Demian mendesahkan napas pelan. "Nona, ingat? Ini di kantor," ucap Demian menyadarkan Acasha.
"Oh, ah, maaf. Saya lanjutkan laporannya," jawab Acasha kelabakan. Dengan cepat, ia membuka lembaran dokumen di tangan dan menaikkan scroll hingga halaman teratas.Demian mengerjap pelan sambil memiringkan kepala. "Yang itu sudah. Coba buka halaman sembilan," ujar Demian masih mengawasi dari samping.Dengan gugup, Acasha mengikuti ucapan Demian dan langsung memperhatikan setiap detail."Selesaikan hari ini kalau tidak ingin lembur!" perintah Demian sebelum kembali ke kursi kebesarannya."Baik, Presdir," sahut Acasha lantas menggigit bibir. "Duh, jangan lembur, dong! Ayo, Acasha! Fokus, fokus!" batin Acasha menyemangati diri. Tangannya terkepal erat dan sedikit disentakkan di udara. Kemudian, ia langsung mengerutkan alisnya supaya hanya terfokus pada pekerjaan yang dikejar deadline.Dari kursi kebesarannya, Demian mengawasi tingkah Acasha. Ia sadar betul dengan sikap aneh AAcasha melirik Demian dan menatapnya lama sekali. Tapi, Demian membiarkannya dan berpura-pura tidak tahu."Apa dia merasa bersalah?" batin Demian, tetap fokus memperhatikan jalanan di depan.Setelah dirasa cukup lama hingga membuat jantung Demian berdetak lebih kencang dan salah tingkah, ia menoleh sebentar dan berkata, "Sudah cukup menatapku dan lihat saja pemandangan di luar. Sekarang, aku sedang membawamu berkeliling kota.""Maaf, Demian. Aku—""Sssst. Sudah, aku tidak mau mendengar permintaan maaf darimu. Lihat saja pemandangannya," ucap Demian langsung memotong ucapan Acasha."Hmm. Baiklah," lirih Acasha.Acasha menatap ke luar jendela. Salju tidak turun malam ini, hanya meninggalkan lapisan putih yang sudah menipis karena matahari bersinar cerah akhir-akhir ini. Menyisakan suhu dingin yang masih wajar untuk keluar saat malam hari.Tampak kerlap-kerlip lampu berwarna-warni menghiasi setiap bangunan, semakin indah ketika dilihat saat mala
"Hehehe." Acasha tertawa sambil bertopang dagu, menatap Demian. "La ... gi ...." Suaranya terdengar lirih dan menggoda. Demian menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Sudah. Ayo, kita pulang," ajak Demian seraya menjauhkan gelas dan botol tersebut dari hadapan Acasha. "Eum ... enggak mau ... di sini aja ...." Ujung telunjuk Acasha menekan-nekan lengan Demian. Namun, Demian bersikap sok cuek dan memasang tampang datar. Padahal, di relung hatinya yang terdalam tengah bergejolak hebat dan dengan susah payah batinnya menahan diri untuk tidak terpancing pesona memikat wanita berwajah merah di depannya. Usai membayar dan memberi tip pada bartender, Demian pun memapah Acasha keluar dari sana. Disandarkannya perlahan kepala Acasha di sandaran kursi setelah mendudukkan Acasha yang sudah kehilangan kesadaran itu di kursi penumpang. "Sudah tahu tidak biasa, malah nekat minum. Hah ... sebenarnya, seberat apa beban pikiranmu itu?" gumam Demian sembari mengusap lem
Sudah sekitar tiga puluh menit setelah Acasha terlelap, Demian masih bekerja keras mengalihkan fokusnya dari aroma manis yang berasal dari darah wanita di sampingnya. Namun, dia tidak bisa bertahan lebih lama saat dahaga terus merongrong di kerongkongan, meminta untuk segera dipuaskan. Sambil menahan napas, Demian menggeser tubuh dan melepaskan diri dari pelukan Acasha. Dengan sangat hati-hati, ia meletakkan tumpukan bantal dan selimut sebagai pengganti dirinya. "Maafkan aku, Acasha. Tapi, aku harus pergi," bisik Demian sebelum bergegas meninggalkan kamar. Dengan langkah mengendap-endap, Demian menuju pintu dan membukanya dengan hati-hati. Setelah berhasil melewati dan menutupnya perlahan, ia pun bernapas lega dan menghirup udara bersih sebanyak-banyaknya. "Akhirnya, keluar juga." Mendengar celetukan tiba-tiba, Demian sontak terperanjat dan menoleh. "Tuan Athan?" ucapnya, setelah melihat Athan sudah berdiri di samping pintu kamar tersebut.
Satu detik.Dua detik.Tiga detik.Acasha hanya mendengar sepi. Tidak ada sesuatu yang mengusik bahkan menyentuh kulitnya. Perlahan, Acasha membuka pelupuk."Hah ... syukurlah ...." Acasha menghela napas lega ketika melihat Demian mengenakan sweater abu-abunya. "Kamu tadi kenapa, sih? Pakai acara mepet-mepet segala."Sambil merapikan pakaian yang dikenakannya, Demian berkata, "Mengambil pakaianku."Alis Acasha berkerut. "Memangnya harus dekat-dekat aku begitu? Sampai aku yang mundur-mundur gitu?""Salah sendiri naruh bajuku di situ. Mau tidak mau, aku harus ambil di situ, kan?" balas Demian bersikap sok cuek, padahal jantungnya sudah berdisko sejak tadi. Melihat tampang bingung Acasha, Demian pun menambahkan, "Aku ingatkan sekali lagi. Kamu, Acasha, satu-satunya wanita yang meminta, memaksa, dan melepaskan pakaianku. Mengerti?"Tanpa sanggup berkata-kata, Acasha hanya bisa mematung di tempatnya, menyaksikan Demian beranjak dari sana dan mening
"Presdir, kira-kira Tuan Athan mau mengajak saya ke mana, ya?" tanya Acasha saat mereka berada di lift, setelah makan siang."Saya kurang tahu," jawab Demian singkat. Ia melirik pantulan Acasha di lift. Ia melihat Acasha tengah menggigit bibir dengan gelisah. "Tak perlu khawatir, Tuan Athan pasti memperlakukanmu dengan baik. Percayalah," ucap Demian memberikan dukungan."Terima kasih atas dukungannya, Presdir," balas Acasha tersenyum tipis, padahal dalam hati, Acasha sangat tidak yakin untuk bertemu dengan Athan nanti malam. Dan pertama kali dalam hidupnya, dia mengharapkan lembur hingga tengah malam supaya ia bisa membatalkan pertemuan mereka dengan alasan kelelahan. "Pasti dia tidak keberatan, kan? Dia pasti bisa memaklumi," batin Acasha optimis.Namun, harapan tinggallah harapan saat Demian berkata, "Ah, karena Tuan Athan mau bertemu denganmu, nanti kita pulang awal saja. Pekerjaan hari ini juga tidak sebanyak kemarin dan tidak terlalu genting. Bukankah ini ide bag
Demian mengikuti Acasha dengan menjaga jarak sepanjang sepuluh meter di belakang. Ia berhenti saat melihat Acasha masuk pada bagian peribadatan dan menunggu di luar. Tidak sampai lima belas menit, Acasha sudah keluar dari sana."Sekarang mau ke mana lagi?" gumam Demian lantas mengikuti Acasha tanpa khawatir ketahuan.Demian mengira, Acasha masih akan mampir ke gerai-gerai lain, tapi ternyata Acasha tengah menuju basement, tempat di mana mobil mereka terparkir. Dengan sigap, Demian menempuh jalan lain dan berjalan lebih cepat agar ia bisa tiba lebih awal tanpa didahului Acasha.Klap.Pintu mobil dibuka dengan cepat. "Dia sudah selesai," ucap Demian memberi aba-aba pada Drew.Dengan cekatan, Drew kembali memasang kacamata dan kumis palsunya sebagai bentuk penyamarannya sebagai Pak Sopir.Selang lima menit kemudian, Acasha tiba di mobil. "Lho, kalian sudah di sini rupanya? Kalian tidak menunggu lama, kan?" tanya Acasha melihat Demian dan Pak Sopir tengah b
Acasha duduk di kursi, memandangi Athan mengambil sebotol minuman berlapis emas dengan desain eksklusif dari display bar."Malam ini, aku akan menjadi bartender man untukmu. Jadi, jangan sungkan lagi padaku," ucap Athan sembari menuangkan minuman ke dalam gelas, lalu memberikannya pada Acasha. "Silakan," ucapnya sangat ramah.Acasha menerima gelas tersebut. "Terima kasih." Minum dengan perlahan."Bagaimana?" tanya Athan terdengar antusias. Lensa ambernya tampak berbinar."Hmm, enak," ucap Acasha, kembali menyesap perlahan."Katakan saja jika mau lagi," ujar Athan seraya menuangkan minuman untuk diri sendiri."Ah, tidak, Tuan. Ini sudah cukup. Sepertinya, saya tidak kuat minum lebih dari segelas," sahut Acasha, teringat kejadian memalukan saat terbangun setelah mabuk. Tanpa sadar, pipinya mulai merona."Oh, jadi malam itu kamu mabuk karena minum lebih dari segelas? Memangnya habis berapa gelas?" balas Athan terdengar semakin akrab.Acasha terse
"Sebenarnya, sudah dua kali saya mengalami kejadian ini. Pertama, saat di ruang galeri. Kedua, hari ini, di sini. Awalnya, saya tidak bisa melihat dan mendengar ingatan itu dengan jelas. Semuanya bergerak sangat cepat dan acak. Tapi, hari ini, saya melihat ingatan-ingatan itu lagi," Acasha menjelaskan.Athan mendengarkan dengan serius. Ia bahkan tetap diam saat Acasha memberikan jeda dan menatap matanya dalam-dalam."Saya melihat tiga orang dalam ingatan saya. Ada Tuan dan dua orang lain di sana. Saya tidak terlalu paham dengan wajah mereka, tapi entah mengapa ... saya merasa tidak asing." Acasha menggeleng. "Entahlah. Saya tidak tahu siapa mereka. Tapi, saya juga yakin, saya belum pernah melihat mereka sebelumnya. Tapi, kenapa rasanya tidak asing?" sambungnya dengan alis berkerut."Bagaimana dengan ciri-cirinya? Apa kali ini kamu dengar sesuatu?" Athan merespon dengan menjaga ekspresi."Hmm, saya kurang paham. Saya hanya melihat bayangan mereka saja, tapi sangat