Setengah jam kemudian.
Setelah berbasa-basi sejenak, Lily pamit undur diri dengan alasan ada pekerjaan lain yang menantinya di rumah.Wina pun tidak memaksa lalu mengantar Lily keluar dari rumahnya dan memastikan Lily sudah memasuki mobil dengan aman.Tak lama dari itu, dia memanggil Rosa."Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?""Suruh orang untuk memantau Lily. Pastikan dia selamat sampai di rumahnya nanti."Meskipun Rosa kebingungan dengan sikap Wina, Rosa tidak berani bertanya lebih lanjut. "Baik, Nyonya."Setelah kepergian Rosa, Wina pun segera beranjak ke ruang kerja--tempat Kenneth berada.Ruang kerja milik Kenneth berada di pojok.Wina langsung membuka pintu tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Hal itu membuat Kenneth menatapnya dengan tatapan tajam."Sayang, kenapa tidak mengetuk pintu? Itu tidak sopan."Kenneth memang kaku dalam beberapa hal. Tapi Wina tidak mempermasalahkan karena dia sedang tergesa-gesa."Maafkan aku, tapiSoal permasalahan pelanggan di butik sudah terkondisikan. Saat malam sudah menyapa dan butik sudah mulai sepi, Lily mulai membuka ponsel untuk membuka pesan-pesan masuk yang belum sempat dia baca.Beberapa diantaranya ada pesan dari Vina dan Finley yang menanyakan soal keadaan butik.Selain itu ada pesan dari Donna yang menyuruhnya untuk makan siang. Perasaan Lily menjadi hangat. Donna sudah berlaku bagaikan seorang ibu baginya.Setelah mengetik balasan untuk Donna, Lily menggulir layarnya lagi dan mendapati pesan dari Max yang muncul.Tangan Lily terhenti sejenak. Dia merasa asing saat mendapatkan pesan dari Max yang mana dulunya dia sangat tidak dipedulikan.Kini, entah mengapa Max hampir mengiriminya pesan setiap hari.Mula-mula di menanyakan soal kabar Arsan, tapi lambat laun dia akan menanyakan soal kabar Lily dan menyuruhnya untuk jangan lupa istirahat.Bukannya senang, Lily malah merasa aneh. Dia tidak terbiasa mendapat perlakuan Max yang hangat.
Serena merasa ucapan Lily kemarin benar. Ada baiknya dia menanyakan pada Ernes langsung soal kebenaran dari Olivia yang hamil.Selain itu, Serena juga segera ingin tahu soal kelanjutan hubungannya dengan Ernes. Jika memang itu adalah anak Ernes, maka lebih baik bagi Serena untuk mundur.Toh selama dua tahun belakangan dia berhasil hidup tanpa kehadiran Ernes. Jadi jika selanjutnya dia akan begitu lagi, tentu tidak akan terlalu sulit.Saat ini Serena sudah berada di dalam gedung perusahaan milik Ernes. Resepsionis yang melihat Serena sedang berjalan ke arahnya pun segera tersenyum. Dia kenal baik dengan Serena karena bertahun-tahun sudah menjadi istri Ernes.Selain itu, posisi keluarga Serena sebagai salah satu pemilik saham juga sangat dihormati kehadirannya disitu."Nyonya Serena," panggil sang resepsionis ramah.Serena melambaikan tangannya. "Aku sudah bukan seorang Nyonya lagi."Resepsionis yang bernama Dewi itu menutup mulutnya terkejut. "Maafkan
Ernes sudah membuka mulutnya untuk protes namun ketukan pintu di ruangan membuat Ernes mengurungkan niat.Dengan kesal Ernes menghampiri pintu dan membukanya sedikit. Ernes hanya menampakkan wajahnya yang dingin saat bertanya, "Aku harap ada sesuatu yang penting karena kamu sudah berani mengetuk pintu."Olivia menatap Ernes yang sedang membuka pintu dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Dia bersikap santai seolah terbiasa menampilkan tubuh polosnya.Saat pintu tadi terbuka, Rina sempat melihat Olivia yang masih belum mengenakan baju, untungnya Ernes sudah terlihat mengenakan baju lengkapnya.Rina menundukkan kepalanya takut saat bertemu pandang dengan Ernes. Tadi dia sudah mendengar tidak ada suara aktivitas apapun di dalam, jadi seharusnya Ernes sudah selesai."Ma-maaf, Tuan. Saya hanya ingin memberitahu soal kedatangan Nyonya Serena kesini tadi."Kedua netra Ernes terbelalak lebar. "Apa katamu? Serena datang kesini? Kapan?"Olivia yang mendengar pun tidak lagi bisa menyembunyi
Di atas kursi kerjanya, Max mengerutkan kening setelah mendengar suara umpatan yang keluar dari layar ponselnya. Max melirik lagi layar ponsel untuk membenarkan jika yang dia telpon adalah Serena.Itu memang benar Serena."Apa maksudmu, Serena?" tanyanya."Kau tahu, kau adalah pria brengsek sama seperti Ernes! Kalau saja kamu lebih jantan untuk menjelaskan alasan yang sesungguhnya pada Lily dulu, pasti pernikahanmu dengan Lily masih bertahan sampai sekarang."Max memijat pelipisnya yang berdenyut. Entah bagaimana maksud Serena sampai mengaitkan antara pernikahannya dengan sikap Ernes."Seharusnya kalian menghadapi berdua bersama, bukannya malah menutup mulut lalu memilih berselingkuh dengan wanita ular bernama Olivia.""Hah! Selepas kau diceraikan, kau baru menyadari betapa kau mencintai Lily. Tapi apa artinya penyesalan di saat waktu selama pernikahan kau tidak berminat untuk memperbaiki hubungan. Kau itu pengecut, Max. Aku menyesal karena telah mendukungmu agar bisa kembali ke pelu
"Sebenarnya itu mudah. Kau tinggal melepaskannya saja dan bersikap tidak peduli," jawab Max dengan enteng. Padahal dia sendiri harus merasakan dulu yang namanya perceraian baru bisa melepaskan Olivia.Wajah Ernes nampak memucat. Dia seperti telah kehilangan semangat untuk saat ini."Aku sepertinya telah berbuat kesalahan fatal," gumam Ernes.Max mengerutkan keningnya. "Kesalahan fatal?"Ernes pun akhirnya menceritakan soal alasan Serena mengurung diri di dalam kamar.Setelah mendengar cerita dari Ernes. Max pun menepuk salah satu bahunya dan menatapnya dengan tatapan prihatin."Itu memang kesalahan fatal. Aku harap kau tidak lagi mengulangi perbuatanmu yang bodoh itu di masa depan."Kedua bahu Ernes semakin merosot ke bawah. "Tidak bisakah kau membantuku saat ini?""Membantu apa? Kau sudah menyia-nyiakan kesempatan terakhir yang diberikan Serena untukmu. Pantas saja dia marah besar sampai mengurung diri di dalam kamar.""Selama ini dia masih berharap kau bisa kembali padanya, menjadi
"Mencurigakan bagaimana?" tanya Vina penasaran.Akhir-akhir ini dia disibukkan oleh pekerjaan di Perusahaan. Tidak sempat untuk memikirkan permasalahan lain."Menurutku Max seperti sengaja melakukan ini supaya aku terus kembali mengambil minyaknya. Bahkan dia tahu kalau minyak esensial milikku sudah habis, padahal aku tidak memberitahu siapapun."Mendengar itu, Vina terdiam sejenak. "Bagaimana kalau kau meminta bantuan pada Finley? Aku yakin dia akan membantumu untuk menemukan minyak esensial yang sama.""Finley?" Lily menimang-nimang nama itu sejenak lalu tersenyum kecut."Sepertinya tidak perlu. Pria itu sudah banyak membantuku selama ini, aku tidak ingin membuat hutang budi lagi."Vina menganggukkan kepalanya mengerti. Lily sudah menceritakan soal Finley padanya. Memang tidak pantas kalau Lily harus meminta bantuan lagi pada Finley."Kalau begitu... satu-satunya cara saat ini, kamu harus datang dan bertanya pada Max untuk mencari tahu sendiri jawabanny
"Dengar baik-baik, Nyonya Fernita. Aku tidak pernah membuat hidupmu menderita atau terhina karena kedatanganku ke mansion ini dulu. Justru anak yang telah kau lahirkan itu lah yang membuat hidupku seperti terkutuk karena sudah kehilangan segalanya.""Lihatlah diriku... bukankah terlihat sangat baik setelah berpisah darinya?" lanjut Lily dengan tersenyum mengejeknya.Plak! Fernita menamparnya begitu keras, membiat Lily memegang pipinya yang berdenyut-denyut dan terasa panas.Fernita sendiri sudah tak tahan untuk tidak menampar Lily yang mulutnya sangatlah tajam baginya dan dia sudah merasa puas."Jaga ucapanmu, Li-"Plak!Fernita menatap Lily tak percaya. Lily telah membalas tamparannya bahkan lebih keras dua kali hingga membuat rahangnya terasa sangat sakit."Kurang ajar!" teriaknya tak terima.Plak!Tak tanggung-tanggung, Lily menampar wajah Fernita dua kali yang membuat Fernita tidak bisa berkata-kata lagi."Kalau kau menamparku sekali,
"Bekerja sama?" "Ya. Aku ingin berinvestasi ke perusahaanmu sebesar satu milyar. Bagaimana?"Lily termenung sejenak setelah mendengar nominal yang diucapkan oleh Max barusan.Perusahaan milik Max yang bernama Korporasi Kalandra itu memang terus meningkat dan berkembang pesat sampai sekarang.Jika Lily menerima tawaran dari Max, Lily yakin perusahaan Elvi yang sedang dirintis olehnya bersama Vina itu akan mendapatkan banyak keuntungan."Bagaimana? Kau setuju?" tanya Max lagi."Kalau aku menolak bagaimana?" Kening Max mulai mengerut. Tapi Max tetap menunjukkan raut wajah tenang. "Kalau menolak, itu berarti tidak ada lagi minyak esensial untukmu."Lily mulai menegakkan punggungnya. Max sedang mengancamnya, mau tak mau dia harus menerima. "Baiklah, kau bisa membicarakan hal itu pada Vina nanti."Max tersenyum senang. Tidak menyangka akan menjadi semudah itu.Setelah itu dia mengeluarkan botol kecil berisi minyak esensial dan memberikannya pada L
Pupil mata Olivia bergetar. "Jadi kau juga menyalahkanku, Max?" Suaranya juga terdengar bergetar."Olivia, sadarlah..."Olivia menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa kalau orang lain yang menyalahkanku, tapi kau juga?"Butiran kristal menetes melalui matanya. "Bukankah kau dan aku sudah seperti saudara? Kenapa kau jadi seperti ini?"Dulu semasa mereka tumbuh bersama, berulang kali para orang tua mengatakan kalau mereka adalah saudara yang harus saling membantu."Justru karena aku menganggapmu sebagai saudara, makanya aku harus membuatmu sadar. Bertobatlah selagi kau masih hidup, Olivia," tukas Max tegas. Olivia menatap Max dibalik matanya yang buram, berusaha mencari-cari rasa kasih sayang yang selama ini Max tunjukkan padanya.Tetapi nyatanya tidak ada."Apa semua ini karena wanita jalang itu kau jadi seperti ini? Lily Orlantha?" tanya Olivia geram.Max mengeraskan rahangnya. "Ini tidak ada hubungannya dengan siapapun dan-""Tapi kau tidak pernah seperti ini sebelumnya!" jerit Oliv
"Nona..."Lily membuka kedua matanya yang masih basah oleh linangan air mata. Suara sesenggukan masih keluar dari mulutnya kemudian dia melihat Inda berdiri di sampingnya begitu dekat."Nona tidak apa-apa?" tanya Inda begitu khawatir. "Kenapa Nona berteriak dan menangis?"Lily mengerjapkan mata berulang kali, masih mencoba mencerna apa yang telah terjadi barusan.Kemudian dia menyadari kalau dia sehabis bermimpi bertemu ayahnya.Lily semakin terisak. Dia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan sambil menangis tersedu-sedu.Inda melihat itu dengan kedua mata yang berkaca-kaca. Butiran kristal ikut turut meluncur membasahi baju Lily. Hatinya ikut sedih melihat Lily yang begitu sakit dan kecewa. Apalagi terdengar suara lirih yang bersamaan dengan suara tangisan itu."Ayah... ayah..."Inda tahu betapa kecewanya Lily terhadap kenyataan yang kemarin dia dapatkan.Perkataan saja mungkin tidak akan didengar oleh Lily, jadi Inda memilih untuk diam saja sembari memeluk tubuh Lily yang rin
Pagi-pagi sekali, Inda datang setelah mengantar Arsan ke sekolah untuk dititipkan.Dia sudah mendengar kabar dari Finley soal keadaan Lily, jadi dia ingin menjenguknya sepagi mungkin.Dan disinilah dia sekarang, menatap Lily yang juga sudah bangun tapi tatapannya masih kosong mengarah ke luar melalui jendela.Hati Inda merasa sakit, melihat Lily luka yang belum mengering dengan wajah begitu pucat.Inda meletakkan tasnya di atas meja lalu menarik kursi, mencoba memulai obrolan."Nona, saya sudah ada di sini," lirihnya sambil memegang punggung tangan Lily.Tapi tidak ada respon apapun dari Lily.Inda menghela napasnya panjang. Sepertinya fakta soal dia merupakan putri kandung Kenneth benar-benar menghantam mentalnya.Hidupnya memang penuh dengan kejutan.Selang dua jam.Vina datang untuk kembali menjenguk Lily.Dia datang langsung duduk di atas kursi dan bertanya pada Inda, "Dia sudah makan?"Saat ini Lily sudah kembali tertidur karena efek obat yang dikonsumsinya.Inda menggeleng pelan
Dengan tergagap Max menjawab, "I-iya, saya suaminya."Perawat itu tersenyum lalu mulai merobek kemasan berisi jarum suntik baru. "Dokter sudah meresepkan untuk istri Anda beberapa obat, salah satunya obat tidur melalui suntikan.""Baik, Sus."Setelah itu perawat memberi suntikan pada Lily lewat jarum infus. Tak butuh lama, perawat sudah selesai lalu mengemas barangnya dan berpamitan pergi.Fernita juga masih ada di dalam ruangan, bedanya dia terduduk di atas sofa."Sebaiknya ibu pulang dulu saja," ujar Max tanpa mengalihkan pandangannya dari Lily."Tapi-"Brak!!Ucapan Fernita terpotong oleh suara pintu yang dibuka dengan keras.Fernita terkejut begitupun dengan Max.Seseorang yang membuka pintu dengan keras itu adalah Finley.Dia menatap Max dengan tajam lalu berjalan cepat ke arahnya dan melayangkan tinju ke wajah Max yang tidak sempat untuk menghindar. Alhasil, tubuhnya tersungkur di atas lantai."Max!!" jerit Fernita karena terkejut."Brengsek kau!" umpat Finley penuh amarah dan m
Lily melihat Max menggeser tubuhnya, tak lama dari itu Fernita terlihat muncul dan menatap Lily dengan tatapan canggung.Setelahnya pintu tertutup, mereka berdua saling bertatapan sebelum akhirnya berjalan mendekat ke arah Lily.Sedang Lily menatap mereka dengan mengernyit. Saat Lily hendak bangun, Fernita segera berkata, "Berbaring saja, tidak perlu bangun... kau kan lagi sakit."Lily tidak jadi bangun, malah menatap aneh pada Fernita yang sikapnya tiba-tiba berubah.Apa barusan dia mendengar Fernita berkata lembut padanya?Pasti sesuatu telah terjadi padanya."Apa kau sudah baikan?" tanya Fernita lembut namun matanya tak berani langsung menatap ke arah Lily.Bukannya menjawab, Lily malah menoleh ke arah Max yang membuang muka.Sebenarnya ada apa dengan anak dan ibu di depannya ini?"Saya sudah baikan, Nyonya. Kalau tidak ada Max yang menyelamatkan saya, pasti saya sudah mati mengenaskan di tengah hutan sana." Lily sudah mendengar kalau Max menyelamatkan dirinya meski pergelangan k
Lily mendengarkan cerita Wina dengan seksama.Seketika pikirannya menjadi kosong dan juga bingung dengan kenyataan yang baru saja diterimanya.Melihat ekspresi itu, Wina segera berujar, "Mama tahu kamu pasti terkejut dengan semua ini karena fakta ini datang secara tiba-tiba. Tapi Mama memang sudah tidak sabar untuk kembali bersatu denganmu, Nak..." Setetes air mata membasahi pipi Wina. Tangannya membelai lembut puncak rambut Lily untuk pertama kalinya. Terdapat sorot mata sendu yang tersirat. Maklum saja, dia sudah menahan kesedihan selama bertahun-tahun dan telah menganggap putri satu-satunya itu telah meninggal."Mama?" lirih Lily bergumam.Kedua matanya mulai berkaca-kaca dan tenggorokannya tercekat. Selama ini Lily hanya mengetahui kalau ibunya telah meninggal sejak dia berusia sepuluh tahun.Siapa sangka sekarang dia kembali memiliki ibu namun dengan fakta yang berbeda.Tetesan air mata mulai menetes perlahan ke pipinya yang putih pucat. Fakta yang mengejutkan itu segera mengh
Keesokan harinya.Lily mulai tersadar dan ingatannya sebelum pingsan perlahan menghantam benaknya yang masih lemah.Tetesan air mata membasahi pipinya. Bukan karena kesedihan melainkan karena terharu dia masih diberi kesempatan untuk tetap hidup meski kedua kakinya telah patah dan pergelangan tangannya mengalami luka berat.Tadi dokter berkata jika dia telah kehilangan banyak darah hingga mendapat transfusi darah sebanyak tujuh kantong.Ditambah dia telah menjalani operasi patah tulang yang membuat tubuh Lily terasa lemas saat bangun.Jika tidak dibantu dengan suntikan pereda nyeri, pasti Lily akan berkali-kali pingsan karena merasakan kesakitan yang luar biasa.Saat ini Inda yang menemani Lily di rumah sakit. Dengan telaten Inda menyuapi Lily yang sudah diperbolehkan oleh dokter untuk makan.Selain itu, Inda juga terlihat sabar menangani kebutuhan Lily yang lain seperti buang air kecil dan buang air besar.Sesekali terlihat oleh Lily, Inda mengusap sudut matanya yang memerah dan juga
Dua hari kemudian.Lily yang tadinya masih terbaring di atas ranjang dan belum sadar, kini mulai menampakkan kesadaran dengan menggerakkan jari-jari tangannya.Seorang perawat yang sedang menjenguknya pun terkejut lalu dia segera berlari keluar untuk memanggil seorang dokter.Lily membuka kedua matanya perlahan dan merasa seluruh badannya terasa sakit.Sorot lampu berwarna putih membuat matanya menyipit dan terasa sangat berat untuk dibuka.Tepat setelah itu seorang dokter membuka pintu dan langsung masuk ke dalam ruangan. Dia memasang stetoskop dan memeriksa keadaan Lily.Setelah memeriksa, dokter itu melepas stetoskopnya dan bertanya dengan pelan, "Nona Lily? Apa Anda bisa mendengar saya?" Mendengar itu, Lily hanya terdiam dengan kedua mata yang masih terasa berat untuk terbuka lebar. Entah mengapa tubuhnya terasa lemah dan dia tidak memiliki tenaga untuk menjawab. Terlebih ada alat bantu oksigen yang membuatnya kesusahan untuk menjawab."Anda bisa menjawab saya dengan anggukan kep
Saat matahari akan terbit, Olivia yang baru saja menginjakkan kakinya ke apartemen memilih untuk menuju ke kamar mandi.Bau keringat yang bercampur dengan bau anyir darah membuatnya tak nyaman jika langsung menuju ke kasur untuk beristirahat.Setelah melepaskan semua pakaian, dia segera menuju ke bathtub yang sudah berisi air hangat dan juga sabun wangi aroma bunga-bunga.Untuk melepas rasa penat, dia mulai menenggelamkan diri ke air sabun dan menggosok badannya dengan perlahan.Terpikirkan dengan kerjaan Benny, Olivia pun mengambil ponsel yang dia letakkan di sisi bathtub.Olivia langsung menelepon Benny.Namun sudah beberapa saat Benny tak segera menjawab panggilannya.Mengabaikan Benny, Olivia meletakkan ponsel dan kembali menggosok tubuhnya.Sepuluh menit setelah itu, Olivia keluar dari kamar mandi dengan mengenakan bathrobe.Saat dia menyibak gorden, matahari sudah terbit dengan sempurna.Ini adalah saat yang tepat untuk merebahkan diri di atas kasur.Setelah mengganti bathrobe d