Sekitar empat puluh menit kemudian setelah pemesanan, ponsel Demian berdering. Ia pun menerima panggilan tersebut yang ternyata dari pos pengamanan.
"Ya?" sahut Demian menerima panggilan tersebut.Setelah mendengar kalimat di seberang, Demian menoleh ke arah kasur, di mana Acasha kini mengawasi dirinya. "Tolong, bawa ke sini. Aku sedang tidak bisa pergi dari kamar sekarang." Setelah itu, panggilan pun terputus.Demian meletakkan ponselnya di atas nakas, lalu menoleh pada Acasha. Acasha tersenyum dari sana."Sudah sampai?" tanya Acasha dengan mata berbinar."Sebentar lagi," sahut Demian menahan senyum karena melihat ekspresi Acasha yang menggemaskan.Acasha mengangguk senang. Ia pun mulai merapikan diri dan beranjak dari ranjang menuju sofa di dekat Demian. Ia duduk di sana sambil memandang ke luar jendela.Tak berapa lama, terdengar suara pintu diketuk.Tok tok tok."Biar aku yang membukanya." Demian bergegas menuju pintu dan menerima pesAcasha bangun dari posisi tidurnya ke posisi duduk. "Tuan Athan?" sapanya ragu-ragu. Kemunculan Athan di pagi hari ini sungguh di luar ekspektasi.Athan mengangkat wajahnya dari buku dan beralih menatap Acasha. "Ah, Acasha. Apa aku membangunkanmu?"" T-Tidak, kok. Eum, ini memang waktunya saya bangun," jawab Acasha sangat gugup. Sebisa mungkin, ia menghindari kontak mata dengan Athan. "Syukurlah kalau begitu," balas Athan, sangat tenang.Ingin sekali, Acasha bergegas bangkit dan lari dari sana. Tapi, tubuhnya seperti terkunci, seakan ada magnet tak kasat mata yang menarik tubuhnya sangat kuat agar tetap melekat erat dengan ranjang."Eum, kalau boleh tahu, apa yang Tuan lakukan di sini? Apa Tuan ingin bertemu Demian? Oh, pasti dia sedang mandi, ya? Jadi, Tuan menunggu di sini," celoteh Acasha harapa-harap cemas. Ia tidak ingin menjadi alasan kedatangan Athan kemari.Mendengar ucapan Acasha, seketika Athan menutup buku dan berdiri. Ia mendekati Acasha sambil
Untuk beberapa saat, Acasha memandangi Demian tanpa berucap. Ia menerka-nerka tentang kemungkinan bahwa Demian sebenarnya mengetahui fakta mengerikan ini. Ataukah mungkin, dia bagian dari mereka?Tidak. Mau dilihat dari sudut pandang mana pun, dari sisi mana pun, Demian memang sangatlah tampan. Ah, bukan. Bukan saatnya untuk itu. Demian memang tampan, tapi dia sekarang sedang memakan makanan manusia di meja makan yang sama dengan Acasha yang seorang manusia."Jika Demian vampir, dia tidak mungkin memakan roti panggang. Jika dia vampir, dia pasti minum darah. Tapi, dia makan roti panggang bersamaku, berarti Demian bukan vampir. Demian adalah manusia. Sama sepertiku," batin Acasha menarik kesimpulan paling logis.Acasha mengangguk pelan sambil mengunyah sarapannya. Ia semakin percaya diri dengan menaruh keyakinan dan kepercayaan kepada Demian. Ia tidak perlu takut dan mengkhawatirkan hal lain selama bersama Demian. Ya, itu adalah keputusan terbaik karena mereka sama-sam
Demian mendesahkan napas pelan. "Nona, ingat? Ini di kantor," ucap Demian menyadarkan Acasha."Oh, ah, maaf. Saya lanjutkan laporannya," jawab Acasha kelabakan. Dengan cepat, ia membuka lembaran dokumen di tangan dan menaikkan scroll hingga halaman teratas.Demian mengerjap pelan sambil memiringkan kepala. "Yang itu sudah. Coba buka halaman sembilan," ujar Demian masih mengawasi dari samping.Dengan gugup, Acasha mengikuti ucapan Demian dan langsung memperhatikan setiap detail."Selesaikan hari ini kalau tidak ingin lembur!" perintah Demian sebelum kembali ke kursi kebesarannya."Baik, Presdir," sahut Acasha lantas menggigit bibir. "Duh, jangan lembur, dong! Ayo, Acasha! Fokus, fokus!" batin Acasha menyemangati diri. Tangannya terkepal erat dan sedikit disentakkan di udara. Kemudian, ia langsung mengerutkan alisnya supaya hanya terfokus pada pekerjaan yang dikejar deadline.Dari kursi kebesarannya, Demian mengawasi tingkah Acasha. Ia sadar betul dengan sikap aneh A
Acasha melirik Demian dan menatapnya lama sekali. Tapi, Demian membiarkannya dan berpura-pura tidak tahu."Apa dia merasa bersalah?" batin Demian, tetap fokus memperhatikan jalanan di depan.Setelah dirasa cukup lama hingga membuat jantung Demian berdetak lebih kencang dan salah tingkah, ia menoleh sebentar dan berkata, "Sudah cukup menatapku dan lihat saja pemandangan di luar. Sekarang, aku sedang membawamu berkeliling kota.""Maaf, Demian. Aku—""Sssst. Sudah, aku tidak mau mendengar permintaan maaf darimu. Lihat saja pemandangannya," ucap Demian langsung memotong ucapan Acasha."Hmm. Baiklah," lirih Acasha.Acasha menatap ke luar jendela. Salju tidak turun malam ini, hanya meninggalkan lapisan putih yang sudah menipis karena matahari bersinar cerah akhir-akhir ini. Menyisakan suhu dingin yang masih wajar untuk keluar saat malam hari.Tampak kerlap-kerlip lampu berwarna-warni menghiasi setiap bangunan, semakin indah ketika dilihat saat mala
"Hehehe." Acasha tertawa sambil bertopang dagu, menatap Demian. "La ... gi ...." Suaranya terdengar lirih dan menggoda. Demian menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Sudah. Ayo, kita pulang," ajak Demian seraya menjauhkan gelas dan botol tersebut dari hadapan Acasha. "Eum ... enggak mau ... di sini aja ...." Ujung telunjuk Acasha menekan-nekan lengan Demian. Namun, Demian bersikap sok cuek dan memasang tampang datar. Padahal, di relung hatinya yang terdalam tengah bergejolak hebat dan dengan susah payah batinnya menahan diri untuk tidak terpancing pesona memikat wanita berwajah merah di depannya. Usai membayar dan memberi tip pada bartender, Demian pun memapah Acasha keluar dari sana. Disandarkannya perlahan kepala Acasha di sandaran kursi setelah mendudukkan Acasha yang sudah kehilangan kesadaran itu di kursi penumpang. "Sudah tahu tidak biasa, malah nekat minum. Hah ... sebenarnya, seberat apa beban pikiranmu itu?" gumam Demian sembari mengusap lem
Sudah sekitar tiga puluh menit setelah Acasha terlelap, Demian masih bekerja keras mengalihkan fokusnya dari aroma manis yang berasal dari darah wanita di sampingnya. Namun, dia tidak bisa bertahan lebih lama saat dahaga terus merongrong di kerongkongan, meminta untuk segera dipuaskan. Sambil menahan napas, Demian menggeser tubuh dan melepaskan diri dari pelukan Acasha. Dengan sangat hati-hati, ia meletakkan tumpukan bantal dan selimut sebagai pengganti dirinya. "Maafkan aku, Acasha. Tapi, aku harus pergi," bisik Demian sebelum bergegas meninggalkan kamar. Dengan langkah mengendap-endap, Demian menuju pintu dan membukanya dengan hati-hati. Setelah berhasil melewati dan menutupnya perlahan, ia pun bernapas lega dan menghirup udara bersih sebanyak-banyaknya. "Akhirnya, keluar juga." Mendengar celetukan tiba-tiba, Demian sontak terperanjat dan menoleh. "Tuan Athan?" ucapnya, setelah melihat Athan sudah berdiri di samping pintu kamar tersebut.
Satu detik.Dua detik.Tiga detik.Acasha hanya mendengar sepi. Tidak ada sesuatu yang mengusik bahkan menyentuh kulitnya. Perlahan, Acasha membuka pelupuk."Hah ... syukurlah ...." Acasha menghela napas lega ketika melihat Demian mengenakan sweater abu-abunya. "Kamu tadi kenapa, sih? Pakai acara mepet-mepet segala."Sambil merapikan pakaian yang dikenakannya, Demian berkata, "Mengambil pakaianku."Alis Acasha berkerut. "Memangnya harus dekat-dekat aku begitu? Sampai aku yang mundur-mundur gitu?""Salah sendiri naruh bajuku di situ. Mau tidak mau, aku harus ambil di situ, kan?" balas Demian bersikap sok cuek, padahal jantungnya sudah berdisko sejak tadi. Melihat tampang bingung Acasha, Demian pun menambahkan, "Aku ingatkan sekali lagi. Kamu, Acasha, satu-satunya wanita yang meminta, memaksa, dan melepaskan pakaianku. Mengerti?"Tanpa sanggup berkata-kata, Acasha hanya bisa mematung di tempatnya, menyaksikan Demian beranjak dari sana dan mening
"Presdir, kira-kira Tuan Athan mau mengajak saya ke mana, ya?" tanya Acasha saat mereka berada di lift, setelah makan siang."Saya kurang tahu," jawab Demian singkat. Ia melirik pantulan Acasha di lift. Ia melihat Acasha tengah menggigit bibir dengan gelisah. "Tak perlu khawatir, Tuan Athan pasti memperlakukanmu dengan baik. Percayalah," ucap Demian memberikan dukungan."Terima kasih atas dukungannya, Presdir," balas Acasha tersenyum tipis, padahal dalam hati, Acasha sangat tidak yakin untuk bertemu dengan Athan nanti malam. Dan pertama kali dalam hidupnya, dia mengharapkan lembur hingga tengah malam supaya ia bisa membatalkan pertemuan mereka dengan alasan kelelahan. "Pasti dia tidak keberatan, kan? Dia pasti bisa memaklumi," batin Acasha optimis.Namun, harapan tinggallah harapan saat Demian berkata, "Ah, karena Tuan Athan mau bertemu denganmu, nanti kita pulang awal saja. Pekerjaan hari ini juga tidak sebanyak kemarin dan tidak terlalu genting. Bukankah ini ide bag
Deg ... deg ... DEGDEGDEGDEG ....Degup jantung pria yang tengah tertunduk, terkulai tak berdaya dalam cekalan rantai terkutuk pada kedua tangan dan kaki itu, mulanya sangatlah lemah akibat kehabisan darah. Namun, kini debaran di dada terasa semakin cepat, sangat cepat dan semakin intens seolah ingin meledak dan menghancurkan tulang rusuk menjadi berkeping-keping.Demian membuka mata. Ada kilatan merah di lensa birunya yang membelalak lebar. Keningnya berkerut dalam menahan sensasi sakit luar biasa tengah menggedor-gedor dada bidangnya. Peluh bercampur darah pun mengalir di pelipisnya."Khhh ...."Sesak! Paru-parunya terasa dihimpit batu besar dari dua arah berlawanan. Oksigen sama sekali tidak bisa masuk dengan benar memenuhi rongga-rongga udara seolah ia sedang tercekik dan tak sanggup pula untuk berteriak.Tubuhnya lantas memberontak. Bergerak-gerak dengan brutal dan tak terkendali akibat rasa sakit yang tak bisa didefinisikan lagi dengan kalimat apa pun. Tidak ada satu pun ungkapa
Angin berembus kencang menggoyangkan dahan dan ranting serta menerbangkan butiran salju berputar-putar di udara. Deburan ombak di laut tak kalah riuh menabrak batu karang juga dermaga seolah ingin melahapnya.Langit malam tampak cerah-berawan membawa kelam semakin mencekam saat rembulan perlahan kehilangan cahayanya dan berubah warna menjadi merah, semerah darah.Ialah Super Blood Moon. Fenomena yang terjadi setiap 195 tahun sekali, ketika matahari, bumi, dan bulan berada dalam satu garis lurus. Bulan akan masuk seluruhnya ke dalam bayangan inti atau umbra bumi, sehingga tidak ada sinar matahari yang bisa dipantulkan ke permukaan bulan.Dalam fenomena menakjubkan yang sedang berlangsung itulah, takdir baru sang vampir muda dimulai.Acasha terbangun dengan kedua warna mata berbeda. Iris ungunya telah berubah warna serupa merah darah, menatap lurus vampir berusia ratusan tahun yang tengah memangkunya."Acasha ...." bisik Athan tertegun melihat perubahan yang sudah pernah ia perkirakan s
"Dasar sinting!" umpat Chesy bersikeras memberontak dan mendorong tubuh Bedros ke depan. Namun, sang kaki tangan Orion yang setia itu justru mengunci tubuh Chesy semakin kuat dan menancapkan taring tajamnya di leher jenjang Chesy yang sudah sangat menggiurkan sejak tadi. Gluk ... Gluk ... Gluk .... Benar. Mirip tapi beda. Mirip dari rambut ginger-nya yang bersinar cerah bagai daun maple di musim gugur. Lalu, bedanya ... harum tubuhnya bak bunga gardenia yang bermekaran dan manis darahnya sangatlah nikmat, membuat siapa pun yang menghisapnya merasa tenang dan larut dalam kesejukan di setiap tegukan, tak terkecuali dengan Bedros. Aroma gardenia yang diterbangkan angin mencapai indra penciuman Gelsi. Ia pun menoleh. Tepat di depan mata, ia menyaksikan satu-satunya putri kesayangannya yang seorang Half Blood Klan Agathias tengah tak berkutik dalam rengkuhan Loyal Blood Klan Remo. Terpantiklah percikan api seketika mengobarkan kemurkaan di dalam diri seorang ayah vampir. "ENYAHK
Sang surya mulai menyembunyikan terang sinarnya, berganti dengan gulita yang siap menyongsong hamparan kristal beku, menambah suasana mencekam yang semakin menyelimuti Pegunungan Wolley.Udara dingin bukanlah masalah besar bagi para vampir, tetapi serangan dari makhluk yang diciptakan dari darah terlarang itu tak kunjung berakhir. Mereka datang dari berbagai penjuru, bagai muncul dari selang air yang menyemburkan Forbidden Blood nan menjijikkan, hingga membuat muak para Loyal Blood yang tengah membasmi mereka. Namun, ada satu hal positif yang bisa menjadi petunjuk. Dengan semakin rapatnya intensitas kemunculan Forbidden Blood, berarti mereka sudah semakin dekat dengan lokasi tujuan.Athan, sang Pure Blood Klan Agathias, ditemani Half Blood dan ketiga Loyal Blood terdekatnya, terus berlari dalam kecepatan yang sama—sangat cepat—demi mengejar detik yang terus bergulir."Waktu kita tidak banyak," gumam Athan setelah menatap langit sesaat.***Setelah menghadapi segala aral melintang, ak
"Jangan bilang ... dia belum kembali," ucap wanita itu, tercenung."Ha ...." Ela mendongakkan kepala, menghela napas kesal. "Nona, saya tahu, Anda tidak menyukai Nona Acasha, tapi saya tidak menyangka kalau Anda sejahat itu.""Nona Zelika, kenapa Anda tega meninggalkan Nona Acasha sendiri? Seharusnya Anda membawa dia kembali bersama kami!" imbuh Lieke tersulut emosi, entah ke mana perginya ketakutan dan kekhawatiran yang sempat menciutkan nyali.Zelika memejamkan pelupuk sambil memijat pangkal hidungnya pelan. "Nona-Nona Sekretaris, sebenarnya bukan saya yang meniggalkan, justru saya yang ditinggalkan. Lagi pula, saya sudah berbaikan dengan Nona Acasha. Sudah tidak ada lagi niat jahat padanya barang sedikit pun."Dengan alis yang masih bertaut, Lieke membalas, "Lalu, di mana dia sekarang?""Mungkinkah, dia sudah masuk ke sini sebelum kami?" celetuk Ela. "Atau berlindung di tempat lain?" lanjutnya.Zelika mendesah pelan. Parasnya tetap terlihat cantik dan menawan meski gurat keresahan
Brakk!!! Sebilah meja persegi panjang yang terbuat dari pahatan kayu pinus seketika terbelah dan hancur berkeping-keping setelah Athan menerima kabar buruk yang disampaikan oleh Chesy.Bukannya dia tak tahu, bahkan dia sudah memperkirakan bahwa peristiwa ini cepat atau lambat akan terjadi jua. Namun, ia tetap tak bisa menyangkal atas ketidaknyamanan yang sedang ia rasakan saat ini. Bagaimana pun dia telah gagal mengantisipasi."Dasar, ceroboh!" umpat Demian, menggeram. Alisnya menukik tajam, bak bara api menyala di merah matanya, rahangnya mengetat, pun tangannya mengepal erat.Tak berbeda jauh dengan Chesy, perasaannya sangat kalut. Sambil menahan emosi yang terus menggelegak, ia menunjukkan ponsel milik Demian dan Acasha yang sudah remuk."Kami menemukan ini ... sudah hancur tergeletak di trotoar."Tanpa berkomentar, Athan menatap tajam Gelsi yang tengah sibuk dengan laptop di lantai—sebab meja yang semula dijadikan alas sudah dihancurkan Athan dan dia membutuhkan kesepuluh jarinya
Tanpa mereka sadari, seorang pria dengan setelan jas formal tengah mengintai mereka sejak tadi. Dia terus memerhatikan dari kejauhan tanpa sedikit pun berpaling.Dialah Demian. Pria yang diam-diam mengikuti ke mana pun Acasha pergi hampir seminggu ini, tapi bersikap sok cuek ketika berhadapan langsung.Dia melakukan semua itu untuk menutupi rasa canggung yang terbentang sejak pengakuan bodohnya tempo hari.Namun, entah dasar apa, Demian tetap tidak bisa melepaskan Acasha menjauh dari pandangannya barang sedetik saja. Karena itulah dia melakukan cara ini di belakang. Sebuah tindakan pengecut dari seorang pria yang masih mencari-cari makna dari kata cinta.Demian yakin, gadis muda yang tengah menggandeng lengan Acasha itu memiliki hubungan yang tidak baik dengan Acasha. Tapi, apa yang telah terjadi sampai mereka bisa tampak sedekat itu?Namun, sebelum itu, bagaimana bisa gadis itu ada di sini? Sudah dipastikan sebelumnya, tak ada satu pun dari mereka yang mengetahui ke mana perginya Aca
Setibanya di suatu restoran bernuansa kafe yang tak terlalu jauh dari kantor, Acasha dan Zelika duduk berhadapan dengan canggung."Ehm, soal tadi ... apa yang ingin Nona bicarakan?" tanya Acasha membuka percakapan setelah keheningan yang panjang.Zelika tampak ragu-ragu. Ia pun menyesap lemon tea yang sudah mereka pesan, lalu menatap Acasha lekat-lekat. "Saya ... maafkan saya, Nona ...." ucapnya dengan wajah tertunduk. Entah ke mana perginya kepercayaan diri dan keangkuhan yang selalu terpancar di wajahnya.Alis Acasha mengerut. "Maaf? Maaf untuk apa?" tanyanya masih tidak mengerti.Ingatan tentang kemurkaan sang pemimpin klan tempo hari seketika kembali terekam di benak Zelika. Tanpa perlu mengetahui latar belakang tentang status dari sang sekretaris itu, Zelika harus sadar diri dan tahu batasan bahwa Acasha bukanlah seorang manusia sembarangan. Pastilah dia punya pengaruh besar untuk klan Agathias."Saya melakukan kesalahan pada pertemuan terakhir kita. Saya tidak yakin Nona ingat a
"Kenapa aku di sini? Sebenarnya, aku sedang bersama siapa? Aku ... tidak bisa melihat wajahnya sama sekali. Tapi, kenapa ... rasanya ... mhh ...."Pikiran dan batinnya terus beradu untuk memenangkan, siapa yang harus ia ikuti? Gairah yang terasa semakin nyata ataukah akal sehat yang terus meneriakkan kata-kata, "Bukankah seharusnya kau bersama Orion?"Dalam sekejap, Gretta mendorong tubuh di atasnya dengan sangat kuat. Namun, ia justru merasakan sakit menghantam kedua tangannya hingga spontan berteriak dan mengaduh."Sampai kapan kamu akan tidur Gadis Malas?" Suara yang tidak asing terdengar jelas di telinga, seketika membangkitkan seluruh kesadaran Gretta.Menatap lurus dengan mata tercengang. "Orion?"Orang yang dipanggil pun tersenyum miring dengan tatapan licik. "Kau sudah berani memanggil namaku? Hanya namaku?"Tubuh Gretta sontak gemetar tatkala menyadari kecerobohan yang telah dilakukannya. Dia tidak berpikir bahwa sosok di hadapannya adalah Orion yang sesungguhnya karena dia y