"Tuan, Nona Lily ingin bertemu. Apa sebaiknya saya suruh masuk saja?" Hana berdiri di depan ranjang Finley, menjaga jarak dari Finley yang berdiri di balkon kamar. Finley nampak tengah menikmati semilir angin pagi yang begitu dingin. "Suruh dia pulang." Sosoknya yang memunggungi Hana, membuat Hana tak dapat melihat bagaimana ekspresi yang ditampakkannya saat ini.Dengan raut wajah kecewa, Hana menjawab, "Baiklah, akan saya sampaikan." Lalu Hana berbalik badan dan keluar kamar.Helaan napas panjang keluar setelah mendengar suara pintu kamar yang tertutup. Finley menundukkan kepalanya--menatap ke arah bawah. Di sana ada mobil milik Lily yang terparkir rapi. Tak lama dari itu, terlihat Lily berjalan keluar dari rumahnya dan masuk ke dalam mobil.Pandangan Finley mengikuti kemana arah mobil itu pergi lalu menghilang dari pandangan. Kejadian beberapa hari yang lalu membuat kenangan pahit yang selama ini dia pendam kembali terbuka lebar. Finley baru menyadari betapa lemahnya dia.Dia kir
Usai pulang dari rumah Finley, Vina mengajak Lily ke studio desain yang sengaja dia sewa untuk Lily. Nantinya, dia akan menyuruh Lily membuat desain di situ untuk proyek fashion show mereka."Bagaimana? Kalau ada hal-hal yang tidak kamu suka, aku bisa merenovasinya lagi." Lily menatap ke sekeliling studio yang sudah disewa oleh Vina. "Ini sudah bagus, aku tidak terlalu mempedulikan soal desain ruangan. Yang terpenting semua peralatan sudah tersedia.""Tentu saja, aku sudah menyiapkan semuanya untukmu." Vina mendekatkan diri ke arah Lily. "Aku sangat berharap kalau fashion show ini nanti akan berlangsung dengan baik. Elvi harus mendapat tempat dulu di hati masyarakat, baru aku berani meluncurkan produk di sini."Vina sudah menceritakan soal papanya yang ingin kerja sama untuk membuat Vina bisa melaunchingkan produk-produk Elvi di sini. Tentu saja Lily menyetujuinya. Dia sudah lama berada di Paris. Soal urusan sekolah desain sudah selesai dan sudah lama putus kontrak dengan Larissa B
"Papa?"Max berdiri terpaku menatap seorang gadis kecil yang memiliki rambut panjang dan mata bulat yang indah sedang berlari menghampirinya.Tangan gadis kecil itu segera menarik tangan Max setelah sampai. "Papa baru pulang?" tanyanya dengan kepala sedikit dimiringkan. Cara bicaranya yang belum begitu jelas menjadikan kesan imut pada gadis kecil itu.Karena tak tahu bagaimana menghadapi anak kecil, Max langsung menarik tangannya hingga terlepas dari tangan gadis kecil itu. "Aku bukan papamu."Wajah Max yang galak membuat sorot mata gadis kecil itu menjadi layu.Max merasa sedikit bersalah tapi dia tidak mengenal siapa gadis kecil yang tiba-tiba memanggilnya papa itu."Elena?" Suara Serena terdengar dari ambang pintu. Max menolehkan kepalanya dengan cepat. Wanita itu sudah nampak cantik dan rapi mengenakan setelan blus dan celana panjang berwarna pastel. "Pasti kau mengira Om itu papa kan?" tanyanya sambil berjalan mendekati gadis kecil yang dipanggil Elena.Elena menganggukkan kepal
Max dan Serena serempak mengarahkan pandangan ke arah yang ditunjuk oleh Elena.Degup jantung Serena berdebar lebih kencang begitu mengetahui jika itu adalah Ernes. Pria itu nampak tampan dan juga santai dengan setelan kemeja lengan panjang motif bergaris yang lengannya digulung ke atas sampai siku serta celana panjang berwarna hitam.Elena sudah meronta-ronta untuk dilepas oleh si pengasuh. "Nona Elena!" teriak si pengasuh kalut melihat Elena yang langsung berlari setelah terlepas dari pengasuh.Mendengar teriakan itu, Serena segera tersadar namun Elena sudah masuk dalam kerumunan orang-orang. "Elena!" pekiknya.Max juga sempat melihat Elena yang masuk ke dalam kerumunan. "Sial!" umpatnya. Setelah itu dia langsung pergi mencari Elena di tengah orang-orang yang berdesakan."Kalian di sini saja jaga Alina, aku akan pergi mencari Elena," titahnya pada dua pengasuh. Setelah para pengasuh menganggukkan kepalanya, Serena segera bergegas untuk masuk berdesakan di antara para kerumunan.Beb
Lily yang sedang berjongkok pun mendongakkan kepalanya saat mendengar seseorang memanggil namanya. "Max?" Kening Lily mengerut dalam mendapati Max tengah berdiri tak jauh darinya.Hatinya menegang saat kembali bertemu dengan Max.Di antara banyak mall di kota, mengapa dirinya bisa bertemu dengan Max malam ini?Apa dunia memang se-sempit itu?Gadis kecil yang ditolongnya tadi menangis tersedu-sedu sambil berdiri dan berlari ke arah Max untuk meminta gendong.Max masih tertegun menatap Lily saat Elena mendatanginya dan merengek, "Paman, aku minta gendong!"Belum pernah dalam sejarah hidupnya, Max menggendong anak kecil. Namun karena Elena terus merengek dan menangis, Max menjadi tidak tega. Akhirnya mau tak mau Max menggendong Elena dengan canggung.Mendengar Elena memanggil Max dengan sebutan 'paman', Lily pun ikut berdiri dan menatap keduanya dengan bingung. "Sejak kapan kau punya keponakan?"Max mengerjapkan matanya lalu menjawab, "Dia anak
Karena takut terlalu lama berbincang, Serena pun memutuskan untuk bertukar nomor ponsel dengan Lily lalu berpamitan untuk pergi. "Anakku yang sulung sedang menunggu, jadi aku harus pergi. Kapan-kapan aku akan mengundangmu untuk datang ke rumah, pastikan kau memiliki waktu yang senggang.""Akan aku tunggu undangannya, Nona Serena."Lily merasa dirinya bisa memiliki teman tambahan lagi karena kesamaan dirinya dengan Serena soal status, yaitu sama-sama janda.Sebelum ikut pergi, Max menatap Lily hendak ingin berbicara sesuatu. Namun Serena sudah memanggilnya, yang membuatnya mengurungkan niat lalu bergegas ikut pergi.Lily hanya menatap Max dan Serena yang berlalu dari hadapannya dengan kedua alis saling menyatu. Ada hubungan apa di antara mereka? Tetapi detik berikutnya Lily segera tersadar bahwa dia tidak lagi memiliki hubungan apapun dengan Max. Jadi itu bukan lagi menjadi urusannya.Teringat dengan barang-barang yang belum dia beli, Lily pun seger
Setelah drama kedua putrinya yang bertemu dengan Ernes, akhirnya Serena membawa pulang kedua putrinya dengan keadaan sedikit lega. Setidaknya akhirnya kedua putrinya dapat bertemu kembali dengan papa mereka setelah dua tahun lamanya.Serena menoleh ke arah samping, Max nampak sibuk menatap ke arah ponsel dengan kening mengerut. Pria tampan yang usianya di bawahnya dua tahun itu sudah dia anggap seperti adik sendiri semenjak pertemuannya beberapa waktu lalu."Maaf karena kedua putriku mengacaukan rencana kita," ujar Serena merasa tidak enak.Tadinya rencana mereka hanya ingin membuat Olivia mengetahui tentang kedekatan mereka berdua. Tapi karena Elena, mereka jadi tidak fokus dan tak peduli dengan Olivia lagi.Mereka bahkan tidak melakukan apapun setelahnya. Hanya mengawasi Ernes yang mengajak kedua putrinya untuk jalan-jalan sebentar sebelum Serena mengajak mereka pulang.Max menoleh sesaat sebelum kembali menatap ponsel. "Tidak apa-apa."Melihat wajah dingin
Olivia menatap pria di depannya tanpa berekspresi apapun. "Ernes, bukannya kamu tahu kalau aku tidak suka berbagi pria yang aku sukai?" Wajah Ernes nampak muak. "Alina dan Elena hanyalah anak kecil yang merindukan kasih sayang papanya. Apa yang salah dari itu? Mereka tidak akan merebut apa yang kau sebutkan tadi.""Lambat laun mereka juga akan merebutnya." Tatapan kebencian muncul dari sorot matanya."Siapapun yang membuat kedua matamu berbinar-binar saat menatap, aku akan cemburu, sayangku."Ucapan Olivia terdengar menjijikkan di telinga Ernes."Cukup, Olivia! Kau sudah gila!"Berbeda dengan Ernes yang nampak kacau, Olivia justru nampak tenang dan begitu menikmati amarah yang ditampakkan Ernes.Baginya, Ernes harus paham bahwa memang hanya dirinya seorang yang harus diagungkan. Tidak ada yang lain.Olivia telah kehilangan kasih sayang Max jadi dia juga tidak boleh kehilangan kasih sayang dari Ernes. Maka dari itu dia telah menjauhkan orang-orang yang dikasihi Ernes, termasuk kedua
"Adik, Nona?" Kedua alis si sopir saling menyatu. "Kayaknya gak ada siapapun yang keluar lewat sini, Nona. Dari tadi saya duduk di kursi teras ini kok."Pikiran Lily langsung kacau. Arsan bukanlah anak yang suka keluar dan bertemu dengan orang. Kalau sampai Arsan panik dan tantrum di jalan, itu bisa membahayakan dirinya sendiri. Apalagi jalanan sangat ramai oleh kendaraan pribadi.Lily memutuskan untuk mengecek seluruh isi rumah sekali lagi. Setelahnya dia baru sadar kalau Arsan keluar melalui pintu belakang, tepatnya yang menjadi penghubung antara teras belakang dengan dapur. "Kemana kamu, Arsan?" gumam Lily penuh khawatir.Karena Lily tidak tahu harus mencari dimana, Lily mengajak sang sopir untuk mencari Arsan dengan mobil. "Mau dicari kemana, Nona?" tanya si sopir."Kemana aja, Pak. Asal adik saya bisa ketemu.""Tapi, Non. Kata Nyonya Wina, Anda harus segera pulang. Kalau saya gak bisa nganterin Nona pulang tepat waktu, bisa-bisa saya yang akan kena omel nantinya.""Gak usah kha
Lily tersentak dan menjadi canggung. "Mmm... baru saja," jawabnya sambil menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. Seketika dia tersadar atas apa yang dilakukannya. Dia pun kembali meluruskan anak rambutnya.Max tersenyum lebar. Rasanya dia sudah lama tidak melihat Lily. Wajahnya nampak lebih segar dan pipinya semakin bulat. Jika dia pikir-pikir, keadaan Lily jauh berbeda dibanding saat menikah dengannya dulu."Mau ketemu dengan Arsan? Kebetulan aku mau pulang karena ada urusan, jadi aku bisa menitipkannya padamu sebentar," ucap Max."Memangnya Inda kemana? Kenapa dia menitipkannya padamu?""Tadi pagi dia ditelepon kalau ada saudaranya yang meninggal. Jadi dia harus pulang selama sehari semalam. Mungkin besok pagi dia baru pulang."Kening Lily mengerut dalam. "Kok dia gak ngabarin aku? Malah ngasih tahu kamu?"Max mengangkat kedua bahunya. "Entah. Mungkin karena kamu sulit untuk dihubungi? Ini bukan pertama kalinya kok. Dia juga pernah menitipkan Arsan padaku selama dua hari.""Dua
Di tengah keramaian kafe, Lily melihat Vina yang duduk di salah satu kursi sendirian di antara banyaknya pengunjung. Dia sudah menghubungi Vina untuk bertemu di kafe saja.Mata Lily berkilat senang, pasalnya sudah lama dia tidak bertemu dengan sahabatnya itu. Tangannya segera terangkat untuk melambai dan memanggil namanya. Sahabatnya itu segera menoleh dan senyuman lebar langsung merekah di wajahnya."Lily!" teriaknya sambil berdiri menyambut kedatangan Lily.Mereka berdua pun saling berpelukan erat."Bagaimana kabarmu?" tanya Vina begitu pelukan mereka sudah terlepas."Aku baik. Bahkan lebih baik."Vina bernapas lega, ada perasaan senang melihat wajah Lily yang nampak lebih cantik dan segar. "Syukurlah... apa Tuan Kenneth dan Nyonya Wina memperlakukanmu dengan baik?""Tentu saja. Mereka orang tua kandungku, tidak mungkin mereka menyia-nyiakan anak yang telah lama mereka kira sudah meninggal." Lily meneliti wajah Vina yang nampak kusam dan juga letih. "Lalu bagaimana denganmu? Kuden
Vina menatap ke arah halaman rumah dari jendela kaca kamar. Mobil Finley sudah menghilang dari pandangan, segera dia menutup kembali tirai jendela.Sandra membuka pintu kamar dan berjalan menghampiri Vina. "Maafkan Mama karena sudah membukakan pintu."Vina memaksakan senyumannya sambil duduk di tepi ranjang. "Tidak apa-apa, bukan salah Mama."Melihat senyuman Vina, Sandra semakin merasa bersalah. Dia pun ikut duduk di samping Vina dan berkata, "Kulihat dia pria yang baik dan bertanggung jawab. Kenapa kamu gak sepertinya tidak percaya padanya?""Menikah bukan perkara mudah, Ma. Apalagi aku dan Finley tidak saling mencintai. Biarlah aku mengurus anakku sendirian tanpa harus melibatkannya," jawab Vina sambil mengelus perutnya."Mengandung dan melahirkan anak sendirian itu terasa berat, Vina. Mama rasa akan lebih mudah kalau kamu menerima Finley untuk bertanggungjawab."Vina memegang kedua lututnya erat. "Bukannya ada Mama dan Papa yang akan membantuku? Aku tidak mencintai Finley, Ma. Men
Di tengah terpaan angin sepoi malam yang dingin. Vina memegang erat cangkir mug yang berisi susu cokelat hangat.Vina sendiri merasa heran, sejak kapan dirinya jadi menyukai segelas susu rasa cokelat sedang dulunya dia lebih menyukai kopi susu yang diberi es batu di dalamnya.Mungkin sejak dirinya diberitahu dokter untuk tidak mengonsumsi minuman yang mengandung alkohol dan kafein. Vina jadi lebih memperhatikan minuman yang akan dia minum.Sebuah senyuman tipis terbit di wajahnya yang manis sambil mengelus perutnya yang masih rata."Meskipun nanti kau lahir dari keluarga yang tidak lengkap, tapi aku pastikan kasih sayang untukmu tidak akan pernah kurang," ucapnya pada janinnya yang berada di dalam rahim.Vina belum bisa menerima kehamilannya, sampai seminggu yang lalu dia memeriksakan diri ke dokter spesialis kandungan dan melihat janin kecil yang tumbuh dengan menakjubkan.Suara detak jantung janin yang teratur dan pernyataan dokter kalau janinnya berkembang sehat dan baik membuat pe
"Apa? Hamil?" Lily hampir berteriak jika tidak mengingat kalau dirinya ada di sebuah acara penting."Finley, kau becanda kan?" bisik Lily takut ada seseorang yang mendengar.Helaan napas keluar dari mulut Finley. "Aku tahu ini terdengar seperti lelucon. Tapi aku berkata jujur, kami tak sengaja melakukan..."Finley ikut memelankan suaranya. "...hubungan intim saat kami mabuk."Lily tidak tahu lagi apa yang harus dia katakan karena saat ini dia benar-benar terkejut.Vina dan Finley? Berhubungan intim? Terdengar tidak masuk akal."Aku tahu kamu pasti kaget, tapi ini benar adanya. Aku hanya khawatir padanya karena beberapa hari ini dia tidak bisa dihubungi. Dia bahkan bersembunyi, seolah tidak mau diajak bertemu." Raut wajah Finley nampak muram membuat Lily sedikit merasa kasihan.Keheningan terjadi sesaat."Kamu datang ke acara ini berharap aku bisa memberi informasi soal Vina?" tanya Lily yang dijawab Finley dengan anggukan kepala."Sayangnya aku sudah lama tidak menghubunginya," ujar L
"Lily?"Suara dari arah belakang yang memanggil membuat Lily menoleh. Kedua matanya terbelalak lebar mendapati Finley berjalan perlahan ke arahnya."Finley?" serunya yang membuat orang-orang disekitarnya terheran-heran."Ah, Tuan Finley. Kau sudah bersedia datang ke acaraku. Sungguh suatu kehormatan untukku." Arneth dan Samantha mendekati Finley yang membuatnya menghentikan langkah.Finley menoleh ke arah mereka berdua dan berkata, "Oh, Nyonya Arneth? Kau sudah sembuh? Ku dengar kau sehabis mengalami cidera di pergelangan tangan setelah bermain golf."Arneth tersenyum senang mendengar Finley sedikit perhatian padanya. "Benar, tapi sudah sembuh berkat putri saya yang telaten mengurus."Beberapa keponakan Kenneth memutar kedua bola matanya malas. Semua orang yang melihat pasti bisa menduga kalau Arneth sedang mempromosikan putrinya di depan Finley."Apa Tuan sedang mencari sesuatu?" tanya Samantha dengan memegang lengan Finley. Berada dekat dengan Finley adalah suatu kebanggan. Ketampan
"Dia adalah putriku, Laura Owen," jelas Kenneth sambil memperhatikan reaksi dari anggota keluarga besarnya.Beberapa dari mereka nampak terkejut hingga tidak bersuara tapi ada juga yang tertawa sinis seperti Samantha."Paman Kenneth, apa karena saking putus asa nya Paman sampai menganggap wanita murahan itu sebagai Laura?" Kenneth menatap tajam ke arah Samantha yang lagi-lagi bermulut tajam."Jangan marah dulu, Paman. Itu karena ucapan Paman terdengar mengada-ada." Ucapan Samantha dibenarkan oleh anggota keluarga yang lain."Samantha benar, Ken. Ucapanmu terdengar mengada-ada. Mana mungkin Laura yang dulunya sudah dinyatakan meninggal malah tiba-tiba muncul sebagai wanita yang sehat? Aku yakin dia pasti sudah menipumu!"Wina nampak panik, tetapi tidak dengan Lily. Dia yakin kalau Kenneth telah menyiapkan semuanya untuk menjelaskan kebenaran pada anggota keluarganya sendiri."Usir dia sekarang, Ken! Aku tidak sudi kalau dia mengotori hariku yang bahagia!" seru Arneth memojokkan Wina,
Sama seperti dirinya, Wina mengenakan gaun buatan Lily yang nampak mewah.Gaun panjang berwarna hijau emerald yang sudah lama Lily buat akhirnya dia pakai sekarang. Warna gaun itu menjadikan kulit Wina nampak lebih putih dan bersih. Meski gaun tersebut memiliki potongan yang sederhana, tetapi hiasan berupa berlian putih dua karat yang berada di sekeliling gaun menjadikannya nampak mewah dan istimewa.Lily menatap bangga pada hasil buatannya sendiri. Terlebih aura old money yang terpancar dari tubuh Wina menjadikan gaun itu melekat sempurna ditubuhnya."Mama juga nampak luar biasa," ujar Lily tersenyum bangga."Berkat karyamu yang sangat luar biasa, Sayang."Wina juga merasa begitu bangga mengenakan gaun buatan putrinya sendiri. Apalagi saat bercermin, Wina seperti merasa tidak mengenali diri sendiri.Bahkan perias yang memoles wajahnya tadi sempat terkejut dan menatapnya kagum dengan gaun yang nampak mewah."Anda terlihat sepuluh tahun lebih muda, Nyonya," puji si perias tadi tanpa di