🌼🌼🌼🌼
Aku mengedarkan pandangan ke sekitar, mataku awas menilik. Mencari keberadaan kak Bima. Tidak ada. Langkahku mendadak lemah. Aku berjalan dengan sedikit gontai ke tempat di mana kami biasa duduk. Taman ini terlihat seperti biasanya. Ramai. Aku membuka tas lantas mengambil sebuah buku novel. Karena hari ini tidak ada tugas apapun. Novel ini memang sengaja aku bawa ke sekolah, untuk mengisi waktu luang seperti ini.
Pandanganku mulai foku pada buku dalam genggaman. Aku mulai tenggelam ke dalam dunia sana. Tak terdengar lagi suara riuh percakapan orang-orang atau suara laju kendaraan. Seperti melebur begitu saja saat aku membaca buku.
Apa kalian sepertiku? Suka membaca novel hingga abai akan sekitar karena terlalu fokus?
Sebetulnya aku membaca bukan karena sekadar hobi saja. Aku membaca untu
"Kamu, satu kata yang bisa berarti bahagia. Semu atau tidak aku sudah tidak memedulikannya." 🌼🌼🌼🌼 "Bukan!" Aku melempar baju itu sembarangan dan mengambil lagi pakaian di dalam lemari sambil mencobanya dengan melihat ke arah cermin. "Ini juga bukan!" Saat ini aku tengah mencari pakaian mana yang cocok untuk dikenakan. Mencoba memadu padankannya. Ya, hari ini aku pergi dengan kak Bima. Namun, sudah satu jam aku tidak menemukan pakaian yang cocok. Lihatlah, hasil dari satu jam itu pakaianku berserakan di mana-mana. Hampir seisi lemari dikeluarkan. Hampir ya, tidak semua. Mengapa rasanya semua baju tidak ada yang menarik dan cocok?Aku berdecak kesal. Glek! Helaan napas tertahan dalam diriku, aku menatap pakaian yang berceceran sambil bergidik ngeri saat menyadari aksi konyolku ini. Padahal kami hanya akan bertemu di taman seperti biasanya tapi kenapa aku harus seheboh ini, ya? Jam di dinding sudah men
"Kita adalah yang aku harapkan. Kita adalah yang aku semogakan. Dan kita adalah kata yang kupinta selamanya bukan hanya sementara." 🌼🌼🌼🌼 Tanganku masih setia digenggam oleh kak Bima. Tidak tahu kenapa tiba-tiba kak Bima menggenggam tanganku dengan erat. Jari-jariku terasa sangat pas ketika bertaut dengan jari-jemari milik kak Bima. Sebenarnya tidak sih, cuma di pas kan saja. Setelah ini aku tidak akan cuci tangan! Biar saja disebut jorok. Aku tidak mau aroma kak Bima yang menempel di tanganku hilang saat dicuci. "Kamu seneng banget ya?" Aku menoleh mendapati kak Bima yang tengah menatapku. "Padahal tokohnya lagi ditusuk-tusuk. Kamu nggak takut?" Jarinya menunjuk layar yang sedang menampilkan kekerasan. Mataku melebar. Sepertinya aku jadi terlihat wanita psikopat di mata kak Bima! Padahal otakku saja tak fokus, malah lebih asyik memikirkan kak Bima dibanding menonton film yang sedang terputar.
"Menunggumu memang membosankan tapi juga mendebarkan. Karena aku harap-harap cemas, apa kamu akan kembali atau tidak akan pernah datang lagi?" 🌼🌼🌼🌼 Mentari menatapku dengan menyelidik. Sedaritadi atensinya benar-benar tertuju penuh seolah hal lain tidak ada yang menarik untuk diperhatikan. Aku yang sudah tak kuat akan tatapannya yang penuh arti keingintahuan akhirnya buka suara. "Kenapa?" "Bukannya lo habis kencan? Kok gitu sih mukanya?" "Di mana-mana orang habis kencan itu berbunga-bunga bukan kayak lo yang asem gini. Bikin sakit mata tau nggak!" Aku mendengkus kasar. Berbunga-bunga bagaimana? Perkataan kak Bima masih terngiang-ngiang pun dengan pesan yang ia kirimkan. Sampai saat ini aku belum membalas pesannya. Rasanya masih tidak percaya dengan kenyataan. Helaan napas panjang keluar dari mulutku. "Sumpah ya, gue nggak ngerti lagi. Kenapa sih lo?" "Nyawa lo ilang sebelah ya? Jangan-jangan masih keting
Seharusnya kala itu aku tidak keliru. Karena ternyata tidak semua suka menipu." 🌼🌼🌼🌼 Dari siapa? Aku menoleh ke arah samping dan ... Deg! Aku mendongak setelah membaca tulisan itu, tulisan yang ditulis di stick notes yang ditempel pada sebuah pesawat kertas. Senyumku terbit, itu kak Bima. Dia mengelus rambutku lembut. "Maaf, ya." "Minta maaf kenapa?" kataku sambil memainkan kuku karena gugup. Elusan di puncak rambut barusan selalu mampu membuat jantungku berdegup kencang. Apa permintaan maaf untuk persoalan kemarin? Apa itu artinya kami masih bisa berteman? "Karena terlambat datang." Aku mengangguk, meskipun agak kecewa. Namun tetap saja rasa senang meluap begitu saja. Aku tidak mengerti mengapa bisa sesenang ini. Ah, hari ini aku benar-benar aneh. Padahal pesan dan perkataan kak Bima kemarin mengisyaratkan perpisahan. Lalu saat ini mengapa dia
Tidakku sangka keputusan yang tadinya membawa tawa bahagia dikemudian hari malah menjadi keputusan yang menjelma menjadi luka dan duka."🌼🌼🌼🌼"Kenapa?"Aku menoleh ke arah kak Bima. Lantas menggeleng sambil menghela napas. "Gapapa, kak."Lalu tersenyum, meski mungkin agak sedikit di paksakan.Atensi kak Bima tertuju padaku, ia tersenyum terlebih dahulu sebelum berbicara. "Kebiasaan wanita.""Bilang gapapa?" tanyaku sambil menatapnya.Kak Bima lantas mengangguk dan menghela napas panjang. Tangannya terjulur mengelus puncak rambutku. Selalu saja begini.Aku diam. Lantas mengalihkan pandangan karena jantungku sudah tidak aman."Gapapa kalau belum mau cerita," lanjutnya lagi.Kak Bima menepuk-nepuk bahunya, aku menatap sambil halisku sudah sempurna terpaut. "Kenapa, kak? Banyak debu, ya?"Gerakan tangannya terhenti, dia menatapku dengan ekspresi
"Jika saja bisa, aku hanya ingin mengingat hal bahagia, karena sungguh aku tak sanggup mengingat semua ingatan buruk yang menikam dada." 🌼🌼🌼🌼 Aku menatap langit-langit kamar, pikiranku menerawang jauh. Malam ini aku baru saja membuka memori masa lalu walau tak banyak. Membuka memori saat itu. Awal mula aku merangkai pertemuan dan terjadinya kata kita. Memori kelam masih terkunci di sudut ruangan gelap. Tak terjamah. Belum mampu aku tampilkan atau akui keberadaannya.Mataku sudah bengkak, bahkan berkali-kali aku sesak napas ketika menceritakannya. Padahal, jika dipikir ulang. Ini adalah ingatan bahagia? Mengapa jadi sendu sedan begini? Mengapa menyakitkan saat mengingatnya? Bukankah seharusnya aku mengenangnya dengan senyum mengembang? Bukankah seharusnya sekarang aku tertawa riang? Mengapa aku menyesali ingatan ini? Bukankah aku seharusnya bersyukur karena ada kenangan bahagia yang terpatri? Celakanya, me
"Salah paham memang perlu diluruskan namun aku tak siap untuk mendengar alasan apalagi kembali dihancurkan."🌼🌼🌼🌼Aku meringkuk di pojok kamar. Dengan kemul yang membungkus tubuh. Sejak dua hari lalu aku mematikan ponsel dan menutup semua jendela. Apa yang nomor asing itu katakan benar, di depan rumah ada hadiah. Entah dari siapa tanpa nama. Kotak berukuran sedang. Yang berisi kutukan!Itu kotak kedua. Setelah kotak berisi cokelat.Tatapanku kosong, tubuhku masih terguncang. Aku semakin menaikan kemul. Mencoba memejamkan mata yang sedari kemarin susah terpejam. Rasa kantuk itu hanya bertahan selama beberapa menit setelahnya aku terjaga kembali meski tubuhku lelah tapi mataku tak bisa terpejam.Posisiku berganti jadi telentang, pandanganku nyalang ke udara sedang perasaanku kembali tak keruan. Di kepalaku kini riuh dengan berbagai pertanyaan yang berlalu lalang seperti kendaraan di jalanan.Terbesit beragam t
"Haruskah aku mengadu perihal kamu, yang senang memberi kejutan sedang aku ketakutan. Pun luka lama yang kamu hadirkan, mengundang perih tak terperikan."🌼🌼🌼🌼Hari keempat, sejak aku tidak masuk sekolah. Selama itu pula aku mengurung diri di kamar. Tak berniat bergerak dan jauh-jauh dari tempat tidur. Tubuhku meringkuk di balik kemul. Aku mendengkus kasar, mengapa aku sampai begini?Bukankah itu malah menunjukkan bahwa aku itu lemah? Bukannya aku harus menunjukkan kalau aku yang sekarang sudah kuat?Aku mengigit kuku-kuku jariku berusaha mengusir kekhawatiran yang selama ini bertengger di kepala. Kalau ada Sani di sini sudah dapat di pastikan dia akan mengomel dan mengatakan hal itu jorok.Akhir-akhir ini banyak hal yang terjadi saat aku dengannya. Ingatan-ingatan masa lalu yang bermunculan. Belum lagi hadiah-hadiah yang entah dari siapa.Aku mencuri pandang ke arah kotak kutukan yang tergelatak di lantai yang dingi