Di atas kursi kerjanya, Max mengerutkan kening setelah mendengar suara umpatan yang keluar dari layar ponselnya. Max melirik lagi layar ponsel untuk membenarkan jika yang dia telpon adalah Serena.Itu memang benar Serena."Apa maksudmu, Serena?" tanyanya."Kau tahu, kau adalah pria brengsek sama seperti Ernes! Kalau saja kamu lebih jantan untuk menjelaskan alasan yang sesungguhnya pada Lily dulu, pasti pernikahanmu dengan Lily masih bertahan sampai sekarang."Max memijat pelipisnya yang berdenyut. Entah bagaimana maksud Serena sampai mengaitkan antara pernikahannya dengan sikap Ernes."Seharusnya kalian menghadapi berdua bersama, bukannya malah menutup mulut lalu memilih berselingkuh dengan wanita ular bernama Olivia.""Hah! Selepas kau diceraikan, kau baru menyadari betapa kau mencintai Lily. Tapi apa artinya penyesalan di saat waktu selama pernikahan kau tidak berminat untuk memperbaiki hubungan. Kau itu pengecut, Max. Aku menyesal karena telah mendukungmu agar bisa kembali ke pelu
"Sebenarnya itu mudah. Kau tinggal melepaskannya saja dan bersikap tidak peduli," jawab Max dengan enteng. Padahal dia sendiri harus merasakan dulu yang namanya perceraian baru bisa melepaskan Olivia.Wajah Ernes nampak memucat. Dia seperti telah kehilangan semangat untuk saat ini."Aku sepertinya telah berbuat kesalahan fatal," gumam Ernes.Max mengerutkan keningnya. "Kesalahan fatal?"Ernes pun akhirnya menceritakan soal alasan Serena mengurung diri di dalam kamar.Setelah mendengar cerita dari Ernes. Max pun menepuk salah satu bahunya dan menatapnya dengan tatapan prihatin."Itu memang kesalahan fatal. Aku harap kau tidak lagi mengulangi perbuatanmu yang bodoh itu di masa depan."Kedua bahu Ernes semakin merosot ke bawah. "Tidak bisakah kau membantuku saat ini?""Membantu apa? Kau sudah menyia-nyiakan kesempatan terakhir yang diberikan Serena untukmu. Pantas saja dia marah besar sampai mengurung diri di dalam kamar.""Selama ini dia masih berharap kau bisa kembali padanya, menjadi
"Mencurigakan bagaimana?" tanya Vina penasaran.Akhir-akhir ini dia disibukkan oleh pekerjaan di Perusahaan. Tidak sempat untuk memikirkan permasalahan lain."Menurutku Max seperti sengaja melakukan ini supaya aku terus kembali mengambil minyaknya. Bahkan dia tahu kalau minyak esensial milikku sudah habis, padahal aku tidak memberitahu siapapun."Mendengar itu, Vina terdiam sejenak. "Bagaimana kalau kau meminta bantuan pada Finley? Aku yakin dia akan membantumu untuk menemukan minyak esensial yang sama.""Finley?" Lily menimang-nimang nama itu sejenak lalu tersenyum kecut."Sepertinya tidak perlu. Pria itu sudah banyak membantuku selama ini, aku tidak ingin membuat hutang budi lagi."Vina menganggukkan kepalanya mengerti. Lily sudah menceritakan soal Finley padanya. Memang tidak pantas kalau Lily harus meminta bantuan lagi pada Finley."Kalau begitu... satu-satunya cara saat ini, kamu harus datang dan bertanya pada Max untuk mencari tahu sendiri jawabanny
"Dengar baik-baik, Nyonya Fernita. Aku tidak pernah membuat hidupmu menderita atau terhina karena kedatanganku ke mansion ini dulu. Justru anak yang telah kau lahirkan itu lah yang membuat hidupku seperti terkutuk karena sudah kehilangan segalanya.""Lihatlah diriku... bukankah terlihat sangat baik setelah berpisah darinya?" lanjut Lily dengan tersenyum mengejeknya.Plak! Fernita menamparnya begitu keras, membiat Lily memegang pipinya yang berdenyut-denyut dan terasa panas.Fernita sendiri sudah tak tahan untuk tidak menampar Lily yang mulutnya sangatlah tajam baginya dan dia sudah merasa puas."Jaga ucapanmu, Li-"Plak!Fernita menatap Lily tak percaya. Lily telah membalas tamparannya bahkan lebih keras dua kali hingga membuat rahangnya terasa sangat sakit."Kurang ajar!" teriaknya tak terima.Plak!Tak tanggung-tanggung, Lily menampar wajah Fernita dua kali yang membuat Fernita tidak bisa berkata-kata lagi."Kalau kau menamparku sekali,
"Bekerja sama?" "Ya. Aku ingin berinvestasi ke perusahaanmu sebesar satu milyar. Bagaimana?"Lily termenung sejenak setelah mendengar nominal yang diucapkan oleh Max barusan.Perusahaan milik Max yang bernama Korporasi Kalandra itu memang terus meningkat dan berkembang pesat sampai sekarang.Jika Lily menerima tawaran dari Max, Lily yakin perusahaan Elvi yang sedang dirintis olehnya bersama Vina itu akan mendapatkan banyak keuntungan."Bagaimana? Kau setuju?" tanya Max lagi."Kalau aku menolak bagaimana?" Kening Max mulai mengerut. Tapi Max tetap menunjukkan raut wajah tenang. "Kalau menolak, itu berarti tidak ada lagi minyak esensial untukmu."Lily mulai menegakkan punggungnya. Max sedang mengancamnya, mau tak mau dia harus menerima. "Baiklah, kau bisa membicarakan hal itu pada Vina nanti."Max tersenyum senang. Tidak menyangka akan menjadi semudah itu.Setelah itu dia mengeluarkan botol kecil berisi minyak esensial dan memberikannya pada L
Di sebuah restoran mewah bernama Sky blue. Fernita duduk dengan anggun bersama Olivia yang juga nampak cantik dan juga mempesona.Malam ini Fernita mengenakan gaun panjang berlengan panjang berwarna hitam yang bertabur dengan kristal.Sedang Olivia nampak menawan dan seksi dengan gaun panjang biru tua namun terdapat belahan tengah dibawah yang memamerkan kedua kaki jenjangnya. "Olivia, sepertinya Max harus kembali ke sisimu secepatnya."Ucapan Fernita menghentikan tangannya yang sedang memotong daging steak."Apa maksud Tante?"Setelah menyesap wine miliknya, Fernita berkata dengan tenang. "Aku tahu kalau hubungan kalian telah merenggang. Sekarang aku ingin kamu merayu Max lagi karena sepertinya dia sudah menggila."Kening Olivia mengerut. "Menggila?"Seingat Olivia, Max nampak baik-baik saja. Dia bahkan terkesan sedang memamerkan hubungan barunya dengan Serena."Ya." Kemudian Fernita menceritakan soal kedatangan Lily tadi sore ke mansion.Se
Pagi ini masih jam sepuluh tepat tapi Max yang berada di ruangan AC masih merasa badannya begitu gerah.Cuaca di luar memang sedang sangat panas. Matahari bersinar begitu teriknya.Meski begitu, Max tetap berusaha fokus untuk menandatangani tumpukan dokumen yang berada di atas meja.Saat dia begitu fokus, beberapa kali layar ponselnya menyala dan itu terlihat dari sudut matanya. Sengaja Max mematikan nada dering agar kinerjanya saat ini tidak terganggu oleh suara telepon.Namun sudah beberapa kali layar ponselnya menyala, menandakan si penelepon begitu gigih untuk meneleponnya.Kesal karena panggilan tersebut, Max pun menaruh pulpennya dan memilih untuk meraih ponsel.Saat menatap layar, betapa terkejutnya dia karena membaca nama si penelepon yang begitu istimewa. Rupanya itu Lily.Padahal selama tiga hari belakangan dia sudah berulang kali mengirim pesan bahkan mencoba menelepon namun tetap diabaikan oleh wanita itu.Kenapa tiba-tiba sekarang malah menghubunginya? Bahkan sampai beber
Fernita masih mengelak. Baginya, Olivia adalah wanita anggun dan memiliki derajat yang setara dengan putranya.Rasa-rasanya, tidak mungkin Olivia memilih untuk merendahkan diri pada suami orang hanya demi meraih ambisinya sendiri."Tidak mungkin Olivia berbuat buruk seperti itu. Untuk apa dia merendahkan diri hanya demi ambisinya yang tidak seberapa itu..."Max meremas puncak kepalanya karena merasa frustasi. "Terserah ibu mau percaya atau tidak. Yang jelas Olivia sudah berbuat banyak kejahatan di belakang ibu. Salah satunya mencuri sketsa desain milik Lily namun malah menuduhnya balik. Akhirnya Lily dibantu oleh Serena untuk melaporkan hal itu pada pihak polisi.""Mereka yang tersakiti merasa sedikit lega setidaknya Olivia akan dihukum meskipun itu ringan, tapi dengan tidak tahu malu ibu malah meminta Tuan Herman Larma untuk membela Olivia."Merasa sakit hati, kedua mata Fernita mulai nampak membasah namun tetap berusaha dia sembunyikan. Putranya berbicara terlalu kejam hingga menus
Di tengah terpaan angin sepoi malam yang dingin. Vina memegang erat cangkir mug yang berisi susu cokelat hangat.Vina sendiri merasa heran, sejak kapan dirinya jadi menyukai segelas susu rasa cokelat sedang dulunya dia lebih menyukai kopi susu yang diberi es batu di dalamnya.Mungkin sejak dirinya diberitahu dokter untuk tidak mengonsumsi minuman yang mengandung alkohol dan kafein. Vina jadi lebih memperhatikan minuman yang akan dia minum.Sebuah senyuman tipis terbit di wajahnya yang manis sambil mengelus perutnya yang masih rata."Meskipun nanti kau lahir dari keluarga yang tidak lengkap, tapi aku pastikan kasih sayang untukmu tidak akan pernah kurang," ucapnya pada janinnya yang berada di dalam rahim.Vina belum bisa menerima kehamilannya, sampai seminggu yang lalu dia memeriksakan diri ke dokter spesialis kandungan dan melihat janin kecil yang tumbuh dengan menakjubkan.Suara detak jantung janin yang teratur dan pernyataan dokter kalau janinnya berkembang sehat dan baik membuat pe
"Apa? Hamil?" Lily hampir berteriak jika tidak mengingat kalau dirinya ada di sebuah acara penting."Finley, kau becanda kan?" bisik Lily takut ada seseorang yang mendengar.Helaan napas keluar dari mulut Finley. "Aku tahu ini terdengar seperti lelucon. Tapi aku berkata jujur, kami tak sengaja melakukan..."Finley ikut memelankan suaranya. "...hubungan intim saat kami mabuk."Lily tidak tahu lagi apa yang harus dia katakan karena saat ini dia benar-benar terkejut.Vina dan Finley? Berhubungan intim? Terdengar tidak masuk akal."Aku tahu kamu pasti kaget, tapi ini benar adanya. Aku hanya khawatir padanya karena beberapa hari ini dia tidak bisa dihubungi. Dia bahkan bersembunyi, seolah tidak mau diajak bertemu." Raut wajah Finley nampak muram membuat Lily sedikit merasa kasihan.Keheningan terjadi sesaat."Kamu datang ke acara ini berharap aku bisa memberi informasi soal Vina?" tanya Lily yang dijawab Finley dengan anggukan kepala."Sayangnya aku sudah lama tidak menghubunginya," ujar L
"Lily?"Suara dari arah belakang yang memanggil membuat Lily menoleh. Kedua matanya terbelalak lebar mendapati Finley berjalan perlahan ke arahnya."Finley?" serunya yang membuat orang-orang disekitarnya terheran-heran."Ah, Tuan Finley. Kau sudah bersedia datang ke acaraku. Sungguh suatu kehormatan untukku." Arneth dan Samantha mendekati Finley yang membuatnya menghentikan langkah.Finley menoleh ke arah mereka berdua dan berkata, "Oh, Nyonya Arneth? Kau sudah sembuh? Ku dengar kau sehabis mengalami cidera di pergelangan tangan setelah bermain golf."Arneth tersenyum senang mendengar Finley sedikit perhatian padanya. "Benar, tapi sudah sembuh berkat putri saya yang telaten mengurus."Beberapa keponakan Kenneth memutar kedua bola matanya malas. Semua orang yang melihat pasti bisa menduga kalau Arneth sedang mempromosikan putrinya di depan Finley."Apa Tuan sedang mencari sesuatu?" tanya Samantha dengan memegang lengan Finley. Berada dekat dengan Finley adalah suatu kebanggan. Ketampan
"Dia adalah putriku, Laura Owen," jelas Kenneth sambil memperhatikan reaksi dari anggota keluarga besarnya.Beberapa dari mereka nampak terkejut hingga tidak bersuara tapi ada juga yang tertawa sinis seperti Samantha."Paman Kenneth, apa karena saking putus asa nya Paman sampai menganggap wanita murahan itu sebagai Laura?" Kenneth menatap tajam ke arah Samantha yang lagi-lagi bermulut tajam."Jangan marah dulu, Paman. Itu karena ucapan Paman terdengar mengada-ada." Ucapan Samantha dibenarkan oleh anggota keluarga yang lain."Samantha benar, Ken. Ucapanmu terdengar mengada-ada. Mana mungkin Laura yang dulunya sudah dinyatakan meninggal malah tiba-tiba muncul sebagai wanita yang sehat? Aku yakin dia pasti sudah menipumu!"Wina nampak panik, tetapi tidak dengan Lily. Dia yakin kalau Kenneth telah menyiapkan semuanya untuk menjelaskan kebenaran pada anggota keluarganya sendiri."Usir dia sekarang, Ken! Aku tidak sudi kalau dia mengotori hariku yang bahagia!" seru Arneth memojokkan Wina,
Sama seperti dirinya, Wina mengenakan gaun buatan Lily yang nampak mewah.Gaun panjang berwarna hijau emerald yang sudah lama Lily buat akhirnya dia pakai sekarang. Warna gaun itu menjadikan kulit Wina nampak lebih putih dan bersih. Meski gaun tersebut memiliki potongan yang sederhana, tetapi hiasan berupa berlian putih dua karat yang berada di sekeliling gaun menjadikannya nampak mewah dan istimewa.Lily menatap bangga pada hasil buatannya sendiri. Terlebih aura old money yang terpancar dari tubuh Wina menjadikan gaun itu melekat sempurna ditubuhnya."Mama juga nampak luar biasa," ujar Lily tersenyum bangga."Berkat karyamu yang sangat luar biasa, Sayang."Wina juga merasa begitu bangga mengenakan gaun buatan putrinya sendiri. Apalagi saat bercermin, Wina seperti merasa tidak mengenali diri sendiri.Bahkan perias yang memoles wajahnya tadi sempat terkejut dan menatapnya kagum dengan gaun yang nampak mewah."Anda terlihat sepuluh tahun lebih muda, Nyonya," puji si perias tadi tanpa di
"Nona, lihat apa?" Suara Grace memecah lamunan Lily.Helaan napas lega keluar dari mulut Lily saat melihat ke arah jalanan. Sudah tak lagi terlihat mobil milik Max yang baru saja meninggalkan rumahnya lewat jalan yang berlawanan arah dari Grace barusan.Tadinya Lily sudah hendak menyuruh Max pergi karena takut Grace melihat, tapi untungnya Max pergi sebelum Lily mengusirnya setelah menerima telepon yang Lily sendiri tidak tahu itu dari siapa.Wajah Max nampak khawatir dan juga marah saat menerima telepon tadi."Nona tidak apa-apa?" Grace kembali bertanya karena tak kunjung mendapat jawaban dari Lily.Lily menggeleng lemah. "Tidak apa-apa, aku hanya mengkhawatirkan mu tadi karena kamu tidak kunjung datang.""Maaf, Nona. Tadi jalanan cukup padat dan sempat macet." Grace menyeka keningnya yang sedikit berkeringat sambil menghela napas terlihat lelah. "Aku bahkan hampir pingsan karena cuaca yang cukup terik di luar," lanjutnya dengan mengeluh.Bibir Lily mengulas senyuman tipis dan menat
Max mendongak. Matanya tak sengaja melihat ke arah belakang Arsan--tepatnya yang berdiri di depan pintu.Max berdiri perlahan dan tertegun melihat kedatangan Lily yang secara tiba-tiba.Lily yang ditatap lama seperti itu menjadi salah tingkah hingga dia tak tahu harus menatap ke arah mana.Inda yang seolah paham pun berjalan mundur ke arah dapur. Dia ingin membiarkan ruang untuk kedua mantan majikannya itu bertemu.Berjalan perlahan, tatapan Max tak beralih dari Lily. Degupnya tiba-tiba berdebar lebih kencang. Tubuh Lily nampak lebih kurus dari terakhir kali bertemu.Untungnya luka-luka yang dulu pernah Max lihat sudah memudar, hanya menyisakan kulit putih yang bersih dan sehat.Tepat berada di depan Lily, Max bersuara, "Hai, apa kabar?" Lily sedikit terkejut, lalu menyelipkan anak rambut yang jatuh ke belakang telinganya. Entah mengapa dia begitu canggung berhadapan dengan Max. Rasa kecewa dan sakit di hatinya pada Max dulu entah menguap kemana."Kabarku baik," jawab Lily singkat."
Vina sedikit terkejut namun beberapa saat kemudian dia menyadari kalau lambat laun ibunya akan mengetahui soal kehamilannya.Tangan Vina memegang perutnya yang masih rata sambil bertanya, "Bagaimana Mama bisa tahu?"Sandra memegang keningnya yang berdenyut nyeri. "Ternyata itu benar," ujarnya lirih.Kemudian Sandra duduk di atas sofa panjang yang letaknya tak jauh dari ranjang Vina."Dokter yang memeriksa mengambil darahmu untuk cek lab. Dari sana Mama tahu kalau kamu hamil," lanjutnya.Dari ranjangnya, Vina menatap ibunya dengan rasa bersalah. Dapat dia rasakan betapa kecewanya sang ibu, melihat dari gerak-geriknya."Maafkan aku, Ma."Sandra menatap putri satu-satunya tersebut dengan sorot mata serius."Katakan pada Mama, siapa ayah dari janin itu? Mama tidak pernah tahu kamu pernah dekat dengan seseorang."Vina menggigit bibir bawahnya dengan resah."Itu-"Ucapan Vina terhenti oleh suara pintu yang dibuka dengan keras."Vina, apa benar kalau kamu hamil?" tanya Ayahnya, nampak marah
"Ku rasa insiden di masa lalu tidak perlu kita ungkit lagi, Ma." Lily menatap ibunya penuh kelembutan. kedua bola matanya nampak berkaca-kaca jika mengingat pernikahannya di masa lalu."Aku sudah bercerai dengan Max dan tidak ingin berhubungan apa-apa lagi dengannya," lanjutnya lirih.Grace yang sudah mendengar soal pernikahan Lily dengan Max pun menyentuh bahu Lily dan mengusapnya lembut."Nona benar. Untuk apa masih memikirkan masa lalu? Lebih baik mengikhlaskan kejadian buruk di masa lalu dan memilih melanjutkan kehidupan kini dengan sebaik-baiknya," tutur Grace memberi nasehat. Lily hanya tersenyum menanggapi itu."Sepertinya kamu sudah benar-benar ikhlas. Padahal Mama sudah menyiapkan rencana kalau kamu memang ingin membalaskan dendammu pada Max," ucap Wina.Lily menggigit bibir bawahnya. "Bukannya dia telah menyelamatkanku sewaktu penculikan kemarin terjadi? Anggap saja dia telah menebus kesalahannya di masa pernikahan kita dulu."Wina menatap Lily cukup lama sebelum akhirnya m