Hatinya berdegup kencang, bukan karena rasa malu, tetapi karena kebingungan.
"Buka dalamanmu!"
Dea menggeleng dengan rasa panik. Yama menatapnya dengan mata penuh intensitas. Dalam tatapan itu, ada sesuatu yang lebih dari sekadar nafsu. Ada permohonan.
"Tolong aku."
Dea membeku. Ia bisa melihat kelelahan dalam sorot mata Yama. Ia tidak sedang bermain-main.
Dea menggigit bibirnya, tangannya gemetar. Ia ingin berteriak, ingin marah, ingin meminta penjelasan. Tapi sesuatu dalam dirinya menyuruhnya percaya. Maka ia pun pasrah. Dea membuka dalamannya lalu menutupi dengan handuk.
"Tidurlah di ranjang," perintahnya kepada Dea.
Lalu Yama bergerak membuka pintu. Di luar, Meisya berdiri dengan wajah penuh harap. Namun, begitu melihat apa yang ada di balik pintu, wajahnya langsung pucat.
Yama hanya mengenakan handuk yang melilit di pinggangny
Dea langsung tersentak mundur. Matanya melebar, dadanya berdegup lebih cepat."Apa maksudmu…?"Yama mengusap wajahnya kasar. Menelusuri lekuk tubuh Dea yang hanya tertutup handuk sebagian. Betapa menderita bagian dirinya yang meronta sedari tadi.Betapa dia menginginkan wanita itu lebih dari obat yang dia membuatnya menderita. Artinya, tanpa obat sekalipun, dia sangat menginginkan Dea."Aku tahu ini salah… Tapi aku masih terpengaruh obat itu, Dea. Aku tidak bisa ke rumah sakit dalam kondisi seperti ini! Aku tidak bisa membiarkan siapa pun melihatku seperti ini!"Napas Dea tercekat. Sekarang dia paham.Dea menggigit bibirnya, menatap pria di depannya. Yama masih juga berjuang melawan efek yang menyerangnya. Mata Yama terlihat gelap, penuh gejolak yang ia sendiri tidak bisa kendalikan walau pria itu sudah mencoba menenggalamkan dirinya ke dalam air dingin.
Saat pagi menyapa, sinar matahari mulai menyelinap masuk melalui celah gorden kamar hotel. Udara masih dingin, dan suasana begitu sunyi.Dea membuka matanya lebih dulu.Dia menoleh ke arah Yama, yang masih terlelap di ranjang. Napasnya kini lebih tenang, tubuhnya tidak lagi gemetar seperti semalam."Tampan sekali pria ini," gumamnya lembut menelusuri wajah Yama yang terlihat maskulin. Pria itu tidur dengan tenang seolah-olah semua masalahnya tidak pernah ada."Yama terlihat sudah mulai pulih. Sepertinya tidak ada lagi efek obat jahanam itu", bathin Dea seraya menelusuri sosok bak model sempurna yang terlelap di sampingnya.Dea menarik napas lega. Untung saja dia bertahan semalam walau sempat pingsan beberapa kali.Namun, sebelum Yama bangun, Dea memutuskan untuk pergi lebih dulu. Dia butuh waktu untuk berpikir, tentang semua yang terjadi.Tentang bagai
Nenek Yama tidak langsung menjawab, tapi matanya memperhatikan Dea dengan tatapan dalam dan menilai. Setelah beberapa detik hening, ia mengangguk kecil."Sial sekali kamu, nak." Suaranya terdengar tajam. "Wajahmu sendiri yang membuatmu celaka. Kau tidak seharusnya mirip dengan Ibu Yama."Dea tertegun."Jadi ini alasannya?" batinnya bertanya.Dea masih merasakan dinginnya air yang mengguyur tubuhnya, membangunkannya dari ketidaksadaran. Matanya masih sedikit buram, tetapi suara di sekitarnya mulai jelas.Meisya dan seorang wanita tua berdiri di depannya."Nenek Yama?" Dea menelan ludah, masih mencoba memahami situasi. Apakah wanita tua itu adalah nenek Yama? Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa mereka membawanya ke sini?Tapi yang paling mengganggu pikirannya adalah kata-kata Meisya barusan yang mengatakan bahwa dia mirip dengan Ibu Yama.
Nenek Yama terkejut dan mengenggam kepala tongkatnya lebih erat, memikirkan sebuah pertimbangan sementara Meisya membeku.Seolah tidak ada yang menyangka Dea akan berkata seperti itu.Nenek Yama menatapnya tajam, berusaha mencari kebohongan di wajahnya. Tapi Dea tetap tenang.Meisya menggertakkan giginya."Tidak mungkin!" serunya, wajahnya merah padam. "Kau hanya pura-pura! Kau ingin terlihat tidak tertarik, tapi sebenarnya kau hanya menunggu waktu untuk masuk ke dalam keluarga ini!"Dea menatap Meisya dengan ekspresi datar. "Percaya atau tidak, itu urusanmu. Kemarikan obat itu dan berikan sedikit air minum."Nenek Yama menghela napas panjang. "Meisya," katanya dengan nada lebih tenang. "Diamlah sebentar."Meisya terkejut. "Nenek! Kau tidak bisa mempercayainya!""Tidak ada gunanya menahan seseorang yang tidak punya ke
"Hmm, dia mungkin sudah jatuh cinta padaku," tantang Dea, sengaja memperkeruh suasana karena dia merasa kesal dengan tawaran yang tidak bisa dia tolak tetapi segan dia ambil juga.Nenek Yama memperhatikan dengan tatapan tajam. Dea tidak menunjukkan tanda-tanda tergoda. Sikapnya netral dan ketus sehingga Nenek Yama tidak sanggup menebak dengan jelas.Meisya mengepalkan tangannya. "Jangan banyak bicara! Tandatangani saja!"Dea menyeringai. "Dan jika aku menolak?""Maka kau tidak akan keluar dari rumah ini dengan mudah." Meisya menyilangkan tangan, senyum penuh ancaman terukir di wajahnya.Dea tertawa lagi, kali ini lebih dingin. Lututnya semakin gemetar, tetapi dia tetap berusaha tenang.Ia mengambil kertas itu, lalu tanpa ragu merobeknya di depan wajah Meisya.Sret! sret!Suara kertas yang terkoyak memenuhi ruangan.
"Kirim uang itu ke rekeningku," ucap Dea dengan suara lemah. Dia tidak ingin setelah menandatangani perjanjian, mereka akan mengingkari janji dan akan sangat kesulitan juga membawa koper berisi uang sebanyak itu. Dia tidak berharap dirampok dan dia pastinya akan kesulitan dalam menyimpan uang tersebut."Bisa diatur," ucap Meisya lalu segera mengangkat ponselnya. Memerintahkan sesuatu kepada suara seberang panggilan.Tidak lama kemudian, ponsel Dea berdering. Dea segera mendapatkan pesan berhasil masuknya dana secara online.Dea membelalak, terkejut dengan jumlah angka nol yang tertera. Dia menelan salivanya.Nenek Yama benar-benar bukan seseorang yang biasa. Walau Dea masih heran apa alasan Yama menjadi pria penghibur, tetapi tidak ada keinginan untuk tahu lebih lanjut.Dia hanya perlu keluar dari kehidupan aneh ini. Putuskan hubungannya dengan Yama. Sesuatu yang harus dia lakukan sejak
“Nanti aku jelaskan.” Dea tak ingin membuang waktu. Ia segera berjalan ke loket administrasi, menyiapkan pembayaran.Beberapa saat kemudian, saat Dea baru saja menyelesaikan pembayaran saat tangan ibunya mencengkeram lengannya dengan kuat.“Apa yang kau lakukan?” Suara ibunya gemetar, setengah berbisik, setengah menahan amarah. “Dari mana uang sebanyak itu, Dea?”Dea menelan ludah. “Bu, nanti aku jelaskan. Yang penting Ayah bisa dioperasi dulu.”Tapi ibunya tidak puas dengan jawaban itu. Matanya yang penuh curiga menatap Dea tajam. “Jangan bilang kau—” Napasnya tersengal, lalu dengan suara tertahan ia bertanya, “Kamu menjual diri?”Degh.Dea terbelalak, terkejut sekaligus sakit hati. “Bu, astaga! Kenapa Ibu bisa berpikir begitu?”Tapi ibunya tak mau
Dunia Dea seperti meledak seketika.“Ibu!” teriaknya, matanya melebar karena amarah yang tak bisa ia tahan lagi."Uang apa?" Jean merasa bingung, tapi sebelum situasi semakin buruk, Jean segera menarik tangannya. “Ayo pergi,” bisiknya tegas.Dea masih terengah-engah karena kemarahannya, tapi ia tidak melawan saat Jean menyeretnya keluar dari ruang tunggu, menjauh dari tatapan tajam ibunya dan adiknya.Mereka berjalan cepat melewati lorong rumah sakit, lalu tiba di kantin. Jean akhirnya melepaskan genggamannya, lalu menatap Dea dalam-dalam.“Duduk,” perintahnya lembut.Dea menurut. Ia baru menyadari betapa lelahnya ia. Betapa sesaknya dadanya. Betapa semuanya terasa begitu… menyakitkan.Tiba-tiba dalam pikirannya terlintas saat Yama duduk bersama di kantin yang sama dan pria itu berakhir di ranjang rumah sakit karena alergi
“Tetap di sini sebentar lagi,” potong Yama pelan. Suaranya berat, masih serak pagi.Meisya membeku. Lalu tersenyum tipis, dan kembali menyandarkan kepala di dadanya. Memeluk pinggang pria itu dengan erat.Namun, diam-diam, Yama hanya ingin mencoba membangunkan sesuatu dalam dirinya.Beberapa menit berlalu dan Yama kembali merasa kesal dengan dirinya serta ketidakmampuan yang dia miliki saat ini. Bagian bawah celananya sama sekali tidak beraksi walau kedua bukit depan milik Meisya menempel erat di tubuhnya.Hari itu, sesi terapi Yama lebih semangat dari biasanya. Ia mulai bisa berjalan beberapa langkah tanpa tongkat, hanya dengan bantuan tangan Meisya yang menggenggamnya erat dari samping. Walau beberapa kali terjatuh dan peluh keringat membasahi wajah dan pakaiannya, Yama tidak menyerah.“Bagus, Tuan Yama,” ucap fisioterapis dengan kagum. “Luar biasa untuk pasien
Meisya tertegun. “Kenapa kamu bertanya seperti itu?” Hati Meisya berdebar, sangat takut terhadap penolakan untuk kesekian kalinya.Yama diam. Menunggu kelanjutan kalimat wanita itu.“Karena... aku tidak tahu sampai kapan aku akan seperti ini. Aku tidak bisa berpaling darimu," sahut Meisya beberapa saat kemudian.Meisya tersenyum, menatap bintang. “atau mungkin karena aku tidak mencintai orang lain. Hanya kamu, Yama.”Yama menatap wajah Meisya dalam keremangan cahaya. Gadis itu terlihat sangat cantik dan tanpa celah. Secara keseluruhan melebih Dea yang mencuri hatinya selama ini.Lalu perlahan, ia menyentuh jemari gadis itu.Untuk pertama kalinya, sentuhan itu bukan karena ingin dibantu berjalan. Tapi karena keinginan untuk berterima kasih.“Kalau waktu bisa menyembuhkan kakiku,” bisik Yama, “apa waktu jug
Hari-hari itu panjang, melelahkan, dan penuh luka yang tidak pernah benar-benar terucap. Namun Meisya bertahan. Dia mencintai Yama sejak kecil. Semua kelicikan yang dia perbuat kepada Dea adalah karena kecemburuannya.Adapun kesalahan terbesarnya adalah bahwa dia mencelakakan hidup mendiang ibu Yama, namun semua itu adalah karena perintah Nenek Yama sendiri dan dia hanya melakukan beberapa tugas yang tanpa sengaja mencelakakan wanita malang itu. Meisya berada dalam ketakutan setiap mengingat kapan waktunya Yama mengetahui rahasia terdalamnya, namun lebih takut lagi bila kehilangan diri Yama.Ketika dokter mengatakan Yama harus mulai menjalani terapi jalan agar saraf di kakinya kembali aktif, Meisya adalah orang pertama yang menawarkan diri untuk membantu. Dengan sabar, ia menggenggam tangan Yama, melangkah pelan-pelan menyusuri lorong rumah sakit.“Kamu tidak harus cepat. Satu langkah saja sudah cukup hari ini,” ucap Meisy
Pintu kamar terbuka perlahan, Yama menoleh, sosok ramping dengan setangkai bunga dan sebuah rantang thermal. Meisya melangkah masuk dengan senyum penuh kelembutan, meski wajahnya terlihat sedikit kuyu karena terlalu sering menangis.“Yama…” bisiknya lembut, “aku datang.”Tak ada reaksi. Yama menatap langit-langit seakan tak ada siapa pun di ruangan itu. Di antara semua orang yang menjengguknya, dia paling tidak ingin bertemu dengan Meisya. Namun wanita itu sangat rajin walau sering menerima penolakan keras dari Yama.Yama bahkan pernah melempar bubur yang dibawa Meisya.Meisya meletakkan bunga krisan kecil berwarna-warni di meja samping ranjang pasien. Lalu ia duduk perlahan di kursi besi, membuka rantang bubur, dan mengaduk perlahan. Aromanya ayam herbal memenuhi udara. Uap mengepul dari rantang thermal tersebut. Berhasil mencuri perhatian Yama karena wanginya.“Kamu harus makan, Sayang” kata
Namun, adakah dia bisa begitu tega untuk membiarkan anak itu hidup tanpa dukungan dari orang yang seharusnya bertanggung jawab? Selama ini, dia berusaha melihat sisi baik dari Yama, berharap ada cinta yang tersembunyi di dalamnya, meskipun ia tidak pernah mengungkapkannya. Sampai detik ini pun, dia masih belum memiliki kabar dari Yama selain mimpi buruk yang membuatnya kecewa.Pangeran Frans melangkah mendekat, tatapannya masih tidak berubah. "Sayangku, Dea...kamu harus memikirkan masa depan anakmu, Cintaku. Jangan biarkan dirimu terjebak dalam bayang-bayang masa lalu dan harapan kosong. Lupakan Yama.""Kamu tahu, mengapa aku memutuskan mengejarmu? Padahal sebelumnya aku membantu pertemuan kalian dengan menculikmu?"Dea menengadahkan kepalanya, menatap Pangeran Frans dalam-dalam."Karena dia terlalu pengecut!" geram Pangeran Frans."Aku sudah membantu dengan menculikmu, tetapi tidak ada yang dapat dia bahas atau lakukan.
Sementara di kamar Dea, Dea terkejut mendapati kabar dari sang Dokter yang memeriksanya bahwa dirinya sudah hamil."Ini adalah anak Yama," gumamnya dengan perasaan tidak menentu seraya memeang perutnya yang masih datar.Kedua matanya berkaca-kaca, antara menerima kenyataan yang seharusnya membuat dirinya bahagia. Dia sangat mencintai Yama dari lubuk hati terdalamnya. Satu-satunya pria yang pernah menyentuhnya hanya Yama."Kamu adalah bukti cinta Mama kepada Papamu," bisik Dea dengan suara bergetar. Dia ingat malam bergairah milik mereka berdua. Dia merindukan semua sentuhan panas dari pria yang sangat dia cintai itu. Pria yang sudah jauh darinya."Mama akan bertahan," ucapnya lirih.Keesokkan harinya, Pangeran Frans pergi mengunjungi Dea dengan sekeranjang buah-buahan dan balon berwarna warni."Dea Sayang..." Pangeran Frans menyodorkan balon-balon yang sudah diikat pita ke hadapan
Yama memegang erat tangan Dea lalu berkata, "kita akan menjalani kematian bersama-sama. Aku mencintaimu, Dea."Dea mengangguk dan membiarkan Yama menciumnya. Sebuah ciuman perpisahan sekaligus penyatuan yang alami."Aku juga mencintaimu, Yama."Dea memekik tertahan saat merasakan pesawat yang mulai terjatuh dan ledakan-ledakan kecil terjadi.Panik membuat Dea terbangun dari tidurnya."Yama!" pekiknya lalu menyadari dirinya sedang terduduk di atas ranjang.Air mata mengalir membasahi wajahnya kembali.Tubuhnya penuh keringat . "Hanya mimpi..." desisnya dengan lirih."Aku sungguh merindukanmu, Yama."Dea menangis sejadi-jadinya di atas ranjang yang dingin dan sepi itu.***Keesokkan harinya, wajah Dea semakin pucat dan semakin kuyu. Dea bahkan tidak mengganti pakaiannya yang basah oleh keringat. Dia terlihat seperti boneka tidak bernyawa yang bersandar di sandaran ranjang, menatap kosong ke jendela.Di
"Hanya makan bersama dan saling berbicara, mungkin saya bisa memberikan beberapa penjelasan kepadamu mengenai alasan saya melakukan semua ini, jangan takut. Aku belum berniat memakanmu," gurau Frans seraya mengandeng tangan Dea menuju kursinya.“Apa yang ingin Anda katakan, Pangeran?” tanyanya dingin seraya menghentakkan pantatnya ke kursi, meskipun ia berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang. “Saya sudah cukup mendengar penjelasan dari Anda tadi, bukan?”Frans menyandarkan punggungnya ke kursi, terlihat serius. “Saya tahu saya tidak bisa menghapus apa yang telah saya lakukan dengan mudah. Saya tahu Anda membenci saya sekarang, Dea. Tetapi saya ingin Anda tahu bahwa saya benar-benar menyesal. Saya tidak tahu bagaimana bisa terjebak dalam kasus ini, tetapi sekarang saya sadar, baiklah...saya memang salah karena berusaha menyingkirkan Yama.”Dea menatapnya dengan mata penuh curiga. Ka
Keputusan sudah diambil, dan Dea harus melangkah maju dengan kepala tegak. Itulah yang dikatakan Ratu, dan Dea tahu betul bahwa ia tidak punya pilihan lain. Dea mengusap wajahnya kasar. Merasa kesal dan ingin berteriak.Pangeran yang selama ini ia anggap sebagai musuh, yang telah membuat hidupnya penuh dengan kebohongan dan pengkhianatan. Namun kini, ia dipaksa untuk bersatu dengannya, sebagai suami istri yang sah. Entah karena politik atau karena Ratu merasa tidak ada jalan lain. Dea tidak tahu, dan ia juga tidak ingin tahu. Yang pasti, Frans masih berada dalam Kerajaan, masih dalam jangkauan yang bisa membuat hidupnya semakin kacau.Dea tiba di ruang makan besar, tempat biasa para keluarga kerajaan dan tamu kerajaan makan bersama. Namun, kali ini ruang itu terasa sepi, hanya ada Frans yang duduk dengan santai, menunggu kedatangannya. Pandangannya tertuju pada Dea dengan tatapan yang sulit dibaca.“Lady Dea, silak