"Papa?"Max berdiri terpaku menatap seorang gadis kecil yang memiliki rambut panjang dan mata bulat yang indah sedang berlari menghampirinya.Tangan gadis kecil itu segera menarik tangan Max setelah sampai. "Papa baru pulang?" tanyanya dengan kepala sedikit dimiringkan. Cara bicaranya yang belum begitu jelas menjadikan kesan imut pada gadis kecil itu.Karena tak tahu bagaimana menghadapi anak kecil, Max langsung menarik tangannya hingga terlepas dari tangan gadis kecil itu. "Aku bukan papamu."Wajah Max yang galak membuat sorot mata gadis kecil itu menjadi layu.Max merasa sedikit bersalah tapi dia tidak mengenal siapa gadis kecil yang tiba-tiba memanggilnya papa itu."Elena?" Suara Serena terdengar dari ambang pintu. Max menolehkan kepalanya dengan cepat. Wanita itu sudah nampak cantik dan rapi mengenakan setelan blus dan celana panjang berwarna pastel. "Pasti kau mengira Om itu papa kan?" tanyanya sambil berjalan mendekati gadis kecil yang dipanggil Elena.Elena menganggukkan kepal
Max dan Serena serempak mengarahkan pandangan ke arah yang ditunjuk oleh Elena.Degup jantung Serena berdebar lebih kencang begitu mengetahui jika itu adalah Ernes. Pria itu nampak tampan dan juga santai dengan setelan kemeja lengan panjang motif bergaris yang lengannya digulung ke atas sampai siku serta celana panjang berwarna hitam.Elena sudah meronta-ronta untuk dilepas oleh si pengasuh. "Nona Elena!" teriak si pengasuh kalut melihat Elena yang langsung berlari setelah terlepas dari pengasuh.Mendengar teriakan itu, Serena segera tersadar namun Elena sudah masuk dalam kerumunan orang-orang. "Elena!" pekiknya.Max juga sempat melihat Elena yang masuk ke dalam kerumunan. "Sial!" umpatnya. Setelah itu dia langsung pergi mencari Elena di tengah orang-orang yang berdesakan."Kalian di sini saja jaga Alina, aku akan pergi mencari Elena," titahnya pada dua pengasuh. Setelah para pengasuh menganggukkan kepalanya, Serena segera bergegas untuk masuk berdesakan di antara para kerumunan.Beb
Lily yang sedang berjongkok pun mendongakkan kepalanya saat mendengar seseorang memanggil namanya. "Max?" Kening Lily mengerut dalam mendapati Max tengah berdiri tak jauh darinya.Hatinya menegang saat kembali bertemu dengan Max.Di antara banyak mall di kota, mengapa dirinya bisa bertemu dengan Max malam ini?Apa dunia memang se-sempit itu?Gadis kecil yang ditolongnya tadi menangis tersedu-sedu sambil berdiri dan berlari ke arah Max untuk meminta gendong.Max masih tertegun menatap Lily saat Elena mendatanginya dan merengek, "Paman, aku minta gendong!"Belum pernah dalam sejarah hidupnya, Max menggendong anak kecil. Namun karena Elena terus merengek dan menangis, Max menjadi tidak tega. Akhirnya mau tak mau Max menggendong Elena dengan canggung.Mendengar Elena memanggil Max dengan sebutan 'paman', Lily pun ikut berdiri dan menatap keduanya dengan bingung. "Sejak kapan kau punya keponakan?"Max mengerjapkan matanya lalu menjawab, "Dia anak
Karena takut terlalu lama berbincang, Serena pun memutuskan untuk bertukar nomor ponsel dengan Lily lalu berpamitan untuk pergi. "Anakku yang sulung sedang menunggu, jadi aku harus pergi. Kapan-kapan aku akan mengundangmu untuk datang ke rumah, pastikan kau memiliki waktu yang senggang.""Akan aku tunggu undangannya, Nona Serena."Lily merasa dirinya bisa memiliki teman tambahan lagi karena kesamaan dirinya dengan Serena soal status, yaitu sama-sama janda.Sebelum ikut pergi, Max menatap Lily hendak ingin berbicara sesuatu. Namun Serena sudah memanggilnya, yang membuatnya mengurungkan niat lalu bergegas ikut pergi.Lily hanya menatap Max dan Serena yang berlalu dari hadapannya dengan kedua alis saling menyatu. Ada hubungan apa di antara mereka? Tetapi detik berikutnya Lily segera tersadar bahwa dia tidak lagi memiliki hubungan apapun dengan Max. Jadi itu bukan lagi menjadi urusannya.Teringat dengan barang-barang yang belum dia beli, Lily pun seger
Setelah drama kedua putrinya yang bertemu dengan Ernes, akhirnya Serena membawa pulang kedua putrinya dengan keadaan sedikit lega. Setidaknya akhirnya kedua putrinya dapat bertemu kembali dengan papa mereka setelah dua tahun lamanya.Serena menoleh ke arah samping, Max nampak sibuk menatap ke arah ponsel dengan kening mengerut. Pria tampan yang usianya di bawahnya dua tahun itu sudah dia anggap seperti adik sendiri semenjak pertemuannya beberapa waktu lalu."Maaf karena kedua putriku mengacaukan rencana kita," ujar Serena merasa tidak enak.Tadinya rencana mereka hanya ingin membuat Olivia mengetahui tentang kedekatan mereka berdua. Tapi karena Elena, mereka jadi tidak fokus dan tak peduli dengan Olivia lagi.Mereka bahkan tidak melakukan apapun setelahnya. Hanya mengawasi Ernes yang mengajak kedua putrinya untuk jalan-jalan sebentar sebelum Serena mengajak mereka pulang.Max menoleh sesaat sebelum kembali menatap ponsel. "Tidak apa-apa."Melihat wajah dingin
Olivia menatap pria di depannya tanpa berekspresi apapun. "Ernes, bukannya kamu tahu kalau aku tidak suka berbagi pria yang aku sukai?" Wajah Ernes nampak muak. "Alina dan Elena hanyalah anak kecil yang merindukan kasih sayang papanya. Apa yang salah dari itu? Mereka tidak akan merebut apa yang kau sebutkan tadi.""Lambat laun mereka juga akan merebutnya." Tatapan kebencian muncul dari sorot matanya."Siapapun yang membuat kedua matamu berbinar-binar saat menatap, aku akan cemburu, sayangku."Ucapan Olivia terdengar menjijikkan di telinga Ernes."Cukup, Olivia! Kau sudah gila!"Berbeda dengan Ernes yang nampak kacau, Olivia justru nampak tenang dan begitu menikmati amarah yang ditampakkan Ernes.Baginya, Ernes harus paham bahwa memang hanya dirinya seorang yang harus diagungkan. Tidak ada yang lain.Olivia telah kehilangan kasih sayang Max jadi dia juga tidak boleh kehilangan kasih sayang dari Ernes. Maka dari itu dia telah menjauhkan orang-orang yang dikasihi Ernes, termasuk kedua
Bulu kuduk Lily seketika merinding. Lily menjadi teringat dengan Cassandra, rekan kerjanya dulu yang berada di Paris.Waktu itu, Finley sudah mengetahui soal Lily yang diganggu oleh Cassandra hingga mengirim seseorang untuk mengerjainya. Finley tak segan-segan membuat keluarga Blanchet tertindas di kota Paris.Dengan kekuasaan milik keluarganya, Finley menebarkan rumor-rumor buruk soal keluarga Blanchet ke semua orang di kota Paris.Awalnya keluarga Blanchet tidak terima, namun kekuasaan mereka berada di bawah kekuasaan keluarga Padma. Mereka sama sekali tidak bisa berbuat lebih yang membuat mereka segera menyalahkan Cassandra atas kejadian ini.Akibatnya, dua tahun lalu Lily sempat melihat Cassandra tidur di jalanan gang sempit. Dia telah menjadi gelandangan karena diusir oleh keluarganya sendiri.Ini menyedihkan karena sebenarnya Cassandra adalah gadis yang berbakat. Namun Lily tidak bisa membantu seseorang yang ingin mencelakakan dirinya. Perbuatan Cassandra benar-benar tidak bisa
Udara yang sejuk, pemandangan yang indah dan hati yang terlihat tenang. Finley berharap dengan semua itu dia bisa mengungkapkan dengan baik soal alasan dirinya yang selalu membantu Lily.Selain itu, Finley juga berharap kalau Lily tidak marah padanya meski harapan itu sangat pesimis."Mau pesan apa?" tanya Finley sambil membuka menu.Di restoran itu hanya ada menu standar seperti nasi goreng, mi ayam, dan bakso."Terserah. Aku akan makan apapun yang kamu pesan." Lily terlihat santai dan matanya sama sekali tak beralih dari pemandangan sekitaran restoran.Mendengar itu, Finley pun memanggil pelayan lalu memesan dua bakso urat, beberapa cemilan dan juga dua air putih hangat. Angin sejuk yang membuat badan terasa dingin sangat cocok jika makan makanan berkuah seperti bakso.Setelah pelayan pergi, Finley masih menatap Lily dengan muram.Hanya menunggu setelah makan selesai, dia akan mengatakan semuanya pada Lily."Bagaimana kalau kita ambil gambar? Sayang sekali jika pemandangan bagus itu
Olivia memegangi pipinya yang terasa panas dan berdenyut sakit. Dia membalas tatapan tajam Ernes dengan mata merah dan berkaca-kaca."Ernes, kau tahu apa yang kau lakukan barusan?" tanyanya dengan nada mengancam."Apa? Kenapa memangnya? Kau ingin mengancamku?" tanya Ernes menantang.Setelah itu dia mendekatkan wajahnya hingga dia dapat melihat dengan jelas kedua pupil mata Olivia yang sangat dia benci."Dengarkan aku baik-baik Olivia... aku sudah menantikan hari ini sejak lama. Aku sudah menemukan pendonor darah yang cocok untuk Alina."Kedua pupil mata Olivia melebar dan mulutnya terbuka setengah. Namun sedetik kemudian dia tertawa yang membuat Ernes mengerutkan keningnya."Ernes, kau hanya ingin mengancamku, bukan? Setahuku golongan darah Ab- itu sangatlah langka. Kau harusnya bersyukur karena aku sukarela mendonorkan darahku pada Alina disaat dia butuh."Sudut bibir Ernes berkedut. "Sukarela katamu? Aku telah membayar darahmu dengan perceraian dan perpisahan dengan keluarga yang ak
Kenapa ibu diam saja?" tanya Finley dengan marah. Sungguh dirinya tak tahu kalau sang ibu pernah di marahi oleh Olivia bahkan dimaki olehnya. Ibunya tidak memiliki permasalahan apapun, hanya tak sengaja menumpahkan minuman dan mengenai bajunya. Segitu sombongnya kah? Jika tahu begitu, Finley sudah akan membuat perhitungan dengannya lebih awal. "Terus memang harus apa? Aku tak ingin membesarkan masalah. Sangat merugikan untuk mengurusi hal-hal sepele dan orang yang tidak berguna sepertinya." Itu memang tipikal Donna Alberta. Wanita yang selalu menunjukkan kasih sayang dan kelembutan memang jarang memiliki sifat pendendam.Namun bukan berarti dia hanya akan diam jika seseorang yang berada di sekitarnya menjadi target kejahatan. "Tapi Lily, khusus untukmu, kamu tidak boleh diam saja. Aku tak sudi wanita itu tadi mengataimu semena-mena." Donna menatap ke arah Lily dengan menyipitkan matanya. "Kau harus membuktikan kalau dirimu tidak bersalah."Sejujurnya Lily pun tidak berniat untuk
"Hei, siapa yang kau sebut busuk, hah?" teriak Vina tak terima. "Justru yang busuk itu temanmu! Dia lah yang mencuri karya desain milik Lily."Dengan cepat Lily menarik lengan Vina dan menenangkannya. "Sudahlah, Vina. Jangan sampai ikut terpengaruh.""Kau tidak ingin membela diri? Dia sudah menjelek-jelekkanmu, Lily."Selain Vina, beberapa timnya yang mendengar keributan juga mulai keluar dan menunjuk wajah Olivia dengan berani."Iya, justru kalianlah yang menjiplak karya milik Nona Lily. Kalau bukan karena Nona Lily berbakat, kami pasti sudah dianggap plagiat. Padahal kalian lah yang mencuri karya desain milik Nona Lily secara diam-diam."Para tamu mulai gaduh karena saling berspekulasi.Seorang MC yang masih berada di situ pun nampak bingung dan berinisiatif menengahi permasalahan. "Mohon untuk tetap tenang. Acara ini bukan untuk ajang menjadi yang terbaik, jadi lebih baik tidak saling menyerang."Olivia ingin kembali bersuara untuk membuat para tamu terpengaruh ucapannya, namun ti
Beberapa jam setelahnya, acara sudah selesai dan berlangsung dengan lancar.Semua model dan para desainer berkumpul di tengah panggung untuk menikmati bagian akhir dari acara, yaitu penampilan salah satu dari penyanyi terkenal.Setelah musik berhenti, semua tamu mulai berdiri dan banyak diantara mereka mendatangi desainer kesukaan mereka.Diantara para desainer, terlihat Tamara dan Lily mendapat antusiasme tinggi."Hebat, aku sangat bangga kita memiliki desainer muda yang hebat.""Benar, aku yakin karya Tamara dan Lily bisa bersaing dengan karya desainer luar nantinya.Vina yang mendengar suara pujian-pujian itu hanya mampu memutar kedua bola matanya.Siapa yang bilang kalau itu karyanya Tamara? Itu semua adalah karya Lily yang dicuri oleh Tamara!"Lily, katakan apa yang sebenarnya terjadi tadi?" bisik Vina di telinga Lily.Masih dengan senyuman di wajahnya, Lily berbisik, "Nanti akan aku ceritakan waktu pulang. Ada banyak orang, tidak enak kalau
Setelah mendengar ucapan para karyawan yang setuju, Lily mulai menggenggam liontin kalung yang sudah lama dia kenakan saat hendak melakukan sesuatu yang besar.Kalung itu yang sempat dicuri oleh Mira dan kini mulai dia kenakan kembali karena ingin membuat ayahnya terus berada di sisinya di saat-saat yang genting.Dengan mengingat itu, Lily kembali tenang dan bisa berpikir dengan jernih."Baiklah, kita tidak boleh membiarkan lawan mengambil apa yang sudah kita kerjakan dengan keras. Siang dan malam sudah kita lalui dengan keringat bercucuran dan kedua tangan yang menjadi kapalan. Jangan sampai pihak lawan yang malah mengambil semua pujian dan keuntungan!""Itu benar!" Para tim mulai kembali bersemangat dan mendengarkan instruksi dari Lily.Setengah jam kemudian.Kini giliran Tamara untuk maju. Urutannya berada di nomor dua terakhir, itu sebelum milik Lily yang tampil menjadi penutup acara.Dengan percaya diri, Olivia memimpin para model untuk masuk.Pa
"Seseorang telah datang ke studio kita sebulan yang lalu." Lily duduk menghadap ke arah Vina yang tengah serius menatap layar laptop.Seketika Vina mendongak dengan tatapan bingung. "Seseorang? Siapa?"Lily menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu. Kemarin malam Linda memberitahu kalau pemilik ruko pernah memergoki seorang pria datang ke studio saat larut malam. Awalnya pemilik ruko mengira kalau pria itu bagian dari tim kita tapi akhirnya dia menyadari kalau tidak ada pria dalam tim kita."Wajah Vina semakin serius. "Kau sudah tanya ke pemilik ruko?""Sudah. Beliau bilang tidak terlalu memperhatikan sosoknya bagaimana. Hanya yakin kalau itu seorang pria. Pria itu mengenakan jaket dan wajahnya tertutupi masker."Vina menekan pangkal hidungnya. "Ini hal yang serius. Tim kita semuanya perempuan, akan sangat berbahaya jika sampai pria itu datang kembali lagi saat masih ada orang. Aku akan memasang kamera pengawas dan memberitahu para karyawan untuk jangan tinggal se
Lily keluar dari rumah Serena dengan perasaan tidak puas. Sebenarnya dia masih ingin tahu apa yang sedang Max lakukan di rumah Serena.Bukan karena peduli dengan Max, melainkan karena khawatir dengan Serena. Lily tahu Max hanya mencintai Olivia, dia takut kalau Serena akan menjadi sasaran Max yang selanjutnya. Serena adalah wanita yang baik. Meski dia berstatus janda, tapi usianya belum terlalu tua dan masih produktif. Kulitnya masih sangat kencang dan wajahnya juga menarik serta mempesona, sangat disayangkan jika hanya menjalin hubungan dengan Max yang tidak pernah mau membuka hatinya untuk wanita lain.Tetapi Lily harus fokus ke studio desain. Tadi saat Serena pamit untuk ke kamar mandi, Lily mendapat pesan dari Linda. Ada satu gaun yang belum selesai karena ada bahan kain yang telah habis stoknya.Jadi Lily harus pergi untuk membelinya terlebih dahulu lalu kembali ke studio desain.Waktu pelaksanaan fashion week sudah tinggal tujuh hari lagi. Lily merasa
Saat ini Serena sudah membawa Max ke tempat yang lebih nyaman, yaitu di sebuah ruangan yang dulunya dijadikan ruang kerja milik Ernes.Semua perabotan masih tertata rapi di sana, hanya saja tidak ada berkas ataupun barang di dalam lemari ataupun atas meja karena tidak ada lagi yang menggunakan ruangan ini.Serena menyuruh pelayan membawakan minuman dingin untuk Max. Cuaca sedang sedikit panas, akan terasa menyegarkan jika meminum sesuatu yang dingin seperti es teh.Mereka duduk berseberangan di sofa panjang lalu Max membuka suaranya dengan tenang, "Sekarang aku sudah tahu alasan Ernes begitu patuh pada Olivia."Mendengar itu, sorot mata Serena nampak muram lalu tersenyum pahit. Kiranya Max akan menyampaikan sesuatu yang penting, rupanya hanya hal sepele.Dia berharap terlalu tinggi."Memangnya ada alasan lain selain cinta buta pada Olivia?"Serena memang tidak tahu apa-apa. Yang dia ingat, Ernes menceraikannya lewat pesan singkat dan tidak menjelaskan apapun soal alasannya.Namun sete
"A-aku..." Max bingung bagaimana menjelaskannya pada Lily. Hubungannya dengan Serena sebenarnya hanya sekedar berteman saja. Tapi dia sudah membuat kesepakatan dengan Serena untuk menjadi kekasih pura-pura demi membalas dendam pada Olivia.Namun sejenak kemudian dia berpikir mengapa Lily menanyakan hal itu. Apa ada kemungkinan Lily masih peduli dengannya?"Tunggu, kenapa kau menanyakannya?" Max memiringkan kepalanya sembari berpikir.Lalu langkahnya sudah mendekat ke arah Lily begitu saja, mengikis jarak di antara mereka dengan perlahan. "Apa kau cemburu?" tanyanya sambil tersenyum menyeringai.Jarak mereka sudah sangat dekat namun Lily tak gentar. Meski dia dapat menghirup aroma napas Max yang segar dan juga melihat ketampanan Max yang begitu dekat. Dia harus tetap berdiri tegap.Sekilas, ingatan masa lalu saat Max pernah menjamah tubuhnya pun terlintas. Membuat Lily tanpa sadar memundurkan langkahnya."Aku hanya sekedar ingin bertanya, Max. Tidak ada hal lain." Lily berusaha bersi