Yama masih menatap Neneknya. Dia tidak percaya sepenuhnya karena dia mengenal kedua wanita beda generasi itu dengan baik. Ada hal lain yang perlu dipastikan sebelum ia benar-benar memutuskan segalanya.
"Nek, kamu ingin aku segera menyelesaikan proyek di Inggris, bukan?" tanyanya, mencoba menegaskan posisinya dalam keputusan ini.
Sang Nenek mengangguk lagi. "Ya, sesudah itu, kalian akan melangsungkan pernikahan. Hal itu sudah kusampaikan dari jauh hari sebelum kamu bertemu dengan Dea si murahan itu."
Meisya menahan senyum kemenangan di balik ekspresi datarnya. Ini berjalan lebih lancar dari yang ia bayangkan.
"Baik," Yama akhirnya berkata. "Aku akan segera berangkat ke Inggris dan menyelesaikan semuanya."
"Aku ikut," selak Meisya cepat, nadanya penuh ketegasan.
Yama menoleh padanya dengan ekspresi kesal. "Terserah!" sahutnya ketus sebelum beranjak pergi.
<"Siapkan semua dokumen yang diperlukan untuk perjalanan ke Inggris. Aku ingin kita berangkat dalam tiga hari. Selain itu, selidiki bagaimana cara mendapatkan perhatian dari sang Pangeran dan Ratu. Kita tidak bisa datang begitu saja dan berharap mereka tertarik dengan proyek kita. Kita harus mencari cara yang lebih cerdas."Bob mengangguk, mencatat perintah itu dalam kepalanya. "Baik, Tuan. Saya akan segera menghubungi beberapa kontak di sana dan mencari tahu informasi lebih lanjut.""Bagus. Dan satu hal lagi, pastikan kita mendapatkan akses ke pesta perayaan yang diadakan oleh sang Ratu. Itu akan menjadi langkah pertama kita."Bob tersenyum kecil. "Saya mengerti, Tuan. Saya akan memastikan undangan itu ada di tangan Anda sebelum keberangkatan kita."Namun sebelum Bob keluar ruangan, ia tampak ragu sejenak. Yama yang peka terhadap perubahan ekspresi orang-orang di sekitarnya segera menyadarinya.
Bob tidak tahan lagi. Dengan cepat, ia melangkah maju, menarik Jean dari genggaman Ayah tirinya."Hei, kau siapa? Sekuriti!" teriak Ayah tiri Jean mulai marah."Aku pacarnya," kata Bob dengan nada tegas. "Dan kamu hanya ayah tirinya. Kamu tidak punya hak mengurusnya!"Semua orang di ruangan itu terkejut. Termasuk Jean yang kini berada dalam pelukan Bob."Ada apa ini?" Ibu Jean datang menghampiri mereka dan sedikit terkejut melihat keberadaan Bob dalam pesta mereka, "hei, bagaimana kamu bisa masuk kemari?"Ayah tiri Jean menyipitkan mata. "Apa maksudmu? Panggil sekuriti, lepaskan putriku!"Bob menarik napas dalam sebelum mengucapkan kalimat yang membuat ruangan membeku."Kami bahkan sudah tinggal bersama. Kita akan menikah dalam waktu dekat! Jean milikku! Dia bukan putri kecil milikmu lagi, mengerti!? "Suasana mendadak hening.
Wanita itu bahkan membuang benihnya dengan menelan obat kontrasepsi, serendah itukah moralnya sebagai seorang wanita? Sejijik itukah dia untuk memiliki bayi bersamanya?Yama mendengus dan mengepalkan tangannya erat-erat! Sklera merah pada matanya membuat sorotan tatapannya tajam seperti elang yang hendak membunuh mangsanya. Dia membenci Dea!Setibanya di hotel, Yama langsung masuk ke suite mewahnya tanpa banyak bicara. Ia membuka laptop dan mulai membaca laporan-laporan yang dikirimkan Bob satu hari sebelumnya. Sementara Bob mengekori langkah majikannya sambil berulang kali meniup tangan dan menempelkannya ke telinga untuk mengatasi dengung akibat jetflag yang ia alami dalam setiap penerbangan.Setiap detail tentang proyek ini telah dipersiapkan dengan matang. Da membaca ulang daftar tamu yang akan menghadiri pesta kerajaan. Ada beberapa nama yang menarik perhatiannya—tokoh bisnis, politisi, serta anggota keluarga kerajaan
{Laporkan bahwa kartu itu hilang dan lakukan pencarian terhadap tersangka pencurian kartu.}Beberapa menit kemudian, perintah itu dijalankan. Dea masih berdiri di depan meja kasir saat membayar biaya tambahan untuk ayahnya. Tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara mesin EDC yang berbunyi nyaring."Maaf, kartu Anda ditolak," ujar petugas administrasi dengan ekspresi meminta maaf dan wajah penuh kecurigaan."Apa? Itu tidak mungkin," gumam Dea panik. Dia mengeluarkan kartu itu lagi dan mencobanya sekali lagi, tetapi hasilnya tetap sama. Kartu itu tidak dapat digunakan.Panik mulai menjalari tubuhnya. Dia mencoba menghubungi Meisya, tetapi jawaban dari mesin penjawab membuatnya semakin putus asa.Di saat yang sama, Meisya sedang berada di dalam pesawat ekonomi dan sedang berhadapan dengan beberapa hal yang membuatnya ingin muntah setiap saat."Maaf, Nona. Kartu ini telah dila
Pagi di London masih diselimuti kabut tipis ketika Yama menatap ponselnya dengan wajah dingin. Sejauh ini, Bob belum mendapatkan kabar apa pun tentang Dea. Setiap upaya untuk melacak keberadaannya di Inggris selalu menemui jalan buntu. Sepertinya nenek telah menggunakan kekuasaannya untuk menghalangi mereka mendapatkan informasi. Untuk saat ini, Yama memutuskan untuk fokus penuh pada proyek yang ditugaskan kepadanya.“Masih tidak ada kabar?” Yama bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari jendela suite hotelnya.Bob menggeleng. “Kami sudah mencoba berbagai cara, tapi tidak ada satu pun petunjuk. Sepertinya seseorang telah menutupi semua jejaknya dengan sangat rapi.”Yama menghela napas panjang, lalu merapikan dasinya. “Kalau begitu, kita mainkan dulu permainan ini sesuai aturan mereka.”Sesaat kemudian, Yama tiba di lapangan polo kerajaan dengan penuh persiapan. Ia mengenakan
Namun, secepat kilat, Dea melangkah mundur, kedua matanya melebar lalu berlari menjauh. “Aku bau sekali! Dan kau gila!” serunya tanpa menoleh lagi.Yama hanya bisa terpaku, menatap punggung Dea yang semakin menjauh, meninggalkannya dengan seribu pertanyaan yang belum terjawab. Yama bertempur dengan perasaannya sendiri, dia sangat membenci wanita itu sekaligus ingin menciumnya. "Ya, dia memang bau sekali saat ini, bau kuda! Tetapi aku benar-benar ingin menciumnya!" geram Yama dengan kedua mata mulai memerah bercampur amarah.“Bob!” panggilnya tiba-tiba.Asistennya yang selalu sigap itu segera menghampiri. “Ya, Tuan!”“Saya mengerti dan akan segera pergi mengikutinya untuk mencari tahu semua data!” kata Bob dengan penuh semangat.Yama sedikit terkejut. Menoleh, menatap Bob tanpa berkedip. Biasanya, ia harus memberi perintah lebih jelas,
Di dalam kamar hotel yang mewah dengan lampu redup, Meisya duduk di atas sofa berlapis beludru berwarna lembut. Jemarinya yang ramping menggulung layar ponsel berisi setumpuk foto yang baru saja dikirimkan kepadanya. Bibirnya menipis, matanya menyipit menatap gambar-gambar itu.Dea tampak tersenyum di salah satu foto, duduk berdampingan dengan Sanjaya di sebuah kafe. Di foto lain, pria itu terlihat menatapnya dengan intensitas yang sulit diartikan. Meisya menggigit bibirnya, menahan amarah yang mendidih di dadanya. "Tatapan penuh cinta! Menggelikan pria munafik ini!"Dalam foto lain, Sanjaya terlihat sedang menikmati makanannya dengan Dea di kursi rumah sakit. Sebuah pemandangan yang menunjukkan keakraban mereka dalam berbagi moment kebersamaan, tetapi Meisya tidak merasa tertarik sama sekali."Cih! Foto yang membuang uang!" geram Meisya.Dia sangat kesal karena Yama tetap saja memikirkan Dea, meskipun ia telah me
“Bagaimana kalau kita bersenang-senang sedikit sebelum Tuan Yama tiba?” Suara seorang pria membuat Dea berusaha sadar dari pengaruh wine yang diminumnya setengah jam yang lalu.“Iya, Tuan hanya menginginkan nyawanya. Toh, dia akan dibuang ke jurang sesudah itu.” Seorang pria lain menyahut sambil tertawa."Tuan Y-yama? J-jurang?" Perkataannya membuat kedua mata Dea membulat seketika dan panik. Melihat beberapa pria yang sedang mengelilinginya saat ini. Dea menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali, berusaha sadar dari pengaruh alkohol yang sudah semakin kuat menjalar di tubuhnya. Sebuah kamar mewah! Dia sadar harus segera melarikan diri walau kepalanya terasa sangat berat. Dia setengah mabuk.“Kalian siapa? Pergi!”Dea masih tidak mengerti bagaimana dia bisa terbangun di ranjang dengan beberapa pria berwajah sangar menatapnya seolah-olah mereka sangat lapar.Satu jam sebelumnya, dia menyaksikan bagaimana kekasihnya berlutut di hadapan salah seorang teman kerjanya. Sebuah cincin memb
Di dalam kamar hotel yang mewah dengan lampu redup, Meisya duduk di atas sofa berlapis beludru berwarna lembut. Jemarinya yang ramping menggulung layar ponsel berisi setumpuk foto yang baru saja dikirimkan kepadanya. Bibirnya menipis, matanya menyipit menatap gambar-gambar itu.Dea tampak tersenyum di salah satu foto, duduk berdampingan dengan Sanjaya di sebuah kafe. Di foto lain, pria itu terlihat menatapnya dengan intensitas yang sulit diartikan. Meisya menggigit bibirnya, menahan amarah yang mendidih di dadanya. "Tatapan penuh cinta! Menggelikan pria munafik ini!"Dalam foto lain, Sanjaya terlihat sedang menikmati makanannya dengan Dea di kursi rumah sakit. Sebuah pemandangan yang menunjukkan keakraban mereka dalam berbagi moment kebersamaan, tetapi Meisya tidak merasa tertarik sama sekali."Cih! Foto yang membuang uang!" geram Meisya.Dia sangat kesal karena Yama tetap saja memikirkan Dea, meskipun ia telah me
Namun, secepat kilat, Dea melangkah mundur, kedua matanya melebar lalu berlari menjauh. “Aku bau sekali! Dan kau gila!” serunya tanpa menoleh lagi.Yama hanya bisa terpaku, menatap punggung Dea yang semakin menjauh, meninggalkannya dengan seribu pertanyaan yang belum terjawab. Yama bertempur dengan perasaannya sendiri, dia sangat membenci wanita itu sekaligus ingin menciumnya. "Ya, dia memang bau sekali saat ini, bau kuda! Tetapi aku benar-benar ingin menciumnya!" geram Yama dengan kedua mata mulai memerah bercampur amarah.“Bob!” panggilnya tiba-tiba.Asistennya yang selalu sigap itu segera menghampiri. “Ya, Tuan!”“Saya mengerti dan akan segera pergi mengikutinya untuk mencari tahu semua data!” kata Bob dengan penuh semangat.Yama sedikit terkejut. Menoleh, menatap Bob tanpa berkedip. Biasanya, ia harus memberi perintah lebih jelas,
Pagi di London masih diselimuti kabut tipis ketika Yama menatap ponselnya dengan wajah dingin. Sejauh ini, Bob belum mendapatkan kabar apa pun tentang Dea. Setiap upaya untuk melacak keberadaannya di Inggris selalu menemui jalan buntu. Sepertinya nenek telah menggunakan kekuasaannya untuk menghalangi mereka mendapatkan informasi. Untuk saat ini, Yama memutuskan untuk fokus penuh pada proyek yang ditugaskan kepadanya.“Masih tidak ada kabar?” Yama bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari jendela suite hotelnya.Bob menggeleng. “Kami sudah mencoba berbagai cara, tapi tidak ada satu pun petunjuk. Sepertinya seseorang telah menutupi semua jejaknya dengan sangat rapi.”Yama menghela napas panjang, lalu merapikan dasinya. “Kalau begitu, kita mainkan dulu permainan ini sesuai aturan mereka.”Sesaat kemudian, Yama tiba di lapangan polo kerajaan dengan penuh persiapan. Ia mengenakan
{Laporkan bahwa kartu itu hilang dan lakukan pencarian terhadap tersangka pencurian kartu.}Beberapa menit kemudian, perintah itu dijalankan. Dea masih berdiri di depan meja kasir saat membayar biaya tambahan untuk ayahnya. Tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara mesin EDC yang berbunyi nyaring."Maaf, kartu Anda ditolak," ujar petugas administrasi dengan ekspresi meminta maaf dan wajah penuh kecurigaan."Apa? Itu tidak mungkin," gumam Dea panik. Dia mengeluarkan kartu itu lagi dan mencobanya sekali lagi, tetapi hasilnya tetap sama. Kartu itu tidak dapat digunakan.Panik mulai menjalari tubuhnya. Dia mencoba menghubungi Meisya, tetapi jawaban dari mesin penjawab membuatnya semakin putus asa.Di saat yang sama, Meisya sedang berada di dalam pesawat ekonomi dan sedang berhadapan dengan beberapa hal yang membuatnya ingin muntah setiap saat."Maaf, Nona. Kartu ini telah dila
Wanita itu bahkan membuang benihnya dengan menelan obat kontrasepsi, serendah itukah moralnya sebagai seorang wanita? Sejijik itukah dia untuk memiliki bayi bersamanya?Yama mendengus dan mengepalkan tangannya erat-erat! Sklera merah pada matanya membuat sorotan tatapannya tajam seperti elang yang hendak membunuh mangsanya. Dia membenci Dea!Setibanya di hotel, Yama langsung masuk ke suite mewahnya tanpa banyak bicara. Ia membuka laptop dan mulai membaca laporan-laporan yang dikirimkan Bob satu hari sebelumnya. Sementara Bob mengekori langkah majikannya sambil berulang kali meniup tangan dan menempelkannya ke telinga untuk mengatasi dengung akibat jetflag yang ia alami dalam setiap penerbangan.Setiap detail tentang proyek ini telah dipersiapkan dengan matang. Da membaca ulang daftar tamu yang akan menghadiri pesta kerajaan. Ada beberapa nama yang menarik perhatiannya—tokoh bisnis, politisi, serta anggota keluarga kerajaan
Bob tidak tahan lagi. Dengan cepat, ia melangkah maju, menarik Jean dari genggaman Ayah tirinya."Hei, kau siapa? Sekuriti!" teriak Ayah tiri Jean mulai marah."Aku pacarnya," kata Bob dengan nada tegas. "Dan kamu hanya ayah tirinya. Kamu tidak punya hak mengurusnya!"Semua orang di ruangan itu terkejut. Termasuk Jean yang kini berada dalam pelukan Bob."Ada apa ini?" Ibu Jean datang menghampiri mereka dan sedikit terkejut melihat keberadaan Bob dalam pesta mereka, "hei, bagaimana kamu bisa masuk kemari?"Ayah tiri Jean menyipitkan mata. "Apa maksudmu? Panggil sekuriti, lepaskan putriku!"Bob menarik napas dalam sebelum mengucapkan kalimat yang membuat ruangan membeku."Kami bahkan sudah tinggal bersama. Kita akan menikah dalam waktu dekat! Jean milikku! Dia bukan putri kecil milikmu lagi, mengerti!? "Suasana mendadak hening.
"Siapkan semua dokumen yang diperlukan untuk perjalanan ke Inggris. Aku ingin kita berangkat dalam tiga hari. Selain itu, selidiki bagaimana cara mendapatkan perhatian dari sang Pangeran dan Ratu. Kita tidak bisa datang begitu saja dan berharap mereka tertarik dengan proyek kita. Kita harus mencari cara yang lebih cerdas."Bob mengangguk, mencatat perintah itu dalam kepalanya. "Baik, Tuan. Saya akan segera menghubungi beberapa kontak di sana dan mencari tahu informasi lebih lanjut.""Bagus. Dan satu hal lagi, pastikan kita mendapatkan akses ke pesta perayaan yang diadakan oleh sang Ratu. Itu akan menjadi langkah pertama kita."Bob tersenyum kecil. "Saya mengerti, Tuan. Saya akan memastikan undangan itu ada di tangan Anda sebelum keberangkatan kita."Namun sebelum Bob keluar ruangan, ia tampak ragu sejenak. Yama yang peka terhadap perubahan ekspresi orang-orang di sekitarnya segera menyadarinya.
Yama masih menatap Neneknya. Dia tidak percaya sepenuhnya karena dia mengenal kedua wanita beda generasi itu dengan baik. Ada hal lain yang perlu dipastikan sebelum ia benar-benar memutuskan segalanya."Nek, kamu ingin aku segera menyelesaikan proyek di Inggris, bukan?" tanyanya, mencoba menegaskan posisinya dalam keputusan ini.Sang Nenek mengangguk lagi. "Ya, sesudah itu, kalian akan melangsungkan pernikahan. Hal itu sudah kusampaikan dari jauh hari sebelum kamu bertemu dengan Dea si murahan itu."Meisya menahan senyum kemenangan di balik ekspresi datarnya. Ini berjalan lebih lancar dari yang ia bayangkan."Baik," Yama akhirnya berkata. "Aku akan segera berangkat ke Inggris dan menyelesaikan semuanya.""Aku ikut," selak Meisya cepat, nadanya penuh ketegasan.Yama menoleh padanya dengan ekspresi kesal. "Terserah!" sahutnya ketus sebelum beranjak pergi.
“Jadi, kau baru menyadarinya sekarang?”Suara lembut itu menyusup masuk ke dalam ruangannya seperti angin dingin. Yama tidak menoleh. Bahkan tidak menegadahkan kepalanya. Ia tahu siapa yang berbicara. Meisya, wanita yang selama ini duduk di sisi sang nenek, menatapnya dengan senyum simpati yang penuh arti.“Aku sudah menduganya sejak awal,” lanjut Meisya, berdiri dengan anggun lalu melangkah mendekati Yama dan duduk di sampingnya dengan elegan.“Tapi aku tidak ingin ikut campur. Aku ingin kau sendiri yang menyadari siapa Dea sebenarnya.”"Namun, dari hari ke hari, dia malah semakin menjadi-jadi."Yama diam. Matanya masih terpaku pada bukti-bukti di hadapannya. Meisya bergerak perlahan, lalu dengan lembut mengambil salah satu foto yang ada di meja dan menatapnya dengan tatapan menyelidik.“Dia tidak pernah benar-benar mencintaimu, Yama,” bisiknya pelan,