Lily segera meninggalkan Max yang masih terdiam di ruang tengah dengan susah payah. Saat dia berada di depan pintu, Vina segera berdiri dan membantu Lily untuk berjalan."Bagaimana? Dia setuju kan?" bisik Vina sembari membantu Lily berjalan.Sudut bibir Lily terangkat satu. "Harusnya sih setuju." Meski terlihat baik-baik saja, tapi sorot mata Lily terlihat sedih. Dalam benaknya masih terngiang-ngiang soal ucapan Max barusan. Lily tidak menyangka jika Max akan berpikir negatif soal dirinya.Tapi Lily berusaha keras mengusir perasaan sedih itu karena bagaimanapun sebentar lagi dia akan berpisah dari Max. Cobaannya saat meminta cerai dari Max begitu berat, dia bahkan harus melihat orang-orang disekitarnya menderita karena dirinya. "Vina, ada yang ingin ku katakan padamu," ujar Lily saat mereka sudah berada di dalam mobil."Ya?" Vina segera menatap ke arah Lily dengan bertanya-tanya.Bibir Lily sudah terbuka namun tetap ada rasa keraguan dalam hatinya. "Umm.. tidak apa-apa."Kening Vin
Di kediaman Kenneth, Wina yang tengah makan malam bersama Kenneth tiba-tiba meraih tangan Kenneth dan berkata, "Aku sudah mencari tahu soal anak itu. Menurutku kau tidak perlu mengganggunya lagi karena hidupnya sudah sengsara."Kenneth meletakkan sendok dan garpu nya lalu menatap Wina dengan mengerutkan keningnya. "Apa yang kau maksud itu putri dari Darrel?"Wina menganggukkan kepalanya. Beberapa hari setelah menyelidiki sendiri soal Lily Orlantha, perasaannya menjadi galau. Rasa empatinya lebih mendominasi dibanding rasa benci yang selama ini bersemayam di dalam hati. Berbeda dengan Kenneth yang cenderung bisa bertindak dengan logika dan kejam jika soal balas dendam."Hidupnya telah mengalami banyak ujian, tidak perlu lagi kita menambah sengsara."Kenneth mendengus kesal. Dia tahu persis ujian seperti apa yang dimaksud oleh Wina. "Itu lebih pantas disebut sebagai karma dibandingkan ujian."Wina mengelus punggung tangan Kenneth dengan jari jemarinya. "Makany
"Seorang pengasuh untuk anak autis?" Kening Inda mengerut dalam setelahnya. "Kenapa tiba-tiba Nyonya mencari seorang pengasuh?" Lily menghela napasnya singkat sebelum berkata, "Aku sudah proses cerai dengan Max. Sebentar lagi aku akan pergi ke luar negeri untuk bekerja, aku harus meninggalkan adikku yang autis di sini tapi aku perlu seorang pengasuh yang bisa diandalkan."Mendengar itu mata Inda berbinar-binar dan wajahnya nampak cerah. "Nyonya, saya punya pengalaman menjaga anak autis. Saya bisa menjaga adik Anda."Kedua sudut bibir Lily terangkat. "Benarkah?" Namun sesaat kemudian wajahnya kembali muram. "Tapi kau kan membutuhkan uang untuk dikirimkan pada ibumu. Gaji yang akan aku berikan tidak sebanyak yang diberikan oleh Max.""Tidak apa-apa, Nyonya. Ibu saya sudah tidak memerlukan uang yang banyak untuk pengobatan, saya juga sudah lama memiliki niat untuk keluar dari sini." Lily menatap Inda dengan perasaan galau. "Aku tidak memaksamu, Inda. Kalaupun kau
Dengan susah payah Lily menjawab, "Ya." Hati Lily sudah terlanjur terluka. Dia hanya ingin menyudahi semuanya hingga selalu meng-iyakan ucapan Max. Apapun akan dia jawab 'Ya' selama itu bisa membuat Max senang lalu melepaskannya.Namun apa yang diharapkan oleh Lily nyatanya berbeda jauh dengan kenyataan.Bukannya melepas cengkeraman, Max malah mendekatkan wajahnya hingga batang hidungnya menggesek pipi Lily lalu beralih ke arah telinganya seraya berbisik, "Kau sudah membuat kesalahan besar."Belum sempat bereaksi, Lily dibuat terkejut oleh Max yang tiba-tiba meraup bibir tipisnya dengan kasar.Pupil mata Lily membesar, jantungnya berdegup lebih kencang. Dia tak menyangka Max malah menciumnya dengan kasar bahkan tak membiarkannya untuk lepas.Dengan sisa tenaga yang tersisa, Lily berusaha memberontak. Tangannya menyusuri leher belakang milik Max lalu perlahan naik hingga mencapai puncak kepala Max. Di sana Lily menarik rambut Max dan itu membuahkan hasil.Max melepas ciumannya karena
Lily membuka kedua matanya setelah terlelap selama beberapa jam. Lampu putih yang terang, nuansa ruangan berwarna putih serta bau obat yang menyengat, Lily segera tersadar jika dia tengah berada di rumah sakit.Suasana malam di rumah sakit begitu hening dan sepi. Dia menatap ke arah sekitar lalu menemukan Vina yang meringkuk di atas sofa panjang.Lily mengangkat tangan dan melihat infus yang terpasang di pergelangan tangannya. Sekelebat ingatan tadi sore terlintas, membuat sekujur tubuhnya merinding. Lily menelan ludahnya untuk membasahi kerongkongannya yang terasa kering. Andai membuang kepahitan hidup bisa semudah menelan air liur, pasti Lily tidak akan sesedih ini.Saat mencoba memiringkan badannya agar tak terasa pegal, inti pangkal pahanya justru terasa nyeri dan perih. Bersamaan itu, pintu ruangan terbuka. Inda segera melihat Lily yang sudah terbangun dan meringis kesakitan. "Nyonya, Anda sudah bangun?" tanyanya begitu mendekat. Wajah Lily nampak begitu pucat dan sorot matany
Tubuh Lily menegang mendengar nama Kenneth disebut. "Darimana kau tahu?" tanyanya."Saat menyusul Nyonya ke rumah sakit, saya mendengar pertengkaran Nona Vina dengan Tuan Vins lewat telepon. Intinya mereka membicarakan soal Kenneth yang mengancam Nona Vina, tapi saya tidak tahu alasan mengancam apa." Penjelasan Inda membuat bulu kuduk Lily berdiri ketakutan.Apa Vina diancam oleh Kenneth karena dirinya? Kenapa Vina tidak cerita?"Baiklah, sebaiknya kamu pura-pura tidak tahu. Aku yang akan mengurusnya. Sebaiknya kamu lekas istirahat...""Baik, Nyonya."Setelah Inda masuk ke dalam kamar. Lily menuju ke dapur untuk membuat minuman herbal yang sudah diresepkan oleh Kakek Zang. Kedua kakinya langsung terasa nyeri karena dia terlalu lama berdiri. Lily pun membawa gelas tersebut ke atas meja dan dia mendudukkan pantatnya di atas kursi.Cairan berwarna hitam yang terasa pahit itu langsung dia minum tanpa penuh drama. Rasa pahit yang ada di minuman itu tidak seba
Mendengar itu, Lily langsung menolehkan kepalanya. Dia sudah memblokir nomor Max, jadi Max menghubungi Inda untuk mencari tahu. "Kau jawab apa?""Sa-saya sudah jawab tidak tahu, tapi Tuan bersikeras mengatakan kalau saya pasti tahu Anda dimana." Inda merasa sedikit takut. "Tuan menyuruh saya untuk menyampaikan pesan kalau Anda sedang dicari oleh Tuan Kenneth."Setelah nama Kenneth disebut, wajah Lily terlihat menegang. Sebenarnya apa yang diinginkan oleh Kenneth hingga mengusik orang-orang yang ada disekitarnya."Nyonya, bukankah Tuan Kenneth adalah orang yang berpengaruh? Kudengar jika ada orang menyinggungnya, dipastikan orang itu tidak akan bisa hidup dengan tenang."Tangan Lily mengepal erat. "Katakan pada Max, temui aku besok di kafe bintang jam sebelas siang." Daripada terus menghindar, Lily memilih untuk mendatangi dan mencari tahu. Sebenarnya, apa masalah Kenneth hingga mengatakan memiliki dendam pribadi dengannya."Baik, Nyonya."***Di kafe
Lily keluar dari kediaman Kenneth dengan dipapah oleh seorang pelayan. Wajahnya begitu tampak pucat dengan keringat banyak yang membasahi dahinya."Lebih baik Anda duduk di sini sebentar. Pak Sopir baru akan mengambil mobil dari garasi dalam," ujar si pelayan tadi lalu meninggalkan Lily duduk di atas sofa sendirian.Benak Lily langsung terngiang-ngiang saat dia mendengar cerita dari Kenneth dan Wina. Hatinya masih menyangkal soal fakta bahwa ayahnya pernah membunuh seorang bayi perempuan di masa lampau.Seingatnya, ayahnya adalah pria yang penuh kasih sayang dan perhatian. Sangat sulit baginya untuk menerima fakta itu.Pantas saja tatapan Kenneth terlihat ingin membunuh jika bertatap mata dengannya.Seorang pria paruh baya datang mendekat ke arah Lily dan berkata dengan sopan, "Mari, Nyonya. Saya antar Anda ke dalam mobil." "Tidak usah, saya bisa kok berjalan sendiri." Lily berjalan menggunakan tongkat kruk dengan susah. Kedua kakinya bergetar karena rasa sa
"Adik, Nona?" Kedua alis si sopir saling menyatu. "Kayaknya gak ada siapapun yang keluar lewat sini, Nona. Dari tadi saya duduk di kursi teras ini kok."Pikiran Lily langsung kacau. Arsan bukanlah anak yang suka keluar dan bertemu dengan orang. Kalau sampai Arsan panik dan tantrum di jalan, itu bisa membahayakan dirinya sendiri. Apalagi jalanan sangat ramai oleh kendaraan pribadi.Lily memutuskan untuk mengecek seluruh isi rumah sekali lagi. Setelahnya dia baru sadar kalau Arsan keluar melalui pintu belakang, tepatnya yang menjadi penghubung antara teras belakang dengan dapur. "Kemana kamu, Arsan?" gumam Lily penuh khawatir.Karena Lily tidak tahu harus mencari dimana, Lily mengajak sang sopir untuk mencari Arsan dengan mobil. "Mau dicari kemana, Nona?" tanya si sopir."Kemana aja, Pak. Asal adik saya bisa ketemu.""Tapi, Non. Kata Nyonya Wina, Anda harus segera pulang. Kalau saya gak bisa nganterin Nona pulang tepat waktu, bisa-bisa saya yang akan kena omel nantinya.""Gak usah kha
Lily tersentak dan menjadi canggung. "Mmm... baru saja," jawabnya sambil menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. Seketika dia tersadar atas apa yang dilakukannya. Dia pun kembali meluruskan anak rambutnya.Max tersenyum lebar. Rasanya dia sudah lama tidak melihat Lily. Wajahnya nampak lebih segar dan pipinya semakin bulat. Jika dia pikir-pikir, keadaan Lily jauh berbeda dibanding saat menikah dengannya dulu."Mau ketemu dengan Arsan? Kebetulan aku mau pulang karena ada urusan, jadi aku bisa menitipkannya padamu sebentar," ucap Max."Memangnya Inda kemana? Kenapa dia menitipkannya padamu?""Tadi pagi dia ditelepon kalau ada saudaranya yang meninggal. Jadi dia harus pulang selama sehari semalam. Mungkin besok pagi dia baru pulang."Kening Lily mengerut dalam. "Kok dia gak ngabarin aku? Malah ngasih tahu kamu?"Max mengangkat kedua bahunya. "Entah. Mungkin karena kamu sulit untuk dihubungi? Ini bukan pertama kalinya kok. Dia juga pernah menitipkan Arsan padaku selama dua hari.""Dua
Di tengah keramaian kafe, Lily melihat Vina yang duduk di salah satu kursi sendirian di antara banyaknya pengunjung. Dia sudah menghubungi Vina untuk bertemu di kafe saja.Mata Lily berkilat senang, pasalnya sudah lama dia tidak bertemu dengan sahabatnya itu. Tangannya segera terangkat untuk melambai dan memanggil namanya. Sahabatnya itu segera menoleh dan senyuman lebar langsung merekah di wajahnya."Lily!" teriaknya sambil berdiri menyambut kedatangan Lily.Mereka berdua pun saling berpelukan erat."Bagaimana kabarmu?" tanya Vina begitu pelukan mereka sudah terlepas."Aku baik. Bahkan lebih baik."Vina bernapas lega, ada perasaan senang melihat wajah Lily yang nampak lebih cantik dan segar. "Syukurlah... apa Tuan Kenneth dan Nyonya Wina memperlakukanmu dengan baik?""Tentu saja. Mereka orang tua kandungku, tidak mungkin mereka menyia-nyiakan anak yang telah lama mereka kira sudah meninggal." Lily meneliti wajah Vina yang nampak kusam dan juga letih. "Lalu bagaimana denganmu? Kuden
Vina menatap ke arah halaman rumah dari jendela kaca kamar. Mobil Finley sudah menghilang dari pandangan, segera dia menutup kembali tirai jendela.Sandra membuka pintu kamar dan berjalan menghampiri Vina. "Maafkan Mama karena sudah membukakan pintu."Vina memaksakan senyumannya sambil duduk di tepi ranjang. "Tidak apa-apa, bukan salah Mama."Melihat senyuman Vina, Sandra semakin merasa bersalah. Dia pun ikut duduk di samping Vina dan berkata, "Kulihat dia pria yang baik dan bertanggung jawab. Kenapa kamu gak sepertinya tidak percaya padanya?""Menikah bukan perkara mudah, Ma. Apalagi aku dan Finley tidak saling mencintai. Biarlah aku mengurus anakku sendirian tanpa harus melibatkannya," jawab Vina sambil mengelus perutnya."Mengandung dan melahirkan anak sendirian itu terasa berat, Vina. Mama rasa akan lebih mudah kalau kamu menerima Finley untuk bertanggungjawab."Vina memegang kedua lututnya erat. "Bukannya ada Mama dan Papa yang akan membantuku? Aku tidak mencintai Finley, Ma. Men
Di tengah terpaan angin sepoi malam yang dingin. Vina memegang erat cangkir mug yang berisi susu cokelat hangat.Vina sendiri merasa heran, sejak kapan dirinya jadi menyukai segelas susu rasa cokelat sedang dulunya dia lebih menyukai kopi susu yang diberi es batu di dalamnya.Mungkin sejak dirinya diberitahu dokter untuk tidak mengonsumsi minuman yang mengandung alkohol dan kafein. Vina jadi lebih memperhatikan minuman yang akan dia minum.Sebuah senyuman tipis terbit di wajahnya yang manis sambil mengelus perutnya yang masih rata."Meskipun nanti kau lahir dari keluarga yang tidak lengkap, tapi aku pastikan kasih sayang untukmu tidak akan pernah kurang," ucapnya pada janinnya yang berada di dalam rahim.Vina belum bisa menerima kehamilannya, sampai seminggu yang lalu dia memeriksakan diri ke dokter spesialis kandungan dan melihat janin kecil yang tumbuh dengan menakjubkan.Suara detak jantung janin yang teratur dan pernyataan dokter kalau janinnya berkembang sehat dan baik membuat pe
"Apa? Hamil?" Lily hampir berteriak jika tidak mengingat kalau dirinya ada di sebuah acara penting."Finley, kau becanda kan?" bisik Lily takut ada seseorang yang mendengar.Helaan napas keluar dari mulut Finley. "Aku tahu ini terdengar seperti lelucon. Tapi aku berkata jujur, kami tak sengaja melakukan..."Finley ikut memelankan suaranya. "...hubungan intim saat kami mabuk."Lily tidak tahu lagi apa yang harus dia katakan karena saat ini dia benar-benar terkejut.Vina dan Finley? Berhubungan intim? Terdengar tidak masuk akal."Aku tahu kamu pasti kaget, tapi ini benar adanya. Aku hanya khawatir padanya karena beberapa hari ini dia tidak bisa dihubungi. Dia bahkan bersembunyi, seolah tidak mau diajak bertemu." Raut wajah Finley nampak muram membuat Lily sedikit merasa kasihan.Keheningan terjadi sesaat."Kamu datang ke acara ini berharap aku bisa memberi informasi soal Vina?" tanya Lily yang dijawab Finley dengan anggukan kepala."Sayangnya aku sudah lama tidak menghubunginya," ujar L
"Lily?"Suara dari arah belakang yang memanggil membuat Lily menoleh. Kedua matanya terbelalak lebar mendapati Finley berjalan perlahan ke arahnya."Finley?" serunya yang membuat orang-orang disekitarnya terheran-heran."Ah, Tuan Finley. Kau sudah bersedia datang ke acaraku. Sungguh suatu kehormatan untukku." Arneth dan Samantha mendekati Finley yang membuatnya menghentikan langkah.Finley menoleh ke arah mereka berdua dan berkata, "Oh, Nyonya Arneth? Kau sudah sembuh? Ku dengar kau sehabis mengalami cidera di pergelangan tangan setelah bermain golf."Arneth tersenyum senang mendengar Finley sedikit perhatian padanya. "Benar, tapi sudah sembuh berkat putri saya yang telaten mengurus."Beberapa keponakan Kenneth memutar kedua bola matanya malas. Semua orang yang melihat pasti bisa menduga kalau Arneth sedang mempromosikan putrinya di depan Finley."Apa Tuan sedang mencari sesuatu?" tanya Samantha dengan memegang lengan Finley. Berada dekat dengan Finley adalah suatu kebanggan. Ketampan
"Dia adalah putriku, Laura Owen," jelas Kenneth sambil memperhatikan reaksi dari anggota keluarga besarnya.Beberapa dari mereka nampak terkejut hingga tidak bersuara tapi ada juga yang tertawa sinis seperti Samantha."Paman Kenneth, apa karena saking putus asa nya Paman sampai menganggap wanita murahan itu sebagai Laura?" Kenneth menatap tajam ke arah Samantha yang lagi-lagi bermulut tajam."Jangan marah dulu, Paman. Itu karena ucapan Paman terdengar mengada-ada." Ucapan Samantha dibenarkan oleh anggota keluarga yang lain."Samantha benar, Ken. Ucapanmu terdengar mengada-ada. Mana mungkin Laura yang dulunya sudah dinyatakan meninggal malah tiba-tiba muncul sebagai wanita yang sehat? Aku yakin dia pasti sudah menipumu!"Wina nampak panik, tetapi tidak dengan Lily. Dia yakin kalau Kenneth telah menyiapkan semuanya untuk menjelaskan kebenaran pada anggota keluarganya sendiri."Usir dia sekarang, Ken! Aku tidak sudi kalau dia mengotori hariku yang bahagia!" seru Arneth memojokkan Wina,
Sama seperti dirinya, Wina mengenakan gaun buatan Lily yang nampak mewah.Gaun panjang berwarna hijau emerald yang sudah lama Lily buat akhirnya dia pakai sekarang. Warna gaun itu menjadikan kulit Wina nampak lebih putih dan bersih. Meski gaun tersebut memiliki potongan yang sederhana, tetapi hiasan berupa berlian putih dua karat yang berada di sekeliling gaun menjadikannya nampak mewah dan istimewa.Lily menatap bangga pada hasil buatannya sendiri. Terlebih aura old money yang terpancar dari tubuh Wina menjadikan gaun itu melekat sempurna ditubuhnya."Mama juga nampak luar biasa," ujar Lily tersenyum bangga."Berkat karyamu yang sangat luar biasa, Sayang."Wina juga merasa begitu bangga mengenakan gaun buatan putrinya sendiri. Apalagi saat bercermin, Wina seperti merasa tidak mengenali diri sendiri.Bahkan perias yang memoles wajahnya tadi sempat terkejut dan menatapnya kagum dengan gaun yang nampak mewah."Anda terlihat sepuluh tahun lebih muda, Nyonya," puji si perias tadi tanpa di