"Mencurigakan bagaimana?" tanya Vina penasaran.Akhir-akhir ini dia disibukkan oleh pekerjaan di Perusahaan. Tidak sempat untuk memikirkan permasalahan lain."Menurutku Max seperti sengaja melakukan ini supaya aku terus kembali mengambil minyaknya. Bahkan dia tahu kalau minyak esensial milikku sudah habis, padahal aku tidak memberitahu siapapun."Mendengar itu, Vina terdiam sejenak. "Bagaimana kalau kau meminta bantuan pada Finley? Aku yakin dia akan membantumu untuk menemukan minyak esensial yang sama.""Finley?" Lily menimang-nimang nama itu sejenak lalu tersenyum kecut."Sepertinya tidak perlu. Pria itu sudah banyak membantuku selama ini, aku tidak ingin membuat hutang budi lagi."Vina menganggukkan kepalanya mengerti. Lily sudah menceritakan soal Finley padanya. Memang tidak pantas kalau Lily harus meminta bantuan lagi pada Finley."Kalau begitu... satu-satunya cara saat ini, kamu harus datang dan bertanya pada Max untuk mencari tahu sendiri jawabanny
"Dengar baik-baik, Nyonya Fernita. Aku tidak pernah membuat hidupmu menderita atau terhina karena kedatanganku ke mansion ini dulu. Justru anak yang telah kau lahirkan itu lah yang membuat hidupku seperti terkutuk karena sudah kehilangan segalanya.""Lihatlah diriku... bukankah terlihat sangat baik setelah berpisah darinya?" lanjut Lily dengan tersenyum mengejeknya.Plak! Fernita menamparnya begitu keras, membiat Lily memegang pipinya yang berdenyut-denyut dan terasa panas.Fernita sendiri sudah tak tahan untuk tidak menampar Lily yang mulutnya sangatlah tajam baginya dan dia sudah merasa puas."Jaga ucapanmu, Li-"Plak!Fernita menatap Lily tak percaya. Lily telah membalas tamparannya bahkan lebih keras dua kali hingga membuat rahangnya terasa sangat sakit."Kurang ajar!" teriaknya tak terima.Plak!Tak tanggung-tanggung, Lily menampar wajah Fernita dua kali yang membuat Fernita tidak bisa berkata-kata lagi."Kalau kau menamparku sekali,
"Bekerja sama?" "Ya. Aku ingin berinvestasi ke perusahaanmu sebesar satu milyar. Bagaimana?"Lily termenung sejenak setelah mendengar nominal yang diucapkan oleh Max barusan.Perusahaan milik Max yang bernama Korporasi Kalandra itu memang terus meningkat dan berkembang pesat sampai sekarang.Jika Lily menerima tawaran dari Max, Lily yakin perusahaan Elvi yang sedang dirintis olehnya bersama Vina itu akan mendapatkan banyak keuntungan."Bagaimana? Kau setuju?" tanya Max lagi."Kalau aku menolak bagaimana?" Kening Max mulai mengerut. Tapi Max tetap menunjukkan raut wajah tenang. "Kalau menolak, itu berarti tidak ada lagi minyak esensial untukmu."Lily mulai menegakkan punggungnya. Max sedang mengancamnya, mau tak mau dia harus menerima. "Baiklah, kau bisa membicarakan hal itu pada Vina nanti."Max tersenyum senang. Tidak menyangka akan menjadi semudah itu.Setelah itu dia mengeluarkan botol kecil berisi minyak esensial dan memberikannya pada L
Di sebuah restoran mewah bernama Sky blue. Fernita duduk dengan anggun bersama Olivia yang juga nampak cantik dan juga mempesona.Malam ini Fernita mengenakan gaun panjang berlengan panjang berwarna hitam yang bertabur dengan kristal.Sedang Olivia nampak menawan dan seksi dengan gaun panjang biru tua namun terdapat belahan tengah dibawah yang memamerkan kedua kaki jenjangnya. "Olivia, sepertinya Max harus kembali ke sisimu secepatnya."Ucapan Fernita menghentikan tangannya yang sedang memotong daging steak."Apa maksud Tante?"Setelah menyesap wine miliknya, Fernita berkata dengan tenang. "Aku tahu kalau hubungan kalian telah merenggang. Sekarang aku ingin kamu merayu Max lagi karena sepertinya dia sudah menggila."Kening Olivia mengerut. "Menggila?"Seingat Olivia, Max nampak baik-baik saja. Dia bahkan terkesan sedang memamerkan hubungan barunya dengan Serena."Ya." Kemudian Fernita menceritakan soal kedatangan Lily tadi sore ke mansion.Se
Pagi ini masih jam sepuluh tepat tapi Max yang berada di ruangan AC masih merasa badannya begitu gerah.Cuaca di luar memang sedang sangat panas. Matahari bersinar begitu teriknya.Meski begitu, Max tetap berusaha fokus untuk menandatangani tumpukan dokumen yang berada di atas meja.Saat dia begitu fokus, beberapa kali layar ponselnya menyala dan itu terlihat dari sudut matanya. Sengaja Max mematikan nada dering agar kinerjanya saat ini tidak terganggu oleh suara telepon.Namun sudah beberapa kali layar ponselnya menyala, menandakan si penelepon begitu gigih untuk meneleponnya.Kesal karena panggilan tersebut, Max pun menaruh pulpennya dan memilih untuk meraih ponsel.Saat menatap layar, betapa terkejutnya dia karena membaca nama si penelepon yang begitu istimewa. Rupanya itu Lily.Padahal selama tiga hari belakangan dia sudah berulang kali mengirim pesan bahkan mencoba menelepon namun tetap diabaikan oleh wanita itu.Kenapa tiba-tiba sekarang malah menghubunginya? Bahkan sampai beber
Fernita masih mengelak. Baginya, Olivia adalah wanita anggun dan memiliki derajat yang setara dengan putranya.Rasa-rasanya, tidak mungkin Olivia memilih untuk merendahkan diri pada suami orang hanya demi meraih ambisinya sendiri."Tidak mungkin Olivia berbuat buruk seperti itu. Untuk apa dia merendahkan diri hanya demi ambisinya yang tidak seberapa itu..."Max meremas puncak kepalanya karena merasa frustasi. "Terserah ibu mau percaya atau tidak. Yang jelas Olivia sudah berbuat banyak kejahatan di belakang ibu. Salah satunya mencuri sketsa desain milik Lily namun malah menuduhnya balik. Akhirnya Lily dibantu oleh Serena untuk melaporkan hal itu pada pihak polisi.""Mereka yang tersakiti merasa sedikit lega setidaknya Olivia akan dihukum meskipun itu ringan, tapi dengan tidak tahu malu ibu malah meminta Tuan Herman Larma untuk membela Olivia."Merasa sakit hati, kedua mata Fernita mulai nampak membasah namun tetap berusaha dia sembunyikan. Putranya berbicara terlalu kejam hingga menus
"Lily, Lily?"Lily tersentak lalu segera berbisik pada Vina, "Vina, aku merasa ada seseorang yang sedang mengawasiku.""Jangan bercanda! Kau membuatku takut," ucap Vina."Aku tidak bercanda. Aku sedang serius.""Sekarang kau ada dimana?""Aku sedang ada di studio," jawab Lily sambil menatap ke sekelilingnya dengan was-was.Dia belum pernah merasa begitu waspada selama ini. Baru kali ini dia merasa perasaannya tak enak dan instingnya mengatakan kalau dia sedang diikuti."Jangan kemana-mana aku akan segera ke sana."Lily menganggukkan kepalanya meski tahu Vina tidak bisa melihatnya. "Cepat datang kemari sebelum- Ahh.. hmmm.."Tiba-tiba Lily dibekap oleh seseorang dari arah belakang. Dia berusaha untuk meronta-ronta namun sangat sulit. Tubuhnya yang lemah tidak bisa melawan kekuatan yang lebih besar darinya.Insting Lily memang tidak salah. Benar-benar ada orang yang mencurigakan di dalam studionya."Hmmpt... hmmmpt!" Selain meronta-ronta, Lily berusaha keras mengeluarkan suaranya untuk
Olivia memutar kedua bola matanya malas. "Aku tahu, tapi bisakah kau sedikit bersabar?" tanyanya kesal.Pria itu terkekeh pelan namun tatapannya tak beralih pada Lily yang sedang pingsan di atas ranjang. "Baiklah, aku beri kau waktu sampai tengah malam nanti. Entah dia akan bangun atau tidak. Aku akan menggarapnya setelah tengah malam nanti."Olivia mendengus pelan. "Iya, iya."Setelahnya pria itu keluar dari rumah yang sudah disewa Olivia sebelumnya.Suara pintu yang tertutup langsung terdengar. Olivia menatap lagi ke arah Lily yang masih pingsan dengan tersenyum menyeringai."Inilah akibat dari melawanku, Lily Orlantha," gumamnya.Sepuluh menit kemudian.Byurrr.Guyuran air yang dingin menerpa wajah Lily hingga membuatnya kesusahan untuk bernapas.Secara reflek Lily ingin mengusap wajahnya untuk mengusap air yang membasahi wajahnya, namun kedua tangannya diikat.Jadi Lily berusaha membuka kedua matanya meskipun terasa perih.Yang dilihatnya pertama kali adalah langit-langit kamar y
Saat berada di hadapan Vina, Finley berusaha menarik kursi dengan hati-hati lalu duduk dengan tenang. Dia tidak ingin mengganggu Vina yang nampak lelah.kedua tangannya menyangga wajah di atas meja, tatapannya lurus ke arah Vina.Finley memikirkan bagaimana mungkin takdir malah membawanya ke seorang gadis yang merupakan sahabat dari wanita yang pernah dia sukai?Saat pandangannya menuju ke arah bibir Vina, dia kembali menjadi teringat awal mula malam petaka itu terjadi.Salah satu sudut bibirnya terangkat naik.'Harus aku akui kalau ciuman darinya terus membuatku terngiang-ngiang,' batinnya.Meskipun ciuman itu tidak begitu lihai, tapi entah mengapa Finley selalu mengingatnya setelah kejadian itu."Kapan kamu datang?"Suara yang berasal dari depannya itu membuatnya langsung tersentak. "Sudah bangun?" tanyanya.Vina mengangkat kedua tangannya untuk meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku, lalu menegakkan punggung."Siapa kira kalau ingin bertemu denganmu harus menunggu selama lebih d
Satu bulan kemudian.Di kediaman Prajaya.Vina menatap testpack yang berada di atas wastafel dengan perasaan gelisah.Kedua tangannya terlipat di depan dada dan sesekali ujung jarinya mengetuk-ngetuk di siku tangannya. Pandangan Vina tak lepas dari testpack yang baru saja dia celupkan ujungnya di cairan urinenya pagi hari ini. Sudah seminggu lebih Vina tidak mendapat menstruasi di bulan ini yang seharusnya datang tepat waktu seperti biasanya. Vina menatap pantulan wajahnya yang nampak pucat di depan cermin kamar mandi. Berawal dari lima hari yang lalu, saat dia hendak makan sarapannya, dia merasa mual hanya karena tak suka mencium aroma nasi yang baru saja matang.Awalnya dia tidak terlalu mempedulikannya. Tetapi asisten rumah tangganya yang tadi pagi melihat Vina mual-mual pun berkata dengan nada becanda, "Nona Vina sakitnya seperti orang hamil saja, mual-mual pas di pagi hari."Setelah mendengar itupun dia segera keluar dari rumah dan membeli testpack di apotek terdekat yang letak
Kenneth menghadap Leni dengan tatapan menelisik. "Kau terlihat tidak senang kalau sepupumu masih hidup," duganya.Sesaat Leni menegang, namun itu hanya sebentar karena setelah itu dia tertawa kecil sambil bertanya, "Apa maksudmu, Paman? Aku kan hanya bertanya.""Siapa saja yang mendengar kabar itu pasti akan sama terkejutnya sepertiku. Anak paman yang dikabarkan meninggal dari bayi, tiba-tiba hidup kembali? Bukankah itu terdengar tidak masuk akal?" lanjutnya memberikan alibi.Leni dan Kenneth masih ada hubungan saudara. Ayah Leni bernama Jauhari Prima merupakan adik tiri Kenneth. Jauhari memiliki tiga anak yang semuanya memiliki kedudukan penting di perusahaan Kenneth.Selama ini Kenneth tidak menolak karyawan dari saudaranya sendiri selama mereka dapat bekerja dengan baik.Sejauh ini, Leni dan kedua adiknya telah menunjukkan kinerja yang baik di mata Kenneth.Kenneth menghela napasnya singkat. "Kau benar. Siapapun yang mendengar pasti tidak akan percaya, terutama keluarga kita."Leni
"Bukankah Anda pernah bilang kalau Nona Lily adalah seorang desainer baju?" tanya Grace yang dijawab anggukan kepala oleh Wina."Nah, pertama-tama yang bisa Nyonya lakukan adalah melakukan pendekatan melalui apa yang disukai Nona Lily, yaitu soal merancang baju."Tiba-tiba wajah Wina menjadi tercerahkan setelah mendengar usulan Grace.Dia tak pernah terpikirkan soal hal itu sebelumnya. Maklum saja, saat sudah berada dekat dengan Lily, dia justru menjadi canggung untuk melakukan pendekatan sebagai ibu dan anak.Dengan mengajak sesuatu yang disukai Lily, Wina yakin kalau Lily akan lebih tertarik untuk mendekat padanya."Ide bagus, Grace. Aku sangat yakin Lily akan semakin bersemangat kalau aku membicarakan sesuatu yang dia sukai." Lanjutnya, "Siapkan ruangan yang memadai untuknya lalu carikan seseorang yang tahu soal penataan ruang dan barang-barang yang dibutuhkan untuk seorang desainer pakaian.""Baik, Nyonya.""Lakukan segera dan cepat, Grace. Aku tidak sabar untuk melakukan kegiatan
"Hamil?" gumam Finley pelan. Kejadian hamil tidak pernah terbayangkan dalam hidup Finley. Dia selalu melakukan hubungan dengan aman, tidak pernah menumpahkan cairannya di dalam rahim lawan mainnya."Nikah saja kalau begitu," jawabnya enteng.Vina membuang pandangannya seraya mendengus pelan. Kedua sudut matanya sudah memerah dan juga nampak berair. "Entengnya kamu bicara," ujar Vina kesal sambil menatap ke arah jendela dengan menahan air matanya yang hendak keluar.Finley ikut berdiri dan menatap punggung Vina dengan kening mengernyit. "Kalau begitu mau kamu apa? Nasi sudah menjadi bubur, tidak mungkin kita kembali ke masa lalu untuk memperbaikinya."Vina nampak terdiam, tidak ada gerakan apapun dari arah punggungnya. Finley pun melanjutkan, "Yang bisa kita lakukan hanyalah mengatasi masalah yang akan timbul setelah perbuatan semalam."Tatapan Finley nampak muram tetapi tetap ada keseriusan di dalam sorot matanya. "Kalau memang kamu hamil nantinya, aku bersedia untuk bertanggung jaw
Vina menatap Finley tanpa mengedipkan mata, sesaat ada tatapan kecewa namun itu hanya sebentar.Vina tertawa dengan keras lalu berkata, "Kalau ingin membuatku menyerah, jangan berkata omong kosong. Mana mungkin Ivan yang gagah macho itu malah menyukai pria?"Tawa Vina begitu keras hingga keluar air mata dari sudut matanya. Finley begitu kejam, mengatakan hal-hal yang tak masuk akal demi membuatnya menyerah.Finley memutar kedua bola matanya dengan malas. "Terserah."Lalu kembali meminum botol alkoholnya hingga habis. Vina melihat Finley yang tengah minum dengan perasaan kacau. Jika Ivan hanya tidak menyukainya, dia bisa terus berjuang agar Ivan bisa melihat ke arahnya.Tetapi kalau benar Ivan suka pria, mau Vina berguling-guling atau memohon pun Ivan tak akan menyukainya.Vina membuang pandangannya lalu menatap ke sembarang arah dengan mata buram.Pantas saja Ivan selalu bersikap dingin dan cuek padanya.Setelah dipikir-pikir, Ivan selalu begitu pada setiap wanita. Awalnya dia berpi
Vina sedang ada acara keluarga di hotel bintang lima yang kemudian tak sengaja melihat Ivan saat sedang berjalan ke arah lift."Ivan? Rupanya yang aku lihat itu benar kamu?" tanyanya setelah memastikan jika seorang pria bertubuh tegap dan tinggi itu adalah Ivan.Ivan terlihat tak nyaman, dia mengalihkan pandangannya dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Saya sedang ditugaskan di sini."Meskipun Ivan selalu bersikap cuek dan dingin padanya, tetap Vina tidak menyerah. Baginya sikap Ivan yang seperti itu malah membuatnya semakin tergila-gila. Ivan semakin tampan dengan wajahnya yang dingin itu."Oh ya? Kebetulan sekali dong, aku juga sedang ada acara di sini. Jangan-jangan kita berjodoh kali ya..."Vina terkekeh pelan dan terdapat semburat merah di pipinya saat ini.Ivan merasa malu, lalu menoleh ke arah temannya, Norman yang sedang menahan tawanya saat ini."Kalau begitu, saya permisi dulu, Nona. Saya masih harus bertugas menjaga Tuan Finley."Vina segera menghentikan Ivan. "Apa?
"Bu, sebenarnya aku dan Lily hanya pura-pura berpacaran."Saat ini Finley yang tengah duduk berhadapan dengan sang ibu, hanya mampu menundukkan pandangannya, tak berani bertatapan langsung.Tadi Donna bersikeras untuk mengajak Finley menjenguk Lily di rumah sakit. Donna berkata, "Kau sangat tidak perhatian pada kekasihmu sendiri, Finley. Lily sedang sakit, harusnya kamu lebih sering berkunjung dan menemaninya supaya lebih cepat pulih."Sebenarnya Donna sudah dijadwalkan pulang sejak beberapa hari yang lalu, namun Donna memutuskan untuk tinggal lebih lama setelah mendengar kabar kemalangan yang menimpa Lily.Karena Finley merasa tidak enak jika terus menerus membohongi sang ibu, akhirnya Finley berterus terang agar ibunya tak lagi terus berharap.Pada awalnya Finley merasa bisa menjadikan Lily sebagai pacar yang sesungguhnya. Namun lambat laun dia tersadar, kalau yang dia rasakan bukan perasaan cinta. Melainkan hanya perasaan nyaman karena sudah terbiasa. Selain itu, ketika Lily meno
"Tapi..." Sebenarnya Inda merasa ragu kalau Lily akan merasa lebih baik jika tinggal bersama dengan Kenneth dan Wina.Bukankah alasan Lily menjadi depresi karena belum bisa menerima kenyataan bahwa dirinya bukanlah anak kandung Darrel?Tetapi, Inda tidak berani mengatakannya secara langsung. Bagaimanapun dia sedang berhadapan dengan Kenneth, seorang pengusaha besar yang memiliki kekayaan dan kekuasaan.Wina mengetahui soal keraguan Inda. "Aku tahu kalau kamu ragu soal hal ini. Tapi kami adalah orang tua kandung Lily, kami juga ingin menjadi dekat dengannya meskipun dia masih syok atas kenyataan ini.""Lagipula kau juga sibuk mengurusi Arsan, bukan? Aku tidak yakin kau bisa mengurus dua manusia yang sedang mengalami gangguan kesehatan mental."Ucapan Wina ada benarnya bagi Inda. Dengan terpaksa Inda menyetujui permintaan Kenneth dan Wina untuk membawa Lily setelah pengobatan di rumah sakit selesai.Keesokannya.Dokter membolehkan Lily untuk pulang dan menjalani rawat jalan. Hal itu dit