"Quebec, Kanada.
.
.
Brian yang berada di sekitar kafe miliknya memutuskan untuk melihat keadaan pria itu. Dia cukup tahu ke mana tempat yang akan di datangi sahabatnya jika sedang ada masalah. Di dalam hati dia berharap tidak menemukan-nya sedang berduaan dengan Evanya.
"Ran?"
Pria itu memanggil-manggil mengingat tempat ini privasi dan hanya ada dua orang bartender yang selalu berjaga.
"Apa Randika kemari?"
"Di sana."
Brian melangkah menuju arah yang di tunjuk salah saru bartender. Dia mencari di balik kursi-kursi yang tersusun rapih, hingga matanya melihat pria yang sedang merokok di lantai dengan botol alkohol yang berhamburan di mana-mana.
"Kau minum sebanyak ini?"
"Sedang apa kau di sini."
"Mungkin kau butuh teman."
"Aku tidak but
"Jam berapa kau kembali.""Baru saja."Arumi terdiam jawaban singkat Randika membuatnya bertanya-tanya di dalam hati apa yang harus dia katakan lagi agar memancing pembicaraan.Melihat Arumi yang sedang berfikir, Randika mengira wanita itu salah paham karena dia terbangun dengan dirinya yang tertidur di sampingnya."Aku hanya tertidur, tidak ada yang terjadi.""Maaf, tapi pikiranku tidak sampai ke situ."Jleb ....Kini balik Randika yang salah mengira. Pria itu menelan luda kasar karena gugup. "Aku hanya menjelaskan agar kau tidak salah paham," ujarnya untuk menutupi rasa gugupnya."Apa hari ini kau akan makan malam di rumah?""Entahlah.""Jika kau kembali, aku bisa memasak makanan untuk---""Jangan menunggu ku.""Baiklah, aku mengerti." Suara Arumi mengecil sampai akhir kalimat."Aku hanya ingin sedikit menenangkan pikiranku, jadi mengertilah."Arumi langsung terdiam. Baru sehari merek
"Bagaimana, kau berhasil?""Biarkan aku mengambil napas."Keduanya pun terdiam. Pria bermanik biru itu menyalakan mesin mobil dan melaju sebelum Randika menemukan mereka."Kau berkeringat Nona.""Aku sangat gugup tadi" Arumi menarik napas panjang dan mengembuskan-nya kembali. "Apa pakaian ku pantas?"Pria yang sedang menyetir itu terkekeh "Kau terlihat sangat seksi."Arumi menatap tajam sesaat "Dasar pria mesum.""Hei, santai. Jangan terlalu marah, itu akan membuatmu semakin seksi."Bugh ... plak ... bugh ...."Auh, sakit Arumi. Hentikan!"Bugh ... plak ... bugh ...."Hentikan, atau kita akan menabrak.""Baiklah." Arumi kembali menghembuskan napas panjang, menetralkan detak jantungnya yang berpacu cepat sebelum lanjut berkata."Antar aku ke tempat di mana aku bisa mengganti pakaian ku, ini sangat tidak nyaman.""Bisakah kau gunakan itu sebentar lagi, kau terlihat sanga
Mobil yang di tumpangi Arumi dan Brian sudah melaju berjam-jam namun Arumi masih belum mengatakan berhenti."Rumi, apa kita tidak salah jalan?""Tidak jalurnya benar.""Bukankah di sekitar sini tidak ada bukit?.""Jalan saja. Sebentar lagi kita akan sampai""Sebenarnya kita akan ke bukit mana?""Gros morne.""What?"Apa kau gila. butuh 1 hari perjalanan untuk sampai di sana Arumi. Aku tidak mau kita terlambat kembali. Randika dan Rilan bisa membunuhku.""Kau cukup mengantar, kedua pria itu biar aku yang urus.""Wanita keras kepala. memangnya untuk apa kita ke sana," teriaknya dengan wajah kesal.Arumi memilih diam sejenak, lalu menarik dalam-dalam napasnya dan mulai berkata."Itu adalah tempat di mana kedua orang tuaku mengalami kecelakaan. aku tidak tahu persis di jalanan mana mereka meregang nyawa. Jalanan Gros morne cukup panjang jadi aku memilih bukit untuk melepaskan rasa rinduku.Brian h
"Kau menyukai bukit?""Tidak.""Lalu kenapa Kau memilih bukit sebagai tempatmu melepas Rindu?""Biar aku selalu ingat, seberapa benci aku terhadapnya."Arumi menghapus air matanya yang jatuh. Kehilangan kedua orang tua membuatnya hampa, tidak ada lagi seseorang yang akan meneriakinya ketika telat bangun, tidak ada lagi pria tampan yang selalu membela saat omelan ibu menggema. Mereka pergi begitu saja tanpa berkata apapun."Jangan menatap ku seperti itu Brian.""Owh, kau melihatnya," ujarnya terkekeh."Apa kau punya kekasih?""Semua wanita yang mendekati ku hanya menginginkan kekayaan. Dan kau tahu bukan, aku tidak se-kaya kekasih mu.""Bolehkah aku mencium mu?Uhuk ... uhuk ....Mendadak Pria yang sedang menatap matahari terbenam itu terbatuk, mendapati te
"Maaf nona bisakah anda bergeser?" tanya seorang pria dengan setelan jas rapih namun wajahnya terlihat frustasi."Randika?"Wanita berambut pirang itu bergeser pindah ke kursi yang lain dan membiarkan pria yang di rindukannya itu duduk di sampingnya."Bukankah aku sudah melarangmu untuk masuk ke bar ini?""Ada apa denganmu Sayang, kau terlihat tidak baik.""Berhenti memanggilku seperti itu.""Bukankah kau suka?" Wanita itu lalu mengusap pelan pada jemari pria yang memiliki manik hitam itu, mengecup pipi Randika tanpa menyentuh tubuhnya.Randika terlihat sedikit tidak nyaman. Namun, dia membiarkan Evanya melakukannya karena sedang tidak fokus. Rasa khawatirannya untuk Arumi membuat pikirannya melayang entah kemana.Dan Evanya, dia tidak menyianyiakan kesempatan emas ini. Wanita dengan warna rambut pirang itu terus mela
Mansion di penuhi teriakan keras Claudia saat melihat Tuan mudanya kembali dengan tangan berlumuran darah. Sedangkan pria yang terluka itu terlihat tenang dengan satu tangan menggenggam tangan yang terluka."Apa Arumi sudah kembali?""Anda sedang terluka Tuan, sebaiknya obati dulu."Arumi yang baru saja selesai mandi berlari keluar dengan menggunakan kimono saat mendengar teriakan Claudia. Dia menuruni tangga tanpa takut akan terjatuh. "Ada apa Clau, kenapa kau berteriak."Arumi terkejut saat maniknya menangkap sosok pria berdiri dengan tangan berlumuran darah."Ra-Randika?"Tubuh Randika hampir jatuh saat wanita itu berlari menghampirinya. "Kau sudah kembali?""Apa yang terjadi, tanganmu berdarah."Gadis berambut panjang itu mengisyaratkan kekasihnya agar duduk. "Ambilkan kotak obat Claudia, cepat!"
Evanya yang sedari pagi menunggu Brian sudah lelah. Wanita itu berulang kali mengumpat karena panggilannya selalu di tolak oleh Brian. Umpatannya terhenti berganti dengan senyum saat nama Brian muncul pada layar ponselnya. 'Bonjour tampan.' Evanya menjawab dengan desahan dan tingkah menggoda seakan Brian ada di depan matanya. 'Kau selalu saja mengganggu ketenanganku, ada apa?' 'Aku punya sebuah kabar untuk mu, dan beberapa pertanyaan yang harus kau jawab.' 'Aku sedang tidak ingin mendengar atau mengatakan apapun,' ucap Brian datar dan itu membuat Evanya kesal hingga memutar kedua bola matanya. 'Randika terluka.' 'What! apa terjadi sesuatu yang tidak aku tahu?' 'No, dia memukuli dinding bar mu hingga tangannya mengeluarkan banyak darah.' 'Dinding bar? Maksudmu bar milik ku!' 'Tent
Pagi yang cerah, suara burung begitu ramai di luar sana. Mereka bersiul menemani sang matahari yang sedang naik ke peraduannya. Randika baru tersadar saat mendapatkan telepon deringan pada ponselnya. Evanya, nama si pemanggil tertera di sana, sudah seharian dia menolak panggilan wanita itu, kini dia memutuskan untuk mengangkatnya. Sebelum menekan tombol hijau, tatapan Randika beralih pada perempuan yang tertidur pulas di sampingnya. Dia mengecup sebentar pada puncak kepala kekasihnya lalu berjalan menuju pintu keluar untuk mengangkat telepon. "Hallo Evanya." "Kau baik-baik saja?" "Yah." "Aku mengkhawatirkanmu, bolehkah aku berkunjung ke Mansion untuk melihat keadaanmu? "Tidak perlu Evanya? Aku baik-baik saja." "Ayolah Sayang, apa kau tidak merindukan ku? aku menunggumu, merindukanmu dan ingin melihatmu
Randika mengerutkan keningnya melihat tingkah Arumi yang sedari tadi terus gelisah. "Nikmati sarapanmu dengan benar kenapa kau terus bergerak. Apa kursinya tidak nyaman.""Ti-tidak!""Lalu?"Randika mendorong pelan kursinya mendekat pada Arumi yang sepertinya tidak nyaman dengan dudukannya. "Ada apa Sayang? Apa tempat dudukmu tidak nyaman?""I-itu. Aku ...."Randika mengerutkan dahinya mencoba mengerti dengan ucapan istrinya. Sedangkan Amirta dan Jenny hanya tersenyum kecil melihat bagaimana Arumi malu-malu mengatakan akibat dari ulah anaknya. Untuk itu dia mengambil inisiatif untuk menyudahinya, agar Randika tidak terus bertanya dan membuat Arumi terus merasa malu."Sayang, istrimu hanya merasa tidak nyaman karena ulahmu semalam. Nukan begitu Sayang." Jenny menatap ke arah Arumi yang mulai tertunduk malu."Maksud mommy aku?" Randika menu
Fajar belum menunjukan dirinya, tetapi Randika sudah terjaga. Tatapannya terpaku pada wanita yang tidur di sampinganya. Punggung putih mulus Arumi membuat Randika tidak tahan untuk mengelusnya, yang kemudian membuat Arumi bergerak dengan mata yang masih terpejam."Sayang ...."Arumi terjaga, dia mengucak kedua matanya pelan agar penglihatannya tidak kabur. Perempuan yang baru saja melewatkan malam pertama bersama suaminya itu berusaha duduk. Namun, karena tubuh mungilnya tidak berbalutkan apapun, dia kembali ke posinya dengan kebih manikan selimutnya."Kau sudah bangun?" tanya Arumi saat mendapati pria yang baru saja resmi menjadi suaminya itu menatapnya dengan ternyum."Aku tidak bisa tidur jika keadaanmu seperti ini Sayang."Arumi mengerutkan kening, tidak mengerti dengan apa yang di bicarakan Randika. "Apa maksudmu dengan jeadaan sepert,i ini, Sayang. Memangnya apa yang terjad
"Kau sudah selesai membuka bajumu Sayang?"Randika keluar dari kaca pembatas antara bagian shower dan buthup dengan handuk yang melilit di pinggangnya, dada kekarnya membuat dia terlihat jantan dengan kulit yang basah.Cukup lama wanita itu mengagumi suaminya hingga tidak sadar pria itu kini sudah berdiri tetap di hadapannya. "Sayang?""Huh?"Randika tergelak melihat ekspresi istrinya yang malu-malu. "Berhenti merada malu, dan singkirkan tanganmu itu. Apa yang ingin kau tutupi, bukankah kita sudah sah."Arumi tidak bisa apa-apa, dia membiarkan Randika membersihkan dirinya, dan membuka sisa pakian dari tubuhnya. Sambil mandi, dia melihat bayangan Randika pada cermin besar yang sedang serius membersihkan bagian belakang tubuhnya. Tanpa sadar dia tersenyum dan bergumam. "Suami ku ternyata sangat tampan."Setelah selesai membersihkan tubuh, dan memakai handuk Ran
Meninggalkan keramaian pada Ballroom hotel, Randika dan Arumi memilih untuk lebih dulu beristirahat. Perempuan itu kelelahan karena lama berdansa bergantian dengan 3 pria. Randika, lalu Amirta, kemudian saudara laki-laki semata wayangnya, Mr Cool, Rilan Harrper. Dan Brian, dia sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk berdansa dengan Arumi, karena sibuk menenangkan Aurela yang sedang merajuk.Randika menggendong Istri tercintanya ala-ala bridal. ( Biar kaya pengantin yang lain gengs 😆.)Arumi menyembunyikan kepalanya di dada Randika karena malu, beberapa orang yang berada di lobi memperhatikan keduanya karena Arumi yang masih memakai gaun pengantin."Sayang, turunkan aku. Banyak orang di sini.""Memangnya kenapa kalau banyak orang.""Aku malu," bisik Arumi."Tidak perlu malu, kita sudah sah.""Tetap saja, ini memalukan Randika." Arumi sedikit meront
Ballroom hotel di penuhi dengan orang-orang berdansa. Dan Evanya, dia hanya bisa menahan kesalnya melihat dari jauh bagaimana Randika begitu lembut memperlakukan Arumi. Adegan ciuman keduanya bahkan membuat perempuan berdarah Jepang itu merasa jijik hingga meninggalkan titik di mana dia dan Damian bersembunyi untuk memantau keadaan.Kalimat janji suci yang di ucapkan Randika bahkan masih terngiang-ngiang di telinganya. Bagaimana pria itu kini menjadi milik orang lain, mengucapkan janji dengan sempurnah tanpa ada keraguan. Sedangkan dia, kini harus hancur dengan pata hati yang luar biasa. Kehancurannya itu semakin menjadi saat Damian mengatakan semua rencana mereka untuk menghancurkan pernikahan Randika dan Arumi telah gagal.Semua ranjau yang mereka siapkan ternyata sudah di bersihkan tetapi Evanya dan Damian tidak sadar akan hal itu, Detik setelah Arumi memasuki gedung, seharusnya perempuan itu jatuh pingsan karena terkena gas beracun di da
Cantiknya Arumi membisukan dunia Randika, wanita itu muncul dengan begitu anggun. Gaun putih yang melekat pada tubuh rampingnya, membuat dia semakin terlihat cantik. Gaun yang di gunakan Arumi memang terlihat polos. Namun, sangat memukau. Bagian dadanya terlihat sedikit terbuka, tetapi itu yang membuat Arumi terlihat mempesona karena terdapat beberapa swaroski yang menempel di bagian itu.Arumi datang di temani Daddy Amirtha sebagai pendampingnya. Mereka mendekat dan Daddy Amirta menyetahkan Arumi kepada Randika. Hal pertama yang di lakukan wanita itu adalahpp menatap manik Randika yang seperti kebingungan, lalu menggenggam jemarinya erat, agar pria yang memiliki manik mata hitam itu bisa meredahkan ketegangannya.Randika mulai tersadar ketika terdengar seseorang memberikan pertanyaan. "Apa kalian siap?"Keduanya pun menjawab secara bersamaan. "Ya, kami siap.""Baiklah! ... Randika Garrett, ête
Malam itu berakhir begitu kelam untuk Aurela dan Rilan. Gelapnya malam menemani kekecewaan Keduanya dengan angin dingin yang berhembus halus masuk ke dalam sela-sela jendela. Aurela menaikan selimutnya menghirup dalam-dalam aroma tubuh Rilan yang melekat di sana. Membayangkan jika sekarang dia sedang berada di pelukan pria itu, menghabiskan malam bersama hingga matahari terbit."I really miss you, my cold man." Dokter hewan itu menarik dalam-dalam napasnya, lalu membuangnya dengan pelan. "Aku tidak ingin hubungan kita kembali seperti dulu lagi. Please, mengertilah. Aku hanya takut kau melupakanku."Sedang di sisi lain, Rilan tengah gelisah dalam tidurnya, membalikan badan ke kiri lalu ke kanan. Sesekali, dia akan mendesah kemudian duduk lalu kembali mencoba menutup mata lagi. Namun, sekuat apapun usaha nya untuk bisa tertidur, tetap tidak bisa. Pikirannya melayang memikirkan permintaan Aurela untuk menjauhi Arumi.
"Apa kau sudah makan?"Aurela menengada, menggeleng menatap kekasihnya dengan wajah cemberut. "Bisakah kau tidak terlalu lama bekerja, aku tidak bisa terus menunggumu seperti ini, itu membosankan.""Maaf," ujar Rilan lalu mencium pada puncak kepala kekasihnya."Kau tidak ingin berhenti bekerja pada Randika?""Aku tidak bisa," jawab Rilan."Karena Arumi?"Rilan hanya diam, tidak ada satu katapun yang ia keluarkan saat mendengar ucapan Aurela."Jawablah!"Pria bermata elang itu mengeles dagu wanita di depannya. "Kau sangat tahu untuk apa aku tetap berada di dekat Randika, Aurela.""Aku tahu, karena ingin tetap menjaga Arumi.""Jadi untuk apa aku harus menjawab jika kau tahu alasannya.""Randika, bisa menjaganya, dia kekasih yang sebentar lagi akan menjadi su
"Berapa tamu yang akan hadir Tuan?""Entahlah, aku lupa. Bukankah semua undangan kau yang sebarkan?""Semua undangan di atur oleh Nyonya Jenny, Tuan.""Begitukah.""Oui monsieur."Randika mengangguk-ngangguk, dia duduk di salah satu kursi tamu yang di sediakan. "Aku sangat gelisah.""Evanya?""Aku takut Arumi akan tahu jika wanita itu masih berkeliaran, entah apa yang harus aku katakan padanya jika Evanya tiba-tiba muncul besok.""Apa aku perlu melakukan sesuatu padanya?""Jangan! Biarkan saja. Bukankah dia hanya ingin mengatakan selamat tinggal. Jika kita mengusiknya sekarang, dia akan kabur dan bersembunyi lagi.""Tapi Tuan, dia bersama Damian. Apa kau tidak takut jika mereka melukai Arumi atau menghancurkan acara pernikahanmu?""Itu bagianmu."&n