Pak Bandi membawa kemarahannya ke rumah besan. Ia ngebut dengan motornya melewati beberapa gang hingga tiba di depan rumah Bu Ratih yang cukup sederhana.Dalam angan-angannya dulu, Pak Bandi bisa menjodohkan putrinya dengan seorang pria yang lebih mapan dan memiliki masa depan yang cerah.Bukankah itu wajar bagi seorang ayah untuk menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya? Terutama anak perempuan.Pak Bandi ingin putrinya hidup bahagia dan hidup stabil, terutama dalam hal pasangan hidup. Meskipun putrinya, menolak rencana tersebut dan bersikeras untuk memilih jalannya sendiri—tak mau menikah dan childfree, Pak Bandi merasa perlu memaksanya.Namun kenyataannya kini berbeda. Ratu malah hamil anak dari pemuda biasa seperti Rangga. Pemuda yang tidak memiliki status sosial atau kekayaan yang diharapkan oleh Pak Bandi. Ini membuatnya khawatir dan bingung akan masa depan putrinya kelak.Pak Bandi tahu bahwa rezeki bisa dicari dan diraih melalui kerja keras. Tetapi ia percaya bahwa memulai
Sudah berapa hari ya, Ratu tidak masuk kerja? Dia sampai merasa kehabisan tenaga hari ini sekaligus kesabaran. Karena ia pun harus menghadapi teman dekatnya, Sabila, yang sikapnya tampak berbeda dari biasanya.Namun untuk masalah yang satu itu, Ratu tak terlalu peduli, kok. Karena yang penting menurutnya, ia bisa menyelesaikan tugas-tugasnya dengan baik dan profesional.Ratu sudah bertekad datang ke sini untuk bekerja, kemudian kembali ke rumah dengan tenang tanpa drama.Saat jam istirahat tiba, harusnya Ratu bisa segera beranjak keluar seperti teman-temannya yang lain.Tapi dia harus tertinggal sendiri sebab tengahterjebak dalam tumpukan tugas yang harus segera dia selesaikan.Rangga yang khawatir pun menghampiri, “Belum selesai?”“Belum. Dikit lagi, Ngga,” jawab Ratu tanpa mengalihkan fokusnya dari sana.“Mau dibantu?” tawarnya.Namun Ratu menolak, “Apa yang mau dibantu? Udah nggak usah, sana duluan aja.”“Kalau gitu, kamu mau makan di bawah atau di sini aja? Nanti biar aku beliin
“Ternyata kamu kalau lagi ngambek lama juga, ya. Aku chat lagi lho tadi pagi, dan masih juga nggak kamu balas. Heran deh,” ujar Ratu begitu Rangga tiba di kantornya.“Apalagi? Salah lagi aku?” balas Rangga kesal sendiri, baru saja datang langsung ditodong seperti itu.“Kok kamu lagi sensi banget sih, Ngga? Kayak cewek lagi PMS aja.” Ratu tak habis pikir.“Cowok juga bisa PMS kalau kamu mau tahu.”“Mana ada? Ngarang! Emang kamu bisa menstruasi juga kayak aku?”“Bukan PMS itu yang aku maksud, tapi...” Rangga mendekat ke wajahnya dan berbisik, “posisi manuk salah!”Ratu spontan mendorong tubuh pria itu hingga Rangga tak kuasa menahan tawanya melihat ekspresi aneh Ratu saat ini.“Dasar sinting!” umpatnya pelan.Rangga yang tadinya sudah duduk di mejanya, hampir beranjak untuk memberikan sesuatu kepada Ratu. Namun dia membatalkan niatnya setelah melihat teman-temannya satu per satu memasuki ruangan. Akhirnya, dia hanya menunggu hingga mereka lengah agar bisa memberikan barang itu tanpa te
“Assalamualaikum!” salam Rangga dan Ratu begitu tiba di rumah Ibu Ratih.“Nah, tuh, udah pulang anaknya, Mbak.”“Loh, lagi ada rame-rame ternyata,” kata Rangga lagi karena di rumahnya sedang kedatangan Bude Mirah dan anak bungsunya yang masih berusia 7 tahun.“Nak,” Ibu Ratih menerima tangan menantunya.“Ra, ini Bude Mirah. Kamu pernah lihat waktu kita akad, kan?”“Lihat, tapi waktu itu aku nggak terlalu merhatiin,” Ratu menjawab pertanyaan Rangga.“Soalnya waktu itu lagi banyak orang juga, kan? Jadi wajarlah,” Bude Mirah menanggapi. “Salim dulu, Nak, sama Kakak, kenalan.”Wanita itu mengarahkan anaknya. Sayang, anak itu malah tidak mau dan justru semakin menenggelamkan kepalanya ke perut ibunya karena malu.“Kok malah malu sih, Lek? Malu ya lihat orang cantik?”“Siapa namanya, Bude?” tanya Ratu.“Namanya Andri, Kak,” jawab Bude Mirah tersenyum.“Oh, Andri,” sahut Ratu sambil mengangguk.“Kok tumben pulangnya agak malam, ya, Ngga? Biasanya jam lima juga udah sampai, kan?”“Tadi abis n
Hidup tak terasa lengkap tanpa kopi. Itulah yang sedang diperjuangkan Rangga saat ini, mengantre di coffee shop yang ramai, sebelum memulai aktivitas pekerjaannya yang cukup padat.“Apa enaknya Americano sih, Ngga? Suka banget sama varian itu,” kata Putra yang berada di belakangnya.“Karena gue suka yang pahit, kek hidup gue,” jawab Rangga.“Serem amat!” sahutnya segera.“Yah, mau gimana lagi? Kadang gue sendiri juga heran, gue ini hidup di dunia atau di dalam pare, pait banget.”Putra sampai tak bisa membedakan apakah Rangga serius atau sedang bercanda saat ini. Tapi jujur, pernyataan Rangga barusan menurutnya terdengar dramatis.“Kok, bisa gitu ya, Ngga? Gue pikir hidup lo lempeng-lempeng aja selama ini.” Putra merasa belum memahami temannya dengan baik.“Gue diem bukan berarti gue nggak punya masalah.”“Lo lagi patah hati ya? Gara-gara cinta segitiga?”Kali ini Rangga tak menanggapi.“Ah, nggak percaya gue, seorang Rangga bisa patah hati begini. Biasanya juga tinggal tunjuk mau cew
Ratu langsung membawa papanya ke klinik terdekat agar lelaki itu segera ditangani oleh ahlinya.Dia bukan tipe orang yang bisa menunggu dengan tenang melihat orang yang dia sayangi kesakitan seperti ini.Tak ingin terjadi apa-apa pada lelaki itu, apalagi sampai kehilangan. Kasih sayangnya ternyata masih lebih besar dibanding kebenciannya. Walau bagaimana pun sikap sang papa padanya selama ini.“Iya, tensi Bapaknya memang cukup tinggi, Kak,” kata dokter pada Ratu usai memeriksakannya.“Habis makan apa sebelumnya, Pak?” lanjutnya, kali ini pada sang pasien.“Padahal nggak habis makan yang aneh-aneh katanya, Dok. Tapi dari kemarin emang udah kedengaran ngeluh pusing. Cuma nggak dirasa, aktivitasnya,” Ratu menjawab.“Oh iya, itu memang salah satu gejalanya, Kak. Jadi next kedepannya harus lebih hati-hati, ya. Kalau bisa, sediakan saja alatnya supaya bapak bisa pantau sendiri dari rumah. Dengan begitu tensi jadi lebih terkontrol,” papar dokter tersebut menjelaskan, “banyak pikiran ya, Pak?
Ibrahim adalah pria yang sangat ingin Ratu hindari saat ini karena tingkah polahnya yang terkesan bossy dan menyebalkan. Terlebih yang Ratu tahu, Ibrahim ternyata juga punya modus untuk mendekatinya meski pria itu sudah tahu bahwa dia sudah menikah. Tapi, apa mau dikata, Ibrahim adalah atasannya. Jadi Ratu tak berdaya ketika pria itu memerintahkannya untuk menemani pertemuannya dengan seorang klien.Rangga: Yang penting ati-ati aja. Tetep kabarin aku/shareloc. Jangan makan atau minum apapun yang berasal dari tangan dia, kecuali yang baru aja disuguhin sama waiters.Rangga: Aku tau ini pemikiran yang terlalu jauh, tapi apa salahnya sih, waspada sama diri sendiri? Begitu pesan Rangga ketika mengetahui Ratu pergi bersama ketua tim mereka. Ratu sudah protes sebelumnya, sebab masih ada banyak orang lain yang bisa Ibrahim ajak. Namun seperti biasa, pria itu selalu menemukan alasan untuk melancarkan kepentingannya sendiri. Ibrahim memang memiliki kemampuan luar biasa dalam bersilat lid
Di jalan menuju ke rumah Rangga, sepasang muda-mudi ini cekikikan."Untung rumahmu dekat ya, Ngga? Coba kalau jauh, nggak bisa kita jalan kaki kayak gini," ujar Ratu.Bukannya menjawab, Rangga justru menyanyikan lagu yang berjudul Pacar Lima Langkah."Nggaaaaa," erang Ratu, "geli, ih! Itu lagu apaan coba? Lagu tahun berapa? Norak."Bu Ratih sedang membungkus beras dengan daun pisang ketika mereka sampai di sana."Bu..." panggil Ratu membuat wanita itu menoleh dan tersenyum."Eh, ada menantu ibu...""Aku ngungsi lagi, Bu,” ujarnya."Nggak ngungsi, Nak, ini kan rumahnya Ratu juga.""Aku mau bantuin ibu, ah." Ratu menarik kursi jongkok dan duduk di atasnya. Ia kemudian mendekatkan baskom berisi beras dan meniru apa yang sedang dilakukan oleh wanita itu. “Gini nggak, Bu?”“Iya, tapi isiannya jangan terlalu penuh, Nak. Biar nggak terlalu keras teksturnya. Nah, iya, segitu saja.”“Oh... gini, ya.” Senyum tak luntur dari bibir Ratu, gadis itu merasa happy bisa melakukan hal baru yang tak per
“Bu, udah nyampe mana?” “Ini udah di depan,” jawab ibunya terdengar mempercepat langkah. “Ratu ada keluar air. Air apa itu, Bu?” “Air apa? Air ketuban?” jawab ibunya segera. “Ketuban katanya, Ra?” Rangga menatap istrinya yang sekarang sedang nampak kesakitan sembari mengatur napasnya. Rangga memasukkan ponselnya ke dalam kantong, begitu melihat ibunya memasuki kamar. “Nak?” panggil wanita itu pada sang menantu yang masih duduk lemas di atas klosetnya. Suaranya memang terdengar tenang seperti biasa. Tapi raut wajahnya jelas menunjukkan bahwa beliau juga sama paniknya seperti Rangga. “Mules banget, Bu, sampai mual. Tapi kadang muncul kadang ilang,” tutur gadis itu. “Iya itu namanya kontraksi. Ngga, ayo bantu pindahkan istrimu.” Keduanya membantu Ratu keluar dari dalam kamar mandi. “Tapi aku mau mual lagi,” keluhnya memi
Akhir bulan yang sibuk. Begitu yang kerap kali dialami oleh para budak korporat menjelang penutupan bulan. Sebab selain banyaknya proyek yang mendekati deadline, mendadak banyak jadwal rapat yang padat. Koordinasi dengan tim menjadi lebih intensif, semua orang berusaha bekerja sama menyelesaikan tugas-tugas yang tertunda. Di tengah kesibukan itu, ada hal-hal yang sering kali terabaikan di rumah. Salah satu yang paling merasakan dampaknya adalah Ratu, yang kini sedang menjalani kehamilan di trimester ketiga. Perubahan fisik dan emosional yang dialaminya membuatnya lebih sensitif dan lebih banyak menuntut perhatian. Hari ini saja, sudah tiga kali Ratu menelepon. Belakangan, sifat manjanya bertambah, dan keinginannya yang terkadang aneh-aneh membuat Rangga tertegun. Senjatanya adalah anak yang ada di dalam kandungannya itu. Katanya, ini bukan kemauannya, melainkan kemauan
Masih berada di pusat perbelanjaan yang ada di daerah Jakarta bagian timur.Ratu menunggu dengan gelisah suaminya yang katanya tengah menjemput, namun tak kunjung sampai.Ratu takut kalau-kalau Ibrahim keburu turun dan mendapatinya ternyata berada di sini, bukan di toilet seperti yang dia katakan. Ia malas saja berurusan dengan pria itu apalagi terlibat obrolan atau basa-basi dengannya.“Udah nyampe mana, Ngga?” Ratu menelepon.Dan untungnya, Rangga menjawab, “Udah di dekat lobby, nih.”Alhamdulillah....“Ok, aku keluar sekarang!” Ratu melangkah cepat ke arah lobby dan berharap bisa segera bertemu Rangga.Hingga tak lama kemudian, dia melihat sosok pria mengenakan motor matic dengan helm hitam mendekatinya.“Papa masih di atas, tinggal aja lah, ya,” ujar Ratu setelah mereka tak lagi berjarak.“Ini, nih, akibat kalau seorang istri pergi tanpa izin suami,” cibir Rangga.“Emang aku perginya sama s
Perasaan Rangga campur aduk saat memasuki ruangan Ibu Rika. Dia tahu Ibu Rika cukup ramah dan mudah diajak bicara—tidak seperti HRD-HRD lainnya yang pernah dia dengar, tapi Ibu Rika juga bisa sangat tegas dan kritis sewaktu-waktu. Jadi, saat Rangga harus menghadapinya ketika sedang ada sederet masalah serius di dalam timnya, rasa takut itu tetap muncul.“Permisi, Bu.”“Masuk, Ngga!” serunya dari dalam.Hingga ketika Rangga membuka pintu, senyuman ceria wanita yang duduk di balik meja besar itu langsung menyambutnya. “Selamat siang calon papa baru!” ujarnya membuat Rangga bisa merasa sedikit lebih lega.Karena berarti, panggilannya ini bukan sebuah masalah yang serius.“Ah, iya, terima kasih, Bu.” Rangga duduk di kursi yang disediakan.“Viral ya, kemarin?” tanya Bu Rika.Rangga sempat nge-lag sesaat sebelum kemudian dia mengerti, ke mana arah pembicaraan wanita itu, yang tentu saja mengenai viralnya dirinya saat ngojol dan berkasus dengan seorang perempuan gila.“Hah? Oh, i-iya, Bu.”“
Seperti yang telah direncanakan kemarin, hari ini—tepatnya sore setelah Rangga pulang dari kantornya, pria itu menjemput istrinya untuk melakukan pemeriksaan USG.“Pakai mobil aja, Mas. Jangan pakai motor,” ujar papa mertuanya begitu dia tiba di depan rumah.Sementara Ratu sendiri sudah siap berangkat dan menunggunya di depan sana. Tapi roman-romannya dia kecewa setelah mendengar saran yang lebih terdengar seperti perintah dari papanya itu. Dilihat dari wajahnya yang kini cemberut.“Padahal aku pengennya pakai motor.”Nah, kan!Terdengar suara protesnya.“Polusi,” Papanya membalas.Rangga pun tidak punya kesempatan untuk membantah, karena saat ini lelaki itu melempar kunci mobilnya kepadanya.Ya, sudahlah. Toh, lebih aman seperti ini. Lagipula, manut dengan orang tua kan lebih enak.Namun di dalam mobil, sepertinya Rangga harus sabar-sabar mendengar gadis itu menggerutu.Katanya dia punya keinginan untuk langsung jalan-jalan malam ini sepulang mereka dari RS. Naik motor seperti muda-m
“Di suspend?”ulang Ibu Ratih, saat Rangga menuturkan alasan ketidakhadirannya ke kantor hariini. Sebab alih-alih bekerja, ia malah pergi ke Kemang guna untuk melakukan banding.“Di suspend itu dipecat kah?” lanjut beliau, menggunakan istilah yang paling dia mengerti.“Nggak, Bu. Suspend itu bukan putus mitra, tapi dibekukanakunnya. Jadi aku belum bisa jadi kurir atau driver lagi untuk sementara,” jelas Rangga tenang. Berusaha meredakan kekhawatiran ibunya.“Penyebabnya?” kata beliau lagi agar Rangga bisa menjelaskannya lebih lanjut.“Gini...” Rangga mulai menjelaskan semuanya dengan rinci, menggambarkan situasi semalam yang membuatnya terjebak ke dalam masalah ini.Barulah setelah selesai, Ibu Ratih menyimpulkan. “Padahal salahnya bukan di kamu ya, Ngga.”“Itulah. Yang kuheran. Padahal emang orangnya aja yang agak-agak.” ,“Udah gitu dengan pedenya di upload ke sosmed lagi,” sahut Ratu.“Banyak yang nonton, Nak?
Sekilas memang seperti tak ada yang berubah dari Rangga setelah kejadian menegangkan semalam. Namun di dalam hati pria itu, sebenarnya masalah ini sangat mengganggu. Berbagai kekhawatiran muncul di kepalanya; bagaimana kalau dia sampai diputus mitra, kemudian ia tak bisa mendapat kerja sampingan lagi, lalu, setelah itu nasib dia ke depannya akan seperti apa nantinya?Karena kejadian semalam itu juga, Rangga tidak bisa masuk ke kantor hari ini. Tujuannya adalah ke Kemang—head office untuk melakukan banding—proses yang tidak bisa ia tentukan kapan selesainya. Bisa cepat, bisa lambat, tergantung situasi dan kondisi yang ada di sana.Berdasarkan pengalaman dari teman-teman seperjuangan nya yang pernah mengalami hal serupa, mereka selalu bertemu banyak driver/kurir lain yang juga berkepentingan. Jadi bukan tidak mungkin Rangga pun juga akan mengantre.Beruntung, Rangga memiliki bukti. Ia berhasil merekam sebagian akhir percakapan antara dirinya dan pe
“Katanya mau tidur lagi? Nggak jadi?” tanya Rangga Begitu pak Bandi dan Marcel pergi.“Nggak tau. Udah keburu ilang ngantuknya,” jawab Ratu.“Karena pengen ikut?”Ratu kembali menjawab tidak tahu.“Udah mau jam setengah enam, Ra. Aku pulang dulu kali ya. Mau ganti baju. Kamu mau ikut nggak?” tawar Rangga, karena sejujurnya dia juga tidak tega membiarkan istrinya sendirian di sini.Tetangga Ratu agak berjarak, hingga tak lebih memudahkan siapapun yang memiliki sebuah urusan atau meminta tolong.Lagipula jika menyangkut masalah kepedulian dan kekeluargaan,tetap lebih solid tetangganya sendiri yang ada di RT sebelah.Namun, ini hanya sebuah pemikiran dari seorang suami yang khawatir akan kondisi istrinya yang hamil dengan riwayat pendarahan. Harapannya sih, tidak akan terjadi apa-apa lagi pada istrinya itu.“Tapi aku belum mandi...” balas Ratu.“Nggak papa. Nanti bisa mandi di sana.”Ratu mengambi
Memang benar, pada malam itu Rangga bisa tertidur nyenyak. Namun kebiasaannya untuk bangun pagi tetap tak pernah berubah. Beberapa waktu terakhir, ia selalu terbangun sebelum adzan subuh berkumandang, walaupun malam sebelumnya ia merasa begitu lelah. Rangga melihat ke samping. Ratu, istrinya, tampak tertidur damai dengan bantal guling yang dipeluknya erat. Rambutnya yang panjang terurai di atas bantal dan wajahnya memancarkan ketenangan. Rangga mendekatkan wajahnya, embusan napas hangat Ratu menerpa kulitnya yang dingin. Perlahan Rangga mendaratkan kecupannya di kening gadis itu. Dilihatnya lamat-lamat wajah cantik Ratu, kulitnya yang cantik, halus mulus tanpa noda, alisnya yang tebal dan rapi, bulu matanya yang lentik, belum lagi bibirnya yang manis yang membuatnya selalu tergoda. Pikiran Rangga berisik, mengingat bahwa ia bisa melakukan lebih di sini untuk menyalurkan perasaan rindunya. Namun hatinya seolah memasang rambu-rambu, agar dia berhenti. Jika tak ingin lantas mengul