu yang sepertinya tak terlalu terganggu dengan situasinya—mengalihkan perhatian pada Du Sh
Beberapa jam berlalu dalam ketegangan. Langit yang semula cerah perlahan mulai tertutup oleh kabut tipis berwarna kelabu yang muncul entah dari mana. Di depan Paviliun Dewa Kekacauan, ratusan kultivator berdiri menunggu dalam diam. Aura mereka terkendali, namun penuh kewaspadaan. Semua menunggu satu momen saat penghalang kuno itu benar-benar lenyap.Dan akhirnya, itu terjadi.Formasi segel yang melindungi bangunan tua itu mulai bergetar pelan, lalu retak seperti permukaan es yang diinjak. Garis-garis halus menyebar cepat, menciptakan pola aneh sebelum pecah dalam kilatan cahaya. Suara gemuruh yang dalam dan berat terdengar, menggema ke seluruh lembah. Penghalang itu hancur—menguap tanpa sisa.Namun bersamaan dengan itu, gelombang tekanan luar biasa memancar keluar. Tidak seperti sebelumnya, tekanan ini bukan hanya kuat, melainkan mengandung energi yang kacau. Sulit dijelaskan. Tapi semua orang dapat merasakan sesak, panas, dingin, dan hampa bercampur menjadi satu. Beberapa kultivat
Beberapa hari kemudian... Di tengah bentangan pegunungan batu cadas yang membentang sejauh mata memandang, berdiri sebuah istana megah nan misterius. Di sekilingnya hanya terdapat hamparan tanah tandus yang luas. Istana kuno tersebut berdiri dengan gagah, dikelilingi oleh pelindung berbentuk kubah transparan yang memantulkan kilau cahaya warna warni ketika cahaya matahari menyentuh permukaannya. Seolah siapapun tak bisa menyentuhnya sembarangan dari luar. Bangunan kuno itu dikenal dengan nama Paviliun Dewa Kekacauan—tempat misterius yang hanya muncul sekali dalam seratus tahun. Legenda menyebutkan bahwa di dalamnya tersimpan artefak-artefak langka, rahasia kultivasi tingkat tinggi, dan warisan dari zaman leluhur. Aura menekan dan kuat merambat keluar dari dalam pelindung itu, membuat para kultivator yang berkumpul di sekitarnya tak berani mendekat sembarangan. Meski tampak samar karena pengaruh pelindung, pancaran energinya jelas mampu membuat para praktisi muda berkeringat dingi
Di permukaan, apa yang tengah dilakukan oleh Du Shen tampak seperti proses pemurnian biasa—seorang ahli yang duduk bersila di hadapan tungku alkimia, mengendalikan aliran Qi untuk menenangkan energi dalam sebuah inti merah menyala. Namun, kenyataannya jauh dari kata biasa. Dari telapak tangannya, aura gelap nan pekat mengalir ke udara, membentuk simbol-simbol kuno yang berpendar hijau kehitaman. Ukiran inskripsi dari zaman sebelum zaman, yang bahkan tak dikenali oleh alkemis manapun di zaman sekarang, muncul melingkari ruang kecil itu. Di bawah tungku yang ia gunakan, lingkaran sihir berpendar menciptakan beberapa lapisan inskripsi—menyala satu per satu, menunjukkan kerumitan formasi yang ia bangun. Pemurnian ini bukan sekadar proses menghilangkan kotoran dari bahan alam seperti tanaman herbal atau bahan alkimia lainnya. Ini adalah pemurnian inti jiwa manusia—sebuah seni terlarang dan nyaris terlupakan, yang lebih dekat ke necromancy daripada alkimia. Inti jiwa dimurnikan untuk
Tapi tekanan dari manifestasi tangan Qi itu begitu besar hingga bahkan dia sendiri mulai terdorong mundur, tubuhnya terseret di antara udara tipis yang kini nyaris menyusut karena gesekan energi.Sementara itu, Zhao Lao menoleh cepat ke arah seorang gadis muda yang berdiri kaku di balik formasi pelindung yang hampir runtuh."Artefak ini terlalu kuat... aku tak bisa mengendalikannya lebih lama. Tapi jika aku bisa memanfaatkan momen ini…"Dengan segenap kekuatan terakhir, Zhao Lao melepaskan sebagian kendali pada tangan Qi, dan mengalihkan sebagian besar energi spiritualnya untuk menciptakan portal dimensi kecil. Dalam sekejap, dia menerobos badai energi, dan meraih tubuh Han Jue."Gu-Guru!?" Han Jue tergagap, namun sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, tubuh mereka berdua telah terserap masuk ke dalam celah dimensi.Luo Ming, yang baru sadar akan hilangnya keberadaan Zhao Lao, meraung keras seperti binatang buas."Pengecut! Kau kabur saat aku lengah! Dasar tua bangka pengecut!"Namun,
Langit di atas Wilayah Dewa Leluhur telah berubah menjadi ungu gelap yang pekat, seolah menandakan bahwa malam ini bukanlah malam biasa. Dua bulan kembar menggantung di angkasa, menyinari tanah yang telah lama kehilangan kehangatan mentari. Namun cahaya lembut itu tak mampu mengusir hawa dingin yang menyelimuti beberapa sisi wilayah tersebut—tempat di mana dua ahli besar bertarung memperebutkan gelar terkuat dalam rivalitas mereka. Di atas tanah yang hangus dan retak oleh gelombang energi spiritual, Zhao Lao terhuyung sembari menekan dadanya yang terasa seperti diremuk dari dalam. Napasnya berat dan berderak, dan darah merah pekat mengalir dari sudut bibirnya. Meski tubuhnya nyaris tak mampu berdiri, sorot matanya masih memancarkan perlawanan yang dipenuhi tekad. Ia menatap lurus ke depan, ke arah lawannya: Luo Ming, yang juga tampak terluka namun masih berdiri tegak di atas udara, dengan dada naik-turun dalam tarikan napas yang lebih stabil. Tawa Luo Ming meledak di udara ma
"A-aku hanya pesuruh dari kelompok kecil yang disebut Bandit Kapak Hitam," ucap Mu Gui dengan suara gemetar, napasnya tersengal, dan tubuhnya menggigil di bawah tekanan tak kasat mata. Pria berjubah hitam sebelumnya, yang kini telanjang bulat, tampak tak lebih dari seekor kambing malang yang tengah menunggu waktu untuk disembelih. Tubuhnya masih terangkat beberapa jengkal dari tanah, dicekik oleh tekanan Qi milik Du Shen yang begitu dingin dan menakutkan. Du Shen memandangnya dengan tatapan tajam, kilatan kebencian di sorot matanya menunjukkan betapa dalam amarahnya tersimpan. Namun saat mendengar nama "Kapak Hitam," seketika seluruh dunianya di penuhi oleh bara emosi yang meluap-luap. "Bandit Kapak Hitam?" ulang Du Shen dengan suara berat, bibirnya nyaris tak bergerak. "Apa hubungan kalian dengan Bandit Kapak Merah?" Seketika, wajah Mu Gui memucat. Napasnya terhenti sepersekian detik. Nama itu, bukan lah nama yang seharusnya keluar dari mulut sembarang orang. Itu adalah organisa