Banyaknya orang berlalu lalang, seperti tidak berpengaruh pada wanita yang sejak beberapa menit lalu, tetap duduk di motornya tanpa berniat menyalakan mesin motor itu.
Pikiran wanita berkulit kuning langsat itu, masih terpaku kejadian beberapa saat lalu. Tentang pertemuannya kembali dengan mantan suaminya. Bukan, masih ada rasa yang tertinggal hingga dia memikirkan laki-laki itu. Namun, dia hanya merasa ... aneh?
Tidak ingin menyia-nyiakan waktu, Aara lantas menggeleng pelan. Mengusir pikiran yang tidak seharusnya hadir. Memutar kunci motornya, Aara bermaksud pergi dari sana, sebelum suatu hal masuk dalam penglihatannya.
Seorang gadis kecil, yang dia perkirakan berusia empat tahun celingak-celinguk, seperti sedang mencari sesuatu. Dari gesturnya yang mengusap pipi berkali-kali, Aara tahu gadis itu sedang menangis. Maka tidak menunggu lama, wanita itu segera turun dari motor untuk menghampiri gadis itu.
"Hai," sapa Aara.
Tidak ada jawaban apapun dari gadis di depannya. Gadis yang memakai gaun berwarna merah itu semakin menundukkan kepala.
Hal itu membuat Aara mensejajarkan diri dengan anak itu, agar lebih mudah baginya untuk berkomunikasi.
"Ada yang bisa tante bantu?" tanya Aara lembut.
Gadis itu mendongak, matanya menatap Aara dengan berkaca-kaca, "ma–mama hilang," ucapnya terbata.
Aara yang akan mengusap kelapa gadis itu, terperanjat, saat tiba-tiba saja sang gadis ditarik dengan kasar.
"Kamu menculik anak saya!" hadir seorang wanita sambil mendorong tubuh Aara hingga terduduk di lantai.
Aara yang masih terkejut dengan kejadian barusan, hanya diam saja. Hingga kemudian datang laki-laki yang berdiri di depannya.
"Jangan menuduh orang sembarangan!"
"Siapa kamu mau ikut campur?!"
"Saya di sini sebagai saksi, bagaimana wanita yang sudah Anda dorong, mencoba untuk menolong anak Anda yang ketakutan. Dan saya yakin anak itu hilang dari pengawasan Anda."
Aara tidak bisa melihat ekspresi laki-laki itu, tapi dari suaranya yang datar, dan kepalan tangannya. Dia bisa menebak kalau laki-laki jangkung itu berusaha menahan amarah.
"Kamu—"
"Apa? Yang saya ucapkan benar, 'kan? Apa kita perlu melihat cctv untuk mencari tahu kebenarannya?"
Tanpa menjawab pertanyaan itu, sang wanita segera berlalu sambil menarik anaknya. Fawaz—laki-laki yang membela Aara—menghela napas kasar melihat pemandangan itu. Ingin rasanya dia menolong sang gadis yang kini menoleh, menatap ke arahnya dengan air mata yang mengalir, tapi itu tidak mungkin. Karena yang ada dia bisa membuat suasana semakin keruh.
Memutuskan membalik badan, Fawaz melihat Aara yang ternyata tengah menatap yang obyek yang sama dengannya.
"Kamu gak pa-pa?" Fawaz mengulurkan tangan, bermaksud menolong wanita yang duduk di lantai itu.
Aara menatap ragu pada tangan itu, lalu mendongak untuk melihat Fawaz. Dengan senyum sungkan dia berkata, "Gak pa-pa Mas." Wanita itu berdiri tanpa menyambut tangan Fawaz.
Melihat hal itu, Fawaz berdeham kecil lalu menarik kembali tangannya. Sungguh, dia lupa kalau wanita di depannya berusaha tidak bersentuhan dengan laki-laki.
"Kenapa kamu tadi gak melawan?" tanya Fawaz kesal. Tadi dia berniat untuk masuk mobil, hingga kejadian barusan menghentikannya. Namun, yang membuat laki-laki itu kesal, wanita di depannya hanya diam saja diperlakukan seperti itu.
Aara mengerutkan kening, mendengar nada ketus Fawaz, "karena aku merasa wanita itu sedang panik, jadi itu yang membuatnya marah-marah."
Fawaz melongo. Tidak habis pikir dengan jawaban wanita bermata bulat di depannya, "kamu gak bisa mikir?"
Wanita cantik itu terperangah, kenapa dia yang dimarahi? "Maaf, tapi apa maksudnya Anda bertanya seperti itu."
"Sudah lah lupakan! Sepertinya aku telah mengambil keputusan yang salah dengan menolongmu." Fawaz berlaku begitu saja tanpa berpamitan.
Aara menggeleng pelan, bagaimana bisa Rosi berpikiran ingin menjodohkan dia dengan laki-laki yang suka marah seperti itu?
***
"Kak Fawaz!"
Laki-laki yang hendak menutup gerbang rumahnya itu mendongak, mendengar panggilan dari rumah yang tepat berada di depan rumahnya. Di sana terdapat Dania—tetangga barunya—yang kini tengah berjalan ke arahnya.
"Baru pulang?" Dania yang sudah berada di depan Fawaz tersenyum lebar.
"Iya. Kamu sendiri dari mana?" Fawaz memperhatikan Dania yang masih memakai baju semi formal, gaun kuning selutut yang dilapisi blazer warna hitam.
"Iya, baru meeting dengan klien."
Fawaz mengangguk sebagai jawaban. Dia terlalu malas berbasa-basi, lelah dengan pekerjaan dan juga entah mengapa kekesalan yang disebabkan wanita berhijab lebar tadi, masih tersisa hingga sekarang. Menjadikan suasana hatinya sedikit berantakan.
Dia bersyukur tadi tidak sampai salah memeriksa pasien, meski tidak bisa bersikap ramah seperti biasanya. Kalau dipikir-pikir hal itu sama sekali bukan urusannya, lalu kenapa dia jadi kesal?
Fawaz berdecak keras, menyadari pikirannya ruwet dan tidak masuk akal.
"Mas Fawaz kenapa?" Dania merasa ada yang aneh dengan laki-laki di depannya, yang tiba-tiba saja rautnya menjadi keruh.
Fawaz tersenyum canggung, "oh ... lagi capek." dustanya.
Dua manusia itu menoleh secara bersamaan ke arah kiri, saat terdengar bunyi mesin mobil berhenti. Terlihat Dafa dan Kirana keluar dari mobil berwarna hitam tersebut.
Tidak ingin suasana hatinya bertambah buruk, akibat melihat wanita yang dicintainya bersama laki-laki lain. Bergegas Fawaz pamit pada mereka, masa bodoh lah dengan pandangan heran yang ditunjukkan padanya. Saat ini dia hanya ingin segera tidur.
"Dania baru pulang?" tanya Kirana, setelah memastikan punggung lebar Fawaz telah menghilang.
"Iya, Mbak."
"Kamu masuk, gih." Dafa tersenyum lembut pada Kirana, lalu beralih pada adiknya. "Tolong, kamu bukakan gerbang."
Dania mengangguk, lantas berjalan kembali menuju rumah mereka.
Setelah memastikan Kirana masuk dalam rumah, senyum yang sedari tadi dia perlihatkan pada Kirana langsung luntur. Masuk dalam mobil, Dafa menyandarkan kepala ke kursi. Mengusap wajah berkali-laki, laki-laki berkulit coklat itu menarik napas panjang. Berharap dengan itu bayangan wajah mantan istrinya bisa pergi.
"Sial!" Dafa memukul stir mobil. Dia marah! Karena ternyata tidak bisa membohongi diri sendiri. Aara masih begitu berpengaruh dalam hidupnya.
***
"Bunda kenapa belum tidur?" Fawaz mendudukkan diri di sebelah ibunya, yang tengah menyaksikan sinetron yang banyak sekali dibicarakan orang-orang. Bahkan rekan kerjanya, juga kerap kali membicarakan alur sinetron itu.
Baru saja mata Fawaz akan terpejam, sebuah tepukan di lengan kembali menyadarkannya. "Apaan, sih, Bun? Sakit."
"Mandi dulu sana!"
"Aku sudah mandi di rumah sakit," gerutu laki-laki berusia tiga puluh tahun itu.
"Yaudah ganti baju sana!"
Fawaz berdecak pelan karena pengusiran sang ibu.
"Eh, tunggu sebentar." Bu Laras memegang tangan Fawaz, ketika anak laki-lakinya akan beranjak.
"Kenapa lagi, sih, Bun?"
"Hei, kalau ngmong sama Bunda, kok, wajahnya ditekuk gitu? Gak ikhlas?"
Fawaz tersenyum masam. "Ada apa Bunda sayang?"
Bibir Bu Laras mencebik, mengerti jika senyum sang anak adalah hal yang terpaksa. "Kamu sayang Bunda, kan?"
Fawaz berusaha keras tidak memutar bola matanya. Sadar betul, kalau sang ibu sudah bertanya demikian, pasti ada maunya. Namun, tidak urung dia tetap menjawab, agar ibunya senang, "itu sudah jelas jawabannya, Bun. Aku sayang banget sama Bunda."
Senyum miring sang ibu, membuat Fawaz was-was. Dia harus mempersiapkan diri dengan keinginan sang ibu, yang terkadang di luar nalar.
"Aara?"
Fawaz segera bangkit, karena sang ibunya menatapnya dengan cara yang ... pokoknya itu adalah jenis tatapan yang membuat Fawaz tidak tega menolak permintaan sang ibu.
"Hei! Mau ke mana? Bunda belum selesai bicara!"
"Mau ganti baju, terus tidur. Selamat malam, Bun." Fawaz berlari menaiki tangga.
"Awas kamu, ya," gerutu Bu Laras saat sang anak sudah tidak ada lagi di jangkauan matanya.
"Bunda mau ke toko?""Hem."Fawaz menelan makannya dengan susah payah. Meskipun hari ini sang ibu menyiapkan menu favoritnya, soto ayam. Namun, hal itu tidak lantas membuatnya menjadi berselera makan. Dikarenakan wanita yang dihormatinya itu seperti sedang mengajak perang dingin.Sedari subuh tadi, ibunya sangat diam. Jika biasanya, sang ibu akan selalu mengomentari apa saja, cerita ini itu, tapi hari ini semua terasa berbeda. Sang ibu hanya menjawab sekenanya saat Fawaz bertanya.Bahkan saat tadi Fawaz mencomot tempe goreng tanpa cuci tangan, Bu Laras hanya diam. Padahal jika dalam suasana hati biasa, sudah dipastikan Fawaz akan diberi nasehat panjang lebar tentang pentingnya menjaga kebersihan.Hal ini tentu saja menimbulkan rasa bersalah dalam hati laki-laki berkaca mata itu. Yatim dari kecil, membuat Fawaz sangat dekat dengan sang ibu. Ketika beranjak dewasa, dia berjanji pada dirinya sendiri, untuk menjaga sang ibu. Mengingat bagaimana dulu, ibunya
Fawaz melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, setelah mendapat telepon dari seorang wanita yang mengabarkan kalau saat ini sang ibu tengah sakit.Sambil mendengarkan petunjuk dari peta digital. Fawaz berusaha untuk tetap fokus, meski hatinya dilanda rasa khawatir tentang keadaan sang ibu. Rasanya tadi pagi sang ibu baik-baik saja, dan lagi ibunya selalu menjaga kesehatan dengan olahraga dan juga makan dengan menu sehat. Jadi, kenapa tiba-tiba sang ibu sakit?Mengamati sebentar rumah berlantai dua, apakah sudah sesuai dengan peta digital. Fawaz segera turun dari mobil, langkah besarnya melewati halaman kecil sebelum sampai pada pintu rumah yang terbuka."Assalamu'alaikum," ucapnya."Wa'laikumsalam." Suara itu terdengar bersamaan dengan munculnya seorang wanita berkulit kuning langsat. "Silakan masuk Mas."Fawaz mengikuti langkah Aara masuk dalam ruang tamu. Laki-laki itu mengerutkan kening, begitu mengetahui sang ibu yang tampak baik-baik saja.
"Kenapa Kakak gak bilang, kalau wanita yang akan dijodohkan dengan Kakak adalah dia?"Fawaz tidak menatap lawan bicaranya, pandangannya tetap lurus pada jalanan yang terlihat sepi.Ya, setelah tadi Aara pulang. Kirana meminta ijin Tante Laras untuk mengajak Fawaz keluar. Dia mengatakan ada sesuatu yang ingin dibeli dan meminta Fawaz untuk mengantarkannya.Alih-alih membeli sesuatu, mereka justru dud di sebuah bangku taman. Tempat yang masih satu komplek dengan rumah mereka, yang pagi menjelang siang ini, mulai tampak sepi."Kenapa aku harus bilang?" jawab Fawaz setelah jeda lumayan lama.Kirana berdecak kesal. "Kak, dia itu masa lalu Mas Dafa, kamu ingat, kan? Kalau hal ini, sejak kemarin aku pasti akan meminta bantuanmu."Fawaz menatap tajam Kirana. "Jangan meminta yang aneh-aneh!" tegas Fawaz."Tolong Mas, hanya kamu yang bisa menolongku. Tolong terima perjodohan ini."Fawaz menggeleng pelan. "Dengar, kalaupun nanti aku menerima perj
Dari kaca kecil dalam mobil, Fawaz melirik sang bunda yang tampak bahagia. Sejak dari rumah senyum cerah wanita itu sama sekali tidak luntur.Akibat rasa tidak suka karena tetangganya menjelek-jelekan Aara, akhirnya keluar kalimat yang sama sekali tidak dia duga bisa terucap dari bibirnya. Hingga mengakibatkan di hari minggu yang cerah ini, sang ibu memaksanya untuk ke rumah Aara, melamar wanita itu.Sebenarnya dia sudah berkata pada ibunya kalau dia asal ngomong. Berharap sang ibu membatalkan rencananya. Namun, alih-alih menuruti kemauannya, sang bunda justru berkata kalau laki-laki itu dipegang omongannya. Jadi, sekali dia berkata demikian maka harus direalisasikan."Pokoknya nanti, segera setelah lamaran harus langsung nikah! Gak boleh ditunda-tunda.""Belum tentu juga Aara nerima lamaran kita, Bun."Bu Laras mendelik pada anaknya yang tengah mengemudi. "Ya, tinggal pintar-pintarnya kamu bujuk Aara, biar lamaran kita diterima."Fawaz mengangguk
Fawaz memandang langit yang malam tidak menampakkan bintang, dari jendela kamarnya. Meski matanya menatap lurus langit luas, tapi pikirannya berkelana pada kejadian dua minggu lalu.***Fawaz melajukan mobilnya dengan hati tidak karuan, setelah dua hari lalu Aara meminta waktu untuk menjawab lamarannya. Tadi selesai praktek, dia menerima pesan singkat dari wanita itu yang mengatakan ingin betemu dengannya.Maka di sinilah dia sekarang. Di depan rumah sang sahabat, tempat yang dipilih Aara untuk menjawab pertanyaannya. Dengan langkah tegap, Fawaz berjalan memasuki rumah yang sudah sering dia kunjungi itu.Dari depan pintu, dia bisa melihat Aara yang tengah berbincang dengan Rosi. Sementara Rafi tampak sibuk dengan ponselnya, yang bisa Fawaz tebak, kalau laki-laki itu tengah asyik bermain game.Setelah mengucapkan salam, yang dibalas oleh ketiga orang itu. Fawaz segera masuk dan duduk di depan Aara.Aara melirik sekilas laki-laki yang dua hari lalu
"Kalau Aara selesai berkemas, langsung berangkat. Jangan ditunda-tunda!"Fawaz yang mengantarkan sang ibu menuju mobil yang akan membawa wanita itu pulang, hanya mengangguk sebagai jawaban. Karena sedari tadi sang ibu tidak berhenti mewanti-wantinya ini dan itu.Acara memang sudah berakhir dua jam yang lalu, rumah Aara pun sudah bersih karena para petugas WO sudah merapikan semuanya. Sedangkan Nilam tadi sudah mengabarkan, kalau persiapan acara syukuran nanti malam, di rumah sang ibu sudah hampir selesai. Untuk itu lah ibunya memilih pulang duluan.Kembali berjalan memasuki rumah yang kini tampak sepi. Fawaz dibuat bingung sendiri, karena tidak tahu harus melakukan apa. Hingga akhirnya dia memilih untuk ke kamar Aara, menanyakan istrinya sudah siap apa belum.Istri? Tanpa sadar Fawaz tersenyum saat kata itu terus berputar di otaknya.Mengetuk pintu tiga kali, tapi tidak ada jawaban. Fawaz memutuskan membuka kamar yang ternyata tidak dikunci. Laki-l
Malam semakin larut, langit masih gelap dan suasana pun masih terasa sepi. Namun, hal itu tidak lantas membuat Fawaz segera memejamkan mata. Laki-laki itu malah masih sibuk mengamati wajah cantik istrinya yang sudah terlelap.Dulu ketika salah satu temannya bercerita, tentang cinta yang tiba-tiba tumbuh setelah ijab qabul. Fawaz mencibir habis-habisan, dia berpikir hal itu mustahil. Baginya rasa cinta itu tumbuh seiiring berjalannya waktu.Akan tetapi, saat ini dia ingin menarik kalimatnya dulu. Karena sekarang dia merasakan apa yang dialami temannya. Mungkin memang perasaan cintanya belum besar, mengingat masih ada nama Kirana di hatinya, tapi bukankah ini awal yang baik untuk sebuah hubungan?Dalam hati Fawaz terus berdoa, agar hatinya dapat mencintai sang istri sepenuh hati.Aara membuka matanya yang sedari tadi pura-pura terpejam, setelah tidak merasakan gerakan apapun dari sampingnya. Sebenarnya dia masih merasa gugup, itu lah alasan kenapa dia pura-
Suasana mobil bercat hitam milik Fawaz terasa sunyi. Karena ketiga orang di dalamnya merasa canggung untuk saling memulai percakapan. Baik Fawaz, Aara maupun Kirana seperti sibuk dengan pikiran masing-masing?Lalu bagaimana mereka bisa berakhir dalam satu mobil?Itu semua karena Bu Laras. Kirana yang sudah terbiasa diantar Fawaz, mengalami kebingungan karena tadi tidak langsung berangkat, melainkan ke rumah Fawaz dulu. Hingga akhirnya dia bisa terlambat jika tidak segera berangkat.Karena itulah Fawaz menawarkan diri untuk mengantar, yang langsung dipotong oleh sang ibu dengan mengatakan kalau Aara harus ikut juga. Sekalian mereka disuruh untuk membeli keperluan rumah Bu Laras."Terima kasih Kak, Ra," ujar Kirana begitu mobil berhenti di depan lobi."Sama-sama.""Mas, sepertinya itu punya Mbak Kirana," kata Aara ketika melihat sesuatu di kursi belakang dari balik kaca kecil.Fawaz menepikan mobilnya, kemudian menoleh untuk melihat ben
"Jangan, Mas!" Aara mencegah Fawaz yang akan melakukan hal lebih jauh."Kenapa?" tanya Fawaz serak.Aara mendorong tubuh sang suami. Lantas wanita itu merubah posisinya menjadi duduk. "Ehm ... ini masih pagi.""Apa?!" Kenapa sih istrinya? Kenapa belakangan ini alasan yang dibuat wanita itu selalu aneh? "Tapi lagi ngga ada siapa-siapa. Lagipula kita di kamar, Aara!" kesal Fawaz. Kebahagiaan yang baru saja dia rasakan, langsung terjun bebas. Siapa juga yang tidak kesal, setelah diterbangkan ke atas awan lalu dihempaskan begitu saja?"Ya, siapa tau nanti ada orang datang."Berdecak keras, Fawaz menatap istrinya jengkel. Katakanlah dia kekanak-kanakan, tapi dia ini masih pria normal!"Jangan mengada-ada! Kalau memang kamu ngga mau bilang aja! Dan seharusnya dari awal kamu bilang, bukan seperti ini, kita sudah berjalan jauh dan kamu malah menolah," ujar Fawaz panjang lebar mengungkapkan rasa kesalnya yang semakin menumpuk."Maaf.""
"Ngapain kamu ke sini?"Fawaz mendengkus kecil, mendengar nada ketus itu. Namun, tetap saja hal itu tidak menyurutkan langkahnya menuju ruang makan. Bahkan dengan tidak tahu dirinya dia mendudukkan diri di salah satu kursi, tidak peduli meski ada mata yang memelototi dirinya.Sudah seminggu berlalu, tapi Fawaz masih saja rajin berkunjung ke rumah sang bunda. Dengan harapan kedua wanita yang dicintainya segera luluh. Lagipula mana betah dia sendiri di rumah, apalagi sekarang para pekerja Aara juga sudah bekerja di toko kue ibunya. Otomatis membuat rumah semakin sepi."Ck! Ngga sopan banget, ya. Main nyelonong aja!" sindir Laras."Aku lapar, Bun. Mau masak sendiri badanku lagi ngga fit."Untuk yang satu ini dia memang tidak berbohong. Tadi pagi saat bangun tidur, dia merasa badannya agak kurang sehat. Kepalanya juga sedikit berat."Kamu kenapa?"Nada khawatir yang begitu kentara itu, membuat senyum kecil terbit di bibir Fawaz. Ternyata
"Ngga ada yang penting." Aara kembali menghadap kaca, melakukan pekerjaan yang barusan sempat tertunda. Mengoleskan krim malam ke wajahnya.Menyugar rambutnya dengan kasar, Fawaz berjalan mendekati sang istri. Tidak penting katanya? Jelas itu sesuatu hal penting jika menyangkut istri dan manta suami wanita itu."Jelaskan!" tegas Fawaz. Posisinya yang sudah berada di belakang sang istri, membuat pandangan mereka bertemu dalam cermin.Menutup krim terakhir yang telah selesai digunakannya, Aara memutar tubuh meski tetap dalam posisi duduk. "Beneran ngga ada yang penting, Mas."Aara mendongak, menatap suaminya yang terlihat jelas sedang diliputi amarah. Namun, entah mengapa dia malah tersenyum kecil, ketika satu kesimpulan mampir di kepalanya. Suaminya tengah cemburu!Setiap malam dia selalu berpikir, tindakan apa yang akan dia ambil selanjutnya. Apa kebaikan yang akan diperoleh atas keputusan yang nantinya dia ambil. Hingga dia sampai pada satu pemiki
Membuka pintu minimarket, Aara dikejutkan oleh kehadiran pria yang kini berada di depannya. Dafa—pria itu—menatap Aara dengan pandangan yang, entahlah wanita itu terlalu takut mengartikannya. Karena dalam mata tajam itu terlihat kesedihan, kerinduan, kemarahan dan juga penyesalan.Tidak ingin terlalu lama dalam posisi seperti ini, Aara bergeser mempersilakan pria itu untuk masuk. Namun, tetap tidak ada pergerakan dari Dafa.Wanita itu menghela napas sebelum berkata, "maaf, Mas. Aku mau lewat."Aara tersenyum tipis seraya mengangguk kecil kala pria itu bergeser. Dengan langkah cepat dia keluar dari pintu, tapi gerakannya terhenti begitu mendengar sebuah pertanyaan."Bisa kita bicara?"Memejamkan mata, hati Aara dilanda rasa bimbang. Di satu sisi merasa tidak pantas jika berbicara berdua dengan mantan suaminya, tapi di sisi lain dia merasa mereka memang butuh bicara. Ada hal yang perlu mereka bahas dan juga perlu diselesaikan.Sete
Desahan lelah keluar dari bibir pria berkaca mata itu, kala mobilnya sudah berhenti tepat di depan rumah sang bunda. Dia tidak memasukkan mobilnya dalam garasi karena sebentar lagi pergi bekerja. Toh, ke sini dia hanya ingin melihat istrinya.Kemarin bundanya pulang dari rumah sakit, dan wanita paruh baya itu benar-benar melaksanakan perkataannya. Membawa Aara tinggal bersama wanita itu.Kesal, tentu saja! Akan tetapi, mau bagaimana lagi sang bunda pendiriannya sudah kuat sedangkan istrinya mau saja melakukan itu.Menghembuskan napas panjang sekali lagi, Fawaz membuka pintu hanya untuk mendapati tetangga depan rumahnya membuka gerbang. Terlihat jelas raut tidak suka Dafa ketika menatapnya. Berbeda dengan ibu dan adik pria itu yang tersenyum ketika mata mereka tidak sengaja saling tatap."Lho? Fawaz dari mana? Apa dari rumah sakit?" Tina yang sudah berada di depan pria berprofesi dokter itu, tersenyum semringah, yang menurut Fawaz terlalu berlebihan.
Dengan hati yang lebih lega, langkah kaki Fawaz terasa begitu ringan menyusuri koridor rumah sakit yang masih tampak lengang. Tentu saja, saat ini masih menunjukkan pukul lima pagi, di mana orang-orang belum memulai aktifitas. Setelah pembicaraan dengan istrinya semalam, akhirnya Fawaz mengalah. Pria berkaca mata itu memilih untuk pulang, tidak lagi memulai perdebatan dengan sang ibu. Membuka gagang pintu tanpa mengetuk, pria itu mendapati kedua wanita yang dicintainya menampakan raut berbeda. Jika Aara menatapnya biasa saja, tapi masih ada senyum tipis yang tergambar di wajah cantik itu. Sang ibu justru memberi tatapan malas, lalu memutar bola mata seakan menandakan kalau kehadirannya tidak diinginkan. "Assalamu'alaikum." Fawaz melangkah ke arah tempat tidur sang ibu. "Wa'alaikumsalam." Aara yang akan berdiri, bermaksud memberi tempat untuk suaminya lebih dulu dicegah oleh Laras. Melihat Laras memegang lengan Aara, membuat Fawaz menggeleng kecil. Dia
Dengan kecepatan penuh, Fawaz memacu mobilnya. Untung saja tadi dia masih ingat membawa barang keperluan bunda dan Aira. Setidaknya dia masih bisa mengontrol otaknya agar bisa berpikir waras.Perjalanan yang biasanya ditempuh dalam waktu 30 menit, kini Fawaz melaluinya selama 20 menit. Berjalan setengah berlari, laki-laki itu sengaja meninggalkan barang bawaannya. Biarlah nanti bisa diambil, pikirnya. Sekarang yang terpenting adalah menemui dua wanita yang dia cintai.Membuka pintu tanpa mengetuk. Fawaz diberi tatapan terkejut dari orang-orang yang berada di sana. Dia menghela napas berat, kalau bunda dan istrinya memalingkan wajah ketika dia berjalan mendekat. Bukan itu saja, tatapan permusuhan juga diberikan Rosi padanya. Sedangkan Rafi hanya menggeleng kecewa."Bun," panggil Fawaz."Ngapain kamu ke sini?" tanya Laras ketus. Tatapan malas dia berikan pada sang putra yang tampak sedih. Sebenarnya ada perasaan tidak tega, tapi begitu mengingat perbuatan F
Fawaz langsung memutar tubuh ke belakang. Begitu suara familiar itu, masuk dalam telinganya. Belum hilang kekalutannya karena melihat air mata sang istri.Kini hatinya seperti ditikam belati, mengetahui sang bunda berdiri di belakangnya. Mata yang mengeluarkan cairan bening itu, memandangnya penuh kekecewaan.Bagus! Sekarang dia berhasil mengecewakan dua wanita paling berarti di hidupnya."Bun," ucapnya seraya berjalan mendekati Laras dengan cepat."Semua tadi benar?""Bun ...." Fawaz menatap nanar sang bunda yang menolak dia sentuh."Jawab Fawaz!""Maaf.""Ya Allah ...." Laras memukuli dada putranya. Air matanya luruh, tidak menyangka anak kebanggaannya melakukan perbuatan sekeji itu."Udah, Bun." Aara yang sudah berada di antara ibu dan anak itu. Memeluk Laras dari samping.Sedangkan Fawaz hanya pasrah, saat mendapat pukulan serta tamparan dari sang bunda. Karena baginya hal ini tidak berarti apa-apa. Diba
Aara segera beranjak menuju kamar Fawaz yang berada di rumah Laras. Tadi pagi mereka memang memutuskan pulang. Namun, karena ada barangnya yang tertinggal dia memutuskan kembali ke rumah sang mertua.Toh, tadi sang suami juga mengabarkan akan pulang terlambat. Jadi, lebih baik dia mengambil barangnya sendiri. Setelahnya dia akan pulang, agar sudah sampai di rumah sebelum suaminya pulang.Dia sudah mengirim pesan pada Fawaz. Akan tetapi, sampai sekarang belum ada balasan.Aara membuka lemari, mencari tas jinjing yang kemarin dia bawa ke sini. Begitu menemukannya, dia menarik benda itu. Kening wanita manis itu berkerut, saat beberapa jaket Fawaz yang terletak di bawah tas itu terjatuh.Suaminya pernah berkata, kalau jaket itu sudah lama tidak digunakan. Makanya tidak di gantung. Inginnya diberikan pada orang kurang mampu, tapi sampai sekarang sang suami belum ada waktu.Berjongkok, Aara memungut beberapa jaket yang berserakan itu. Hingga tangan