Suasana cafe violet, tidak begitu ramai. Mengingat waktu menunjukkan pukul dua, di mana orang-orang yang biasanya nongkrong di tempat itu, sudah kembali pada rutinitas masing-masing.
Hanya ada beberapa pengunjung di sana, yang asyik bercengkrama dengan temannya di cafe yang bernuansa ungu itu. Namun, ada yang berbeda. Dua pasang manusia yang duduk di pojok ruangan seperti tengah berbicara dengan serius.
"Bagaimana ini? Sampai sekarang Mas Dafa gak ada tanda-tanda akan melamarku. Padahal perceraiannya sudah satu tahun lebih." Mata wanita berkulit putih itu berkaca-kaca, dengan segera dia menunduk ketika air matanya mulai jatuh.
Terlambat! Laki-laki berkaca mata di depannya sudah mengetahui hal itu. Maka dengan pandangan sendu, dia mengulurkan tisu pada sang wanita pujaan.
"Kalau begitu menyerah lah." Fawaz—si laki-laki berkaca mata—menatap lembut wanita yang kini juga balas memandangnya.
"Aku gak bisa, Kak. Aku cinta sama dia."
Tanpa wanita itu sadari, tangan Fawaz yang berada di bawah meja, mengepal erat. Menyalurkan rasa kecewa yang menggerogoti hatinya.
Kirana—wanita di depannya—adalah seseorang yang telah menguasai seluruh hatinya sejak beberapa tahun silam. Namun, sayang, rasa cintanya sama sekali tidak berbalas. Sang wanita malah mencintai seseorang yang tidak sepantasnya dicintai.
Apakah kisah mereka seperti drama? Di mana sang laki-laki hanya menyimpan sendiri rasa itu tanpa berani mengungkapkan?
Jelas tidak! Karena sudah terhitung tiga kali Fawaz menyatakan perasaan, tapi semuanya berakhir dengan penolakan. Jadi pantas saja jika Rafi—sahabat Dafa—menyebutnya laki-laki bodoh. Karena mau saja mendengarkan curhatan sang pujaan. Lebih parahnya laki-laki yang berprofesi sebagai dokter itu, dengan suka rela dimanfaatkan oleh Kirana.
"Terus apa yang kamu inginkan?" Sebisa mungkin Fawaz menampilkan raut tenang.
"Aku gak tau, Kak. Aku bingung." Air mata kembali mengalir di pipi putih Kirana.
Fawaz menghela napas berat. Sebenarnya siapa di sini yang paling bodoh? Namun, sepertinya mereka berdua pantas disebut bodoh. Karena dalam hati terus mempertahankan rasa cinta bertepuk sebelah tangannya.
"Apa perlu aku bicara pada Dafa?"
Dengan cepat Kirana menggeleng, menyebabkan rambut panjangnya itu bergerak tidak tentu arah, "jangan!" ucapnya putus asa.
Mata Fawaz menyorot pada wanita yang kini tengah menghapus air matanya. "Baiklah, sudah jangan menangis lagi, nanti dikira orang-orang aku menyakitimu. Padahal kenyataannya kamu lah yang membuat aku patah hati."
Kirana tertawa kecil, ketika melihat wajah Fawaz yang pura-pura terluka.
Padahal tanpa wanita itu tahu, itu adalah raut jujur Fawaz. Bahwa dia tengah patah hati. Patah hati untuk yang kesekian kalinya. Pada orang yang sama.
***
Sebulan berlalu sejak kerja sama antara Aara dan Bu Laras. Sejak saat itu, hari-hari Aara semakin disibukkan dengan pesanan yang datang terus-menerus. Tidak berhenti wanita berlesung pipi itu mengucap syukur. Atas semua karunia yang diberikan oleh Sang Pencipta.
Bahkan kini Aara menambah dua orang lagi untuk membantunya. Mbak Anggun dan juga Mbak Rina. Mereka adalah sesama wali murid di sekolah Zidni—anak kedua Mbak Yuli.
"Ra, ini sudah selesai dikemas. Mau diantar sekarang?" tanya Mbak Yuli yang melihat Aara memasuki dapur.
"Iya, Mbak. Ini aku berangkat. Catatan berapa pesanan hari ini aku tempel di kulkas, ya." Aara segera berjalan menuju lemari pendingin setelah mendapatkan jawaban dari Mbak Yuli.
"Mau dibantu ngangkat?" Mbak Anggun menatap Aara yang akan mengangkat kardus berisi dua puluh lima nastar itu.
"Gak usah, Mbak. Gak berat, kok. Aku pergi dulu, ya," pamit Aara. "O ... ya, nanti kalau waktunya istirahat langsung istirahat saja. Soalnya aku ada janji sama Rosi. Lauknya nanti manasin aja."
"Iya. Hati-hati," jawab ketiga wanita yang begitu kagum dengan kepribadian Aara. Meski wanita berkulit kuning langsat itu, adalah seorang majikan tapi dia begitu menghormati para pegawainya.
Sebenarnya selama ini Aara selalu memakai jasa kurir untuk mengantar pesanan. Namun, hari ini dia ada janji temu dengan sahabatnya. Jadi dia memutuskan untuk mengantarkannya sendiri. Toh, mereka janjian di toko Bu Laras, biar sekali jalan saja maksud Aara.
***
"Mau dibantu?"
Kardus yang Aara pegang hampir terjatuh, saat dia mendengar suara berat dari arah belakang. Perlahan wanita itu, menaruh kembali kardusnya di jok motornya, lalu memutar tubuh untuk mengetahui siapa si tersangka.
Kening Aara berkerut, karena sekilas dia bisa melihat kilat terkejut di mata laki-laki yang entah siapa itu. Namun, dengan cepat laki-laki berkaca mata itu, menormalkan ekspresi dan tersenyum pada Aara.
"Gak usah, Mas. Terima kasih." Aara kembali memutar tubuhnya untuk mengambil kembali kardusnya.
Kepala Aara mengangguk sedikit, saat langkahnya melewati laki-laki yang terus saja menatapnya. Jujur saya dia ingin segera pergi. Risih dengan tatapan yang dilayangkan laki-laki itu.
Sementara Fawaz tetap mengikuti pergerakan wanita yang menggunakan gamis biru muda. Rasa bersalah kembali hadir di hatinya, akibat pertemuan tidak terduga ini.
"Kenapa kami bertemu lagi? Kenapa juga harus di tempat ini?" gumam Fawaz pelan.
Setelahnya, laki-laki itu melangkah ke arah yang sama dengan Aara. Sambil terus berharap semoga ini pertemuan terakhir mereka. Tidak ada lagi pertemuan-pertemuan selanjutnya, baik disengaja atau tidak.
"Fawaz sini!"
Teriakan dari sang ibu, membuat Fawaz yang baru saja membuka berdecak kecil. Mau marah takut dosa. Namun, ini sungguh memalukan. Dia tidak suka menjadi pusat perhatian.
Maka dengan malas, laki-laki itu langsung berjalan cepat ke arah etalase. Di sana sudah ada sang ibu yang tersenyum lebar padanya. Juga ada wanita yang dilihatnya di depan berdiri sebelah ibunya. Sementara Manda yang berdiri di belakang etalase tersenyum penuh makna padanya.
Pasti ada sesuatu yang direncanakan sang ibu! pikir Fawaz.
"Kamu lama banget, sih, sudah bunda tunggu dari tadi, lo." Bu Laras melingkarkan tangan pada lengan sang anak, kemudian pandangannya beralih pada Aara. "Aara ini kenalin anak tante Fawaz. Nah, ini Aara yang kemarin bunda ceritakan pada kamu."
Fawaz berusaha tidak memutar bola matanya. Jelas! Dia amat sangat mengerti maksud ibunya. Akhirnya dengan terpaksa laki-laki itu mengulurkan tangan. Daripada nanti dia mendapat petuah panjang lebar dari ibunya, tetang pentingnya sopan santun.
"Fawaz." Laki-laki itu berdeham, lalu dengan canggung menarik kembali tangannya. Karena wanita di depannya tidak menerima tangannya, tapi malah menangkupkan kedua tangannya.
"Aara," jawab wanita itu tidak kalah canggung. Untuk menghindari situasi yang aneh ini, Aara segera berpamitan pada mereka, "Aara ke atas dulu tante, sudah ditunggu teman. Duluan Manda, mari Mas." Wanita itu tersenyum tipis lalu berjalan ke arah tangga.
Bu Laras menyikut pinggang sang anak. "Gimana? Cantikkan?"
Fawaz menatap malas pada ibunya. "Cantik."
Tiba-tiba Bu Laras bertepuk tangan heboh. "Kalau begitu, jadikan dia mantu bunda."
"Apa-apaan, sih, Bun? Aku bilang cantik, bukan berarti aku tertarik." Fawaz berjalan menuju ruang kerja ibunya.
"Coba kenalan dulu aja Mas," usul Manda.
"Nah betul itu!" Bu Laras menatap Manda dengan senyum lebar.
"Barusan kenalan, 'kan?" Fawaz terus saja melangkah. Tidak mau menanggapi dua wanita di belakangnya.
"Ck. Anak itu!" gerutu Bu Laras sambil mengikuti langkah sang anak. Dalam hati dia bertekad untuk menjodohkan anaknya dengan Aara. Wanita lembut yang mampu membuat Bu Laras terpesona, pada perjumpaan pertama.
Aara melambaikan tangan pada Rosi yang sudah menunggunya. Wanita itu segera berjalan ke arah balkon, tempat sang sahabat berada."Sorry, lama." Aara mendudukkan diri di depan sahabatnya."Gak, kok. Aku juga baru dateng." Tiba-tiba Rosi menatap Aara intens, sambil tersenyum misterius. "Tadi siapa?"Kening Aara mengkerut. "Siapa?""Itu, lelaki berkaca mata yang ngobrol sama kamu di parkiran." Rosi menaik turunkan alisnya.Aara berdecak kecil atas godaan sahabatnya. "Anaknya Bu Laras.""Kalian udah kenalan?""Tadi dikenalin Bu Laras di bawah." Aara mulai membuka buku menu, untuk memilih makanan apa yang akan dia pesan."O ...."Wanita berkulit kuning langsat itu mendongak, begitu mendengar nada aneh sang sahabat. Dia memutar bola mata, saat Rosi tengah tersenyum tipis padanya. Aara jelas tahu, apa maksud senyum itu. "Jangan mikir yang aneh-aneh!""Emang aku mikir apa?" goda Rosi."Kita sahabatan udah berapa lama sih? Ten
Tante gak tau lo Aara itu temannya Rosi," ujar Bu Laras sambil menatap dua wanita di depannya dengan mata berbinar.Aara tertawa kecil. "Iya, Tante. Aku juga gak tau kalau Rosi kenal Tante. Padahal tadi kami makan di cafe tante, tapi dia sama sekali gak bilang apa-apa." Aara melirik sahabatnya yang ikut tertawa."Aku juga baru tau hari ini, kok," bela Rosi."Seandainya tante udah tau dari dulu, pasti kamu sudah tak ajak kerja sama." Bu Laras tersenyum penuh arti pada Rosi."Kerja sama apa, Tan?" tanya ibu hamil itu sambil mengerutkan kening."Ada, deh. Nanti tante japri," ujar Bu Laras sambil tertawa.Fawaz yang sedari tadi fokus menikmati ikan gurame bakar, menghela napas tidak kentara mendengar pembicaraan sang ibu. Sepertinya mulai besok hidupnya akan direcoki terus oleh sang ibu. Pasti wanita yang telah melahirkannya itu, akan berusaha mengajak Rosi untuk bekerja sama agar bisa mendekatkan dia dan wanita di depannya. Bahkan, mungkin saja ibuny
Banyaknya orang berlalu lalang, seperti tidak berpengaruh pada wanita yang sejak beberapa menit lalu, tetap duduk di motornya tanpa berniat menyalakan mesin motor itu.Pikiran wanita berkulit kuning langsat itu, masih terpaku kejadian beberapa saat lalu. Tentang pertemuannya kembali dengan mantan suaminya. Bukan, masih ada rasa yang tertinggal hingga dia memikirkan laki-laki itu. Namun, dia hanya merasa ... aneh?Tidak ingin menyia-nyiakan waktu, Aara lantas menggeleng pelan. Mengusir pikiran yang tidak seharusnya hadir. Memutar kunci motornya, Aara bermaksud pergi dari sana, sebelum suatu hal masuk dalam penglihatannya.Seorang gadis kecil, yang dia perkirakan berusia empat tahun celingak-celinguk, seperti sedang mencari sesuatu. Dari gesturnya yang mengusap pipi berkali-kali, Aara tahu gadis itu sedang menangis. Maka tidak menunggu lama, wanita itu segera turun dari motor untuk menghampiri gadis itu."Hai," sapa Aara.Tidak ada jawaban apapun dari gad
"Bunda mau ke toko?""Hem."Fawaz menelan makannya dengan susah payah. Meskipun hari ini sang ibu menyiapkan menu favoritnya, soto ayam. Namun, hal itu tidak lantas membuatnya menjadi berselera makan. Dikarenakan wanita yang dihormatinya itu seperti sedang mengajak perang dingin.Sedari subuh tadi, ibunya sangat diam. Jika biasanya, sang ibu akan selalu mengomentari apa saja, cerita ini itu, tapi hari ini semua terasa berbeda. Sang ibu hanya menjawab sekenanya saat Fawaz bertanya.Bahkan saat tadi Fawaz mencomot tempe goreng tanpa cuci tangan, Bu Laras hanya diam. Padahal jika dalam suasana hati biasa, sudah dipastikan Fawaz akan diberi nasehat panjang lebar tentang pentingnya menjaga kebersihan.Hal ini tentu saja menimbulkan rasa bersalah dalam hati laki-laki berkaca mata itu. Yatim dari kecil, membuat Fawaz sangat dekat dengan sang ibu. Ketika beranjak dewasa, dia berjanji pada dirinya sendiri, untuk menjaga sang ibu. Mengingat bagaimana dulu, ibunya
Fawaz melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, setelah mendapat telepon dari seorang wanita yang mengabarkan kalau saat ini sang ibu tengah sakit.Sambil mendengarkan petunjuk dari peta digital. Fawaz berusaha untuk tetap fokus, meski hatinya dilanda rasa khawatir tentang keadaan sang ibu. Rasanya tadi pagi sang ibu baik-baik saja, dan lagi ibunya selalu menjaga kesehatan dengan olahraga dan juga makan dengan menu sehat. Jadi, kenapa tiba-tiba sang ibu sakit?Mengamati sebentar rumah berlantai dua, apakah sudah sesuai dengan peta digital. Fawaz segera turun dari mobil, langkah besarnya melewati halaman kecil sebelum sampai pada pintu rumah yang terbuka."Assalamu'alaikum," ucapnya."Wa'laikumsalam." Suara itu terdengar bersamaan dengan munculnya seorang wanita berkulit kuning langsat. "Silakan masuk Mas."Fawaz mengikuti langkah Aara masuk dalam ruang tamu. Laki-laki itu mengerutkan kening, begitu mengetahui sang ibu yang tampak baik-baik saja.
"Kenapa Kakak gak bilang, kalau wanita yang akan dijodohkan dengan Kakak adalah dia?"Fawaz tidak menatap lawan bicaranya, pandangannya tetap lurus pada jalanan yang terlihat sepi.Ya, setelah tadi Aara pulang. Kirana meminta ijin Tante Laras untuk mengajak Fawaz keluar. Dia mengatakan ada sesuatu yang ingin dibeli dan meminta Fawaz untuk mengantarkannya.Alih-alih membeli sesuatu, mereka justru dud di sebuah bangku taman. Tempat yang masih satu komplek dengan rumah mereka, yang pagi menjelang siang ini, mulai tampak sepi."Kenapa aku harus bilang?" jawab Fawaz setelah jeda lumayan lama.Kirana berdecak kesal. "Kak, dia itu masa lalu Mas Dafa, kamu ingat, kan? Kalau hal ini, sejak kemarin aku pasti akan meminta bantuanmu."Fawaz menatap tajam Kirana. "Jangan meminta yang aneh-aneh!" tegas Fawaz."Tolong Mas, hanya kamu yang bisa menolongku. Tolong terima perjodohan ini."Fawaz menggeleng pelan. "Dengar, kalaupun nanti aku menerima perj
Dari kaca kecil dalam mobil, Fawaz melirik sang bunda yang tampak bahagia. Sejak dari rumah senyum cerah wanita itu sama sekali tidak luntur.Akibat rasa tidak suka karena tetangganya menjelek-jelekan Aara, akhirnya keluar kalimat yang sama sekali tidak dia duga bisa terucap dari bibirnya. Hingga mengakibatkan di hari minggu yang cerah ini, sang ibu memaksanya untuk ke rumah Aara, melamar wanita itu.Sebenarnya dia sudah berkata pada ibunya kalau dia asal ngomong. Berharap sang ibu membatalkan rencananya. Namun, alih-alih menuruti kemauannya, sang bunda justru berkata kalau laki-laki itu dipegang omongannya. Jadi, sekali dia berkata demikian maka harus direalisasikan."Pokoknya nanti, segera setelah lamaran harus langsung nikah! Gak boleh ditunda-tunda.""Belum tentu juga Aara nerima lamaran kita, Bun."Bu Laras mendelik pada anaknya yang tengah mengemudi. "Ya, tinggal pintar-pintarnya kamu bujuk Aara, biar lamaran kita diterima."Fawaz mengangguk
Fawaz memandang langit yang malam tidak menampakkan bintang, dari jendela kamarnya. Meski matanya menatap lurus langit luas, tapi pikirannya berkelana pada kejadian dua minggu lalu.***Fawaz melajukan mobilnya dengan hati tidak karuan, setelah dua hari lalu Aara meminta waktu untuk menjawab lamarannya. Tadi selesai praktek, dia menerima pesan singkat dari wanita itu yang mengatakan ingin betemu dengannya.Maka di sinilah dia sekarang. Di depan rumah sang sahabat, tempat yang dipilih Aara untuk menjawab pertanyaannya. Dengan langkah tegap, Fawaz berjalan memasuki rumah yang sudah sering dia kunjungi itu.Dari depan pintu, dia bisa melihat Aara yang tengah berbincang dengan Rosi. Sementara Rafi tampak sibuk dengan ponselnya, yang bisa Fawaz tebak, kalau laki-laki itu tengah asyik bermain game.Setelah mengucapkan salam, yang dibalas oleh ketiga orang itu. Fawaz segera masuk dan duduk di depan Aara.Aara melirik sekilas laki-laki yang dua hari lalu
"Jangan, Mas!" Aara mencegah Fawaz yang akan melakukan hal lebih jauh."Kenapa?" tanya Fawaz serak.Aara mendorong tubuh sang suami. Lantas wanita itu merubah posisinya menjadi duduk. "Ehm ... ini masih pagi.""Apa?!" Kenapa sih istrinya? Kenapa belakangan ini alasan yang dibuat wanita itu selalu aneh? "Tapi lagi ngga ada siapa-siapa. Lagipula kita di kamar, Aara!" kesal Fawaz. Kebahagiaan yang baru saja dia rasakan, langsung terjun bebas. Siapa juga yang tidak kesal, setelah diterbangkan ke atas awan lalu dihempaskan begitu saja?"Ya, siapa tau nanti ada orang datang."Berdecak keras, Fawaz menatap istrinya jengkel. Katakanlah dia kekanak-kanakan, tapi dia ini masih pria normal!"Jangan mengada-ada! Kalau memang kamu ngga mau bilang aja! Dan seharusnya dari awal kamu bilang, bukan seperti ini, kita sudah berjalan jauh dan kamu malah menolah," ujar Fawaz panjang lebar mengungkapkan rasa kesalnya yang semakin menumpuk."Maaf.""
"Ngapain kamu ke sini?"Fawaz mendengkus kecil, mendengar nada ketus itu. Namun, tetap saja hal itu tidak menyurutkan langkahnya menuju ruang makan. Bahkan dengan tidak tahu dirinya dia mendudukkan diri di salah satu kursi, tidak peduli meski ada mata yang memelototi dirinya.Sudah seminggu berlalu, tapi Fawaz masih saja rajin berkunjung ke rumah sang bunda. Dengan harapan kedua wanita yang dicintainya segera luluh. Lagipula mana betah dia sendiri di rumah, apalagi sekarang para pekerja Aara juga sudah bekerja di toko kue ibunya. Otomatis membuat rumah semakin sepi."Ck! Ngga sopan banget, ya. Main nyelonong aja!" sindir Laras."Aku lapar, Bun. Mau masak sendiri badanku lagi ngga fit."Untuk yang satu ini dia memang tidak berbohong. Tadi pagi saat bangun tidur, dia merasa badannya agak kurang sehat. Kepalanya juga sedikit berat."Kamu kenapa?"Nada khawatir yang begitu kentara itu, membuat senyum kecil terbit di bibir Fawaz. Ternyata
"Ngga ada yang penting." Aara kembali menghadap kaca, melakukan pekerjaan yang barusan sempat tertunda. Mengoleskan krim malam ke wajahnya.Menyugar rambutnya dengan kasar, Fawaz berjalan mendekati sang istri. Tidak penting katanya? Jelas itu sesuatu hal penting jika menyangkut istri dan manta suami wanita itu."Jelaskan!" tegas Fawaz. Posisinya yang sudah berada di belakang sang istri, membuat pandangan mereka bertemu dalam cermin.Menutup krim terakhir yang telah selesai digunakannya, Aara memutar tubuh meski tetap dalam posisi duduk. "Beneran ngga ada yang penting, Mas."Aara mendongak, menatap suaminya yang terlihat jelas sedang diliputi amarah. Namun, entah mengapa dia malah tersenyum kecil, ketika satu kesimpulan mampir di kepalanya. Suaminya tengah cemburu!Setiap malam dia selalu berpikir, tindakan apa yang akan dia ambil selanjutnya. Apa kebaikan yang akan diperoleh atas keputusan yang nantinya dia ambil. Hingga dia sampai pada satu pemiki
Membuka pintu minimarket, Aara dikejutkan oleh kehadiran pria yang kini berada di depannya. Dafa—pria itu—menatap Aara dengan pandangan yang, entahlah wanita itu terlalu takut mengartikannya. Karena dalam mata tajam itu terlihat kesedihan, kerinduan, kemarahan dan juga penyesalan.Tidak ingin terlalu lama dalam posisi seperti ini, Aara bergeser mempersilakan pria itu untuk masuk. Namun, tetap tidak ada pergerakan dari Dafa.Wanita itu menghela napas sebelum berkata, "maaf, Mas. Aku mau lewat."Aara tersenyum tipis seraya mengangguk kecil kala pria itu bergeser. Dengan langkah cepat dia keluar dari pintu, tapi gerakannya terhenti begitu mendengar sebuah pertanyaan."Bisa kita bicara?"Memejamkan mata, hati Aara dilanda rasa bimbang. Di satu sisi merasa tidak pantas jika berbicara berdua dengan mantan suaminya, tapi di sisi lain dia merasa mereka memang butuh bicara. Ada hal yang perlu mereka bahas dan juga perlu diselesaikan.Sete
Desahan lelah keluar dari bibir pria berkaca mata itu, kala mobilnya sudah berhenti tepat di depan rumah sang bunda. Dia tidak memasukkan mobilnya dalam garasi karena sebentar lagi pergi bekerja. Toh, ke sini dia hanya ingin melihat istrinya.Kemarin bundanya pulang dari rumah sakit, dan wanita paruh baya itu benar-benar melaksanakan perkataannya. Membawa Aara tinggal bersama wanita itu.Kesal, tentu saja! Akan tetapi, mau bagaimana lagi sang bunda pendiriannya sudah kuat sedangkan istrinya mau saja melakukan itu.Menghembuskan napas panjang sekali lagi, Fawaz membuka pintu hanya untuk mendapati tetangga depan rumahnya membuka gerbang. Terlihat jelas raut tidak suka Dafa ketika menatapnya. Berbeda dengan ibu dan adik pria itu yang tersenyum ketika mata mereka tidak sengaja saling tatap."Lho? Fawaz dari mana? Apa dari rumah sakit?" Tina yang sudah berada di depan pria berprofesi dokter itu, tersenyum semringah, yang menurut Fawaz terlalu berlebihan.
Dengan hati yang lebih lega, langkah kaki Fawaz terasa begitu ringan menyusuri koridor rumah sakit yang masih tampak lengang. Tentu saja, saat ini masih menunjukkan pukul lima pagi, di mana orang-orang belum memulai aktifitas. Setelah pembicaraan dengan istrinya semalam, akhirnya Fawaz mengalah. Pria berkaca mata itu memilih untuk pulang, tidak lagi memulai perdebatan dengan sang ibu. Membuka gagang pintu tanpa mengetuk, pria itu mendapati kedua wanita yang dicintainya menampakan raut berbeda. Jika Aara menatapnya biasa saja, tapi masih ada senyum tipis yang tergambar di wajah cantik itu. Sang ibu justru memberi tatapan malas, lalu memutar bola mata seakan menandakan kalau kehadirannya tidak diinginkan. "Assalamu'alaikum." Fawaz melangkah ke arah tempat tidur sang ibu. "Wa'alaikumsalam." Aara yang akan berdiri, bermaksud memberi tempat untuk suaminya lebih dulu dicegah oleh Laras. Melihat Laras memegang lengan Aara, membuat Fawaz menggeleng kecil. Dia
Dengan kecepatan penuh, Fawaz memacu mobilnya. Untung saja tadi dia masih ingat membawa barang keperluan bunda dan Aira. Setidaknya dia masih bisa mengontrol otaknya agar bisa berpikir waras.Perjalanan yang biasanya ditempuh dalam waktu 30 menit, kini Fawaz melaluinya selama 20 menit. Berjalan setengah berlari, laki-laki itu sengaja meninggalkan barang bawaannya. Biarlah nanti bisa diambil, pikirnya. Sekarang yang terpenting adalah menemui dua wanita yang dia cintai.Membuka pintu tanpa mengetuk. Fawaz diberi tatapan terkejut dari orang-orang yang berada di sana. Dia menghela napas berat, kalau bunda dan istrinya memalingkan wajah ketika dia berjalan mendekat. Bukan itu saja, tatapan permusuhan juga diberikan Rosi padanya. Sedangkan Rafi hanya menggeleng kecewa."Bun," panggil Fawaz."Ngapain kamu ke sini?" tanya Laras ketus. Tatapan malas dia berikan pada sang putra yang tampak sedih. Sebenarnya ada perasaan tidak tega, tapi begitu mengingat perbuatan F
Fawaz langsung memutar tubuh ke belakang. Begitu suara familiar itu, masuk dalam telinganya. Belum hilang kekalutannya karena melihat air mata sang istri.Kini hatinya seperti ditikam belati, mengetahui sang bunda berdiri di belakangnya. Mata yang mengeluarkan cairan bening itu, memandangnya penuh kekecewaan.Bagus! Sekarang dia berhasil mengecewakan dua wanita paling berarti di hidupnya."Bun," ucapnya seraya berjalan mendekati Laras dengan cepat."Semua tadi benar?""Bun ...." Fawaz menatap nanar sang bunda yang menolak dia sentuh."Jawab Fawaz!""Maaf.""Ya Allah ...." Laras memukuli dada putranya. Air matanya luruh, tidak menyangka anak kebanggaannya melakukan perbuatan sekeji itu."Udah, Bun." Aara yang sudah berada di antara ibu dan anak itu. Memeluk Laras dari samping.Sedangkan Fawaz hanya pasrah, saat mendapat pukulan serta tamparan dari sang bunda. Karena baginya hal ini tidak berarti apa-apa. Diba
Aara segera beranjak menuju kamar Fawaz yang berada di rumah Laras. Tadi pagi mereka memang memutuskan pulang. Namun, karena ada barangnya yang tertinggal dia memutuskan kembali ke rumah sang mertua.Toh, tadi sang suami juga mengabarkan akan pulang terlambat. Jadi, lebih baik dia mengambil barangnya sendiri. Setelahnya dia akan pulang, agar sudah sampai di rumah sebelum suaminya pulang.Dia sudah mengirim pesan pada Fawaz. Akan tetapi, sampai sekarang belum ada balasan.Aara membuka lemari, mencari tas jinjing yang kemarin dia bawa ke sini. Begitu menemukannya, dia menarik benda itu. Kening wanita manis itu berkerut, saat beberapa jaket Fawaz yang terletak di bawah tas itu terjatuh.Suaminya pernah berkata, kalau jaket itu sudah lama tidak digunakan. Makanya tidak di gantung. Inginnya diberikan pada orang kurang mampu, tapi sampai sekarang sang suami belum ada waktu.Berjongkok, Aara memungut beberapa jaket yang berserakan itu. Hingga tangan