Karena takut terlalu lama berbincang, Serena pun memutuskan untuk bertukar nomor ponsel dengan Lily lalu berpamitan untuk pergi.
"Anakku yang sulung sedang menunggu, jadi aku harus pergi. Kapan-kapan aku akan mengundangmu untuk datang ke rumah, pastikan kau memiliki waktu yang senggang.""Akan aku tunggu undangannya, Nona Serena."Lily merasa dirinya bisa memiliki teman tambahan lagi karena kesamaan dirinya dengan Serena soal status, yaitu sama-sama janda.Sebelum ikut pergi, Max menatap Lily hendak ingin berbicara sesuatu. Namun Serena sudah memanggilnya, yang membuatnya mengurungkan niat lalu bergegas ikut pergi.Lily hanya menatap Max dan Serena yang berlalu dari hadapannya dengan kedua alis saling menyatu.Ada hubungan apa di antara mereka?Tetapi detik berikutnya Lily segera tersadar bahwa dia tidak lagi memiliki hubungan apapun dengan Max. Jadi itu bukan lagi menjadi urusannya.Teringat dengan barang-barang yang belum dia beli, Lily pun segerSetelah drama kedua putrinya yang bertemu dengan Ernes, akhirnya Serena membawa pulang kedua putrinya dengan keadaan sedikit lega. Setidaknya akhirnya kedua putrinya dapat bertemu kembali dengan papa mereka setelah dua tahun lamanya.Serena menoleh ke arah samping, Max nampak sibuk menatap ke arah ponsel dengan kening mengerut. Pria tampan yang usianya di bawahnya dua tahun itu sudah dia anggap seperti adik sendiri semenjak pertemuannya beberapa waktu lalu."Maaf karena kedua putriku mengacaukan rencana kita," ujar Serena merasa tidak enak.Tadinya rencana mereka hanya ingin membuat Olivia mengetahui tentang kedekatan mereka berdua. Tapi karena Elena, mereka jadi tidak fokus dan tak peduli dengan Olivia lagi.Mereka bahkan tidak melakukan apapun setelahnya. Hanya mengawasi Ernes yang mengajak kedua putrinya untuk jalan-jalan sebentar sebelum Serena mengajak mereka pulang.Max menoleh sesaat sebelum kembali menatap ponsel. "Tidak apa-apa."Melihat wajah dingin
Olivia menatap pria di depannya tanpa berekspresi apapun. "Ernes, bukannya kamu tahu kalau aku tidak suka berbagi pria yang aku sukai?" Wajah Ernes nampak muak. "Alina dan Elena hanyalah anak kecil yang merindukan kasih sayang papanya. Apa yang salah dari itu? Mereka tidak akan merebut apa yang kau sebutkan tadi.""Lambat laun mereka juga akan merebutnya." Tatapan kebencian muncul dari sorot matanya."Siapapun yang membuat kedua matamu berbinar-binar saat menatap, aku akan cemburu, sayangku."Ucapan Olivia terdengar menjijikkan di telinga Ernes."Cukup, Olivia! Kau sudah gila!"Berbeda dengan Ernes yang nampak kacau, Olivia justru nampak tenang dan begitu menikmati amarah yang ditampakkan Ernes.Baginya, Ernes harus paham bahwa memang hanya dirinya seorang yang harus diagungkan. Tidak ada yang lain.Olivia telah kehilangan kasih sayang Max jadi dia juga tidak boleh kehilangan kasih sayang dari Ernes. Maka dari itu dia telah menjauhkan orang-orang yang dikasihi Ernes, termasuk kedua
Bulu kuduk Lily seketika merinding. Lily menjadi teringat dengan Cassandra, rekan kerjanya dulu yang berada di Paris.Waktu itu, Finley sudah mengetahui soal Lily yang diganggu oleh Cassandra hingga mengirim seseorang untuk mengerjainya. Finley tak segan-segan membuat keluarga Blanchet tertindas di kota Paris.Dengan kekuasaan milik keluarganya, Finley menebarkan rumor-rumor buruk soal keluarga Blanchet ke semua orang di kota Paris.Awalnya keluarga Blanchet tidak terima, namun kekuasaan mereka berada di bawah kekuasaan keluarga Padma. Mereka sama sekali tidak bisa berbuat lebih yang membuat mereka segera menyalahkan Cassandra atas kejadian ini.Akibatnya, dua tahun lalu Lily sempat melihat Cassandra tidur di jalanan gang sempit. Dia telah menjadi gelandangan karena diusir oleh keluarganya sendiri.Ini menyedihkan karena sebenarnya Cassandra adalah gadis yang berbakat. Namun Lily tidak bisa membantu seseorang yang ingin mencelakakan dirinya. Perbuatan Cassandra benar-benar tidak bisa
Udara yang sejuk, pemandangan yang indah dan hati yang terlihat tenang. Finley berharap dengan semua itu dia bisa mengungkapkan dengan baik soal alasan dirinya yang selalu membantu Lily.Selain itu, Finley juga berharap kalau Lily tidak marah padanya meski harapan itu sangat pesimis."Mau pesan apa?" tanya Finley sambil membuka menu.Di restoran itu hanya ada menu standar seperti nasi goreng, mi ayam, dan bakso."Terserah. Aku akan makan apapun yang kamu pesan." Lily terlihat santai dan matanya sama sekali tak beralih dari pemandangan sekitaran restoran.Mendengar itu, Finley pun memanggil pelayan lalu memesan dua bakso urat, beberapa cemilan dan juga dua air putih hangat. Angin sejuk yang membuat badan terasa dingin sangat cocok jika makan makanan berkuah seperti bakso.Setelah pelayan pergi, Finley masih menatap Lily dengan muram.Hanya menunggu setelah makan selesai, dia akan mengatakan semuanya pada Lily."Bagaimana kalau kita ambil gambar? Sayang sekali jika pemandangan bagus itu
"Kalau kau tidak mau menerima uangnya, kau akan mengecewakanku."Lily memegang tangan Finley kemudian melanjutkan perkataannya, "Finley, bagaimanapun aku sudah berdamai dengan masa lalu yang menyakitkan itu. Kau tidak perlu terbebani rasa bersalah itu lagi.""Dengan aku mengembalikan uang yang telah kau berikan padaku selama ini, aku tidak akan berhutang lagi padamu. Kalau kau tetap menolak, sampai kapanpun kamu tidak akan ku maafkan."Helaan napas berat keluar dari mulut Finley. Tadinya dia sudah siap untuk mendengar kata umpatan atau amarah yang akan keluar dari mulut Lily.Tetapi ternyata Lily malah berkata dia telah berdamai dengan masa lalu, bahkan ingin mengembalikan segala pemberian darinya selama ini. Ini terlalu baik!Sebenarnya Finley merasa malu mendapatkan kebaikan hati dari Lily.Namun apa mau dikata? Lily yang menghendakinya."Baiklah, aku tidak akan menolak. Aku hanya berharap kau akan memaafkanku."Terbit senyuman di wajah Lily. "Ya, kau sudah ku maafkan. Jangan khawa
Sudah lebih dari setengah jam Arsan mengamuk dan mengetukkan kepalanya lagi. Namun kali ini dia mengetukkan kepalanya ke meja kayu. Penyebab awalnya karena kuas yang sering digunakan oleh Arsan untuk melukis tiba-tiba patah. Arsan tidak terima dan langsung tantrum.Dibalik kelemahannya, Arsan memiliki bakat yang luar biasa di bidang seni. Bakat itu menurun dari ayahnya, Darrel.Oleh karenanya Lily selalu berusaha dengan keras supaya Arsan bisa mendapatkan pendidikan yang baik dan meraih cita-citanya meski dengan keterbatasan mental.Lily sudah nampak lelah karena mengurus Arsan yang tidak kunjung tenang. Begitupun dengan Inda."Nona, sebenarnya apa yang dioleskan oleh Tuan Max saat bertemu dengan Arsan waktu itu?" tanya Inda ditengah-tengah menahan tubuh Arsan agar lebih terkendali.Lily menjadi teringat dengan peristiwa waktu itu. Saat tiba-tiba Arsan tantrum lalu Max datang dan memberi Arsan sesuatu yang membuatnya menjadi tenang."Aku yakin Max mengoleskan minyak ke tubuh Arsan."
Akhirnya Eddie pergi dengan perasaan kesal. Selain karena Minna telah membohonginya, Eddie juga kesal karena tidak bisa melihat siapa seseorang yang sedang ditunggui oleh Max.Saat keluar dari kafe, Eddie yang pikirannya berada di tempat lain pun tidak melihat Lily yang baru saja keluar dari mobil.Dia langsung memasuki mobil tanpa peduli dengan keadaan sekitarnya.Di depan kafe.Lily sempat bingung mengapa kafe yang didatanginya ini masih belum tutup padahal ini sudah hampir jam sembilan malam.Saat akan masuk, Lily baru menyadari jika kafe ini buka selama dua puluh empat jam penuh.Suasana kafe nampak lengang saat Lily masuk. Kemudian dia menyapu pandangannya untuk mencari Max. Seharusnya Max akan memilih duduk di dekat jendela seperti kebiasaannya dulu. Dan, benar saja.Lily menemukan Max tengah duduk paling pojok di dekat jendela kafe. Dia nampak serius menatap layar laptopnya. Sesaat Lily harus mengatur napasnya agar kembali stabil. Masa lalu saat bersama pria itu terus terngi
"Tidak perlu dipikirkan, Nona. Hati manusia memang bisa berubah. Mungkin saja dia mendapati penyesalan setelah perceraian dengan Nona tiga tahun lalu."Penjelasan Inda dapat menenangkan hati Lily sedikit.Terdapat tatapan sendu di mata Lily. "Kau benar. Memang menyebalkan sekali karena dia baru berubah setelah aku meminta perpisahan." "Lebih baik Nona segera istirahat dan jangan lagi memikirkan soal Tuan Max." Inda sangat mengetahui bagaimana dulu Max memperlakukan Lily selama mereka menikah.Tidak ada cinta dan kepedulian terhadap Lily yang membuat Inda tidak rela jika Lily memikirkan Max lagi. "Saya takut kalau Tuan Max membuat hati Nona menjadi berantakan lagi. Ingatlah soal mimpi-mimpi Nona yang masih banyak belum tercapai...""Ya, kau benar, Inda." Lily yang sempat goyah kembali mendapat pendiriannya lagi.'Max akan menjadi penghalangku lagi kalau sampai aku goyah,' batinnya.***Satu bulan berlalu.Kehidupan Lily berjalan dengan baik. Dia bisa fokus mengerjakan proyek gaun yan
Sembari berjalan membuntuti Rosa, Lily memberanikan diri untuk bertanya padanya, "Nona Rosa, bisakah kau memberitahuku kenapa Nyonya Wina menyuruhku datang?"Rosa masih berjalan tegap di samping Lily saat menjawab, "Saya juga tidak tahu, tapi yang pasti Nona akan segera tahu setelah bertemu dengan Nyonya Wina."Lily menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sambil menggerutu dalam hatinya. 'Kalau itu sih aku juga tahu. Sia-sia aku bertanya.'Mengabaikan Rosa, Lily mengamati suasana rumah milik Kenneth. Tidak ada yang berubah sejak terakhir kali dia kesini.Semua perabotan masih sama bahkan tata letaknya pun tidak banyak yang berubah. Beberapa pelayan terlihat sibuk. mereka berjalan kesana kemari melakukan tugas mereka masing-masing.Sejenak, Lily merasa dirinya seperti berada di mansion milik Max. Perasaannya sedikit tercubit, menjadikan wajahnya menjadi muram.Lily berjalan dengan kepala menunduk. Pandangannya hanya ada lantai lalu tanpa sadar dia sudah ber
Di kediaman Kenneth.Wina dan Kenneth sedang berkumpul di meja makan dalam keheningan. Di depan meja bulat kayu itu, hanya ada mereka berdua dengan diiringi suara sendok garpu yang berdenting dengan piring. Para pelayan yang berjejer di belakang hanya berani menundukkan kepalanya sambil menutup mulut rapat-rapat.Makan malam selesai dengan cepat, Kenneth sudah hampir hendak beranjak dari kursinya namun Wina menahannya."Kamu mau kemana?" tanyanya dengan suara lembut."Seperti biasa, membaca laporan kerja di ruang kerja. Ada apa memangnya?"Wina sedikit ragu untuk mengatakannya. "Itu... kemarin aku mengunjungi fashion week dan bertemu dengan Lily Orlantha."Mendengar nama Lily disebut, raut wajah Kenneth berubah menjadi serius. Sudah lama sekali semenjak mereka bertemu dengan Lily. Kenneth kembali terduduk di atas kursi dan menatap istrinya."Bukankah dia sedang menjalani pendidikan fashion design di Paris?"Diam-diam Kenneth memang mencari tahu s
Olivia memegangi pipinya yang terasa panas dan berdenyut sakit. Dia membalas tatapan tajam Ernes dengan mata merah dan berkaca-kaca."Ernes, kau tahu apa yang kau lakukan barusan?" tanyanya dengan nada mengancam."Apa? Kenapa memangnya? Kau ingin mengancamku?" tanya Ernes menantang.Setelah itu dia mendekatkan wajahnya hingga dia dapat melihat dengan jelas kedua pupil mata Olivia yang sangat dia benci."Dengarkan aku baik-baik Olivia... aku sudah menantikan hari ini sejak lama. Aku sudah menemukan pendonor darah yang cocok untuk Alina."Kedua pupil mata Olivia melebar dan mulutnya terbuka setengah. Namun sedetik kemudian dia tertawa yang membuat Ernes mengerutkan keningnya."Ernes, kau hanya ingin mengancamku, bukan? Setahuku golongan darah Ab- itu sangatlah langka. Kau harusnya bersyukur karena aku sukarela mendonorkan darahku pada Alina disaat dia butuh."Sudut bibir Ernes berkedut. "Sukarela katamu? Aku telah membayar darahmu dengan perceraian dan perpisahan dengan keluarga yang ak
Kenapa ibu diam saja?" tanya Finley dengan marah. Sungguh dirinya tak tahu kalau sang ibu pernah di marahi oleh Olivia bahkan dimaki olehnya. Ibunya tidak memiliki permasalahan apapun, hanya tak sengaja menumpahkan minuman dan mengenai bajunya. Segitu sombongnya kah? Jika tahu begitu, Finley sudah akan membuat perhitungan dengannya lebih awal. "Terus memang harus apa? Aku tak ingin membesarkan masalah. Sangat merugikan untuk mengurusi hal-hal sepele dan orang yang tidak berguna sepertinya." Itu memang tipikal Donna Alberta. Wanita yang selalu menunjukkan kasih sayang dan kelembutan memang jarang memiliki sifat pendendam.Namun bukan berarti dia hanya akan diam jika seseorang yang berada di sekitarnya menjadi target kejahatan. "Tapi Lily, khusus untukmu, kamu tidak boleh diam saja. Aku tak sudi wanita itu tadi mengataimu semena-mena." Donna menatap ke arah Lily dengan menyipitkan matanya. "Kau harus membuktikan kalau dirimu tidak bersalah."Sejujurnya Lily pun tidak berniat untuk
"Hei, siapa yang kau sebut busuk, hah?" teriak Vina tak terima. "Justru yang busuk itu temanmu! Dia lah yang mencuri karya desain milik Lily."Dengan cepat Lily menarik lengan Vina dan menenangkannya. "Sudahlah, Vina. Jangan sampai ikut terpengaruh.""Kau tidak ingin membela diri? Dia sudah menjelek-jelekkanmu, Lily."Selain Vina, beberapa timnya yang mendengar keributan juga mulai keluar dan menunjuk wajah Olivia dengan berani."Iya, justru kalianlah yang menjiplak karya milik Nona Lily. Kalau bukan karena Nona Lily berbakat, kami pasti sudah dianggap plagiat. Padahal kalian lah yang mencuri karya desain milik Nona Lily secara diam-diam."Para tamu mulai gaduh karena saling berspekulasi.Seorang MC yang masih berada di situ pun nampak bingung dan berinisiatif menengahi permasalahan. "Mohon untuk tetap tenang. Acara ini bukan untuk ajang menjadi yang terbaik, jadi lebih baik tidak saling menyerang."Olivia ingin kembali bersuara untuk membuat para tamu terpengaruh ucapannya, namun ti
Beberapa jam setelahnya, acara sudah selesai dan berlangsung dengan lancar.Semua model dan para desainer berkumpul di tengah panggung untuk menikmati bagian akhir dari acara, yaitu penampilan salah satu dari penyanyi terkenal.Setelah musik berhenti, semua tamu mulai berdiri dan banyak diantara mereka mendatangi desainer kesukaan mereka.Diantara para desainer, terlihat Tamara dan Lily mendapat antusiasme tinggi."Hebat, aku sangat bangga kita memiliki desainer muda yang hebat.""Benar, aku yakin karya Tamara dan Lily bisa bersaing dengan karya desainer luar nantinya.Vina yang mendengar suara pujian-pujian itu hanya mampu memutar kedua bola matanya.Siapa yang bilang kalau itu karyanya Tamara? Itu semua adalah karya Lily yang dicuri oleh Tamara!"Lily, katakan apa yang sebenarnya terjadi tadi?" bisik Vina di telinga Lily.Masih dengan senyuman di wajahnya, Lily berbisik, "Nanti akan aku ceritakan waktu pulang. Ada banyak orang, tidak enak kalau
Setelah mendengar ucapan para karyawan yang setuju, Lily mulai menggenggam liontin kalung yang sudah lama dia kenakan saat hendak melakukan sesuatu yang besar.Kalung itu yang sempat dicuri oleh Mira dan kini mulai dia kenakan kembali karena ingin membuat ayahnya terus berada di sisinya di saat-saat yang genting.Dengan mengingat itu, Lily kembali tenang dan bisa berpikir dengan jernih."Baiklah, kita tidak boleh membiarkan lawan mengambil apa yang sudah kita kerjakan dengan keras. Siang dan malam sudah kita lalui dengan keringat bercucuran dan kedua tangan yang menjadi kapalan. Jangan sampai pihak lawan yang malah mengambil semua pujian dan keuntungan!""Itu benar!" Para tim mulai kembali bersemangat dan mendengarkan instruksi dari Lily.Setengah jam kemudian.Kini giliran Tamara untuk maju. Urutannya berada di nomor dua terakhir, itu sebelum milik Lily yang tampil menjadi penutup acara.Dengan percaya diri, Olivia memimpin para model untuk masuk.Pa
"Seseorang telah datang ke studio kita sebulan yang lalu." Lily duduk menghadap ke arah Vina yang tengah serius menatap layar laptop.Seketika Vina mendongak dengan tatapan bingung. "Seseorang? Siapa?"Lily menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu. Kemarin malam Linda memberitahu kalau pemilik ruko pernah memergoki seorang pria datang ke studio saat larut malam. Awalnya pemilik ruko mengira kalau pria itu bagian dari tim kita tapi akhirnya dia menyadari kalau tidak ada pria dalam tim kita."Wajah Vina semakin serius. "Kau sudah tanya ke pemilik ruko?""Sudah. Beliau bilang tidak terlalu memperhatikan sosoknya bagaimana. Hanya yakin kalau itu seorang pria. Pria itu mengenakan jaket dan wajahnya tertutupi masker."Vina menekan pangkal hidungnya. "Ini hal yang serius. Tim kita semuanya perempuan, akan sangat berbahaya jika sampai pria itu datang kembali lagi saat masih ada orang. Aku akan memasang kamera pengawas dan memberitahu para karyawan untuk jangan tinggal se
Lily keluar dari rumah Serena dengan perasaan tidak puas. Sebenarnya dia masih ingin tahu apa yang sedang Max lakukan di rumah Serena.Bukan karena peduli dengan Max, melainkan karena khawatir dengan Serena. Lily tahu Max hanya mencintai Olivia, dia takut kalau Serena akan menjadi sasaran Max yang selanjutnya. Serena adalah wanita yang baik. Meski dia berstatus janda, tapi usianya belum terlalu tua dan masih produktif. Kulitnya masih sangat kencang dan wajahnya juga menarik serta mempesona, sangat disayangkan jika hanya menjalin hubungan dengan Max yang tidak pernah mau membuka hatinya untuk wanita lain.Tetapi Lily harus fokus ke studio desain. Tadi saat Serena pamit untuk ke kamar mandi, Lily mendapat pesan dari Linda. Ada satu gaun yang belum selesai karena ada bahan kain yang telah habis stoknya.Jadi Lily harus pergi untuk membelinya terlebih dahulu lalu kembali ke studio desain.Waktu pelaksanaan fashion week sudah tinggal tujuh hari lagi. Lily merasa