{Laporkan bahwa kartu itu hilang dan lakukan pencarian terhadap tersangka pencurian kartu.}
Beberapa menit kemudian, perintah itu dijalankan. Dea masih berdiri di depan meja kasir saat membayar biaya tambahan untuk ayahnya. Tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara mesin EDC yang berbunyi nyaring.
"Maaf, kartu Anda ditolak," ujar petugas administrasi dengan ekspresi meminta maaf dan wajah penuh kecurigaan.
"Apa? Itu tidak mungkin," gumam Dea panik. Dia mengeluarkan kartu itu lagi dan mencobanya sekali lagi, tetapi hasilnya tetap sama. Kartu itu tidak dapat digunakan.
Panik mulai menjalari tubuhnya. Dia mencoba menghubungi Meisya, tetapi jawaban dari mesin penjawab membuatnya semakin putus asa.
Di saat yang sama, Meisya sedang berada di dalam pesawat ekonomi dan sedang berhadapan dengan beberapa hal yang membuatnya ingin muntah setiap saat.
"Maaf, Nona. Kartu ini telah dila
Pagi di London masih diselimuti kabut tipis ketika Yama menatap ponselnya dengan wajah dingin. Sejauh ini, Bob belum mendapatkan kabar apa pun tentang Dea. Setiap upaya untuk melacak keberadaannya di Inggris selalu menemui jalan buntu. Sepertinya nenek telah menggunakan kekuasaannya untuk menghalangi mereka mendapatkan informasi. Untuk saat ini, Yama memutuskan untuk fokus penuh pada proyek yang ditugaskan kepadanya.“Masih tidak ada kabar?” Yama bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari jendela suite hotelnya.Bob menggeleng. “Kami sudah mencoba berbagai cara, tapi tidak ada satu pun petunjuk. Sepertinya seseorang telah menutupi semua jejaknya dengan sangat rapi.”Yama menghela napas panjang, lalu merapikan dasinya. “Kalau begitu, kita mainkan dulu permainan ini sesuai aturan mereka.”Sesaat kemudian, Yama tiba di lapangan polo kerajaan dengan penuh persiapan. Ia mengenakan
Namun, secepat kilat, Dea melangkah mundur, kedua matanya melebar lalu berlari menjauh. “Aku bau sekali! Dan kau gila!” serunya tanpa menoleh lagi.Yama hanya bisa terpaku, menatap punggung Dea yang semakin menjauh, meninggalkannya dengan seribu pertanyaan yang belum terjawab. Yama bertempur dengan perasaannya sendiri, dia sangat membenci wanita itu sekaligus ingin menciumnya. "Ya, dia memang bau sekali saat ini, bau kuda! Tetapi aku benar-benar ingin menciumnya!" geram Yama dengan kedua mata mulai memerah bercampur amarah.“Bob!” panggilnya tiba-tiba.Asistennya yang selalu sigap itu segera menghampiri. “Ya, Tuan!”“Saya mengerti dan akan segera pergi mengikutinya untuk mencari tahu semua data!” kata Bob dengan penuh semangat.Yama sedikit terkejut. Menoleh, menatap Bob tanpa berkedip. Biasanya, ia harus memberi perintah lebih jelas,
Di dalam kamar hotel yang mewah dengan lampu redup, Meisya duduk di atas sofa berlapis beludru berwarna lembut. Jemarinya yang ramping menggulung layar ponsel berisi setumpuk foto yang baru saja dikirimkan kepadanya. Bibirnya menipis, matanya menyipit menatap gambar-gambar itu.Dea tampak tersenyum di salah satu foto, duduk berdampingan dengan Sanjaya di sebuah kafe. Di foto lain, pria itu terlihat menatapnya dengan intensitas yang sulit diartikan. Meisya menggigit bibirnya, menahan amarah yang mendidih di dadanya. "Tatapan penuh cinta! Menggelikan pria munafik ini!"Dalam foto lain, Sanjaya terlihat sedang menikmati makanannya dengan Dea di kursi rumah sakit. Sebuah pemandangan yang menunjukkan keakraban mereka dalam berbagi moment kebersamaan, tetapi Meisya tidak merasa tertarik sama sekali."Cih! Foto yang membuang uang!" geram Meisya.Dia sangat kesal karena Yama tetap saja memikirkan Dea, meskipun ia telah me
"Aku hanya perlu melakukan ini sekali saja," gumamnya, meyakinkan dirinya sendiri. "Setelah itu, aku bisa segera kembali ke Indonesia."Sanjaya melangkah dengan tekad bulat untuk pergi mencari obat yang bisa membuat Dea tertidur, tanpa menyadari bahwa ia tengah berjalan menuju kehancurannya sendiri, juga kehancuran Dea.Senja menjelang ketika Meisya kembali menghubungi Sanjaya. Nada suaranya dingin dan tegas, tanda bahwa kesabarannya mulai menipis."Jadi?" tanyanya tanpa basa-basi. "Mana obat tidur yang kusuruh kau beli?"Di seberang telepon, Sanjaya menelan ludah. "Aku... aku belum berhasil mendapatkannya. Obat seperti itu tidak dijual sembarangan, Meisya. Aku sudah mencari di beberapa tempat, tapi...""Alasan!" bentak Meisya. "Aku membayar mahal untuk rencana ini, Sanjaya! Kalau kau tidak becus, aku akan mencari orang lain.""J-jangan!" Sanjaya mengepalkan tangan. Diriny
"Tambah gula seperti biasa, Mas?" tanya barista yang ramah.Sanjaya menelan ludah. "Iya. Jangan lupa ekstra es."Setelah menerima pesanannya, ia keluar dari toko dan berjalan menuju mobilnya yang diparkir di seberang jalan. Ia membuka pintu, duduk di kursi pengemudi, lalu merogoh saku jaketnya. Sebuah botol kecil berisi cairan bening bergetar di tangannya."Maaf, Dea," bisiknya sebelum menuangkan beberapa tetes cairan itu ke dalam minuman.Setelah memastikan obat itu larut sempurna, ia mengocok gelas boba perlahan, lalu melanjutkan perjalanan ke rumah sakit dengan perasaan yang tertekan.Seperti biasa, ia selalu membawa makanan untuk Dea, seolah tak ada yang berbeda. Dea pasti tak akan curiga. Itulah yang membuatnya semakin sakit hati. Kepercayaan yang diberikan oleh mantan kekasihnya itu akan dia lukai sekali lagi.Sesampainya di rumah sakit, ia melangkah menuju kamar tem
Jantung Yama berdetak cepat. Ia tahu ada yang tidak beres. Dea tidak mungkin pergi tanpa menghabiskan makanannya, dia ingat bagaimana Dea menghabiskan nasi goreng pada saat di rumah sakit. Dan minuman boba itu, aneh!"Dea!" serunya, berharap mendapat jawaban. Tapi tidak ada siapa pun.Ia segera berlari keluar, mencari siapa saja yang bisa memberinya jawaban. Matanya menyapu lorong, mencari sosok Sanjaya yang mungkin berada di sana. Entah kenapa, tiba-tiba ia merasa pria itu yang bertanggung jawab atas semua ini."Ada yang aneh!"Yama keluar dari ruangan itu dengan perasaan tidak enak. "Segera cek rekaman CCTV!"Mereka segera berlari ke ruang sekuriti.Dengan kekuasaan yang dimiliki oleh Pangeran Edward, mereka bebas mengakses data Rumah Sakit.Kedua mata Yama membulat sempurna pada saat melihat bayangan Sanjaya mengendong Dea keluar dari kamar inap ayahnya ke kamar lain."Di sana!" Tanp
"Kau adalah Yamaaa... pria tampan milikku!" celoteh Dea dengan wajah yang mulai memerah. Dea masih berusaha menarik Yama kembali ke dalam pelukannya. Napasnya semakin berat, tubuhnya tampak panas dan berkeringat."Yama... jangan pergi dong..." rengeknya, suaranya manja.Yama menggeram, merasa dadanya sesak melihat keadaan Dea seperti ini. Si brengsek yang memberinya obat ini akan membayar mahal! Tapi untuk saat ini, yang terpenting adalah memastikan Dea baik-baik saja. Ia meraih segelas air di meja dan menyodorkannya ke bibir Dea."Minum ini dulu. Kumohon, Dea," ucapnya dengan lembut, berusaha menenangkan gadis itu.Namun, Dea menggeleng, malah meraih tangan Yama dan mengecupnya. "Aku hanya ingin kamu..."Yama merasakan debaran jantungnya semakin cepat. Ia harus tetap waras! Harus tetap fokus!Pintu kamar tiba-tiba terbuka dengan keras. Seorang dokter paruh b
Kemudian, tanpa memberi waktu bagi akal sehatnya untuk mengintervensi, Yama menindih tubuh Dea yang lemah di ranjang sempit rumah sakit itu. Bibirnya turun perlahan, menutup celah di antara mereka.Ciuman itu pertama kali terasa ragu, tetapi detik berikutnya menjadi lebih dalam dan menuntut. Dea mendesah manja, seolah-olah sangat dahaga. Dia merespons dengan gerakan pelan, tangannya yang lemah terangkat, meremas kerah baju Yama, seolah berusaha menahannya agar tidak pergi."Yama..." desah Dea dengan suara yang tidak dapat Yama abaikan. Suara yang membakar gairahnya secara penuh.Yama tahu ini salah. Dea masih dalam pengaruh obat, tubuhnya lemah, dan mereka ada di rumah sakit. Tapi di sisi lain, ia tidak bisa menahan diri. Perasaan yang selama ini ia kubur dalam-dalam akhirnya meledak di antara mereka.Inti mereka bersatu dengan semua kerinduan dan kebencian yang bercampur aduk, dalam keheningan kamar pasien yang menjadi saksi b
"Anak yang tidak bersalah itu harus mendapat kedudukan di kerajaan daripada menjadi budak bagi Nenek munafik itu!" geramnya.Ratu mulai memikirkan taktik untuk tetap mempertahankan Dea di sisinya."Atur pernikahan Dea dengan Pangeran Frans dalam dua hari lagi!" perintahnya kepada seorang asistennya.***Dea menghela napas panjang saat lagi-lagi langkahnya dibatasi oleh bayangan hitam para pengawal kerajaan. Di mana pun ia berada, entah itu taman belakang istana, ruang baca, bahkan lorong menuju kamarnya, selalu ada setidaknya dua pasang mata yang mengawasi. Entah sada berapa banyak pengawal yang berkeliaran di dalam rumah besar yang dia tempati saat ini.Ia tahu maksud Ratu baik. Pengawalan itu adalah bentuk perlindungan, katanya. Alasannya adalah karena Dea adalah seorang Lady yang dihormati dan akan memiliki status tinggi saat menikah dengan Pangeran Frans.Tapi bagi Dea
Pintu terbuka, seorang pelayan masuk, membawa kabar bahwa Yama sudah selesai terapi pagi dan sedang membaca buku di taman.Wanita tua itu segera menenangkan ekspresinya lalu memberikan isyarat dengan tangan agar pelayan itu kembali ke posisinya.“Kamu boleh pergi sekarang,” katanya pada pria itu. “Dan pastikan laporan ini tidak bocor ke siapa pun, termasuk Meisya.”"Baik, Nyonya."Setelah ruangan kembali sepi, wanita tua itu duduk dengan perlahan di kursi empuknya. Rasa lelah mulai merambat ke seluruh tubuhnya, tapi pikirannya terus bekerja. Ia tidak akan membiarkan satu momen pun luput dari perhitungannya.***Tiba-tiba, telepon antik di meja berdering. Nenek Yama mengangkatnya dengan cepat.“Ya?”“Yang Mulia Ratu Inggris ingin berbicara,” ujar suara di ujung sana.
“Tetap di sini sebentar lagi,” potong Yama pelan. Suaranya berat, masih serak pagi.Meisya membeku. Lalu tersenyum tipis, dan kembali menyandarkan kepala di dadanya. Memeluk pinggang pria itu dengan erat.Namun, diam-diam, Yama hanya ingin mencoba membangunkan sesuatu dalam dirinya.Beberapa menit berlalu dan Yama kembali merasa kesal dengan dirinya serta ketidakmampuan yang dia miliki saat ini. Bagian bawah celananya sama sekali tidak beraksi walau kedua bukit depan milik Meisya menempel erat di tubuhnya.Hari itu, sesi terapi Yama lebih semangat dari biasanya. Ia mulai bisa berjalan beberapa langkah tanpa tongkat, hanya dengan bantuan tangan Meisya yang menggenggamnya erat dari samping. Walau beberapa kali terjatuh dan peluh keringat membasahi wajah dan pakaiannya, Yama tidak menyerah.“Bagus, Tuan Yama,” ucap fisioterapis dengan kagum. “Luar biasa untuk pasien
Meisya tertegun. “Kenapa kamu bertanya seperti itu?” Hati Meisya berdebar, sangat takut terhadap penolakan untuk kesekian kalinya.Yama diam. Menunggu kelanjutan kalimat wanita itu.“Karena... aku tidak tahu sampai kapan aku akan seperti ini. Aku tidak bisa berpaling darimu," sahut Meisya beberapa saat kemudian.Meisya tersenyum, menatap bintang. “atau mungkin karena aku tidak mencintai orang lain. Hanya kamu, Yama.”Yama menatap wajah Meisya dalam keremangan cahaya. Gadis itu terlihat sangat cantik dan tanpa celah. Secara keseluruhan melebih Dea yang mencuri hatinya selama ini.Lalu perlahan, ia menyentuh jemari gadis itu.Untuk pertama kalinya, sentuhan itu bukan karena ingin dibantu berjalan. Tapi karena keinginan untuk berterima kasih.“Kalau waktu bisa menyembuhkan kakiku,” bisik Yama, “apa waktu jug
Hari-hari itu panjang, melelahkan, dan penuh luka yang tidak pernah benar-benar terucap. Namun Meisya bertahan. Dia mencintai Yama sejak kecil. Semua kelicikan yang dia perbuat kepada Dea adalah karena kecemburuannya.Adapun kesalahan terbesarnya adalah bahwa dia mencelakakan hidup mendiang ibu Yama, namun semua itu adalah karena perintah Nenek Yama sendiri dan dia hanya melakukan beberapa tugas yang tanpa sengaja mencelakakan wanita malang itu. Meisya berada dalam ketakutan setiap mengingat kapan waktunya Yama mengetahui rahasia terdalamnya, namun lebih takut lagi bila kehilangan diri Yama.Ketika dokter mengatakan Yama harus mulai menjalani terapi jalan agar saraf di kakinya kembali aktif, Meisya adalah orang pertama yang menawarkan diri untuk membantu. Dengan sabar, ia menggenggam tangan Yama, melangkah pelan-pelan menyusuri lorong rumah sakit.“Kamu tidak harus cepat. Satu langkah saja sudah cukup hari ini,” ucap Meisy
Pintu kamar terbuka perlahan, Yama menoleh, sosok ramping dengan setangkai bunga dan sebuah rantang thermal. Meisya melangkah masuk dengan senyum penuh kelembutan, meski wajahnya terlihat sedikit kuyu karena terlalu sering menangis.“Yama…” bisiknya lembut, “aku datang.”Tak ada reaksi. Yama menatap langit-langit seakan tak ada siapa pun di ruangan itu. Di antara semua orang yang menjengguknya, dia paling tidak ingin bertemu dengan Meisya. Namun wanita itu sangat rajin walau sering menerima penolakan keras dari Yama.Yama bahkan pernah melempar bubur yang dibawa Meisya.Meisya meletakkan bunga krisan kecil berwarna-warni di meja samping ranjang pasien. Lalu ia duduk perlahan di kursi besi, membuka rantang bubur, dan mengaduk perlahan. Aromanya ayam herbal memenuhi udara. Uap mengepul dari rantang thermal tersebut. Berhasil mencuri perhatian Yama karena wanginya.“Kamu harus makan, Sayang” kata
Namun, adakah dia bisa begitu tega untuk membiarkan anak itu hidup tanpa dukungan dari orang yang seharusnya bertanggung jawab? Selama ini, dia berusaha melihat sisi baik dari Yama, berharap ada cinta yang tersembunyi di dalamnya, meskipun ia tidak pernah mengungkapkannya. Sampai detik ini pun, dia masih belum memiliki kabar dari Yama selain mimpi buruk yang membuatnya kecewa.Pangeran Frans melangkah mendekat, tatapannya masih tidak berubah. "Sayangku, Dea...kamu harus memikirkan masa depan anakmu, Cintaku. Jangan biarkan dirimu terjebak dalam bayang-bayang masa lalu dan harapan kosong. Lupakan Yama.""Kamu tahu, mengapa aku memutuskan mengejarmu? Padahal sebelumnya aku membantu pertemuan kalian dengan menculikmu?"Dea menengadahkan kepalanya, menatap Pangeran Frans dalam-dalam."Karena dia terlalu pengecut!" geram Pangeran Frans."Aku sudah membantu dengan menculikmu, tetapi tidak ada yang dapat dia bahas atau lakukan.
Sementara di kamar Dea, Dea terkejut mendapati kabar dari sang Dokter yang memeriksanya bahwa dirinya sudah hamil."Ini adalah anak Yama," gumamnya dengan perasaan tidak menentu seraya memeang perutnya yang masih datar.Kedua matanya berkaca-kaca, antara menerima kenyataan yang seharusnya membuat dirinya bahagia. Dia sangat mencintai Yama dari lubuk hati terdalamnya. Satu-satunya pria yang pernah menyentuhnya hanya Yama."Kamu adalah bukti cinta Mama kepada Papamu," bisik Dea dengan suara bergetar. Dia ingat malam bergairah milik mereka berdua. Dia merindukan semua sentuhan panas dari pria yang sangat dia cintai itu. Pria yang sudah jauh darinya."Mama akan bertahan," ucapnya lirih.Keesokkan harinya, Pangeran Frans pergi mengunjungi Dea dengan sekeranjang buah-buahan dan balon berwarna warni."Dea Sayang..." Pangeran Frans menyodorkan balon-balon yang sudah diikat pita ke hadapan
Yama memegang erat tangan Dea lalu berkata, "kita akan menjalani kematian bersama-sama. Aku mencintaimu, Dea."Dea mengangguk dan membiarkan Yama menciumnya. Sebuah ciuman perpisahan sekaligus penyatuan yang alami."Aku juga mencintaimu, Yama."Dea memekik tertahan saat merasakan pesawat yang mulai terjatuh dan ledakan-ledakan kecil terjadi.Panik membuat Dea terbangun dari tidurnya."Yama!" pekiknya lalu menyadari dirinya sedang terduduk di atas ranjang.Air mata mengalir membasahi wajahnya kembali.Tubuhnya penuh keringat . "Hanya mimpi..." desisnya dengan lirih."Aku sungguh merindukanmu, Yama."Dea menangis sejadi-jadinya di atas ranjang yang dingin dan sepi itu.***Keesokkan harinya, wajah Dea semakin pucat dan semakin kuyu. Dea bahkan tidak mengganti pakaiannya yang basah oleh keringat. Dia terlihat seperti boneka tidak bernyawa yang bersandar di sandaran ranjang, menatap kosong ke jendela.Di