Beranda / Pendekar / Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua / Bab 30: Pengkhianatan di Balik Senyuman

Share

Bab 30: Pengkhianatan di Balik Senyuman

Penulis: FAISAL FANANI
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Malam semakin larut ketika Jaka, Gema, dan Roro kembali ke tempat mereka beristirahat, siap menghadapi perjalanan panjang keesokan harinya. Namun, di sisi lain desa, di dalam rumah kepala desa, suasana berbeda terjadi. 

Kepala desa yang tadi memberikan restunya kepada ketiga anak muda itu kini duduk dengan wajah penuh ketegangan. Di sekelilingnya, para sesepuh desa yang selama ini dianggap bijak dan berpengalaman berkumpul, namun pandangan mata mereka kini dipenuhi oleh keseriusan yang mengancam.

Kepala desa, yang sebenarnya adalah seorang perwira tinggi dari Benua Barat, menatap para sesepuh dengan mata yang tajam. “Kita akhirnya menemukannya,” ucapnya dengan nada dingin yang penuh kemenangan. “Anak itu, Gema, adalah sosok yang ada dalam Ramalan Agung. Takdir kita sebagai penyusup di Benua Timur akhirnya terwujud.”

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 31: Rencana Dibalik Kekuasaan

    Di sebuah kastil megah yang berdiri di atas bukit tertinggi di Benua Barat, sebuah pertemuan penting sedang berlangsung. Kastil itu, yang dikenal dengan nama Kraton Bumi Alang-alang, adalah pusat kekuasaan di Benua Barat, tempat di mana keputusan-keputusan besar diambil dan strategi-strategi perang direncanakan. Dinding-dindingnya terbuat dari batu hitam yang kokoh, dan di dalamnya, aula besar yang dipenuhi dengan perabotan mewah menjadi saksi bisu dari banyak pertemuan rahasia.Di dalam aula tersebut, lima orang duduk mengelilingi meja besar yang terbuat dari kayu jati kuno. Masing-masing dari mereka adalah tokoh penting yang memegang kekuasaan besar di Benua Barat. Mereka adalah orang-orang yang menjadi penggerak utama dari konflik yang telah berlangsung selama ribuan tahun antara Benua Barat dan Benua Timur.Di ujung meja, duduk seorang pria dengan wajah tegas dan mata yang penuh ambisi. Dialah Prabu Singasari, raja yang memerintah Benua Barat dengan tangan besi.Rambutnya yang h

  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 32: Pemburu dari Kegelapan

    Di bawah langit yang mendung, sekelompok pasukan elit dari Benua Barat bergerak dengan cepat melalui hutan-hutan lebat di Benua Timur.Mereka adalah prajurit pilihan, terlatih dalam seni sihir yang mematikan, dan masing-masing dari mereka membawa kekuatan yang bisa menghancurkan desa dalam hitungan detik.Pasukan ini telah menerima perintah langsung dari Prabu Singasari: tangkap Gema, hidup atau mati, sebelum dia mencapai Ibukota Kerajaan Langit Timur.Memimpin pasukan ini adalah seorang pria berwajah angker, dengan mata hitam yang dalam dan tajam seperti elang. Dialah Patih Wiradana, seorang penyihir ulung yang dikenal karena kemampuannya dalam mengendalikan sihir bayangan.Nama Patih Wiradana sudah menjadi legenda di Benua Barat, ditakuti oleh musuh-musuhnya dan dihormati oleh pasukannya. Di bawah perintahnya, tidak ada misi yang gagal, dan tidak ada musuh yang dibiarkan hidup.Pasukan itu bergerak dengan kecepatan yang mengerikan, tanpa suara da

  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 33: Kepekaan yang Tumbuh

    Langit masih gelap ketika Gema, Jaka, dan Roro melanjutkan perjalanan mereka di pinggir hutan. Jalanan sepi, hanya ditemani oleh suara angin yang berbisik lembut di antara pepohonan.Bayangan pepohonan yang tinggi menjulang tampak melindungi mereka dari sinar bulan yang tertutup awan. Sejauh mata memandang, jalan menuju ibukota Kerajaan Langit Timur terbentang, dan mereka tahu bahwa tujuan mereka sudah dekat.Namun, di dalam hati Gema, ada sesuatu yang tidak tenang. Setelah kenaikan mendadaknya ke tahap kedua dalam kultivasi, dia merasakan perubahan besar dalam dirinya.Tidak hanya kekuatan fisiknya yang meningkat, tetapi juga kepekaannya terhadap sekitarnya. Seolah-olah alam sendiri memberitahunya bahwa ada bahaya yang mengintai, mendekat tanpa suara.Awalnya, Gema mencoba mengabaikan firasat itu, menganggapnya sebagai perasaan gugup karena perjalanan panjang yang mereka tempuh.Namun, semakin mereka melangkah maju, semakin jelas

  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 34: Pertempuran di Ambang Gerbang

    Langit yang sebelumnya hanya mendung kini berubah menjadi gelap gulita, seolah-olah memprediksi kehancuran yang akan segera terjadi.Gerbang besar Ibukota Kerajaan Langit Timur sudah terlihat jelas di kejauhan, namun harapan untuk mencapainya tampak semakin tipis saat Gema, Jaka, dan Roro mendengar suara langkah-langkah yang mendekat dengan cepat dari arah belakang mereka.Tiba-tiba, tanpa peringatan, sebuah serangan sihir yang mematikan menghantam tanah di depan mereka, menciptakan ledakan besar yang mengguncang bumi di bawah kaki mereka.Gema, Jaka, dan Roro terhuyung mundur, berusaha menyeimbangkan diri dari guncangan yang tidak terduga itu.Dari dalam kegelapan, suara tawa yang dingin dan penuh kemenangan terdengar. “Akhirnya kalian terpojok,” ujar suara itu, milik Patih Wiradana, pemimpin pasukan elit Benua Barat. Dia muncul dari bayangan, diikuti oleh puluhan prajurit elitnya yang siap melancarkan serangan lebih lanjut.“Tidak ada

  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 35: Bertahan di Tengah Kehancuran

    Pertempuran di bawah langit yang gelap itu berubah menjadi sebuah mimpi buruk. Gema, Jaka, dan Roro berjuang mati-matian untuk bertahan dari serangan bertubi-tubi yang dilancarkan oleh pasukan elit Benua Barat.Sayangnya, meskipun mereka bertiga memberikan perlawanan yang luar biasa, jumlah dan kekuatan musuh yang jauh lebih besar mulai mengambil alih.Teriakan Jaka terdengar ketika sebuah mantra sihir bayangan menembus pertahanannya, menghantam tubuhnya dengan kekuatan yang cukup untuk membuatnya terhuyung mundur."Argh!" Jaka berteriak, darah mengalir dari luka dalam di sisi tubuhnya. Dia mencoba berdiri, tetapi sihir gelap yang menjalar ke seluruh tubuhnya membuatnya lemas, kehilangan kekuatan untuk bergerak.“Jaka!” teriak Roro, namun sebelum dia bisa mendekat, sebuah ledakan sihir petir menghantam tanah di depannya, memaksa gadis muda itu untuk mundur.Tanpa sempat bereaksi lebih jauh, sebuah serangan sihir lain—sebuah cambuk

  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 36: Keputusasaan di Tengah Pertempuran

    Jaka terbaring di tanah, napasnya tersengal-sengal, tubuhnya dihiasi dengan luka-luka yang menganga. Rasa sakit yang menjalar melalui tubuhnya hampir tak tertahankan, namun yang lebih menyakitkan adalah rasa penyesalan yang mulai menguasai pikirannya.Dia melihat ke arah Gema dan Roro yang terjebak dalam cengkeraman musuh, dan hatinya hancur.“Kak Jaka!” teriak Roro dengan suara serak, air mata mengalir di wajahnya yang terluka. Meskipun tubuhnya terbelenggu oleh cambuk sihir, Roro berusaha menggapai Jaka, tapi kekuatannya terlalu lemah.Jaka mencoba bangkit, tangannya meraih salah satu artefak spiritual yang disembunyikan di balik pakaiannya. Artefak itu adalah sebuah cincin kuno yang diwariskan dari gurunya, dengan kemampuan untuk memanggil energi pelindung yang kuat.Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Jaka merapalkan mantra yang telah dia pelajari sejak lama, berharap bisa menciptakan perisai yang cukup kuat untuk melindungi mereka

  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 37: Intervensi dari Langit

    Gema berjuang mati-matian untuk tetap sadar, tetapi kekuatan musuh yang mengikat tubuhnya terlalu besar. Dia bisa merasakan kekuatan di dalam dirinya berusaha melawan, tetapi semakin dia melawan, semakin erat cengkeraman sihir gelap itu.Roro, yang masih terbelenggu di dekatnya, sudah hampir pingsan karena kelelahan dan luka-luka yang dideritanya.Patih Wiradana, yang melihat bahwa perlawanan mereka sudah hampir berakhir, memberi isyarat kepada para penyihir untuk memberikan pukulan terakhir."Selesaikan mereka," perintahnya dingin. "Kita bawa mereka ke Benua Barat sebagai tawanan. Mereka akan menjadi hadiah yang berharga bagi Prabu Singasari."Penyihir-penyihir elit mulai merapal mantra mereka, dan energi hitam mulai mengalir di udara, menyelimuti Gema dan Roro.Gema bisa merasakan dunia di sekelilingnya mulai kabur, pandangannya semakin gelap. Dia tahu bahwa jika dia tidak menemukan cara untuk melawan sekarang, semuanya akan ber

  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 38: Di Hadapan Sang Guru

    Waktu berlalu, dan suasana di ruang pemulihan istana Kerajaan Langit Timur terasa tenang. Cahaya matahari yang hangat menyusup melalui jendela besar, menciptakan suasana yang damai di dalam ruangan yang dikelilingi oleh batu giok yang bercahaya lembut.Di salah satu sudut ruangan, Gema masih terbaring tidak sadar di atas ranjang, wajahnya pucat tetapi napasnya sudah lebih tenang. Di sampingnya, Jaka berdiri dengan kepala tertunduk, lututnya bersentuhan dengan lantai dingin di depan gurunya, Raden Jayabaya.Raden Jayabaya, dengan jubah keemasannya yang memancarkan aura kebijaksanaan, menatap Jaka dengan penuh perhatian. Meskipun wajahnya penuh ketenangan, ada ketegangan halus yang terlihat di sudut matanya saat dia mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut muridnya."Maafkan aku, Guru," Jaka memulai, suaranya sedikit gemetar. "Aku telah gagal melindungi mereka... Gema dan Roro, mereka hampir dibawa oleh musuh. Jika bukan karena kedatangan Anda tepat w

Bab terbaru

  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 150: Hutan Mistik Es

    Langkah Gema, Roro, dan Jaka semakin pelan ketika mereka memasuki Hutan Mistik Es, sebuah kawasan yang penuh misteri dan bahaya. Suasana di dalam hutan itu begitu sunyi, hanya desau angin dingin yang menghembus di antara pepohonan beku, membuat daun-daun es bergetar pelan. Meski tampak tenang di luar, ada sesuatu yang terasa aneh dan menekan. Ketiganya merasakan kegelisahan yang sama, seolah-olah mereka sedang diawasi oleh sesuatu yang tidak tampak.Hutan itu dipenuhi pepohonan raksasa yang batangnya menjulang tinggi, seluruhnya tertutupi lapisan es yang tebal. Setiap langkah mereka menghasilkan suara renyah dari salju yang terinjak, namun setiap suara kecil itu bergema dengan cara yang aneh, seolah ada gema dari suara lain yang mengikuti di belakang mereka.“Rasanya… seperti kita tidak sendiri di sini,” gumam Roro dengan nada cemas, matanya mengamati sekeliling dengan hati-hati. Tangan halusnya sudah siap meraih jarum-jarum akupunktur, jika ada sesuatu yang tiba-tiba muncul dari bali

  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 149: Menuju Pegunungan Utara

    Badai salju terus menderu, namun di tengah kegelapan dan dinginnya angin, Gema, Jaka, dan Roro berdiri tegak, memancarkan aura yang berbeda dari sebelumnya. Napas mereka teratur, meski suhu menggigit setiap inci tubuh mereka. Mata Gema menyala dengan kepercayaan diri yang semakin kuat, seolah-olah badai dan makhluk-makhluk es yang menghadang mereka hanyalah ujian kecil yang harus mereka lewati.Di sekitar mereka, Cheetah Es yang tersisa terus bergerak dengan kecepatan luar biasa, mengepung dari segala arah. Namun, kali ini Gema dan kedua kawannya sudah siap. Kekuatan yang telah mereka latih selama dua tahun di benua utara ini akhirnya mencapai puncaknya.“Sudah cukup,” gumam Gema pelan, namun penuh tekad. “Saatnya kita tunjukkan apa yang sebenarnya kita pelajari selama ini.”Jaka mengangguk, menatap musuh-musuh di depan mereka dengan senyuman penuh percaya diri. “Aku sudah menunggu saat ini. Tidak ada lagi yang bisa menghalangi kita.”Roro yang berada di sebelah mereka, meskipun dingi

  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 148: Melintasi Badai Salju 

    Angin menderu hebat, membawa butiran salju yang terasa seperti ribuan jarum tajam menghantam kulit. Udara yang sedingin es menggigit tubuh mereka, meskipun pakaian tebal dari kulit hewan yang diberikan oleh Suku Wanuara cukup melindungi mereka dari hawa dingin yang menusuk. Pegunungan Utara tampak menjulang di kejauhan, puncaknya seolah menyentuh langit, diselimuti oleh kabut tipis yang menyatu dengan badai salju.Gema, Jaka Tandingan, dan Roro Kenanga melangkah maju dengan susah payah, kaki mereka tenggelam dalam salju setinggi lutut. Napas mereka terlihat dalam bentuk embusan uap di udara dingin. Mata mereka terus waspada, namun badai salju yang semakin deras membuat jarak pandang terbatas. Hanya siluet-siluet gelap dari bebatuan besar dan pohon-pohon kerdil yang terlihat samar di kejauhan."Aku tidak menyangka cuacanya akan seburuk ini," gumam Roro, suaranya hampir tenggelam dalam raungan badai. "Aku bisa merasakan energi dingin ini mengalir langsung ke tulang-tulangku."Jaka, yang

  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 147: Persiapan dan Perpisahan Terakhir

    Awan di atas desa Suku Wanuara terlihat lebih cerah dari biasanya. Meski udara dingin pegunungan masih menusuk tulang, sinar matahari yang terpantul dari salju memberikan sedikit kehangatan yang aneh. Gema, Jaka Tandingan, dan Roro Kenanga bersiap untuk perjalanan mereka menuju Pegunungan Utara. Mereka tahu bahwa perjalanan ini akan penuh dengan bahaya, tapi tekad mereka sudah bulat.Di sekitar desa, para anggota suku telah berkumpul untuk memberikan penghormatan terakhir kepada ketiga tamu yang telah tinggal bersama mereka selama dua tahun. Di tengah kerumunan, Nyi Gandari berdiri dengan penuh wibawa, ditemani oleh Anggarajaya, Raksayudha, dan beberapa pemimpin suku lainnya.Gema memandang tumpukan perbekalan yang sudah disiapkan untuk mereka. Para tetua suku memberi mereka makanan, pakaian hangat, serta senjata yang bisa berguna untuk bertahan hidup di pegunungan yang keras. Ransel kulit berisi ramuan penghangat tubuh, beberapa buah kering, dan daging kering terikat dengan kuat. Sel

  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 146: Raden Jayabaya dan Artefak Kuno

    Di tengah dinginnya udara pegunungan utara yang menusuk tulang, Gema terbaring di dalam tendanya, mencoba memejamkan mata. Namun, pikirannya justru melayang ke masa lalu. Ada sesuatu yang tidak bisa ia abaikan, kenangan tentang seseorang yang sangat penting dalam hidupnya—Raden Jayabaya, sang guru, seorang bijak dari Benua Timur yang tak hanya mengajarinya seni bela diri dan sihir, tetapi juga rahasia-rahasia dunia yang tersembunyi.Saat malam semakin larut, Gema semakin sulit untuk tidur. Dia duduk dan mengamati api unggun yang berkedip-kedip di luar tendanya. Pikirannya kembali pada percakapan terakhirnya dengan Raden Jayabaya sebelum dia pergi meninggalkan Benua Timur, sebuah percakapan yang kini terasa semakin relevan."Ada sesuatu yang harus kau cari di masa depan, Gema," Raden Jayabaya pernah berkata sambil menatap langit, matanya tampak jauh memandang ke cakrawala. "Sebuah artefak kuno, tersembunyi di tempat yang tidak mudah dijangkau. Namun jika kau menemukannya, kekuatanmu ak

  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 145: Sambutan Hangat Kembali ke Desa

    Setelah perburuan yang penuh tantangan melawan para Mammoth Raksasa, Gema, Jaka, dan Roro akhirnya berjalan kembali menuju desa Suku Wanuara. Mereka ditemani oleh Anggarajaya dan beberapa anggota suku lainnya, termasuk para pemburu berpengalaman yang ikut serta dalam perburuan. Matahari terbenam di cakrawala, menciptakan pemandangan langit merah keemasan yang memantulkan sinarnya ke atas hamparan es yang luas. Hembusan angin dingin yang menusuk tulang kini terasa lebih akrab, seolah menjadi sahabat lama bagi mereka yang telah bertahan di lingkungan keras ini.Setelah beberapa jam berjalan, mereka mulai melihat tanda-tanda desa suku di kejauhan. Tenda-tenda besar yang terbuat dari kulit binatang berjajar rapi, asap tipis mengepul dari perapian di tengah desa, dan suara-suara tawa serta obrolan hangat terdengar samar di udara. Ada rasa hangat yang langsung menyelimuti hati mereka begitu desa mulai terlihat. Meskipun mereka adalah pendatang di sini, Suku Wanuara telah menjadi seperti kel

  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 144: Amukan Mammoth Raksasa

    Fajar menyingsing dengan cahaya keemasan yang terpancar lemah di atas bentangan es Benua Utara, memantulkan kilauan pada permukaan kristal salju yang memutih. Suhu yang beku di bawah nol tidak lagi menjadi musuh bagi Gema, Jaka, dan Roro. Setelah dua tahun beradaptasi dengan lingkungan keras ini, mereka telah belajar untuk tidak hanya bertahan hidup tetapi juga menjadi bagian dari kekuatan alam yang dingin dan ganas ini.Hari ini, perburuan terakhir mereka akan menjadi yang paling menantang. Anggarajaya memimpin kelompok suku Wanuara ke dataran beku yang disebut “Tanah Bersalju Tak Berujung,” di mana gerombolan Mammoth Raksasa berkeliaran. Makhluk-makhluk ini bukan hanya besar, tetapi juga sangat berbahaya dengan taring gading yang mampu menghancurkan benteng dan kulit tebal yang nyaris tak tertembus.“Perburuan hari ini berbeda,” ujar Anggarajaya dengan suara dalam. “Mammoth Raksasa adalah hewan yang langka di benua ini. Mereka kuat, cepat, dan tidak mudah diprediksi. Kalian harus me

  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 143: Amukan di Tengah Es

    Langit kelabu membentang di atas dataran es yang luas, seolah-olah menutupi dunia dalam selimut dingin abadi. Salju turun dengan lembut, menyelimuti permukaan bumi yang sudah beku, namun di bawah tenangnya lanskap ini, ketegangan menggantung di udara. Anggarajaya, Gema, Jaka, Roro, dan beberapa anggota Suku Wanuara lainnya berkumpul di tepi lembah yang dipenuhi es yang memantulkan cahaya samar dari langit. Hari ini, perburuan mereka bukanlah beruang kutub, melainkan makhluk yang lebih cepat, lebih berbahaya, dan jauh lebih mematikan: sekelompok Cheetah Es."Perburuan ini akan menjadi ujian terakhir kalian," kata Anggarajaya dengan nada tegas, tatapan matanya tajam seperti elang. "Cheetah Es terkenal dengan kecepatannya yang bisa membekukan aliran darah. Satu gigitan dari mereka, dan kau akan mati dalam hitungan detik."Gema mendengar peringatan itu dengan tenang. Di dalam dirinya, ada sesuatu yang terus membara—kekuatan yang telah ia latih selama dua tahun terakhir di Benua Utara ini.

  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 142: Pertarungan di Tengah Salju

    Es dan salju membentang sejauh mata memandang di dataran beku Benua Utara. Udara dingin menusuk tulang, dan setiap langkah di permukaan putih itu meninggalkan jejak yang cepat terhapus oleh angin kencang. Gema, Jaka, Roro, dan anggota Suku Wanuara kini bergerak di tengah alam liar yang lebih ganas dari sebelumnya. Kali ini, perburuan mereka bukanlah rusa yang damai, melainkan makhluk yang jauh lebih berbahaya: sekelompok beruang kutub besar yang menguasai wilayah ini.Anggarajaya, sang pemimpin perburuan kali ini, memberikan isyarat agar mereka berhenti. Di depan mereka, melalui kabut salju yang berputar, terlihat bayangan besar dari seekor beruang kutub. Ukurannya jauh lebih besar dari beruang biasa, dengan bulu putih tebal yang nyaris menyatu dengan lanskap sekitarnya. Hewan itu sedang merobek bangkai ikan besar di dekat sebuah sungai beku."Kita harus hati-hati," bisik Anggarajaya. "Beruang-beruang ini sangat kuat, dan mereka bergerak dalam kelompok. Kita tidak boleh gegabah."Gema

DMCA.com Protection Status