Bunyi ketuk palu hakim, menandakan berakhirnya pernikahan dua manusia yang duduk bersebelahan. Tidak raut berarti di wajah kedua orang itu. Mereka sama-sama terlihat biasa saja di depan semua orang. Namun, tidak ada yang tahu bagaimana perasaan mereka sebenarnya.
Secara bersamaan mereka berdiri. Dafa berjalan menghampiri Aara, mengajak bersalaman yang dibalas Aara dengan menangkupkan kedua tanggannya di dada.
"Semoga kamu bahagia, Mas." Doa Aara tulus.
Dafa menatap kepergiaan mantan istrinya dengan perasaan berkecamuk. Tidak! Dia tidak akan menyesal. Tekad Dafa dalam hati.
Meski ragu kian menggelayuti hati. Dia tetap akan bertahan, tidak akan kembali pada masa lalunya.Sedangkan Aara tetap berjalan tegap menuju pintu keluar. Raut wajahnya tenang, senyum tipis menghiasai bibir saat tidak sengaja bertatap dengan orang-orang berada di tempat yang sama dengannya. Itu semua semata-mata dilakukan untuk menutupi hatinya yang remuk redam.
Bayangan indahnya pernikahan hingga maut memisahkan. Keinginan menua bersama pasangan, terpaksa harus berakhir detik ini. Menyesal? Entah lah, Aara masih kesulitan meraba perasaannya saat ini. Namun, yang jelas dia berusaha untuk mengambil pelajaran dalam hal ini.
Semilir angin menerbangkan rambut hitam sebahu milik Aara, dia tersenyum pada Rosi—sahabatnya—yang sudah menunggu di depan bangunan bertuliskan Pengadilan Agama. Pelukan erat langsung dia dapatkan dari sang sahabat.
"Sa–sabar, ya." Terbata-bata Rosi mengatakan itu seiring dengan air mata yang mengalir di pipinya. Memikirkan nasib sahabatnya.
"Udah, aku gak pa-pa. Jangan nangis lagi. Malu sama suami." Aara tersenyum pada suami sahabatnya yang berdiri di belakang Rosi, yang dibalas gelengan pelan oleh laki-laki itu.
Aara paham, sahabatnya masih merasa bersalah atas perceraiannya. Karena bisa dibilang Rosi lah yang mengenalkannya pada sang mantan suami. Mas Rafi—suami Rosi—adalah teman satu kantor Mas Dafa.
"Nanti aja dilanjut di rumah. Malu, yang." Mas Rafi mengusap kepala istrinya.
Melihat pemandangan di depannya. Rasa nyeri yang selama ini berusaha dia tepis muncul kembali. Bukan. Aara bukannya iri, hanya saja perlakuan Mas Rafi pada Rosi mengingatkannya pada awal-awal pernikahannya dengan Dafa.
"Ini semua gara-gara teman kamu Mas! Rasanya aku pengen jambak cewek itu!"
Aara mengikuti arah pandang Rosi. Di sana, di tempat parkir, terdapat Dafa dan keluarganya juga Kirana yang hari ini tampil menawan dengan gaun kasual selutut warna biru. Ya, bukan hari ini saja. Karena Kirana selalu terlihat menawan setiap waktu.
Menatap orang-orang itu yang juga tengah memandangnya dengan ekspresi berbeda-beda. Sudut bibir Aara tertarik, hingga terlihat jelas sebuah lesung pipi di sebelah kanan. Terserah kalau mereka memandangnya sinis, tapi Aara tidak akan melakukan hal yang sama. Toh, kini sudah tidak ada lagi hubungan di antara mereka.
Aara tersentak saat tiba-tiba tangannya ditarik dengan kuat. "Gak usah diliat! Bikin enek aja!"
"Hei, gak boleh bilang gitu."
"Kamu, sih, terlalu baik jadi orang. Jadi gini, kan? Mereka berlaku seenaknya padamu."
Menghela napas berat. Aara membenarkan ucapan sang sahabat. "Udah, gak usah bahas masa lalu. Kita bahas masa depan saja," usul Aara.
"Baiklah, tapi mulai sekarang kamu harus belajar melawan. Jangan iya-iya terus!" ujar Rosi menggebu-gebu. Gemas dengan sifat sahabatnya yang selalu mementingkan perasaan orang lain. Hingga tidak jarang, karena kebaikan itu dia dimanfaatkan orang lain.
Ketiga orang itu segera berlalu menuju ke arah kanan. Tempat mobil Rafi di parkir. Hingga tidak menyadari, kalau langkah mereka diawasi oleh empat orang dewasa yang memandang mereka dengan ekspresi berbeda-beda. Senang, terluka, dan sedih.
***
Kata orang menyembuhkan luka memang butuh waktu. Hal itu disadari betul oleh Aara. Selepas pulang dari pengadilan, wanita berkulit kuning langsat itu meminta diantarkan langsung ke rumah. Meski tadi Rosi sempat menawarkan agar Aara sementara tidur di rumahnya.
Penolakan halus Aara berikan pada sang sahabat. Dia butuh waktu sendiri, merenungi apa yang terjadi dalam hidupnya serta membuat rencana-rencana baru untuk masa depannya.
Menatap sekeliling kamar, yang pernah menjadi saksi bisu bagaimana dulu dia dan mantan suaminya pernah begitu saling mencintai. Aara mendesah lelah ketika rasa sakit mulai menjalari hatinya. Oksigen terasa menipis hingga menimbulkan sesak di dada.
Aara menarik napas beberapa kali, berharap dengan itu bisa menetralkan pikiran dan hatinya. Maka ketika dia sudah mulai tenang, segera Aara berjalan keluar menuju dapur, untuk melakukan sesuatu yang sudah dia niatkan sejak dari pengadilan tadi.
Kembali dalam kamar yang bernuansa minimalis, dengan cat putih dan juga gorden coklat serta furnitur dari bahan kayu. Aara yang sudah membawa kardus, mulai mengambil foto-foto yang ada di nakas. Kemudian dia menyeret kursi meja rias untuk membantunya mengambil foto yang menempel di tembok.
Dia bersyukur semua foto yang terpajang di dinding ukurannya tidak terlalu besar, hingga dia tidak kesulitan mengambilnya. Setelah selesai memasukkan semua dalam kardus, Aara berniat menyimpannya dalam gudang. Karena sekarang dia masih belum sanggup membakar semua itu. Namun, dia yakin suatu saat pasti dia akan siap melakukannya. Ketika dia sudah bisa berdamai dengan rasa sakit yang dirasakannya.
Langkah wanita dengan rambut sebahu itu terhenti, melihat sebuah kantong dari kertas tergolek di samping lemari. Penasaran dengan benda itu, Aara segera meletakkan kardus di lantai dan berjalan menuju arah lemari besar berwarna natural.
Aara berjalan menuju ranjang untuk membuka kantong itu, yang ternyata berisi pakaian yang dibawanya dari rumah sakit. Aara heran, kenapa dia sampai lupa? Seharusnya dari awal dia sudah membuang benda ini.
Baru saja Aara kan bangkit, tanpa sengaja tangannya menjatuhkan kantong itu. Menyebabkan isinya berhamburan keluar, hal yang membuat Aara mematung adalah beberapa foto yang dijadikan bukti perselingkuhan, yang tidak pernah dia lakukan, berserakan di lantai
Dia mengambil foto-foto itu, dan mengamatinya kembali karena kemarin dia hanya melihat sekilas.
Tawa kecil lolos dari bibir tipisnya. Bagaimana mungkin orang-orang percaya dia selingkuh hanya dari foto ini?
Dalam foto itu tergambar dia yang sedang berdiri menatap jalan raya, sedang di sampingnya berdiri laki-laki jangkung menggunakan jaket biru navy bertuliskan "I am your doctor"
Kening Aara mengkerut, matanya menyipit melihat foto itu lagi. Tidak ada gestur orang yang saling berhubungan di sana, bahkan ada jarak antara dirinya dan laki-laki di foto itu. Meski hanya sejengkal.
Sudah lah, Aara lelah memikirkan hal itu. Toh, sekarang analisanya tidak akan berguna. Karena dia juga sudah bercerai. Akhirnya dia memilih meletakkan foto itu dalam kardus bersama masa lalunya.
Dengan langkah tegap, Aara bersiap membuang semua masa lalu buruknya, menyimpannya di tempat paling sudut. Agar tidak mengganggu masa depannya dan bisa dia ingat sebagai pelajaran paling berharga.
Kini dia siap menyambut masa depan dengan senyum lebar, hati yang lebih lembut dan juga pribadi yang lebih baik lagi.
Aara menatap pantulan dirinya di cermin. Wanita berkulit kulit langsat itu terlihat anggun, dengan gamis abu-abu tua yang menutupi lekuk tubuhnya. Juga, kerudung warna serupa yang menjuntai hingga punggungnya tertutup sempurna.Satu tahun telah dia lalui untuk menyembuhkan hati. Berat? Iya, awalnya memang Aara merasa berat, tapi perlahan dia bisa bangkit.Mengecek jam yang menempel pada dinding yang kini dicat biru muda. Aara bergegas turun ke bawah, karena jarum pendek sudah diangka delapan. Itu artinya sebentar lagi Mbak Yuli akan datang.Benar perkiraan Aara, begitu dia sampai di ujung tangga bawah, sebuah bel berbunyi nyaring."Wa'alaikumsalam," jawab Aara sambil melangkah ke pintu, "masuk, Mbak."Wanita yang sudah enam bulan terakhir membantu Aara membuat kue itu, segera masuk. "Hari ini banyak pesanan?" tanya Mbak Yuli seraya mengikuti Aara menuju dapur."Alhamdulillah, Mbak." Aara memperhatikan Mbak Yuli yang mulai bersiap-siap, menaruh tas
Suasana cafe violet, tidak begitu ramai. Mengingat waktu menunjukkan pukul dua, di mana orang-orang yang biasanya nongkrong di tempat itu, sudah kembali pada rutinitas masing-masing.Hanya ada beberapa pengunjung di sana, yang asyik bercengkrama dengan temannya di cafe yang bernuansa ungu itu. Namun, ada yang berbeda. Dua pasang manusia yang duduk di pojok ruangan seperti tengah berbicara dengan serius."Bagaimana ini? Sampai sekarang Mas Dafa gak ada tanda-tanda akan melamarku. Padahal perceraiannya sudah satu tahun lebih." Mata wanita berkulit putih itu berkaca-kaca, dengan segera dia menunduk ketika air matanya mulai jatuh.Terlambat! Laki-laki berkaca mata di depannya sudah mengetahui hal itu. Maka dengan pandangan sendu, dia mengulurkan tisu pada sang wanita pujaan."Kalau begitu menyerah lah." Fawaz—si laki-laki berkaca mata—menatap lembut wanita yang kini juga balas memandangnya."Aku gak bisa, Kak. Aku cinta sama dia."Tanpa wanita itu sad
Aara melambaikan tangan pada Rosi yang sudah menunggunya. Wanita itu segera berjalan ke arah balkon, tempat sang sahabat berada."Sorry, lama." Aara mendudukkan diri di depan sahabatnya."Gak, kok. Aku juga baru dateng." Tiba-tiba Rosi menatap Aara intens, sambil tersenyum misterius. "Tadi siapa?"Kening Aara mengkerut. "Siapa?""Itu, lelaki berkaca mata yang ngobrol sama kamu di parkiran." Rosi menaik turunkan alisnya.Aara berdecak kecil atas godaan sahabatnya. "Anaknya Bu Laras.""Kalian udah kenalan?""Tadi dikenalin Bu Laras di bawah." Aara mulai membuka buku menu, untuk memilih makanan apa yang akan dia pesan."O ...."Wanita berkulit kuning langsat itu mendongak, begitu mendengar nada aneh sang sahabat. Dia memutar bola mata, saat Rosi tengah tersenyum tipis padanya. Aara jelas tahu, apa maksud senyum itu. "Jangan mikir yang aneh-aneh!""Emang aku mikir apa?" goda Rosi."Kita sahabatan udah berapa lama sih? Ten
Tante gak tau lo Aara itu temannya Rosi," ujar Bu Laras sambil menatap dua wanita di depannya dengan mata berbinar.Aara tertawa kecil. "Iya, Tante. Aku juga gak tau kalau Rosi kenal Tante. Padahal tadi kami makan di cafe tante, tapi dia sama sekali gak bilang apa-apa." Aara melirik sahabatnya yang ikut tertawa."Aku juga baru tau hari ini, kok," bela Rosi."Seandainya tante udah tau dari dulu, pasti kamu sudah tak ajak kerja sama." Bu Laras tersenyum penuh arti pada Rosi."Kerja sama apa, Tan?" tanya ibu hamil itu sambil mengerutkan kening."Ada, deh. Nanti tante japri," ujar Bu Laras sambil tertawa.Fawaz yang sedari tadi fokus menikmati ikan gurame bakar, menghela napas tidak kentara mendengar pembicaraan sang ibu. Sepertinya mulai besok hidupnya akan direcoki terus oleh sang ibu. Pasti wanita yang telah melahirkannya itu, akan berusaha mengajak Rosi untuk bekerja sama agar bisa mendekatkan dia dan wanita di depannya. Bahkan, mungkin saja ibuny
Banyaknya orang berlalu lalang, seperti tidak berpengaruh pada wanita yang sejak beberapa menit lalu, tetap duduk di motornya tanpa berniat menyalakan mesin motor itu.Pikiran wanita berkulit kuning langsat itu, masih terpaku kejadian beberapa saat lalu. Tentang pertemuannya kembali dengan mantan suaminya. Bukan, masih ada rasa yang tertinggal hingga dia memikirkan laki-laki itu. Namun, dia hanya merasa ... aneh?Tidak ingin menyia-nyiakan waktu, Aara lantas menggeleng pelan. Mengusir pikiran yang tidak seharusnya hadir. Memutar kunci motornya, Aara bermaksud pergi dari sana, sebelum suatu hal masuk dalam penglihatannya.Seorang gadis kecil, yang dia perkirakan berusia empat tahun celingak-celinguk, seperti sedang mencari sesuatu. Dari gesturnya yang mengusap pipi berkali-kali, Aara tahu gadis itu sedang menangis. Maka tidak menunggu lama, wanita itu segera turun dari motor untuk menghampiri gadis itu."Hai," sapa Aara.Tidak ada jawaban apapun dari gad
"Bunda mau ke toko?""Hem."Fawaz menelan makannya dengan susah payah. Meskipun hari ini sang ibu menyiapkan menu favoritnya, soto ayam. Namun, hal itu tidak lantas membuatnya menjadi berselera makan. Dikarenakan wanita yang dihormatinya itu seperti sedang mengajak perang dingin.Sedari subuh tadi, ibunya sangat diam. Jika biasanya, sang ibu akan selalu mengomentari apa saja, cerita ini itu, tapi hari ini semua terasa berbeda. Sang ibu hanya menjawab sekenanya saat Fawaz bertanya.Bahkan saat tadi Fawaz mencomot tempe goreng tanpa cuci tangan, Bu Laras hanya diam. Padahal jika dalam suasana hati biasa, sudah dipastikan Fawaz akan diberi nasehat panjang lebar tentang pentingnya menjaga kebersihan.Hal ini tentu saja menimbulkan rasa bersalah dalam hati laki-laki berkaca mata itu. Yatim dari kecil, membuat Fawaz sangat dekat dengan sang ibu. Ketika beranjak dewasa, dia berjanji pada dirinya sendiri, untuk menjaga sang ibu. Mengingat bagaimana dulu, ibunya
Fawaz melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, setelah mendapat telepon dari seorang wanita yang mengabarkan kalau saat ini sang ibu tengah sakit.Sambil mendengarkan petunjuk dari peta digital. Fawaz berusaha untuk tetap fokus, meski hatinya dilanda rasa khawatir tentang keadaan sang ibu. Rasanya tadi pagi sang ibu baik-baik saja, dan lagi ibunya selalu menjaga kesehatan dengan olahraga dan juga makan dengan menu sehat. Jadi, kenapa tiba-tiba sang ibu sakit?Mengamati sebentar rumah berlantai dua, apakah sudah sesuai dengan peta digital. Fawaz segera turun dari mobil, langkah besarnya melewati halaman kecil sebelum sampai pada pintu rumah yang terbuka."Assalamu'alaikum," ucapnya."Wa'laikumsalam." Suara itu terdengar bersamaan dengan munculnya seorang wanita berkulit kuning langsat. "Silakan masuk Mas."Fawaz mengikuti langkah Aara masuk dalam ruang tamu. Laki-laki itu mengerutkan kening, begitu mengetahui sang ibu yang tampak baik-baik saja.
"Kenapa Kakak gak bilang, kalau wanita yang akan dijodohkan dengan Kakak adalah dia?"Fawaz tidak menatap lawan bicaranya, pandangannya tetap lurus pada jalanan yang terlihat sepi.Ya, setelah tadi Aara pulang. Kirana meminta ijin Tante Laras untuk mengajak Fawaz keluar. Dia mengatakan ada sesuatu yang ingin dibeli dan meminta Fawaz untuk mengantarkannya.Alih-alih membeli sesuatu, mereka justru dud di sebuah bangku taman. Tempat yang masih satu komplek dengan rumah mereka, yang pagi menjelang siang ini, mulai tampak sepi."Kenapa aku harus bilang?" jawab Fawaz setelah jeda lumayan lama.Kirana berdecak kesal. "Kak, dia itu masa lalu Mas Dafa, kamu ingat, kan? Kalau hal ini, sejak kemarin aku pasti akan meminta bantuanmu."Fawaz menatap tajam Kirana. "Jangan meminta yang aneh-aneh!" tegas Fawaz."Tolong Mas, hanya kamu yang bisa menolongku. Tolong terima perjodohan ini."Fawaz menggeleng pelan. "Dengar, kalaupun nanti aku menerima perj
"Jangan, Mas!" Aara mencegah Fawaz yang akan melakukan hal lebih jauh."Kenapa?" tanya Fawaz serak.Aara mendorong tubuh sang suami. Lantas wanita itu merubah posisinya menjadi duduk. "Ehm ... ini masih pagi.""Apa?!" Kenapa sih istrinya? Kenapa belakangan ini alasan yang dibuat wanita itu selalu aneh? "Tapi lagi ngga ada siapa-siapa. Lagipula kita di kamar, Aara!" kesal Fawaz. Kebahagiaan yang baru saja dia rasakan, langsung terjun bebas. Siapa juga yang tidak kesal, setelah diterbangkan ke atas awan lalu dihempaskan begitu saja?"Ya, siapa tau nanti ada orang datang."Berdecak keras, Fawaz menatap istrinya jengkel. Katakanlah dia kekanak-kanakan, tapi dia ini masih pria normal!"Jangan mengada-ada! Kalau memang kamu ngga mau bilang aja! Dan seharusnya dari awal kamu bilang, bukan seperti ini, kita sudah berjalan jauh dan kamu malah menolah," ujar Fawaz panjang lebar mengungkapkan rasa kesalnya yang semakin menumpuk."Maaf.""
"Ngapain kamu ke sini?"Fawaz mendengkus kecil, mendengar nada ketus itu. Namun, tetap saja hal itu tidak menyurutkan langkahnya menuju ruang makan. Bahkan dengan tidak tahu dirinya dia mendudukkan diri di salah satu kursi, tidak peduli meski ada mata yang memelototi dirinya.Sudah seminggu berlalu, tapi Fawaz masih saja rajin berkunjung ke rumah sang bunda. Dengan harapan kedua wanita yang dicintainya segera luluh. Lagipula mana betah dia sendiri di rumah, apalagi sekarang para pekerja Aara juga sudah bekerja di toko kue ibunya. Otomatis membuat rumah semakin sepi."Ck! Ngga sopan banget, ya. Main nyelonong aja!" sindir Laras."Aku lapar, Bun. Mau masak sendiri badanku lagi ngga fit."Untuk yang satu ini dia memang tidak berbohong. Tadi pagi saat bangun tidur, dia merasa badannya agak kurang sehat. Kepalanya juga sedikit berat."Kamu kenapa?"Nada khawatir yang begitu kentara itu, membuat senyum kecil terbit di bibir Fawaz. Ternyata
"Ngga ada yang penting." Aara kembali menghadap kaca, melakukan pekerjaan yang barusan sempat tertunda. Mengoleskan krim malam ke wajahnya.Menyugar rambutnya dengan kasar, Fawaz berjalan mendekati sang istri. Tidak penting katanya? Jelas itu sesuatu hal penting jika menyangkut istri dan manta suami wanita itu."Jelaskan!" tegas Fawaz. Posisinya yang sudah berada di belakang sang istri, membuat pandangan mereka bertemu dalam cermin.Menutup krim terakhir yang telah selesai digunakannya, Aara memutar tubuh meski tetap dalam posisi duduk. "Beneran ngga ada yang penting, Mas."Aara mendongak, menatap suaminya yang terlihat jelas sedang diliputi amarah. Namun, entah mengapa dia malah tersenyum kecil, ketika satu kesimpulan mampir di kepalanya. Suaminya tengah cemburu!Setiap malam dia selalu berpikir, tindakan apa yang akan dia ambil selanjutnya. Apa kebaikan yang akan diperoleh atas keputusan yang nantinya dia ambil. Hingga dia sampai pada satu pemiki
Membuka pintu minimarket, Aara dikejutkan oleh kehadiran pria yang kini berada di depannya. Dafa—pria itu—menatap Aara dengan pandangan yang, entahlah wanita itu terlalu takut mengartikannya. Karena dalam mata tajam itu terlihat kesedihan, kerinduan, kemarahan dan juga penyesalan.Tidak ingin terlalu lama dalam posisi seperti ini, Aara bergeser mempersilakan pria itu untuk masuk. Namun, tetap tidak ada pergerakan dari Dafa.Wanita itu menghela napas sebelum berkata, "maaf, Mas. Aku mau lewat."Aara tersenyum tipis seraya mengangguk kecil kala pria itu bergeser. Dengan langkah cepat dia keluar dari pintu, tapi gerakannya terhenti begitu mendengar sebuah pertanyaan."Bisa kita bicara?"Memejamkan mata, hati Aara dilanda rasa bimbang. Di satu sisi merasa tidak pantas jika berbicara berdua dengan mantan suaminya, tapi di sisi lain dia merasa mereka memang butuh bicara. Ada hal yang perlu mereka bahas dan juga perlu diselesaikan.Sete
Desahan lelah keluar dari bibir pria berkaca mata itu, kala mobilnya sudah berhenti tepat di depan rumah sang bunda. Dia tidak memasukkan mobilnya dalam garasi karena sebentar lagi pergi bekerja. Toh, ke sini dia hanya ingin melihat istrinya.Kemarin bundanya pulang dari rumah sakit, dan wanita paruh baya itu benar-benar melaksanakan perkataannya. Membawa Aara tinggal bersama wanita itu.Kesal, tentu saja! Akan tetapi, mau bagaimana lagi sang bunda pendiriannya sudah kuat sedangkan istrinya mau saja melakukan itu.Menghembuskan napas panjang sekali lagi, Fawaz membuka pintu hanya untuk mendapati tetangga depan rumahnya membuka gerbang. Terlihat jelas raut tidak suka Dafa ketika menatapnya. Berbeda dengan ibu dan adik pria itu yang tersenyum ketika mata mereka tidak sengaja saling tatap."Lho? Fawaz dari mana? Apa dari rumah sakit?" Tina yang sudah berada di depan pria berprofesi dokter itu, tersenyum semringah, yang menurut Fawaz terlalu berlebihan.
Dengan hati yang lebih lega, langkah kaki Fawaz terasa begitu ringan menyusuri koridor rumah sakit yang masih tampak lengang. Tentu saja, saat ini masih menunjukkan pukul lima pagi, di mana orang-orang belum memulai aktifitas. Setelah pembicaraan dengan istrinya semalam, akhirnya Fawaz mengalah. Pria berkaca mata itu memilih untuk pulang, tidak lagi memulai perdebatan dengan sang ibu. Membuka gagang pintu tanpa mengetuk, pria itu mendapati kedua wanita yang dicintainya menampakan raut berbeda. Jika Aara menatapnya biasa saja, tapi masih ada senyum tipis yang tergambar di wajah cantik itu. Sang ibu justru memberi tatapan malas, lalu memutar bola mata seakan menandakan kalau kehadirannya tidak diinginkan. "Assalamu'alaikum." Fawaz melangkah ke arah tempat tidur sang ibu. "Wa'alaikumsalam." Aara yang akan berdiri, bermaksud memberi tempat untuk suaminya lebih dulu dicegah oleh Laras. Melihat Laras memegang lengan Aara, membuat Fawaz menggeleng kecil. Dia
Dengan kecepatan penuh, Fawaz memacu mobilnya. Untung saja tadi dia masih ingat membawa barang keperluan bunda dan Aira. Setidaknya dia masih bisa mengontrol otaknya agar bisa berpikir waras.Perjalanan yang biasanya ditempuh dalam waktu 30 menit, kini Fawaz melaluinya selama 20 menit. Berjalan setengah berlari, laki-laki itu sengaja meninggalkan barang bawaannya. Biarlah nanti bisa diambil, pikirnya. Sekarang yang terpenting adalah menemui dua wanita yang dia cintai.Membuka pintu tanpa mengetuk. Fawaz diberi tatapan terkejut dari orang-orang yang berada di sana. Dia menghela napas berat, kalau bunda dan istrinya memalingkan wajah ketika dia berjalan mendekat. Bukan itu saja, tatapan permusuhan juga diberikan Rosi padanya. Sedangkan Rafi hanya menggeleng kecewa."Bun," panggil Fawaz."Ngapain kamu ke sini?" tanya Laras ketus. Tatapan malas dia berikan pada sang putra yang tampak sedih. Sebenarnya ada perasaan tidak tega, tapi begitu mengingat perbuatan F
Fawaz langsung memutar tubuh ke belakang. Begitu suara familiar itu, masuk dalam telinganya. Belum hilang kekalutannya karena melihat air mata sang istri.Kini hatinya seperti ditikam belati, mengetahui sang bunda berdiri di belakangnya. Mata yang mengeluarkan cairan bening itu, memandangnya penuh kekecewaan.Bagus! Sekarang dia berhasil mengecewakan dua wanita paling berarti di hidupnya."Bun," ucapnya seraya berjalan mendekati Laras dengan cepat."Semua tadi benar?""Bun ...." Fawaz menatap nanar sang bunda yang menolak dia sentuh."Jawab Fawaz!""Maaf.""Ya Allah ...." Laras memukuli dada putranya. Air matanya luruh, tidak menyangka anak kebanggaannya melakukan perbuatan sekeji itu."Udah, Bun." Aara yang sudah berada di antara ibu dan anak itu. Memeluk Laras dari samping.Sedangkan Fawaz hanya pasrah, saat mendapat pukulan serta tamparan dari sang bunda. Karena baginya hal ini tidak berarti apa-apa. Diba
Aara segera beranjak menuju kamar Fawaz yang berada di rumah Laras. Tadi pagi mereka memang memutuskan pulang. Namun, karena ada barangnya yang tertinggal dia memutuskan kembali ke rumah sang mertua.Toh, tadi sang suami juga mengabarkan akan pulang terlambat. Jadi, lebih baik dia mengambil barangnya sendiri. Setelahnya dia akan pulang, agar sudah sampai di rumah sebelum suaminya pulang.Dia sudah mengirim pesan pada Fawaz. Akan tetapi, sampai sekarang belum ada balasan.Aara membuka lemari, mencari tas jinjing yang kemarin dia bawa ke sini. Begitu menemukannya, dia menarik benda itu. Kening wanita manis itu berkerut, saat beberapa jaket Fawaz yang terletak di bawah tas itu terjatuh.Suaminya pernah berkata, kalau jaket itu sudah lama tidak digunakan. Makanya tidak di gantung. Inginnya diberikan pada orang kurang mampu, tapi sampai sekarang sang suami belum ada waktu.Berjongkok, Aara memungut beberapa jaket yang berserakan itu. Hingga tangan