Dea merasa ada yang tidak beres. "Tapi, Pak, saya baru saja tiba. Saya merasa baru memulai. Bagaimana mungkin saya sudah layak mendapatkan reward. Saya belum genap bekerja satu bulan? Apakah ini hanya sekadar bentuk perhatian atau ada hal lain yang sedang terjadi?"
Mendengar pertanyaan itu, pria paruh baya itu mencondongkan badan sedikit ke depan. "Dea, kadang-kadang, kita diberi kesempatan untuk berhenti sejenak dan merenung. Mungkin orang lain juga melihat potensi dan kelelahanmu. Ini bukan sekadar soal uang, tapi lebih kepada memberikan ruang untukmu beristirahat, agar nanti kamu bisa kembali bekerja dengan semangat yang lebih baik."
Pria itu menepuk bahu Dea lalu beranjak pergi, meninggalkan Dea dengan pikirannya yang masih menggantung.
Di sudut restoran, suara-suara obrolan rekan-rekan kerja mulai terdengar, menandakan bahwa keanehan ini mulai menyebar.
Seorang rekan kerja mendekati Dea dengan w
"Saya hanya diperintahkan untuk mengantarkan Nona ke rumah sakit," jawab Bob, tetap dengan nada formalnya. "Mohon jangan mempersulit tugas saya, Nona."Dea mendesah keras, lalu memijat pelipisnya. Ia tahu percuma berdebat dengan Bob. Sekali Yama memberi perintah, maka semua bawahannya akan patuh tanpa pertanyaan.Mobil melaju dengan kecepatan stabil di jalanan yang semakin lengang. Mata Dea menatap kosong ke luar jendela, pikirannya berputar-putar dalam kebingungan. Semua ini terasa terlalu kebetulan—restoran yang tiba-tiba menyuruhnya pulang lebih awal, upah yang langsung diberikan, dan sekarang Bob yang bersikeras mengantarnya ke rumah sakit."Bob," panggilnya setelah beberapa saat hening."Ya, Nona?""Apa Yama benar-benar sedang menungguku?" tanyanya, kali ini dengan suara lebih lembut. "Atau dia hanya bosan lalu ingin mengontrol segalanya seperti biasanya?" 
Yama tidak menyahut. Sentuhan hangatnya membuat Dea meremang, bulu kuduknya berdiri saat Yama menariknya hingga tepat di sisi ranjangnya"Yama, aku—""Aku tidak butuh uang itu," sela Yama dengan suara rendah, tetapi penuh ketegasan.Dahi Dea berkerut. "Lalu apa yang kau inginkan?" Dea berusaha menarik tangannya sendiri agar terlepas dari genggaman Yama."Kau harus menemaniku sampai aku tertidur," ulang Yama, kali ini dengan nada yang tidak bisa dibantah.Dea tertegun. Ia menatap pria itu dengan bingung, seolah ingin memastikan apakah ia mendengar dengan benar. "Apa? Tidak, Yama. Aku sudah ke sini, sudah menyerahkan uangnya, dan sekarang aku ingin pulang. Lepas—"Namun, sebelum ia bisa menarik tangannya, Yama menariknya lebih kuat. Dalam sekejap, Dea terjatuh ke atas ranjang pasien yang luas dan empuk itu."Aahh!"Bulu kuduknya kembal
Dea mundur beberapa langkah dengan jantung yang masih berdegup kencang, lalu berbalik dan berjalan cepat keluar dari kamar.Saat pintu tertutup di belakangnya, ia menyentuh bibirnya sendiri dengan tatapan kosong. Wajahnya panas, tubuhnya gemetar karena campuran emosi yang membingungkan."Apa yang baru saja terjadi?! Aargh... Aku bahkan tidak mencuci gigi di malam hari!"Wajahnya memerah dan dia begitu panik disertai malu.Bob yang setia menjaga di luar pintu, melihatnya dengan ekspresi datar."Mau diantar ke mana?" tanyanya sebagai sapaan, sementara Dea melangkah melewatinya dengan wajah tertunduk, menuju ke lift."Aku akan pulang, t-tidak, usah diantar. Aku akan pulang sendiri."Namun, Bob tetap mengikuti Dea karena dia tahu apa yang menjadi tugasnya."Saya akan mengantar Anda pulang karena itu adalah tugas yang sudah diberikan oleh Tuan Yama," sahut Bob den
Dea menunduk patuh, meskipun dalam hatinya ia merasa lelah. Ia baru saja mendapatkan beberapa shift malam yang bisa menghasilkan uang lumayan banyak baginya, bekerja membantu ibunya tidak akan digaji tentunya. Sementara Ayahnya pasti membutuhkan biaya yang cukup banyak untuk obat-obatan.Namun, ada satu hal yang harus ia lakukan terlebih dahulu.Dengan cepat, ia menghampiri Bob yang masih berdiri di dekat mobil dan menatapnya dengan serius."Bob, tolong jangan ikut denganku lagi," pintanya dengan suara tegas. "Aku yang akan bertanggung jawab kepada Yama sepenuhnya.""Tapi, Tuan Yama ingin memastikan Anda hadir di sana jam tujuh malam."Dea berpikir sejenak lalu menjawab, "Baiklah. Aku berjanji akan menemuinya nanti malam, jam tujuh! Sesuai permintaannya. Bagaimana?"Bob menatap Dea dengan ekspresi datar, jelas tidak yakin apakah ia boleh mempercayai gadis itu atau tidak. "Nona yakin?"
Dea terkejut karena perubahan mendadak saat supervisor perusahaan kembali memangilnya. Dia hampir sampai ke ruangan kasir untuk mengambil sisa gaji.“Kamu aman sekarang. Tidak jadi dipecat, uhum... ternyata Vivi yang melakukan kesalahan. CCTV sudah menunjukkan segalanya.”Dea masih terpaku di tempatnya. Dia tidak tahu harus mengatakan apa. Campuran rasa syukur dan bingung memenuhi hatinya.“Kenapa... Kenapa Vivi melakukan ini semua?” tanya Dea akhirnya.Sang supervisor merasa kesal karena dia memang tidak begitu menyukai Dea, tetapi dia harus bersikap manis bila masih ingin mempertahankan pekerjaannya.Dia juga tidak ingin berbasa basi lebih lanjut dengan Dea yang dianggapnya berstatus rendah tapi entah bagaimana bisa memiliki hubungan dengan pemilik perusahaan baru."Kami memutuskan akan menaikkan gaji Anda sebagai kompensasi atas kesalahan ini," l
Dea mengepalkan tangannya di dalam bak air kotor.Melia tertawa sambil menempel manja di lengan suaminya. "Tentu saja, Sayang. Bayangkan kalau kamu menikah dengannya, mungkin sekarang kamu juga sedang mencuci piring bersamanya!"Sanjaya dan Melia tertawa puas.Namun, tawa mereka terhenti dalam sekejap saat tiba-tiba...Byuurrr!Air kotor dari bak cucian piring meluncur deras ke arah mereka berdua, membasahi pakaian mereka dari kepala hingga kaki."APA-APAAN INI?!" Melia menjerit, matanya melebar karena jijik.Sanjaya mengangkat tangannya, mencoba mengelap wajahnya yang basah oleh air penuh sisa minyak dan sabun. "Gila! Siapa yang melakukannya?!"Jawabannya langsung mereka dapatkan saat mereka menoleh dan melihat ibu Dea berdiri dengan ember kosong di tangannya, wajahnya merah padam karena amarah."Aku yang mela
Yama memejamkan matanya sejenak, menahan frustrasi. Ia ingin mengatakan bahwa ini bukan untuk Meisya, tetapi saat ia hendak berbicara, neneknya tiba-tiba menepuk tangannya lagi."Ayo, ayo, sebelum makanan ini dingin! Yama sudah menyiapkan semuanya dengan baik, akan sangat disayangkan jika kalian tidak langsung menikmatinya," desak neneknya dengan penuh semangat dan mendorong Meisya sehingga duduk di kursi mewah yang belakangnya sudah diikat dengan sedikit bunga dan pita-pita."Duduk," perintah Nenek kepada Yama.Yama hanya bisa menghela napas panjang. Ia tahu tidak ada gunanya membantah jika neneknya sudah berkehendak seperti ini. Dia duduk dengan patuh dan dengan terpaksa, ia akhirnya mengambil sendok dan mulai makan.Meisya tersenyum puas, merasa menang. Ia dengan senang hati duduk di seberang Yama dan mulai menikmati makanan yang seharusnya bukan untuknya.Nenek keluar dari ruangan itu agar kedua insan yang disayanginya dapat menikmati waktu romantis mereka.Satu jam berlalu dalam
"Kamu sudah melihat wanita yang kupilih," katanya dengan nada dingin. "Sekarang, kamu pergilah. Keluar dari sini sebelum kamu membuat dirimu lebih malu dari ini."Wajah Meisya memucat. "Y-Yama, kau tidak serius, kan?" suaranya terdengar bergetar.Yama tidak menjawab. Tatapannya yang dingin dan tajam sudah cukup menjadi jawaban.Meisya menggigit bibirnya dengan keras, menahan air mata yang mulai menggenang di matanya. Dengan penuh rasa sakit dan amarah, ia akhirnya berbalik dan berlari keluar dari ruangan.Bam!Meisya membanting pintu dengan kesal, meninggalkan Dea yang masih terduduk di pangkuan Yama.Hening sejenak.Dea masih terengah-engah, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi."Apa yang kau lakukan, Yama?!" serunya dengan suara bergetar dan wajah yang masih hangat dan daun telinga yang masih berwarna merah.
Di dalam kamar hotel yang mewah dengan lampu redup, Meisya duduk di atas sofa berlapis beludru berwarna lembut. Jemarinya yang ramping menggulung layar ponsel berisi setumpuk foto yang baru saja dikirimkan kepadanya. Bibirnya menipis, matanya menyipit menatap gambar-gambar itu.Dea tampak tersenyum di salah satu foto, duduk berdampingan dengan Sanjaya di sebuah kafe. Di foto lain, pria itu terlihat menatapnya dengan intensitas yang sulit diartikan. Meisya menggigit bibirnya, menahan amarah yang mendidih di dadanya. "Tatapan penuh cinta! Menggelikan pria munafik ini!"Dalam foto lain, Sanjaya terlihat sedang menikmati makanannya dengan Dea di kursi rumah sakit. Sebuah pemandangan yang menunjukkan keakraban mereka dalam berbagi moment kebersamaan, tetapi Meisya tidak merasa tertarik sama sekali."Cih! Foto yang membuang uang!" geram Meisya.Dia sangat kesal karena Yama tetap saja memikirkan Dea, meskipun ia telah me
Namun, secepat kilat, Dea melangkah mundur, kedua matanya melebar lalu berlari menjauh. “Aku bau sekali! Dan kau gila!” serunya tanpa menoleh lagi.Yama hanya bisa terpaku, menatap punggung Dea yang semakin menjauh, meninggalkannya dengan seribu pertanyaan yang belum terjawab. Yama bertempur dengan perasaannya sendiri, dia sangat membenci wanita itu sekaligus ingin menciumnya. "Ya, dia memang bau sekali saat ini, bau kuda! Tetapi aku benar-benar ingin menciumnya!" geram Yama dengan kedua mata mulai memerah bercampur amarah.“Bob!” panggilnya tiba-tiba.Asistennya yang selalu sigap itu segera menghampiri. “Ya, Tuan!”“Saya mengerti dan akan segera pergi mengikutinya untuk mencari tahu semua data!” kata Bob dengan penuh semangat.Yama sedikit terkejut. Menoleh, menatap Bob tanpa berkedip. Biasanya, ia harus memberi perintah lebih jelas,
Pagi di London masih diselimuti kabut tipis ketika Yama menatap ponselnya dengan wajah dingin. Sejauh ini, Bob belum mendapatkan kabar apa pun tentang Dea. Setiap upaya untuk melacak keberadaannya di Inggris selalu menemui jalan buntu. Sepertinya nenek telah menggunakan kekuasaannya untuk menghalangi mereka mendapatkan informasi. Untuk saat ini, Yama memutuskan untuk fokus penuh pada proyek yang ditugaskan kepadanya.“Masih tidak ada kabar?” Yama bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari jendela suite hotelnya.Bob menggeleng. “Kami sudah mencoba berbagai cara, tapi tidak ada satu pun petunjuk. Sepertinya seseorang telah menutupi semua jejaknya dengan sangat rapi.”Yama menghela napas panjang, lalu merapikan dasinya. “Kalau begitu, kita mainkan dulu permainan ini sesuai aturan mereka.”Sesaat kemudian, Yama tiba di lapangan polo kerajaan dengan penuh persiapan. Ia mengenakan
{Laporkan bahwa kartu itu hilang dan lakukan pencarian terhadap tersangka pencurian kartu.}Beberapa menit kemudian, perintah itu dijalankan. Dea masih berdiri di depan meja kasir saat membayar biaya tambahan untuk ayahnya. Tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara mesin EDC yang berbunyi nyaring."Maaf, kartu Anda ditolak," ujar petugas administrasi dengan ekspresi meminta maaf dan wajah penuh kecurigaan."Apa? Itu tidak mungkin," gumam Dea panik. Dia mengeluarkan kartu itu lagi dan mencobanya sekali lagi, tetapi hasilnya tetap sama. Kartu itu tidak dapat digunakan.Panik mulai menjalari tubuhnya. Dia mencoba menghubungi Meisya, tetapi jawaban dari mesin penjawab membuatnya semakin putus asa.Di saat yang sama, Meisya sedang berada di dalam pesawat ekonomi dan sedang berhadapan dengan beberapa hal yang membuatnya ingin muntah setiap saat."Maaf, Nona. Kartu ini telah dila
Wanita itu bahkan membuang benihnya dengan menelan obat kontrasepsi, serendah itukah moralnya sebagai seorang wanita? Sejijik itukah dia untuk memiliki bayi bersamanya?Yama mendengus dan mengepalkan tangannya erat-erat! Sklera merah pada matanya membuat sorotan tatapannya tajam seperti elang yang hendak membunuh mangsanya. Dia membenci Dea!Setibanya di hotel, Yama langsung masuk ke suite mewahnya tanpa banyak bicara. Ia membuka laptop dan mulai membaca laporan-laporan yang dikirimkan Bob satu hari sebelumnya. Sementara Bob mengekori langkah majikannya sambil berulang kali meniup tangan dan menempelkannya ke telinga untuk mengatasi dengung akibat jetflag yang ia alami dalam setiap penerbangan.Setiap detail tentang proyek ini telah dipersiapkan dengan matang. Da membaca ulang daftar tamu yang akan menghadiri pesta kerajaan. Ada beberapa nama yang menarik perhatiannya—tokoh bisnis, politisi, serta anggota keluarga kerajaan
Bob tidak tahan lagi. Dengan cepat, ia melangkah maju, menarik Jean dari genggaman Ayah tirinya."Hei, kau siapa? Sekuriti!" teriak Ayah tiri Jean mulai marah."Aku pacarnya," kata Bob dengan nada tegas. "Dan kamu hanya ayah tirinya. Kamu tidak punya hak mengurusnya!"Semua orang di ruangan itu terkejut. Termasuk Jean yang kini berada dalam pelukan Bob."Ada apa ini?" Ibu Jean datang menghampiri mereka dan sedikit terkejut melihat keberadaan Bob dalam pesta mereka, "hei, bagaimana kamu bisa masuk kemari?"Ayah tiri Jean menyipitkan mata. "Apa maksudmu? Panggil sekuriti, lepaskan putriku!"Bob menarik napas dalam sebelum mengucapkan kalimat yang membuat ruangan membeku."Kami bahkan sudah tinggal bersama. Kita akan menikah dalam waktu dekat! Jean milikku! Dia bukan putri kecil milikmu lagi, mengerti!? "Suasana mendadak hening.
"Siapkan semua dokumen yang diperlukan untuk perjalanan ke Inggris. Aku ingin kita berangkat dalam tiga hari. Selain itu, selidiki bagaimana cara mendapatkan perhatian dari sang Pangeran dan Ratu. Kita tidak bisa datang begitu saja dan berharap mereka tertarik dengan proyek kita. Kita harus mencari cara yang lebih cerdas."Bob mengangguk, mencatat perintah itu dalam kepalanya. "Baik, Tuan. Saya akan segera menghubungi beberapa kontak di sana dan mencari tahu informasi lebih lanjut.""Bagus. Dan satu hal lagi, pastikan kita mendapatkan akses ke pesta perayaan yang diadakan oleh sang Ratu. Itu akan menjadi langkah pertama kita."Bob tersenyum kecil. "Saya mengerti, Tuan. Saya akan memastikan undangan itu ada di tangan Anda sebelum keberangkatan kita."Namun sebelum Bob keluar ruangan, ia tampak ragu sejenak. Yama yang peka terhadap perubahan ekspresi orang-orang di sekitarnya segera menyadarinya.
Yama masih menatap Neneknya. Dia tidak percaya sepenuhnya karena dia mengenal kedua wanita beda generasi itu dengan baik. Ada hal lain yang perlu dipastikan sebelum ia benar-benar memutuskan segalanya."Nek, kamu ingin aku segera menyelesaikan proyek di Inggris, bukan?" tanyanya, mencoba menegaskan posisinya dalam keputusan ini.Sang Nenek mengangguk lagi. "Ya, sesudah itu, kalian akan melangsungkan pernikahan. Hal itu sudah kusampaikan dari jauh hari sebelum kamu bertemu dengan Dea si murahan itu."Meisya menahan senyum kemenangan di balik ekspresi datarnya. Ini berjalan lebih lancar dari yang ia bayangkan."Baik," Yama akhirnya berkata. "Aku akan segera berangkat ke Inggris dan menyelesaikan semuanya.""Aku ikut," selak Meisya cepat, nadanya penuh ketegasan.Yama menoleh padanya dengan ekspresi kesal. "Terserah!" sahutnya ketus sebelum beranjak pergi.
“Jadi, kau baru menyadarinya sekarang?”Suara lembut itu menyusup masuk ke dalam ruangannya seperti angin dingin. Yama tidak menoleh. Bahkan tidak menegadahkan kepalanya. Ia tahu siapa yang berbicara. Meisya, wanita yang selama ini duduk di sisi sang nenek, menatapnya dengan senyum simpati yang penuh arti.“Aku sudah menduganya sejak awal,” lanjut Meisya, berdiri dengan anggun lalu melangkah mendekati Yama dan duduk di sampingnya dengan elegan.“Tapi aku tidak ingin ikut campur. Aku ingin kau sendiri yang menyadari siapa Dea sebenarnya.”"Namun, dari hari ke hari, dia malah semakin menjadi-jadi."Yama diam. Matanya masih terpaku pada bukti-bukti di hadapannya. Meisya bergerak perlahan, lalu dengan lembut mengambil salah satu foto yang ada di meja dan menatapnya dengan tatapan menyelidik.“Dia tidak pernah benar-benar mencintaimu, Yama,” bisiknya pelan,