Dea tidak mampu terlepas dari rasa terkejutnya. "Eh, kau tahu?"
"Tentu saja tahu." Yama mengelap tangannya yang kotor dengan sebuah handuk kecil lalu menatap Dea lebih serius.
"Untuk setiap uang yang masuk ke dompetmu, ada perjanjian yang harus ditanda tangani." Yama mendekatkan bibirnya ke telinga Dea seraya berbisik, "Katakan. Apa yang sudah kalian sepakati di belakangku?"
Dea mengerjapkan kedua matanya, dia bingung bagaimana mengatakan yang sebenarnya bahwa dia menerima sejumlah uang itu sebagai persyaratan untuk memutuskan hubungan dengan pria di hadapannya saat ini.
"A-aku..."
Yama terkekeh. "Baiklah, kalau kamu memang penasaran, kenapa tidak sekalian membantuku bekerja? Aku butuh seseorang untuk membantu menyusun barang di rak."
Dea mendengus. "Aku bukan karyawan di sini."
"Tapi sepertinya kamu terlalu penasaran untuk pergi." Yama menatapny
Yama tertawa kecil. "Baiklah. Tapi aku berharap kita bisa bertemu lagi, Dea. Aku tinggal di sekitar sini. Mari kita bertemu lain kali!"Dea tidak menjawab, hanya berjalan cepat keluar dari toko, mencoba menenangkan debaran aneh di dadanya. "Dia tingggal di sekitar sini?" Dea bergumam dengan kesal dan memegang erat tas jinjingnya."Apa-apaan tadi, menjadi kekasih? Bayar Nenekmu satu milyar dulu!" omel Dea sepanjang jalan.Di satu sisi dia merasa menyesal dengan keputusannya untuk menandatangani perjanjian seharga itu, tetapi uang itu juga dibutuhkan olehnya."Mau mencari kesempatan dari mana bila menolak satu milyar dengan mudah?""Uang tidak akan jatuh dari langit, Dea. Begitu pula pria tampan.""Neneknya membayar langsung, pasti karena dia memiliki kekuatan untuk menghancurkan bila perjanjian dilanggar. Dea, sadarlah!" bathin Dea seraya menepuk keningnya sendiri beberapa kali sambil melangkah menuju
“Kamu kenapa balik lagi?” tanya Dea bingung.Yama mengulurkan sesuatu. “Ini hapemu ketinggalan.”Dea menatap ponselnya di tangan Yama. Dia benar-benar tak punya alasan lagi untuk tetap marah.“Astaga.” Dea mendesah dan mengambil ponselnya. “Dengar, aku mungkin keterlaluan. Maaf.”Yama mengangkat bahu, tetapi tidak mengatakan apa-apa.Dea menggigit bibir, lalu menatap luka di wajah Yama. “Itu pasti sakit.”“Ya, terima kasih sudah menyadari,” balas Yama sarkastik.Dea menghela napas. “Ayo ikut aku.”“Kemana?”“Ke klinik. Itu luka harus diobati.”Yama mengangkat sebelah alis. “Oh, jadi sekarang kamu sedang peduli, atau sedang menjalani skenario drama yang kamu sebutka
"Seandainya mereka tahu dia itu gigolo yang menyamar, maka mereka akan bersikap lebih ketus," kekeh Dea dalam hati seraya menghibur dirinya sendiri.Sesaat kemudian, waktu berjalan terlalu lama hanya untuk sebuah pengobatan ringan. Dea tidak tahan lagi. Ia berdiri menuju ke meja kasir, hendak membayar biaya pengobatan."Hei, tunggu! Mau ke mana?" tanya Yama, setengah bingung."Membayar! Bukankah kamu bilang aku yang harus bertanggung jawab?" sahut Dea dengan nada ketus.Yama tersenyum tipis dan mengangguk kecil. Namun, beberapa detik kemudian, Dea berteriak saat melihat tagihan."Gila! Dua ratus ribu untuk perban dan antiseptik seharga lima ribu per botol?!" serunya kaget.Dengan wajah tidak percaya, Dea melangkah keluar untuk membaca nama klinik yang tertempel di depan pintu masuk. Lalu, dengan suara keras, ia membaca tulisan di papan nama."Klinik He
"Uangku terbatas, dan aku lebih milih buat beli makan malam daripada bayar ojek," katanya tegas.Yama mengangguk-angguk, lalu tanpa peringatan, ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan beberapa lembar uang. "Nih, buat ojek."Dea menatap uang itu dengan ekspresi horor. "Nggak! Aku nggak butuh belas kasihan!""Siapa yang bilang ini belas kasihan? Ini investasi.""Investasi apa?""Investasi biar kamu nggak terlibat drama lain di tengah jalan dan bikin aku kena masalah."Dea mengerang frustasi. "Aku nggak akan terlibat drama lagi selama kamu tidak ada di sekitarku! Sudahlah, aku naik bus saja."Yama hanya mengangkat bahu. "Oke, terserah kamu. Aku sih tetap di sini sampai busnya datang.""Kenapa?""Karena aku baik hati." Ia tersenyum lebar."Dan aku ingin dekat-dekat denganmu." Yama mengatakan
Jean sudah menunggu di pemberhentian bus, tepat seperti instruksi Dea. Ia duduk di atas motor dengan ekspresi datar, sesekali memainkan ponselnya. Begitu melihat sosok Dea berjalan mendekat, ia segera menegakkan tubuh dan menghidupkan mesin.Dari kejauhan, Yama melangkah mendekat. Napasnya sedikit berat, mungkin karena luka di bahunya yang masih nyeri. Namun, bukan itu yang membuatnya merasa lebih sakit. Melainkan pemandangan Dea yang seolah tak ingin lagi ada hubungannya dengan dirinya."Sampai bertemu lagi," ujar Yama dengan suara yang lebih pelan dari biasanya, tapi penuh ketulusan.Dea menoleh sekilas. Mata mereka bertemu. Tapi yang ia lihat bukan kerinduan, bukan juga harapan. Hanya dingin."Lebih baik tidak usah," sahut Dea tanpa ekspresi. "Urus dirimu sendiri, Yama. Setelah malam itu, kita tak punya urusan lagi."Yama mengernyit. Ada sesuatu dalam nada suara Dea yang membu
Beberapa saat kemudian, Yama menatap pemandangan di hadapannya dengan mata menyipit tajam. Di lantai ruang tamunya yang berukuran sempit, dua orang tergeletak dengan wajah lembam dan pakaian kusut.Lelaki itu, Sanjaya, tampak menggigit bibirnya untuk menahan rasa sakit, sementara wanita di sampingnya, Melia, menangis pelan dengan tubuh gemetar. Mereka berdua jelas habis menerima perlakuan kasar.Di sudut ruangan, Bob berdiri tegak, tangannya masih berlumuran darah yang tidak jelas milik siapa. Mata anak buah kepercayaannya itu memancarkan kepuasan, seolah baru saja menyelesaikan tugas besar yang membanggakan."Apa yang sudah kau lakukan, Bob?" Suara Yama terdengar datar dengan tatapan dingin, ada bahaya yang mengintai di balik ketenangan itu.Bob mengangkat kepalanya, tampak bingung dengan reaksi Yama. "Saya hanya menjalankan perintah, Tuan.""Perintah?" Yama mendekat dengan langkah berat. "Sa
Malam itu, di rumah Jean yang kecil namun nyaman, Dea duduk di tepi ranjang dengan wajah penuh keraguan. Jean yang tengah merapikan beberapa buku di mejanya menoleh dan menatap Dea dengan tajam."Aku ingin pulang besok, Jean," kata Dea dengan suara pelan, namun cukup jelas untuk didengar oleh sahabatnya.Jean segera meletakkan bukunya dan menatap Dea tajam. "Tidak! Kau tidak boleh pulang."Dalam hati, Jean sebenarnya ingin mengatakan, 'Apalagi setelah ada kesepakatan dengan Yama.' Namun, Jean masih memilih merahasiakan pertemuan singkat mereka.Dea menghela napas. "Tapi, Jean... Aku merasa bersalah meninggalkan Ibu dan Adikku begitu saja. Ayahku juga sedang sakit. Hum,mereka pasti butuh aku."Jean mendengus dan melipat tangannya di dada. "Kau tahu, Dea? Mereka hanya akan terus menguras uangmu. Kau tahu betul itu. Lebih baik kau menghindar sementara sampai keadaan lebih tenang."Dea terdiam, menunduk dan memikirkan perkataan Jean. Ia tahu sahabatnya itu tidak asal bicara. Ada kebenaran
Pria itu hanya sebuah iklan lewat bagi dirinya yang tidak pernah mempercayai makhluk berjenis kelamin 'laki-laki'.Jean meletakkan ponselnya di meja, lalu berbaring. Matahari besok akan membawa hari baru, dan ia harus siap menghadapi Dea dengan argumen yang lebih kuat agar sahabatnya itu tetap tinggal.***Pagi-pagi sekali, ponsel Dea sudah bergetar tanpa henti. Nama "Ibu" berkedip di layar, dan seperti yang sudah diduga, panggilan itu bukan sekadar menanyakan kabarnya."Dea, kamu ada uang, kan? Rumah sakit sudah menagih lagi," suara ibunya terdengar mendesak, tanpa basa-basi.Dea menekan ujung hidungnya yang terasa dingin, berusaha mengusir lelah yang belum sepenuhnya pergi."Tapi semalam, aku baru membayar enam puluh juta dan-""Ya, kau kira operasi itu murah? Itu hanya pembayaran pertama!" potong ibunya tanpa membiarkan kesempatan bagi Dea untuk mengatakan lebih lanjut.
"Anak yang tidak bersalah itu harus mendapat kedudukan di kerajaan daripada menjadi budak bagi Nenek munafik itu!" geramnya.Ratu mulai memikirkan taktik untuk tetap mempertahankan Dea di sisinya."Atur pernikahan Dea dengan Pangeran Frans dalam dua hari lagi!" perintahnya kepada seorang asistennya.***Dea menghela napas panjang saat lagi-lagi langkahnya dibatasi oleh bayangan hitam para pengawal kerajaan. Di mana pun ia berada, entah itu taman belakang istana, ruang baca, bahkan lorong menuju kamarnya, selalu ada setidaknya dua pasang mata yang mengawasi. Entah sada berapa banyak pengawal yang berkeliaran di dalam rumah besar yang dia tempati saat ini.Ia tahu maksud Ratu baik. Pengawalan itu adalah bentuk perlindungan, katanya. Alasannya adalah karena Dea adalah seorang Lady yang dihormati dan akan memiliki status tinggi saat menikah dengan Pangeran Frans.Tapi bagi Dea
Pintu terbuka, seorang pelayan masuk, membawa kabar bahwa Yama sudah selesai terapi pagi dan sedang membaca buku di taman.Wanita tua itu segera menenangkan ekspresinya lalu memberikan isyarat dengan tangan agar pelayan itu kembali ke posisinya.“Kamu boleh pergi sekarang,” katanya pada pria itu. “Dan pastikan laporan ini tidak bocor ke siapa pun, termasuk Meisya.”"Baik, Nyonya."Setelah ruangan kembali sepi, wanita tua itu duduk dengan perlahan di kursi empuknya. Rasa lelah mulai merambat ke seluruh tubuhnya, tapi pikirannya terus bekerja. Ia tidak akan membiarkan satu momen pun luput dari perhitungannya.***Tiba-tiba, telepon antik di meja berdering. Nenek Yama mengangkatnya dengan cepat.“Ya?”“Yang Mulia Ratu Inggris ingin berbicara,” ujar suara di ujung sana.
“Tetap di sini sebentar lagi,” potong Yama pelan. Suaranya berat, masih serak pagi.Meisya membeku. Lalu tersenyum tipis, dan kembali menyandarkan kepala di dadanya. Memeluk pinggang pria itu dengan erat.Namun, diam-diam, Yama hanya ingin mencoba membangunkan sesuatu dalam dirinya.Beberapa menit berlalu dan Yama kembali merasa kesal dengan dirinya serta ketidakmampuan yang dia miliki saat ini. Bagian bawah celananya sama sekali tidak beraksi walau kedua bukit depan milik Meisya menempel erat di tubuhnya.Hari itu, sesi terapi Yama lebih semangat dari biasanya. Ia mulai bisa berjalan beberapa langkah tanpa tongkat, hanya dengan bantuan tangan Meisya yang menggenggamnya erat dari samping. Walau beberapa kali terjatuh dan peluh keringat membasahi wajah dan pakaiannya, Yama tidak menyerah.“Bagus, Tuan Yama,” ucap fisioterapis dengan kagum. “Luar biasa untuk pasien
Meisya tertegun. “Kenapa kamu bertanya seperti itu?” Hati Meisya berdebar, sangat takut terhadap penolakan untuk kesekian kalinya.Yama diam. Menunggu kelanjutan kalimat wanita itu.“Karena... aku tidak tahu sampai kapan aku akan seperti ini. Aku tidak bisa berpaling darimu," sahut Meisya beberapa saat kemudian.Meisya tersenyum, menatap bintang. “atau mungkin karena aku tidak mencintai orang lain. Hanya kamu, Yama.”Yama menatap wajah Meisya dalam keremangan cahaya. Gadis itu terlihat sangat cantik dan tanpa celah. Secara keseluruhan melebih Dea yang mencuri hatinya selama ini.Lalu perlahan, ia menyentuh jemari gadis itu.Untuk pertama kalinya, sentuhan itu bukan karena ingin dibantu berjalan. Tapi karena keinginan untuk berterima kasih.“Kalau waktu bisa menyembuhkan kakiku,” bisik Yama, “apa waktu jug
Hari-hari itu panjang, melelahkan, dan penuh luka yang tidak pernah benar-benar terucap. Namun Meisya bertahan. Dia mencintai Yama sejak kecil. Semua kelicikan yang dia perbuat kepada Dea adalah karena kecemburuannya.Adapun kesalahan terbesarnya adalah bahwa dia mencelakakan hidup mendiang ibu Yama, namun semua itu adalah karena perintah Nenek Yama sendiri dan dia hanya melakukan beberapa tugas yang tanpa sengaja mencelakakan wanita malang itu. Meisya berada dalam ketakutan setiap mengingat kapan waktunya Yama mengetahui rahasia terdalamnya, namun lebih takut lagi bila kehilangan diri Yama.Ketika dokter mengatakan Yama harus mulai menjalani terapi jalan agar saraf di kakinya kembali aktif, Meisya adalah orang pertama yang menawarkan diri untuk membantu. Dengan sabar, ia menggenggam tangan Yama, melangkah pelan-pelan menyusuri lorong rumah sakit.“Kamu tidak harus cepat. Satu langkah saja sudah cukup hari ini,” ucap Meisy
Pintu kamar terbuka perlahan, Yama menoleh, sosok ramping dengan setangkai bunga dan sebuah rantang thermal. Meisya melangkah masuk dengan senyum penuh kelembutan, meski wajahnya terlihat sedikit kuyu karena terlalu sering menangis.“Yama…” bisiknya lembut, “aku datang.”Tak ada reaksi. Yama menatap langit-langit seakan tak ada siapa pun di ruangan itu. Di antara semua orang yang menjengguknya, dia paling tidak ingin bertemu dengan Meisya. Namun wanita itu sangat rajin walau sering menerima penolakan keras dari Yama.Yama bahkan pernah melempar bubur yang dibawa Meisya.Meisya meletakkan bunga krisan kecil berwarna-warni di meja samping ranjang pasien. Lalu ia duduk perlahan di kursi besi, membuka rantang bubur, dan mengaduk perlahan. Aromanya ayam herbal memenuhi udara. Uap mengepul dari rantang thermal tersebut. Berhasil mencuri perhatian Yama karena wanginya.“Kamu harus makan, Sayang” kata
Namun, adakah dia bisa begitu tega untuk membiarkan anak itu hidup tanpa dukungan dari orang yang seharusnya bertanggung jawab? Selama ini, dia berusaha melihat sisi baik dari Yama, berharap ada cinta yang tersembunyi di dalamnya, meskipun ia tidak pernah mengungkapkannya. Sampai detik ini pun, dia masih belum memiliki kabar dari Yama selain mimpi buruk yang membuatnya kecewa.Pangeran Frans melangkah mendekat, tatapannya masih tidak berubah. "Sayangku, Dea...kamu harus memikirkan masa depan anakmu, Cintaku. Jangan biarkan dirimu terjebak dalam bayang-bayang masa lalu dan harapan kosong. Lupakan Yama.""Kamu tahu, mengapa aku memutuskan mengejarmu? Padahal sebelumnya aku membantu pertemuan kalian dengan menculikmu?"Dea menengadahkan kepalanya, menatap Pangeran Frans dalam-dalam."Karena dia terlalu pengecut!" geram Pangeran Frans."Aku sudah membantu dengan menculikmu, tetapi tidak ada yang dapat dia bahas atau lakukan.
Sementara di kamar Dea, Dea terkejut mendapati kabar dari sang Dokter yang memeriksanya bahwa dirinya sudah hamil."Ini adalah anak Yama," gumamnya dengan perasaan tidak menentu seraya memeang perutnya yang masih datar.Kedua matanya berkaca-kaca, antara menerima kenyataan yang seharusnya membuat dirinya bahagia. Dia sangat mencintai Yama dari lubuk hati terdalamnya. Satu-satunya pria yang pernah menyentuhnya hanya Yama."Kamu adalah bukti cinta Mama kepada Papamu," bisik Dea dengan suara bergetar. Dia ingat malam bergairah milik mereka berdua. Dia merindukan semua sentuhan panas dari pria yang sangat dia cintai itu. Pria yang sudah jauh darinya."Mama akan bertahan," ucapnya lirih.Keesokkan harinya, Pangeran Frans pergi mengunjungi Dea dengan sekeranjang buah-buahan dan balon berwarna warni."Dea Sayang..." Pangeran Frans menyodorkan balon-balon yang sudah diikat pita ke hadapan
Yama memegang erat tangan Dea lalu berkata, "kita akan menjalani kematian bersama-sama. Aku mencintaimu, Dea."Dea mengangguk dan membiarkan Yama menciumnya. Sebuah ciuman perpisahan sekaligus penyatuan yang alami."Aku juga mencintaimu, Yama."Dea memekik tertahan saat merasakan pesawat yang mulai terjatuh dan ledakan-ledakan kecil terjadi.Panik membuat Dea terbangun dari tidurnya."Yama!" pekiknya lalu menyadari dirinya sedang terduduk di atas ranjang.Air mata mengalir membasahi wajahnya kembali.Tubuhnya penuh keringat . "Hanya mimpi..." desisnya dengan lirih."Aku sungguh merindukanmu, Yama."Dea menangis sejadi-jadinya di atas ranjang yang dingin dan sepi itu.***Keesokkan harinya, wajah Dea semakin pucat dan semakin kuyu. Dea bahkan tidak mengganti pakaiannya yang basah oleh keringat. Dia terlihat seperti boneka tidak bernyawa yang bersandar di sandaran ranjang, menatap kosong ke jendela.Di