Laurene melihat jam tangan putih yang melingkar di tangan kirinya, waktu sudah menunjukkan pukul lima lewat empat puluh lima menit. Ia baru saja selesai ekskul padus.
"Ren, duluan ya."
"Eh iya, Don. Makasih ya udah bantuin beres-beres."
"Iya, sama-sama Ren. Sampai jumpa."
"Sampai jumpa, Don. Bye."
Dona adalah teman anggota padus, ia selalu rajin membantu Laurene membereskan ruang musik setiap kali mereka selesai latihan padus. Sebagai ketua Ceria Choir, Laurene selalu pulang paling akhir dan paling sore karena harus membereskan ruang musik, untung saja ia mempunyai teman-teman yang baik yang selalu membantunya.
Setelah selesai merapikan ruang musik, Laurene berjalan keluar dan mengunci pintu ruang musik itu. Ia berjalan menyusuri koridor yang sudah mulai sepi, lalu berbelok ke arah ruang guru untuk menyerahkan kunci ruang musik itu.
"Ren." Saat melewati ruang kelasnya ia mendengar suara seseorang memanggilnya.
"Ren." Ia pun melihat ke arah kelasnya, tapi ia tidak melihat siapapun di sana.
Tapi suaranya kok seperti suara Tony ya? Apa Tony masih di kelas, menungguku? Apa dia mau mengajakku pulang bersamanya? gumam Laurene dalam hati. Dengan rasa penasaran ia pun segera masuk ke kelasnya, tapi ia tidak menemukan siapapun di dalam kelasnya itu. Sudah tidak ada siapapun di sana, hanya ada tasnya yang masih tergeletak di atas mejanya.
Kenapa barusan aku mendengar suara Tony ya? Apa aku kangen sama dia ya sampai-sampai aku mendengar suaranya barusan. Biasanya dia selalu nungguin aku sampai selesai padus, dan selalu mengantar aku pulang. Ah, nggak ah. Ngapain juga aku mikirin dia. Daripada memikirkan hal itu, mending cepat-cepat ke kantor dan menyerahkan kunci ruang musik ini.
Laurene pun segera melangkahkan kakinya ke luar dari kelas, dan menuju ke ruang guru.
"Permisi bu, selamat sore. Apa ada ibu Lela?"
"Masuk nak, Bu Lela nya ada di belakang."
"Baik bu, terima kasih." Laurene langsung menuju ke belakang, ibu Lela sedang asyik menikmati sepiring siomay.
"Selamat sore Bu, maaf mengganggu. Saya mau menyerahkan kunci ruang musik, ini kuncinya Bu."
"Oh iya, Laurene. Bagaimana latihannya hari ini?"
"Hari ini latihan berjalan lancar bu, dan tidak ada yang absen. Semuanya hadir, bu."
"Baguslah kalau begitu. Ya sudah nak, sudah sore kamu langsung pulang ya."
"Baik Bu, permisi. Selamat sore, Bu Lela."
"Selamat sore. Hati-hati ya."
Laurene pun segera berlalu, dan berjalan menuju pintu gerbang sekolah.
Suasana di sekitar sekolah tampak sepi, ia memandang ke kiri dan ke kanan tidak ada siapapun di sana. Semua siswa sudah pulang hanya ada pak satpam yang masih berjaga dekat pintu gerbang sekolah. Laurene terus berjalan menyusuri jalan depan sekolah yang juga mulai sepi. Hanya ada dirinya yang berjalan menyusuri jalan sepi itu. Daun-daun kering tampak berguguran dari pohon mahoni yang rindang di sepanjang jalan di depan sekolahnya itu. Laurene menengadah ke atas melihat ke arah pepohonan itu, mentari sudah tak tampak lagi di sela-sela dedaunan pohon mahoni itu.
Sebentar lagi akan gelap, angin sepoi-sepoi mulai terasa menyentuh wajahnya. Laurene pun mempercepat langkah kakinya menuju halte bus di depan sekolah, menunggu bus yang akan membawanya pulang ke rumah.
Saat sedang berjalan, ia mendengar ada suara motor menderu-deru di belakangnya, sesekali terdengar bunyi klakson motor itu. Laurene tidak berani menoleh ke belakang, ia segera mempercepat langkah kakinya.
Jangan-jangan itu geng motor.
Pikirannya mulai kalang kabut tak menentu.
Aku harus segera berlari. Kata teman-teman saat menjelang malam seperti sekarang ini, suka ada geng motor yang berkeliaran di daerah sini.
Seketika Laurene merasa takut. Ia segera berlari menuju halte bus, untunglah di halte bus itu ia melihat masih ada beberapa orang yang sedang menunggu bus. Laurene pun merasa bersyukur.
"Laurene." Seseorang memanggilnya, tapi ia tak mendengarnya. Ia masih terus berlari, keringatnya bercucuran, padahal hari tidak sedang panas terik, tapi keringat dingin terus membasahi permukaan kulitnya. Ia merasa jantungnya dag dig dug tak menentu, ia ingin segera sampai ke halte bus itu, dan berada di antara orang yang sedang menunggu bus datang.
Sekarang ia mendengar suara motor itu semakin mendekat ke arah dirinya, dan sekarang suara motor yang menderu-deru itu sudah persis berada di belakangnya, sangat dekat dengannya dengan suara mesin motor yang masih terus menderu-deru menyakitkan telinganya dan membuat Laurene semakin merasa ketakutan.
"Tolong ... tolong!" Laurene pun mencoba berteriak.
"Laurene, ini aku ...." tapi Laurene terus berlari, malah mempercepat larinya sambil terus berteriak minta tolong.
"Laurene berhenti, ini aku Shawn. Jangan lari." Laurene pun terkejut mendengar suara itu, suara yang menyebut nama Shawn dan spontan ia segera berhenti. Ia segera menengok ke belakang, ternyata benar itu adalah Shawn. Shawn sedang duduk di atas motor ninja merahnya sambil senyum-senyum sendiri menatap ke arahnya. Ternyata tadi itu suara motor Shawn.
"Shawn! Aku kira siapa, ternyata kamu Shawn. Kamu hampir membuat jantungku copot, tau!" ucapnya dengan nafas yang masih terengah-engah.
"Aku kira tadi geng motor, abis suara motor kamu berisik banget."
"Maaf Laurene, aku tidak bermaksud membuat kamu takut. Maafkan aku."
"Tapi kamu sangat lucu, barusan lari seperti dikejar setan, sambil berteriak pula. Haha." Shawn pun lalu tertawa terbahak-bahak. Laurene pun hanya terdiam melihat Shawn mentertawakan dirinya seperti itu, tapi gapapa lah yang penting itu bukan geng motor. Laurene pun merasa lega.
"Makanya lain kali lihat-lihat dulu dong ke belakang, baru lari. Haha." Shawn masih terus menertawakannya seolah sedang melihat atraksi badut yang sangat lucu.
"Kamu sih, Shawn!" Tiba-tiba Laurene mendekat, ia langsung mencubit tangan kiri Shawn dan memutarnya dengan keras.
"Hey, hentikan. Haha. Hentikan Laurene, sakit. Laurene stop!" Laurene bukannya berhenti mencubit, ia malah mempererat cubitannya pada tangan Shawn.
"Rasain nih! Aku hampir mati tau, aku kira kamu itu salah satu komplotan geng motor itu!"
"Oke ... oke. Sorry! Swear deh, janji aku gak akan seperti lagi." Shawn berkata sambil mengangkat kedua jari tangan kanannya ke arah Laurene.
"Sebagai permintaan maaf, gimana kalo aku mengantarmu pulang?"
"Ga mau!"
"Tidak baik cewek pulang sendirian apalagi sudah hampir malam seperti ini."
"Gapapa, aku bisa pulang sendiri. Aku sudah biasa kok pulang sendiri lagipula rumahku kan tidak terlalu jauh dari sini."
"Tapi bagaimana kalau kamu sedang jalan sendirian tiba-tiba didatengin beneran sama komplotan geng motor itu."
Kamu coba nakut-nakutin aku ya? gumam Laurene.
Laurene kepikiran dengan perkatan Shawn, ia melihat langit sudah mulai gelap. Apalagi ia pulang naik bus, gimana kalau bus lama datangnya dan gang motor itu beneran ada. Mau ga mau akhirnya ia menerima juga tawaran Shawn itu. Ia tidak mau sampai didatengin komplotan geng motor itu. Serem.
Ya udahlah, aku terima tawaran Shawn.
"Gimana? Udah malem lho ini, masa masih mau pulang sendiri?
"Oke deh Shawn, aku terima tawaran kamu, tapi jangan ngebut ya."
"Oke, siaap!"
"Pegangan Laurene, biar gak jatuh."
" Iya, aku pegangan kok ini."
"Pegangan aku aja, Laurene."
"Ih apaan sih Shawn! Ga mau ah."
"Yeah dibilangin, kalo jatuh gimana?"
"Makanya kamu jangan ngebut. Aku pegang kok ini, aku pegang belakang motor aja."
"Oke, kita jalan sekarang ya."
"Oke."
Shawn pun melajukan motornya, menembus jalan yang padat dan ramai oleh mobil dan motor.
"Ren, nanti di depan kita berhenti dulu sebentar ya."
"Emang kamu mau ngapain, Shawn?"
"Tadi kan kamu kelelahan banget tuh karena lari, kita beli minuman dingin dulu ya."
"Eh, ga usah Shawn. Ga usah, aku ga haus kok."
"Tapi aku mau beliin kamu minuman dingin, Ren."
"Ga usah Shawn, beneran aku ga haus."
"Gapapa Laurene, anggap saja ini sebagai tanda permintaan maaf dariku." Tanpa menunggu persetujuan Laurene, Shawn pun berhenti di depan minimarket di hadapan mereka.
"Kamu tunggu di sini ya, biar gak capek. Aku mau beli minuman dulu, kamu mau apa?"
"Oke Shawn, ya udah deh. Aku air mineral aja."
"Oke. Tunggu bentar ya, aku akan segera kembali."
"Oke."
Ia masih duduk di atas motor Shawn sambil menengok ke atas, di langit sore itu tampaklah pemandangan cantik di atas sana, langit sudah berganti menjadi warna oranye bercampur mera, langit senja yang indah.
Seketika ia teringat akan hari-hari yang selalu ia lewati bersama Tony di kala langit sedang merona di saat senja indah seperti ini. Menyusuri jalan depan sekolah saat langit merah. Berdesakkan dalam bus kota sambil menatap langit senja. Laurene teringat pula saat masih anak-anak Tony selalu datang ke rumahnya, menarik tangannya dan mengajaknya berlari keluar rumah hanya untuk melihat langit senja yang warnanya oranye bercampur merah seperti ini. Mereka sangat senang dan gembira saat itu.
Kenapa kita sekarang jadi seperti ini ya, Ton?
Laurene tiba-tiba merasa kangen masa-masa dimana mereka bersama. Laurene ingat Tony pernah mencuri mangga tetangga dan memberikan mangga itu untuknya. Lalu mereka dikejar anjing pemilik pohon mangga itu lalu merekapun lari terbirit-birit naik ke atas pohon dan bersembunyi di atas pohon itu menunggu sampai anjing itu akhirnya pergi. Saat itu juga senja dan langit berwarna oranye merah. Merekapun sangat senang bisa melihat langit senja yang indah itu dari atas pohon. Tiba-tiba ia kangen kenakalan dan kegilaan mereka waktu itu, ia kangen pada Tony yang dulu.
"Ren ...."
"Ren, kamu kenapa?"
"Eh Shawn, kamu sudah lama di sini?"
"Baru saja. Apa yang sedang kamu pikirkan?"
"Tidak ada."
"Lagi mikirin Tony ya?"
"Ga kok, aku ga mikirin dia."
"Ren, maafin aku ya ... gara-gara aku tadi kamu jadi berantem sama Tony." Laurene pun kaget karena Shawn tau tadi dia bertengkar dengan Tony.
"Sebenarnya aku ga sengaja sempat dengar sih saat kamu dan Tony tadi berantem."
"Jangan dengerin apa kata Tony ya, Shawn. Bukan karena kamu kok. Dia hanya salah paham aja."
"Dia pacar kamu ya?"
"Dia sahabatku dari kecil, rumah kami berdekatan."
"O gitu ya, maafin aku ya."
"Jangan minta maaf, kamu tidak salah apa-apa kok."
"Eh ya, ini minuman kamu Laurene."
"Makasih ya, Shawn."
"Iya, sama-sama."
"Oh ya, kamu kenapa pulang sesore ini?"
"Aku tadi ada ekskul padus."
"Oh, kamu ikut ekskul padus ya?"
"Iya, kamu sendiri kenapa pulang sesore ini?"
"Hari ini aku ada ekskul basket."
"Benarkah? Aku tidak melihat kamu tadi."
"Mungkin pas kamu lewat aku sedang di gudang menaruh bola."
"Oh begitu."
"Hebat kamu. Padahal hari ini kan hari pertama kamu sekolah di sini, tapi kamu sudah ikut ekskul aja."
"Jadi siswa aktif bukannya bagus ya?"
"Hehe, iya sih. Bener juga apa kata kamu."
"Selain basket, kamu ikut ekskul apa Shawn? "
"Mungkin taekwondo sama padus."
Seketika ia terdiam. Bagaimana kalau Shawn nanti satu ekskul dengannya? Pasti Tony bakal ngamuk-ngamuk ga jelas lagi, tapi kan memang ekskul terbuka untuk siapa saja jadi ia tidak berhak melarang Shawn untuk ikut ekskul padus. Bukannya bagus kalau Shawn satu ekskul dengannya jadi padus mereka bakal tambah bagus dong, kelihatannya suara Shawn bagus.
"Kita jalan lagi ya Ren, sudah mulai gelap nih."
"Oke deh."
Merekapun melanjutkan perjalanan mereka, menyusuri sepanjang jalan yang masih saja ramai, tapi di tengah jalan tiba-tiba ada sebuah motor di depan mereka yang ngerem mendadak. Laurene pun tanpa sadar refleks langsung memeluk Shawn.
"Maafkan aku Laurene, ini karena motor di depan itu." Laurene pun tersadar dan dengan cepat menarik tangannya kembali.
"Ya, gapapa. Bukan salahmu."
Sepanjang perjalanan itu mereka hanya diam, yang terdengar hanyalah suara knalpot motor Shawn yang mengeluarkan bunyi yang mederu-deru, aneh ya ... kenapa motor Shawn ini suara nya berisik amat ya, tapi tanpa disadarinya ia mulai berdamai dengan suara motor Shawn yang berisik ini. Akhirnya motor Shawn pun berhenti juga di depan rumahnya.
"Terima kasih ya Shawn, sudah nganter aku."
"Sama-sama Ren. Aku langsung pulang aja ya."
"Oke Shawn. Hati-hati ya, jangat ngebut."
"Oke Laurene. Sampai jumpa besok."
"Sampai jumpa besok."
Shawn tersenyum dan menutup kaca depan helmnya. Motor Shawn bergerak menjauh dan menghilang di antara keramaian motor dan mobil. Ia pun melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah putih di hadapannya. Halamannya ditanami bunga-bunga yang cantik, bunga-bunga kesayangan mama. Laurene pun mulai mencari mama.
"Kok pulangnya malam, sayang?"
"Maaf ya ma. Hari ini kan ada ekskul padus."
"Oh iya, mama lupa ada ekskul padus ya. Tadi pulang sama siapa nak? SamaTony ya? Tony nya mana?"
"Aku tadi ga pulang sama Tony, ma."
"Terus pulang sama siapa, nak?"
"Sama teman aku, ma."
"Sella ya?"
"Bukan ma."
"Cowok atau cewek?"
"Cowok ma, namanya Shawn."
"Ciee ... teman baru ya. Baru denger namanya. Iya deh, anak mama kan sekarang sudah gede."
"Ah mama, apaan sih! Cuman temen doang."
"Ganteng engga?"
"Iiih mama! Kok nanya nya gitu sih? Udah ah, aku mau mandi dulu."
Ia pun segera berlari masuk ke kamarnya, dan mama pun hanya tersenyum.
Mandi adalah hal pertama yang ingin Laurene lakukan saat masuk ke kamarnya. Badannya sudah terasa lengket berkeringat karena seharian di sekolah. Ia benar-benar harus menyiapkan ekstra energi pada setiap hari rabu, kamis dan hari senin karena setelah kelas ada kegiatan ekskul sampai sore bahkan kadang-kadang hingga malam hari, apalagi kalau ada acara lomba, benar-benar melelahkan. Ia langsung menaruh tas sekolahnya di atas meja belajarnya dan segera melesat menuju ke kamar mandi. Setelah selesai mandi, badannya terasa segar dan lelahnya pun sedikit berkurang. Lalu, ia langsung menuju meja belajarnya dan mulai membuka buku biologinya. Hari ini entah mengapa Laurene enggan untuk turun ke bawah untuk makan. Hari ini Ia tidak merasa lapar, padahal rasanya tadi di sekolah ia hanya makan sedikit itupun makan makanan bekal dari mama; sepoton
Kring ... kring ... kring. Suara jam beker di atas meja belajarnya berbunyi membangunkan Laurene yang sedang tidur nyenyak. Masih dengan setengah sadar, ia segera bangun dari tempat tidurnya menuju meja belajar, dan mematikan jam bekernya. Jam di atas meja belajarnya itu menunjukkan pukul lima tepat. Haduh, ini pasti akibat semalam begadang jadi bawaannya malas banget untuk bangun pagi, rasanya masih ngantuk masih ingin bersembunyi di balik selimut yang hangat, tapi kalau gak bangun sekarang mana ada waktu lagi buat belajar ya. Nanti di kelas gimana kalo aku gak bisa ngerjain soal-soal atau gimana kalau tiba-tiba ada ulangan mendadak kayak kemarin. Aku harus segera cuci muka dan mulai belajar. Ayo semangat Laurene!
Laurene membuka matanya, kepalanya terasa sangat pusing dan sekujur tubuhnya terasa lemas sekali.Laurene mencoba melihat sekelilingnya “Aku ada di mana ini?” kata Laurene perlahan, suaranya hampir tak terdengar. “Kamu sudah sadar, Ren?“ Ia seperti mengenal suara itu, ia mencoba membuka lebar kedua matanya, ternyata itu adalah suara Sella yang sedang duduk di samping tempat tidurnya. Laurene memandang sekitarnya sekali lagi, ia baru menyadari kalau saat ini ia sedang terbaring di tempat tidur di UKS. “Kenapa aku ada di sini, Sell?" tanya Laurene pada Sella. “Kamu tadi pingsan di parkiran, Ren.” Tiba-tiba ia mendengar suara lain dari samping kanannya. Ia langsung melihat pemilik s
"Hati-hati Ren, pelan-pelan aja jalannya." Sella membantu Rene turun dari tempat tidur UKS itu, lalu memapahnya berjalan perlahan-lahan menuju ke kelas 10 MIA 3. "Ren, kamu yakin mau ikut pelajaran fisika sekarang?" tanya Sella sambil menatap wajah Rene dalam-dalam seakan tak yakin pada keinginan Laurene itu. Wajah Laurene masih terlihat pucat, ia juga masih terlihat lemah. "Iya Sell, aku mau ke kelas aja." balas Laurene sambil memegang tangan Sella dengan erat. "Tidak mau istirahat aja dulu, Ren?" tanya Sella lagi. "Gak deh Sell, aku dah gapapa kok. Aku mau ikut pelajaran aja." "Bener kamu udah kuat?" Sella masih belum yakin
Entah sudah berapa lama Laurene tak sadarkan diri, dan entah sudah berapa lama pula ia terlelap dalam tidurnya yang tanpa mimpi itu. Akhirnya Laurene membuka matanya juga. "Puji Tuhan, akhirnya kamu sadar juga Ren." Laurene melihat Sella duduk di samping tempat tidurnya sambil menggenggam tangannya. Laurene melihat ada air mata yang membasahi kedua pipinya. "Kamu kenapa nangis, Sell?" tanya Laurene menatap bingung pada Sella. "Abis kamu pingsannya lama banget, kita semua di sini khawatir banget sama kamu, tapi untunglah sekarang kamu udah sadar." Sella pun memeluk sahabatnya itu dengan erat. Sella merasa sangat lega melihat sahabatnya itu akhirnya sadar juga. "Alhamdulilah, kamu
Laurene berbaring di tempat tidurnya yang nyaman dengan bedcover yang berwarna pink, ditemani sahabatnya Sella. Sella duduk di pinggir tempat tidur Laurene sambil memegang piring di tangannya yang berisi makanan yang dibuatkan mama khusus untuk Laurene, dan sebentar-sebentar Sella menyuapi makanan itu ke mulut Laurene. Dokter Adrian baru saja pulang, setelah selesai memeriksa Laurene. Tadi mama Laurene sangat cemas melihat kondisi putri kesayangannya itu, jadi mama langsung menelpon dokter Adrian. Dokter keluarga yang sudah sangat dikenalnya sejak ia masih kecil. Untunglah setelah memeriksa Laurene dokter Adrian tidak menemukan gejala penyakit yang serius di tubuh Laurene, Laurene hanya kecapean saja ditambah kurang makan dan kurang istirahat. Mama Laurene pun merasa sangat lega, demikian juga dengan Sella. "Aduuh Laurene, kamu
Kring ... kring ... kring. Suara jam beker di atas meja kecil di samping tempat tidur Laurene berbunyi kencang, membuat Laurene terbangun dari tidurnya. Tadi malam Laurene tidur sangat nyenyak. Entah berapa jam ia sudah tertidur, terasa lama sekali. Pagi ini tubuhnya terasa lebih segar, walaupun masih sedikit pusing. Laurene ingin segera bangun dan mandi lalu bergegas berangkat ke sekolah seperti biasanya, tapi semua itu tidak jadi ia lakukan. Hari ini ia tidak bisa pergi ke sekolah, mama tidak mengizinkannya pergi ke sekolah. Kemarin dokter Adrian sudah membuatkan surat izin untuk tidak pergi ke sekolah agar Laurene hari ini dapat beristirahat di rumah. Mama juga sudah menitipkan surat dokter itu pada Sella untuk disampaikan ke Bu Lela, guru wali kelas mereka. Apa yang akan aku lakukan hari ini ya? Berdiam diri d
Kadang jarak itu sulit didefinisikan ....Dekat tak berjarak kadang justru membuat jarak ....Jauh berjarak kadang membuat tak ada jarak. Laurene sudah mencoba untuk tidur kembali, tapi matanya tidak mau diajak kompromi. Ia tidak bisa tidur kembali. Ia pun bangun dari tempat tidurnya, dan minum susu panas yang dibuatkan mama untuknya, lalu menyalakan laptopnya dan memutar lagu dari penyanyi kesayangannya, Taylor Swift. Laurene mencoba merapikan meja belajarnya, satu demi satu buku-buku yang berserakan di atas meja belajarnya itu dirapikannya. Laurene memandang boneka teddy bear warna pink di lantai di samping lemari bukunya itu, di sana masih tergeletak beberapa balon yang berwarna warni di samping boneka teddy bear yang besar itu. Ia melihat kembali kartu ucap
Cinta kadang tak butuh kata-kata ...Cinta adalah sebuah rasa ...Rasa yang indah tak terlukiskan oleh kata-kata ...Rasa yang kadang tak butuh rangkaian kata-kata indah Laurene melayangkan pandangannya ke penjuru kantin, tapi Sella belum terlihat. Ia ingat chat yang dikirim oleh Sella tadi katanya dia sudah sampai di kantin. Laurene terus melayangkan pandangannya ke seluruh penjuru kantin, berharap Sella akan muncul tetapi hasilnya nihil. Sella kenapa belum kelihatan juga ya? Bukannya tadi dia sendiri yang bilang udah sampai di kantin. ApaSellabelum sampai ke kantin tapi dia bilang udah sampai kantin ya?Dasar nih anak, paling suka ngerjain deh! Kalau tahu Sella belum datang,
Keindahan yang terlihat di depan mata kadang kala hanyalah keindahan semu semata, yang mungkin saja akan sirna saat mentari tenggelam di balik kegelapan malam, dan menghilang saat gelap tersapu dan diterpa berkas cahaya mentari pagi hari yang merona... Sekarang sudah pukul tiga sore, tetapi Laurene belum bisa segera pulang ke rumahnya karena sore ini masih ada kegiatan ekskul paduan suara. Laurene membuka kunci pintu ruang musik, melangkah masuk, lalu meletakkan tas sekolahnya di atas meja di dalam ruang musik itu. Ruangan musik itu masih sepi, bahkan sangat sepi sehingga detik-detik jarum jam di dinding ruangan itu terdengar sangat jelas olehnya. Detik-detik jarum jam tersebut terus berdentang tiada hentinya, sesaat telah menyadarkan Laurene bahwa waktu terus berputar meninggalkan detik demi detik di belakangnya, dan
Laurene masuk ke dalam kamarnya. Hari ini adalah hari yang sangat melelahkan bagi Laurene. Hari pertama ia masuk sekolah kembali setelah dua hari harus istirahat di rumah. Banyak catatan pelajaran yang tertinggal yang harus ia catat, ada juga beberapa tugas susulan yang harus segera ia selesaikan. Untunglah tubuhnya sudah lumayan pulih kembali, dan pusing di kepalanya pun sudah menghilang. Ia membawa segelas susu hangat dan roti rasa kopi yang tadi dibuatkan mama untuknya, lalu meletakkannya di atas meja belajarnya. Susu vanilla yang hangat terasa nyaman mengalir di tenggorokannya, namun roti rasa kopi di hadapannya tidak terlalu membuatnya berselera seperti biasanya. Terbayang kembali kejadian di sekolah tadi siang, terbayang kembali semua kata demi kata dari cerita Sella padanya tadi di ruang padus. Mereka berdua sengaja ngumpet di
Laurene baru keluar dari kamar mandi, baru selesai mandi sore. Tubuhnya terasa jauh lebih segar sore ini. Air hangat yang tadi mengguyur tubuhnya, membuat sekujur tubuhnya sekarang terasa lebih segar. Ditambah dengan tidur yang cukup semalam, asupan makanan yang bergizi dan vitamin dari dokter Adrian. Sore ini, Laurene benar-benar merasa jauh lebih sehat. Kepalanya sudah tidak terasa pusing lagi, dan tubuhnya juga tidak terasa lemas tak bertenaga lagi. Ia merasa semuanya terasa jauh lebih baik. Laurene mulai merapikan buku-buku pelajarannya, lalu ia melihat jadwal pelajaran untuk besok, dan memasukkan buku-buku yang harus dibawanya ke sekolah besok. Ia memeriksa kembali semua pekerjaan rumahnya untuk besok, untunglah pekerjaan rumah buat besok sudah selesai ia kerjakan semuanya. Besok aku akan masuk sekolah kembali. Tidak
Kadang jarak itu sulit didefinisikan ....Dekat tak berjarak kadang justru membuat jarak ....Jauh berjarak kadang membuat tak ada jarak. Laurene sudah mencoba untuk tidur kembali, tapi matanya tidak mau diajak kompromi. Ia tidak bisa tidur kembali. Ia pun bangun dari tempat tidurnya, dan minum susu panas yang dibuatkan mama untuknya, lalu menyalakan laptopnya dan memutar lagu dari penyanyi kesayangannya, Taylor Swift. Laurene mencoba merapikan meja belajarnya, satu demi satu buku-buku yang berserakan di atas meja belajarnya itu dirapikannya. Laurene memandang boneka teddy bear warna pink di lantai di samping lemari bukunya itu, di sana masih tergeletak beberapa balon yang berwarna warni di samping boneka teddy bear yang besar itu. Ia melihat kembali kartu ucap
Kring ... kring ... kring. Suara jam beker di atas meja kecil di samping tempat tidur Laurene berbunyi kencang, membuat Laurene terbangun dari tidurnya. Tadi malam Laurene tidur sangat nyenyak. Entah berapa jam ia sudah tertidur, terasa lama sekali. Pagi ini tubuhnya terasa lebih segar, walaupun masih sedikit pusing. Laurene ingin segera bangun dan mandi lalu bergegas berangkat ke sekolah seperti biasanya, tapi semua itu tidak jadi ia lakukan. Hari ini ia tidak bisa pergi ke sekolah, mama tidak mengizinkannya pergi ke sekolah. Kemarin dokter Adrian sudah membuatkan surat izin untuk tidak pergi ke sekolah agar Laurene hari ini dapat beristirahat di rumah. Mama juga sudah menitipkan surat dokter itu pada Sella untuk disampaikan ke Bu Lela, guru wali kelas mereka. Apa yang akan aku lakukan hari ini ya? Berdiam diri d
Laurene berbaring di tempat tidurnya yang nyaman dengan bedcover yang berwarna pink, ditemani sahabatnya Sella. Sella duduk di pinggir tempat tidur Laurene sambil memegang piring di tangannya yang berisi makanan yang dibuatkan mama khusus untuk Laurene, dan sebentar-sebentar Sella menyuapi makanan itu ke mulut Laurene. Dokter Adrian baru saja pulang, setelah selesai memeriksa Laurene. Tadi mama Laurene sangat cemas melihat kondisi putri kesayangannya itu, jadi mama langsung menelpon dokter Adrian. Dokter keluarga yang sudah sangat dikenalnya sejak ia masih kecil. Untunglah setelah memeriksa Laurene dokter Adrian tidak menemukan gejala penyakit yang serius di tubuh Laurene, Laurene hanya kecapean saja ditambah kurang makan dan kurang istirahat. Mama Laurene pun merasa sangat lega, demikian juga dengan Sella. "Aduuh Laurene, kamu
Entah sudah berapa lama Laurene tak sadarkan diri, dan entah sudah berapa lama pula ia terlelap dalam tidurnya yang tanpa mimpi itu. Akhirnya Laurene membuka matanya juga. "Puji Tuhan, akhirnya kamu sadar juga Ren." Laurene melihat Sella duduk di samping tempat tidurnya sambil menggenggam tangannya. Laurene melihat ada air mata yang membasahi kedua pipinya. "Kamu kenapa nangis, Sell?" tanya Laurene menatap bingung pada Sella. "Abis kamu pingsannya lama banget, kita semua di sini khawatir banget sama kamu, tapi untunglah sekarang kamu udah sadar." Sella pun memeluk sahabatnya itu dengan erat. Sella merasa sangat lega melihat sahabatnya itu akhirnya sadar juga. "Alhamdulilah, kamu
"Hati-hati Ren, pelan-pelan aja jalannya." Sella membantu Rene turun dari tempat tidur UKS itu, lalu memapahnya berjalan perlahan-lahan menuju ke kelas 10 MIA 3. "Ren, kamu yakin mau ikut pelajaran fisika sekarang?" tanya Sella sambil menatap wajah Rene dalam-dalam seakan tak yakin pada keinginan Laurene itu. Wajah Laurene masih terlihat pucat, ia juga masih terlihat lemah. "Iya Sell, aku mau ke kelas aja." balas Laurene sambil memegang tangan Sella dengan erat. "Tidak mau istirahat aja dulu, Ren?" tanya Sella lagi. "Gak deh Sell, aku dah gapapa kok. Aku mau ikut pelajaran aja." "Bener kamu udah kuat?" Sella masih belum yakin