Pasukan Benua Barat yang dipimpin oleh Komandan Arya Wisesa dikenal dengan nama Bala Petir Dirgantara, sebuah divisi elite yang terdiri dari ribuan penyihir dan prajurit dengan kemampuan mengendalikan kekuatan alam, khususnya angin dan petir. Bala Petir Dirgantara dibagi menjadi beberapa bagian penting, masing-masing memiliki tugas khusus di medan pertempuran.
Legiun Petir Langit: Pasukan inti yang dikuasai oleh penyihir tingkat tinggi seperti Pendekar Langit. Mereka bertugas menciptakan badai dan petir untuk mengacaukan formasi musuh dan menghancurkan pertahanan mereka dari kejauhan.
Pengendara Bayu: Bagian dari pasukan yang menggunakan angin untuk mempercepat gerakan pasukan dan mengirim serangan jarak jauh. Mereka bergerak cepat, sulit untuk dihadang, dan bertugas sebagai pasukan serangan kejutan.
Penjaga Jagat B
Di dalam tenda besar yang berfungsi sebagai ruang komando utama Pasukan Kerajaan Langit Timur, suasana penuh dengan ketegangan. Para jenderal dan kapten pasukan duduk melingkar di sekitar meja besar yang penuh dengan peta medan pertempuran. Cahaya obor menerangi ruangan itu dengan temaram, memantulkan bayangan bayangan gelap di wajah-wajah para pemimpin perang yang ada di sana. Suara gumaman dan diskusi terdengar, tapi begitu Gema memasuki tenda, semua mata langsung tertuju padanya.Di sebelah Gema, berdiri tegap Ki Joko Tingkir, yang dengan tangan di belakang punggungnya memberi tatapan tajam pada setiap orang di ruangan itu. Tak jauh dari situ, Jaka Tandingan juga berdiri, tangannya bersedekap, pandangannya tegas namun waspada."Semua sudah hadir?" tanya Gema dengan nada serius, matanya menyapu seluruh ruangan.
Di markas besar Bala Petir Dirgantara, suasana tampak tenang namun penuh ketegangan yang mengintai. Komandan Arya Wisesa berdiri di tengah tenda komando, di hadapannya ada Panglima Senopati Bima dan Penyihir Srikandi, bersama beberapa komandan lainnya yang setia. Awan-awan gelap menggulung di atas tenda, seolah mencerminkan aura mencekam yang melingkupi pertemuan para pemimpin perang Benua Barat ini."Semua sudah siap, Komandan?" tanya Panglima Bima, tangannya menggenggam erat Kapak Bumi Raksasa miliknya. Matanya menatap tajam ke peta besar yang terbentang di meja.Arya Wisesa mengangguk perlahan. "Semua siap. Kita akan memulai serangan tepat di waktu yang telah ditentukan."Di sisi lain meja, Penyihir Srikandi menyeringai tipis, wajahnya tersembunyi di balik tudung hit
Di dalam tenda komando Kerajaan Langit Timur, suasana begitu tegang dan penuh persiapan. Ki Joko Tingkir berdiri di hadapan para jenderal, kapten, dan pemimpin utama yang berkumpul untuk menerima instruksi. Wajahnya penuh ketegasan, setiap gerakan tangannya menunjukkan penguasaan yang luar biasa atas medan perang. Di sampingnya, Gema, Jaka Tandingan, dan beberapa jenderal lain menatap dengan fokus, menanti perintah-perintah penting yang akan menentukan hidup dan mati mereka di medan pertempuran.“Serangan ini tidak bisa ditunda lagi. Kita harus bertindak di saat yang paling tidak mereka duga,” Ki Joko Tingkir membuka pertemuan, suaranya mantap dan tenang. “Pasukan Benua Barat mungkin merasa kuat dengan sihir dan kekuatan mereka, tapi kita memiliki keunggulan tersendiri—kita tahu medan ini. Dan kita akan memanfaatkan itu.”
Dini hari belum sepenuhnya berakhir ketika tanda pertama dari peperangan terdengar. Langit masih gelap, dan embun pagi masih menggantung di daun-daun, ketika Pasukan Kerajaan Langit Timur memulai gerakannya. Mereka bergerak seperti bayangan di antara pepohonan, memanfaatkan kegelapan untuk mendekati posisi musuh tanpa terdeteksi. Tidak ada suara yang terdengar, kecuali langkah-langkah pelan pasukan yang berbaris.Gema berdiri di depan pasukannya, memimpin 1.000 prajurit yang siap menyerang. Di sampingnya, Jaka Tandingan dengan tegas memegang senjata di tangan, pandangan tajamnya mengawasi setiap gerakan. Mereka tahu, ini adalah momen yang menentukan—hari pertama dari peperangan besar yang akan menentukan nasib Nusantara.Di kejauhan, terdengar suara siulan halus yang menandakan posisi musuh. Ki Joko Tingkir memberikan sinyal kepada Gema dan pasukannya unt
Medan perang menjadi tempat di mana kilatan cahaya dan teriakan perang bercampur aduk. Serangan demi serangan dilepaskan oleh kedua belah pihak, menggetarkan tanah dan langit di sekitar mereka. Di tengah hiruk-pikuk pertempuran itu, Gema, Jaka, dan pasukan Kerajaan Langit Timur terus bertahan melawan kekuatan sihir mematikan dari Benua Barat.“Seni Petir Bumi!” Gema berteriak dengan lantang, sambil mengayunkan Tombak Bumi Nusantara ke depan.Tanah di bawah kakinya bergetar, retakan besar terbentuk seketika saat energi tanah bercampur petir mengalir dari tombaknya. Getaran tersebut merambat dengan cepat, seperti gelombang yang bergerak liar, menghantam pasukan musuh yang ada di depannya. Tanah di bawah mereka hancur dan terbelah, menciptakan ledakan yang melontarkan prajurit Benua Barat ke udara.“U
Langit yang semula cerah kini ditutupi oleh awan gelap yang bergemuruh, seperti menggambarkan amarah yang bergelora dari dua pendekar tangguh yang bertarung di tengah medan pertempuran. Ki Joko Tingkir dan Komandan Arya Wisesa berdiri saling berhadapan, mata mereka tajam saling menilai kekuatan lawan. Di antara mereka, tanah bergetar oleh energi kuat yang terpancar dari tubuh masing-masing, siap untuk menghancurkan siapa pun yang berani mendekat.Arya Wisesa, dengan Pedang Petir Langit di tangannya, mengangkat senjatanya ke langit. "Kau pikir bisa menantang langit, Joko Tingkir? Aku adalah penguasa badai dan petir!"Dengan satu tebasan cepat, Arya mengeluarkan teknik khasnya. "Pilar Petir Wisesa!" teriaknya dengan lantang.Dari langit yang gelap, petir besar turun seper
Medan perang terasa sunyi sesaat sebelum badai kehancuran datang. Di garis depan pasukan Benua Barat, Panglima Senopati Bima berdiri tegak, tubuhnya besar dan penuh otot mengintimidasi semua orang di sekitarnya. Dengan Kapak Bumi Raksasa yang terukir dalam tangan kuatnya, dia menatap ribuan prajurit dari Kerajaan Langit Timur yang telah bersiap melawannya. Bima, sang Penguasa Jagat, terkenal dengan kekuatan luar biasa dan kemampuannya memanipulasi tanah dan batu.“Hari ini, bumi Nusantara akan menjadi saksi kejatuhan kalian!” teriak Bima dengan suara menggema, memecah keheningan. Dengan satu gerakan cepat, dia mengangkat kapaknya tinggi-tinggi."Gempa Bumi Bima!" teriaknya.Bumi di bawah kaki Bima mulai bergetar. Getaran kecil itu perlahan membesar menjadi g
Jaka Tandingan berdiri tegap di tengah kekacauan itu, menatap tajam ke arah Panglima Senopati Bima yang terus menerus menciptakan gempa dan kerusakan besar dengan Kapak Bumi Raksasa-nya. Setiap ayunan kapak Bima menciptakan retakan besar di tanah, menghancurkan formasi pasukan Kerajaan Langit Timur dan membuatnya terlihat seperti raksasa yang tak terhentikan.Gema berdiri di dekat Jaka, siap membantu, namun Jaka menahan lengannya. "Tidak, Gema. Medan utama membutuhkanmu. Kau adalah jenderal di sini. Aku yang akan menghadapi Senopati Bima. Ini tugasku."Gema tertegun sejenak, matanya menunjukkan kekhawatiran yang dalam. "Tapi dia sangat kuat, Kak Jaka. Kita harus bersama-sama untuk bisa melawannya!"Jaka tersenyum tipis, "Aku pernah menghadapi musuh sekuat dia sebelumnya. Lagipula, aku memiliki teknik yang akan membu
Langkah Gema, Roro, dan Jaka semakin pelan ketika mereka memasuki Hutan Mistik Es, sebuah kawasan yang penuh misteri dan bahaya. Suasana di dalam hutan itu begitu sunyi, hanya desau angin dingin yang menghembus di antara pepohonan beku, membuat daun-daun es bergetar pelan. Meski tampak tenang di luar, ada sesuatu yang terasa aneh dan menekan. Ketiganya merasakan kegelisahan yang sama, seolah-olah mereka sedang diawasi oleh sesuatu yang tidak tampak.Hutan itu dipenuhi pepohonan raksasa yang batangnya menjulang tinggi, seluruhnya tertutupi lapisan es yang tebal. Setiap langkah mereka menghasilkan suara renyah dari salju yang terinjak, namun setiap suara kecil itu bergema dengan cara yang aneh, seolah ada gema dari suara lain yang mengikuti di belakang mereka.“Rasanya… seperti kita tidak sendiri di sini,” gumam Roro dengan nada cemas, matanya mengamati sekeliling dengan hati-hati. Tangan halusnya sudah siap meraih jarum-jarum akupunktur, jika ada sesuatu yang tiba-tiba muncul dari bali
Badai salju terus menderu, namun di tengah kegelapan dan dinginnya angin, Gema, Jaka, dan Roro berdiri tegak, memancarkan aura yang berbeda dari sebelumnya. Napas mereka teratur, meski suhu menggigit setiap inci tubuh mereka. Mata Gema menyala dengan kepercayaan diri yang semakin kuat, seolah-olah badai dan makhluk-makhluk es yang menghadang mereka hanyalah ujian kecil yang harus mereka lewati.Di sekitar mereka, Cheetah Es yang tersisa terus bergerak dengan kecepatan luar biasa, mengepung dari segala arah. Namun, kali ini Gema dan kedua kawannya sudah siap. Kekuatan yang telah mereka latih selama dua tahun di benua utara ini akhirnya mencapai puncaknya.“Sudah cukup,” gumam Gema pelan, namun penuh tekad. “Saatnya kita tunjukkan apa yang sebenarnya kita pelajari selama ini.”Jaka mengangguk, menatap musuh-musuh di depan mereka dengan senyuman penuh percaya diri. “Aku sudah menunggu saat ini. Tidak ada lagi yang bisa menghalangi kita.”Roro yang berada di sebelah mereka, meskipun dingi
Angin menderu hebat, membawa butiran salju yang terasa seperti ribuan jarum tajam menghantam kulit. Udara yang sedingin es menggigit tubuh mereka, meskipun pakaian tebal dari kulit hewan yang diberikan oleh Suku Wanuara cukup melindungi mereka dari hawa dingin yang menusuk. Pegunungan Utara tampak menjulang di kejauhan, puncaknya seolah menyentuh langit, diselimuti oleh kabut tipis yang menyatu dengan badai salju.Gema, Jaka Tandingan, dan Roro Kenanga melangkah maju dengan susah payah, kaki mereka tenggelam dalam salju setinggi lutut. Napas mereka terlihat dalam bentuk embusan uap di udara dingin. Mata mereka terus waspada, namun badai salju yang semakin deras membuat jarak pandang terbatas. Hanya siluet-siluet gelap dari bebatuan besar dan pohon-pohon kerdil yang terlihat samar di kejauhan."Aku tidak menyangka cuacanya akan seburuk ini," gumam Roro, suaranya hampir tenggelam dalam raungan badai. "Aku bisa merasakan energi dingin ini mengalir langsung ke tulang-tulangku."Jaka, yang
Awan di atas desa Suku Wanuara terlihat lebih cerah dari biasanya. Meski udara dingin pegunungan masih menusuk tulang, sinar matahari yang terpantul dari salju memberikan sedikit kehangatan yang aneh. Gema, Jaka Tandingan, dan Roro Kenanga bersiap untuk perjalanan mereka menuju Pegunungan Utara. Mereka tahu bahwa perjalanan ini akan penuh dengan bahaya, tapi tekad mereka sudah bulat.Di sekitar desa, para anggota suku telah berkumpul untuk memberikan penghormatan terakhir kepada ketiga tamu yang telah tinggal bersama mereka selama dua tahun. Di tengah kerumunan, Nyi Gandari berdiri dengan penuh wibawa, ditemani oleh Anggarajaya, Raksayudha, dan beberapa pemimpin suku lainnya.Gema memandang tumpukan perbekalan yang sudah disiapkan untuk mereka. Para tetua suku memberi mereka makanan, pakaian hangat, serta senjata yang bisa berguna untuk bertahan hidup di pegunungan yang keras. Ransel kulit berisi ramuan penghangat tubuh, beberapa buah kering, dan daging kering terikat dengan kuat. Sel
Di tengah dinginnya udara pegunungan utara yang menusuk tulang, Gema terbaring di dalam tendanya, mencoba memejamkan mata. Namun, pikirannya justru melayang ke masa lalu. Ada sesuatu yang tidak bisa ia abaikan, kenangan tentang seseorang yang sangat penting dalam hidupnya—Raden Jayabaya, sang guru, seorang bijak dari Benua Timur yang tak hanya mengajarinya seni bela diri dan sihir, tetapi juga rahasia-rahasia dunia yang tersembunyi.Saat malam semakin larut, Gema semakin sulit untuk tidur. Dia duduk dan mengamati api unggun yang berkedip-kedip di luar tendanya. Pikirannya kembali pada percakapan terakhirnya dengan Raden Jayabaya sebelum dia pergi meninggalkan Benua Timur, sebuah percakapan yang kini terasa semakin relevan."Ada sesuatu yang harus kau cari di masa depan, Gema," Raden Jayabaya pernah berkata sambil menatap langit, matanya tampak jauh memandang ke cakrawala. "Sebuah artefak kuno, tersembunyi di tempat yang tidak mudah dijangkau. Namun jika kau menemukannya, kekuatanmu ak
Setelah perburuan yang penuh tantangan melawan para Mammoth Raksasa, Gema, Jaka, dan Roro akhirnya berjalan kembali menuju desa Suku Wanuara. Mereka ditemani oleh Anggarajaya dan beberapa anggota suku lainnya, termasuk para pemburu berpengalaman yang ikut serta dalam perburuan. Matahari terbenam di cakrawala, menciptakan pemandangan langit merah keemasan yang memantulkan sinarnya ke atas hamparan es yang luas. Hembusan angin dingin yang menusuk tulang kini terasa lebih akrab, seolah menjadi sahabat lama bagi mereka yang telah bertahan di lingkungan keras ini.Setelah beberapa jam berjalan, mereka mulai melihat tanda-tanda desa suku di kejauhan. Tenda-tenda besar yang terbuat dari kulit binatang berjajar rapi, asap tipis mengepul dari perapian di tengah desa, dan suara-suara tawa serta obrolan hangat terdengar samar di udara. Ada rasa hangat yang langsung menyelimuti hati mereka begitu desa mulai terlihat. Meskipun mereka adalah pendatang di sini, Suku Wanuara telah menjadi seperti kel
Fajar menyingsing dengan cahaya keemasan yang terpancar lemah di atas bentangan es Benua Utara, memantulkan kilauan pada permukaan kristal salju yang memutih. Suhu yang beku di bawah nol tidak lagi menjadi musuh bagi Gema, Jaka, dan Roro. Setelah dua tahun beradaptasi dengan lingkungan keras ini, mereka telah belajar untuk tidak hanya bertahan hidup tetapi juga menjadi bagian dari kekuatan alam yang dingin dan ganas ini.Hari ini, perburuan terakhir mereka akan menjadi yang paling menantang. Anggarajaya memimpin kelompok suku Wanuara ke dataran beku yang disebut “Tanah Bersalju Tak Berujung,” di mana gerombolan Mammoth Raksasa berkeliaran. Makhluk-makhluk ini bukan hanya besar, tetapi juga sangat berbahaya dengan taring gading yang mampu menghancurkan benteng dan kulit tebal yang nyaris tak tertembus.“Perburuan hari ini berbeda,” ujar Anggarajaya dengan suara dalam. “Mammoth Raksasa adalah hewan yang langka di benua ini. Mereka kuat, cepat, dan tidak mudah diprediksi. Kalian harus me
Langit kelabu membentang di atas dataran es yang luas, seolah-olah menutupi dunia dalam selimut dingin abadi. Salju turun dengan lembut, menyelimuti permukaan bumi yang sudah beku, namun di bawah tenangnya lanskap ini, ketegangan menggantung di udara. Anggarajaya, Gema, Jaka, Roro, dan beberapa anggota Suku Wanuara lainnya berkumpul di tepi lembah yang dipenuhi es yang memantulkan cahaya samar dari langit. Hari ini, perburuan mereka bukanlah beruang kutub, melainkan makhluk yang lebih cepat, lebih berbahaya, dan jauh lebih mematikan: sekelompok Cheetah Es."Perburuan ini akan menjadi ujian terakhir kalian," kata Anggarajaya dengan nada tegas, tatapan matanya tajam seperti elang. "Cheetah Es terkenal dengan kecepatannya yang bisa membekukan aliran darah. Satu gigitan dari mereka, dan kau akan mati dalam hitungan detik."Gema mendengar peringatan itu dengan tenang. Di dalam dirinya, ada sesuatu yang terus membara—kekuatan yang telah ia latih selama dua tahun terakhir di Benua Utara ini.
Es dan salju membentang sejauh mata memandang di dataran beku Benua Utara. Udara dingin menusuk tulang, dan setiap langkah di permukaan putih itu meninggalkan jejak yang cepat terhapus oleh angin kencang. Gema, Jaka, Roro, dan anggota Suku Wanuara kini bergerak di tengah alam liar yang lebih ganas dari sebelumnya. Kali ini, perburuan mereka bukanlah rusa yang damai, melainkan makhluk yang jauh lebih berbahaya: sekelompok beruang kutub besar yang menguasai wilayah ini.Anggarajaya, sang pemimpin perburuan kali ini, memberikan isyarat agar mereka berhenti. Di depan mereka, melalui kabut salju yang berputar, terlihat bayangan besar dari seekor beruang kutub. Ukurannya jauh lebih besar dari beruang biasa, dengan bulu putih tebal yang nyaris menyatu dengan lanskap sekitarnya. Hewan itu sedang merobek bangkai ikan besar di dekat sebuah sungai beku."Kita harus hati-hati," bisik Anggarajaya. "Beruang-beruang ini sangat kuat, dan mereka bergerak dalam kelompok. Kita tidak boleh gegabah."Gema