Musim dingin. Seoul 2018.
Gadis itu menggosok-gosok kedua telapak tangannya yang kedinginan. Ia merutuk sebal, kenapa ia bisa melupakan sarung tangan, padahal suhu Korea saat ini cukup ekstrim, minus 3 derajat Celsius. Rasanya ia nyaris membeku di bawah guyuran salju. Lututnya gemetar hebat, dan tulangnya terasa ngilu.
Sudah 3 hari Seoul dilanda badai salju lebat, sampai jalanan tertutup es setebal 5 cm.
Gadis itu merapatkan mantelnya. Menatap sepatunya yang tertutup bongkahan es putih. 10 menit telah berlalu, tapi bis tak kunjung juga datang.
"Huh," Gadis itu menghela nafas lelah, asap putih mengepul dari mulutnya. Efek dari cuaca terlalu dingin.
"Nari."
Gadis itu mendongak, tetesan salju berjatuhan di wajahnya.
"Kak Doyoung!"
Mata gadis itu berbinar senang. Seulas senyum tersungging di bibirnya.
"Sendirian aja?" tanya pria jangkung bermantel biru yang berdiri di hadapannya.
"Iya," Nari mengangguk senyum.
"Kok kak Doyoung bisa disini?"
"Bisalah, aku kan Doyoung. Bisa apa aja."
"Ihh serius!"
Pria itu tersenyum, "Kebetulan lewat aja," lalu mendaratkan duduknya di sebelah Nari. Netra legamnya menatap gadis imut bermantel cokelat. Lebih tepatnya, tatapan interogasi.
"Kenapa ga pakai kupluk?" Doyoung meletakkan tangannya di kepala Nari, menghalau salju yang jatuh.
Gadis itu menyengir, "Hehehe lupa."
"Kenapa ga pakai sarung tangan?"
"Lupa juga."
"Kenapa ga pakai syal?"
"Lup-"
"Apa? Lupa lagi?!" ucap Doyoung memotong pembicaraan gadis mungil dengan tinggi 155 cm itu. Ia menginterogasi gadis itu layaknya seorang ayah yang memarahi anaknya.
"Sebenarnya ga lupa kok kak Doy, cuma ga inget aja."
"Sama aja! Terus ini, kenapa ga pakai mantel double?"
Gadis itu menyengir, seperti tak berdosa, "Kalo itu aku murni lupa dan murni ga inget, hehehe."
Doyoung menghela, ia tahu tabiat gadis itu, pelupa dan ceroboh. Bagaimana bisa gadis itu bertahan di tengah badai salju hanya mengenakan satu mantel. Yang benar saja. Ia saja yang berpakaian lengkap, masih kedinginan.
"Nanti kalau kamu kena hipotermia, gimana? Kamu tuh! Masa jaga kesehatan sendiri gabisa."
Gadis itu menunduk menatap sepatu merahnya, "Hehehe maap," ucapnya mengayun-ayunkan kaki.
"Ngerepotin tau ga."
Gadis itu mendongak, "Ngerepotin siapa?"
"Aku," Doyoung melepas syal biru di lehernya.
"Eh?" Gadis itu menaikan satu alisnya, bingung.
"Mendekat," ucapnya menyerupai perintah.
"Un-untuk apa?"
Merasa gemas karena tak mendapatkan respon dari gadis itu, Doyoung langsung mendekat dan melilitkan syal-nya tanpa persetujuan. Tak peduli jika gadis itu akan protes atau marah padanya, tapi nyatanya gadis itu hanya diam menurut.
Lebih tepatnya gadis itu diam karena tertegun.
Tertegun, menatap wajah Doyoung sedekat ini. Astaga- wajahnya tiba-tiba memerah.
"Nah kalo gini, kan kamu ga kedinginan lagi."
Doyoung menjauhkan tubuhnya, lalu mengusap-usap rambut Nari yang penuh dengan salju, "Lain kali jangan kayak gini lagi. Aku khawatir."
Nari menunduk, entah kenapa hatinya jadi dag-dig-dug tak karuan.
"M-makasih kak," gadis itu menyembunyikan wajahnya, menghindari tatapan Doyoung.
"Entar dulu- masih ada yang kurang."
"Yang kurang?" Gadis itu tercenung saat Doyoung tiba-tiba memasangkan kupluk di atas kepalanya.
"Agak kebesaran dikit sih. Tapi gapapa biar kepala kamu ga pusing."
"Ka-kak Doy," hanya kata itu yang mampu Nari ucapkan. Nari meremat ujung mantelnya menahan perasaan gugup.
"Sini tangan kamu?" Doyoung tiba-tiba melepas sarung tangan hitamnya. Seolah tak puas jika hanya memberikan itu. Ia tak mau gadis itu sakit.
"Un-untuk apa?"
"Sini aja," Doyoung menarik tangan Nari dan memasangkannya secara lembut.
Doyoung terlihat seperti pacar yang takut pasangannya kenapa-kenapa.
Eh pacar? Nari apa yang kau pikirkan? Ingat Doyoung itu siapa.
Jujur saja, jantung Nari rasanya seperti ingin meloncat sekarang. Doyoung memegang tangannya. Astaga-
"Udah," Doyoung tersenyum puas menatap tangan Nari yang telah terbalut sarung tangan miliknya.
"Dengan begini kamu ga akan kedinginan lagi."
"E-eh-iya. M-makasih kak Doyoung. Tap-tapi kalau semuanya buat aku, kak Doyoung pakai apa? Sama aja dong kak Doyoung kedinginan."
Doyoung tersenyum,"Ya gapapa. Asalkan jangan kamu yang sakit."
Oh Tuhan. Rasanya Nari tak bisa melihat Doyoung lama-lama. Ia memalingkan wajahnya yang memerah. Ingat- Doyoung bukanlah siapa-siapanya. Jadi ia berusaha untuk tidak berharap lebih.
"Nari."
"I-iya?" Nari menoleh.
"Kok aku ga pernah liat kamu lagi di sekolah?"
Nari meng-oh-kan, perlahan senyumnya memudar. Lalu menunduk menatap sepatunya yang tertimbun salju, "Ak-aku ga sekolah lagi ka …" ucapnya pelan dengan hati yang remuk.
"Hah?! Kenapa? Dari kapan? Kok bisa? Kenapa aku ga tahu?"
"Dari kapan kamu berhenti?"
Nari menarik nafas panjang, lalu tersenyum, "Lima bulan yang lalu."
"Hah?!" Pria itu begitu terkejut.
Percayalah. Hatinya mencelos dan hancur. Masa depan yang ia agungkan harus berakhir di kelas 2 SMA. Dan juga impiannya terpaksa dikubur dalam-dalam.
"Kenapa kamu ga cerita ke aku?"
Nari menunduk, mengayun-ayunkan kakinya, "Gapapa, lagipula, kan ini ga ada hubungannya sama kak Doyoung. Jadi ga ada yang harus diomongin. Aku sekarang juga seneng kok, kerja serabutan."
Doyoung mengenggam erat tangan Nari, menguatkan gadis itu, "Kalau kamu ada masalah. Jangan ragu cerita."
"Kak Doyoung selalu ada di sisi kamu apapun yang terjadi," lanjutnya lirih.
"Kak Doyoung apasih," Nari memalingkan wajahnya.
"Kamu lucu deh," goda Doyoung gemas lalu mengelus-elus puncak kepala Nari.
Nari memukul lengan pria bermantel biru itu, "Ih kak Doyoung apaan sih. Aku, kan malu kalo digituin," ucapnya menunduk. Jika tak ada Doyoung disini, mungkin ia akan loncat-loncat kegirangan.
Doyoung memasukan kedua tangannya ke dalam saku mantel, memandang lurus ke jalanan lengang, "Nari."
"Iya?" Nari menatap Doyoung. Pahatan wajah pria itu terlihat tampan meskipun dari samping.
"Jangan merasa sendirian lagi. Kamu punya kak Doyoung."
Doyoung menoleh, menatap gadis itu tepat di manik matanya, "Jika ada kesempatan lagi untuk sekolah. Apa kamu mau?"
*****
Nari termenung, mengingat kembali perkataan Doyoung.
Sekolah lagi? Apakah bisa? Tapi dimana? Sekolah mana yang mau menerima siswa miskin sepertinya?
Sekolah di Seoul sangat mahal, ia takut tak bisa membayar. Karena itu Nari memutuskan untuk berhenti sekolah dan kerja serampangan. Karena terus menunggak uang sekolah.
Mengambil 5 pekerjaan part time sekaligus. Untuk melunasi tunggakan uang sekolah lama yang belum tertutupi.
Apa yang harus ia lakukan sekarang? Ia dilema.
"Permisi."
"Permisi nona."
"Nona."
"Nona Kim Nari."
"NONA!"
"Ah iya," Nari tersentak ketika bahunya ditepuk. Ia tak sadar melamun sejak tadi.
"Ah maaf tuan, saya salah," Nari membungkukan badannya berulangkali.
Pria itu tersenyum, "Tidak apa-apa nona Kim Nari,"
"Mau pesan apa tuan? Eh- darimana tuan tau namaku?" tanyanya tersadar.
Pria paruh baya itu terkekeh, lalu menunjuk ke bawah.
Nari ikut memperhatikan arah telunjuk pria itu, dan tatapannya terhenti pada Nametag yang ia pakai, "Oh dari ini."
"Iya," jawab pria itu mengangguk.
"Jadi tuan mau pesan apa?" ucapnya meraih buku note kecil dan sebuah pena.
"Caramel macchiato."
*****
"Huft," Nari menghela nafas lelah, lalu meregangkan semua otot-ototnya yang tegang. Lelah seharian bekerja.
Nari melirik arloji, pukul 12 malam. Waktunya menutup cafe. Nari mengeluarkan secarik kertas dari saku Jeans-nya. Kertas lusuh yang berisi semua kegiatannya.
1. Membagikan koran dan susu (06:00-08:00) √
2. Mengantarkan bunga (08:30-11:00) √3. Maskot taman hiburan (12:00-16:00) √4. Restoran Paman Song (17:00-20:00) √5. Coffe shop bibi Jung (20.30-24.00) √Akhirnya ia menceklis kegiatan terakhirnya.
Nari melepaskan apron, dan menggantungkannya di Kapstok.
Ting!
Nari meraih ponselnya di saku celana, pesan Line masuk dari Doyoung. Ia membuka chat Doyoung yang di pin-kan diatas.
Apa kamu telah memikirkan tawaranku, Nari?
Aku mendapatkan sekolah yang bagus untukmu.
Nari mengingat percakapan terakhirnya dengan Doyoung. Saat ia akan masuk ke bis.
"Aku akan mencarikan sekolah baru untukmu."
Ucapan Doyoung benar-benar serius. Ia sedikit tak menyangka. Ia pikir Doyoung hanya bergurau untuk menyenangkan hatinya.
Ting!
Kuharap kamu setuju. Jangan memikirkan keuangannya, Nari. Serahkan saja itu padaku. Kamu fokus sekolah saja. Aku hanya ingin membantumu meraih impian yang kamu ceritakan padaku saat SMP dulu. Kamu ingin jadi dokter hewan,kan?
Nari menggigit bibir bawahnya. Doyoung bahkan masih ingat impiannya.
Ting!
Ku harap impianmu belum pupus. Ah- apa kamu sudah tidur? Maaf ya aku mengganggu.
Selamat tidur ya Nari. Semoga tidurmu nyenyak
Nari bimbang. Haruskah ia terima? Apakah ini tidak akan merepotkan Doyoung? Tapi ini kesempatan emasnya. Apakah ia rela membuangnya begitu saja.
Jujur ia begitu dilema. Hati dan pikirannya berlawanan.
Ting!
Percaya padaku Nari.
Gadis itu menggigit bibir terus berpikir, sampai seperkian detiknya ia membalas pesan itu.
Baiklah, tapi apa aku ga merepotkan kak Doyoung? Aku takut kak Doyoung lelah karna aku.
Ting!
Apa yang kamu katakan? Tidak. Aku tidak merasa direpotkan sama sekali. Aku senang membantumu.
Kalau kamu ada waktu, jam 2 siang kita bertemu di sungai Han ya. Sekarang sudah larut. Tidurlah. Jangan begadang.
Nari tersenyum. Doyoung begitu perhatian. Laki-laki itu bahkan tak pernah berubah. Masih sama seperti SMP dulu.
Itulah yang membuat Nari jatuh cinta pada sosoknya yang selembut malaikat. Sayangnya, ia hanya bisa jadi secret admirer. Mencintai pria itu diam-diam.
Nari menerawang jauh. Berharap bahwa kejadian ini bukanlah mimpi. Jikalaupun ini memang mimpi, Nari benar-benar tak ingin terbangun. Serius.
Doyoung dan sekolah baru. Dua hal yang paling membahagiakan. Dan hadir secara bersamaan.
Nari tersenyum. Doyoung begitu perhatian. Laki-laki itu bahkan tak pernah berubah. Masih sama seperti SMP dahulu.
Itulah yang membuat Nari jatuh cinta pada sosoknya yang selembut malaikat. Sayangnya, ia hanya bisa jadi secret admirer. Mencintai pria itu diam-diam.
Nari menerawang jauh. Berharap bahwa kejadian ini bukanlah mimpi. Jikalaupun ini memang mimpi, Nari benar-benar tak ingin terbangun. Serius.
Doyoung dan sekolah baru. Dua hal yang paling membahagiakan. Dan hadir secara bersamaan.
"Mau sampe kapan main terus?" tanya pria berkemeja kotak-kotak yang duduk bersila di atas sofa. Ia sudah bosan hanya memandangi pria di depannya selama 2 jam tanpa melakukan apa-apa.Pria jangkung itu menarik busur panah, memfokuskan pandangannya pada titik tengah "Sampai ku bosan," jawabnya lalu melepaskan tarikan, dan-Ctak…!Satu anak panah berhasil menembak sempurna di angka 10. Poin yang sangat sempurna. Namun reaksi yang ditunjukkan pria itu berbeda. Tatapan datar tanpa ekspresi.Poin yang berhasil dicetaknya; 2 kali 9 poin, dan 3 kali 10 poin."Jaemin! Lu pikir kehidupan gue cuma merhatiin lu main doang?"Pria itu menurunkan busur panahnya, mengeram pelan, "Bilang sekali lagi," ucapnya dengan nada datar tapi menusuk."Emm iya. Engga engga! Baper amat ewh," pria berkemeja itu menghela. Ia sudah tahu, siapa Jaemin. Si pria minim perasaan.Jaemin balik badan, menatap seseorang yang membuat moodnya turun, "Jangan membantah apa
Tap tap tap!Suara pantofel berdentum keras di lorong-lorong sunyi. Bergema di antara dinding-dinding yang dingin. Dibawah cahaya lampu yang temaram, sesosok manusia misterius bersembunyi dibalik hoodie hitam. Wajahnya ditutupi masker hitam menyembunyikan jati diri.Ia berjalan menunduk, menuju sebuah pintu rahasia.Pintu yang terletak di sudut yang jauh.Ruangan bawah tanah.Tempat yang dingin, sunyi, dan hampa. Pengap, tanpa sirkulasi udara.Tap!Sosok itu berhenti di depan pintu kayu. Satu tangannya mendorong pintu, hingga terdengar suara gesekan pintu dan lantai berdecit.Dingin.Satu kata yang ia rasakan, saat kulitnya bersentuhan dengan udara disana."Tepat waktu."Suara berat memecahkan keheningan.Sosok itu menatap lurus pada seorang pria angkuh yang berdiri membelakanginya di jarak 300 meter."Aku telah melakukan yang kau inginkan," jawab sosok misterius berhoodie hitam."L
"Kak Doyoung ga mau masuk?" Nari menekuk wajahnya sedikit kecewa, karena Doyoung buru-buru pergi.Pria berseragam Navy itu menggeleng, tersenyum."Yaah," Nari menggenggam erat ujung baju Doyoung, tidak ingin pria itu pergi."Gapapa Nari."Doyoung menepuk-nepuk puncak kepala Nari, "Nanti, kan aku jemput."Nari menggigit bibir bawahnya."Udah masuk sana. Nanti telat."Doyoung menatap sekelilingnya, gerombolan murid berlalu lalang masuk gerbang. Yeah, yang ia yakini bahwa murid disini bukanlah murid biasa. Dari kalangan atas."Yaudah deh," jawab Nari mengerucutkan bibirnya.Doyoung tersenyum, "Masuk sana. Aku liatin dari sini."Nari mengangguk, "Kak Doyoung hati-hati ya.""Iya."Dengan berat hati, Nari beringsut mundur. Lalu memalingkan badannya. Melangkah masuk bersama murid-murid yang lain.Saat langkah ke-tiga, Nari berbalik. Senyumnya mengembang, ternyata pria jangkung itu masih be
Cklek…! Loker nomor 24 terbuka. Tubuh gadis itu mematung, melihat isi lokernya hancur berantakan. Botol minuman yang ia genggam pun terjatuh. Lokernya seperti kapal pecah. Tak berbentuk.Kertas dan kaleng kosong berserakan. Foto-fotonya dicoret dan ditempel di dinding loker. Gadis itu meraih satu foto dengan tangan gemetar. Ia tak masalah jika fotonya dicoret-coret, tapi tidak untuk yang satu ini. Begitu menyakitkan rasanya saat foto kelulusan SMP-nya diedit sedemikian rupa. Hidungnya diedit menjadi hidung babi, dan kepalanya ditambahkan tanduk iblis. Matanya dicoret-coret dengan spidol hitam. Ia membalikan foto itu, membaca tulisan yang membuat nafasnya mendadak terhenti. Kamu akan membayar semuanya!! You deserve it. Gadis itu menutup mulut, terkejut membaca kalimat ancaman yang ditulis dengan tinta merah. Tinta yang sangat tabu di Korea Selatan, karena melambangkan kemati
"Kak Doyoung ga mau masuk?" Nari menekuk wajahnya sedikit kecewa, karena Doyoung buru-buru pergi.Pria berseragam Navy itu menggeleng, tersenyum."Yaah," Nari menggenggam erat ujung baju Doyoung, tidak ingin pria itu pergi."Gapapa Nari."Doyoung menepuk-nepuk puncak kepala Nari, "Nanti, kan aku jemput."Nari menggigit bibir bawahnya."Udah masuk sana. Nanti telat."Doyoung menatap sekelilingnya, gerombolan murid berlalu lalang masuk gerbang. Yeah, yang ia yakini bahwa murid disini bukanlah murid biasa. Dari kalangan atas."Yaudah deh," jawab Nari mengerucutkan bibirnya.Doyoung tersenyum, "Masuk sana. Aku liatin dari sini."Nari mengangguk, "Kak Doyoung hati-hati ya.""Iya."Dengan berat hati, Nari beringsut mundur. Lalu memalingkan badannya. Melangkah masuk bersama murid-murid yang lain.Saat langkah ke-tiga, Nari berbalik. Senyumnya mengembang, ternyata pria jangkung itu masih be
Tap tap tap!Suara pantofel berdentum keras di lorong-lorong sunyi. Bergema di antara dinding-dinding yang dingin. Dibawah cahaya lampu yang temaram, sesosok manusia misterius bersembunyi dibalik hoodie hitam. Wajahnya ditutupi masker hitam menyembunyikan jati diri.Ia berjalan menunduk, menuju sebuah pintu rahasia.Pintu yang terletak di sudut yang jauh.Ruangan bawah tanah.Tempat yang dingin, sunyi, dan hampa. Pengap, tanpa sirkulasi udara.Tap!Sosok itu berhenti di depan pintu kayu. Satu tangannya mendorong pintu, hingga terdengar suara gesekan pintu dan lantai berdecit.Dingin.Satu kata yang ia rasakan, saat kulitnya bersentuhan dengan udara disana."Tepat waktu."Suara berat memecahkan keheningan.Sosok itu menatap lurus pada seorang pria angkuh yang berdiri membelakanginya di jarak 300 meter."Aku telah melakukan yang kau inginkan," jawab sosok misterius berhoodie hitam."L
"Mau sampe kapan main terus?" tanya pria berkemeja kotak-kotak yang duduk bersila di atas sofa. Ia sudah bosan hanya memandangi pria di depannya selama 2 jam tanpa melakukan apa-apa.Pria jangkung itu menarik busur panah, memfokuskan pandangannya pada titik tengah "Sampai ku bosan," jawabnya lalu melepaskan tarikan, dan-Ctak…!Satu anak panah berhasil menembak sempurna di angka 10. Poin yang sangat sempurna. Namun reaksi yang ditunjukkan pria itu berbeda. Tatapan datar tanpa ekspresi.Poin yang berhasil dicetaknya; 2 kali 9 poin, dan 3 kali 10 poin."Jaemin! Lu pikir kehidupan gue cuma merhatiin lu main doang?"Pria itu menurunkan busur panahnya, mengeram pelan, "Bilang sekali lagi," ucapnya dengan nada datar tapi menusuk."Emm iya. Engga engga! Baper amat ewh," pria berkemeja itu menghela. Ia sudah tahu, siapa Jaemin. Si pria minim perasaan.Jaemin balik badan, menatap seseorang yang membuat moodnya turun, "Jangan membantah apa
Musim dingin. Seoul 2018.Gadis itu menggosok-gosok kedua telapak tangannya yang kedinginan. Ia merutuk sebal, kenapa ia bisa melupakan sarung tangan, padahal suhu Korea saat ini cukup ekstrim, minus 3 derajat Celsius. Rasanya ia nyaris membeku di bawah guyuran salju. Lututnya gemetar hebat, dan tulangnya terasa ngilu.Sudah 3 hari Seoul dilanda badai salju lebat, sampai jalanan tertutup es setebal 5 cm.Gadis itu merapatkan mantelnya. Menatap sepatunya yang tertutup bongkahan es putih. 10 menit telah berlalu, tapi bis tak kunjung juga datang."Huh," Gadis itu menghela nafas lelah, asap putih mengepul dari mulutnya. Efek dari cuaca terlalu dingin."Nari."Gadis itu mendongak, tetesan salju berjatuhan di wajahnya."Kak Doyoung!"Mata gadis itu berbinar senang. Seulas senyum tersungging di bibirnya."Sendirian aja?" tanya pria jangkung bermantel biru yang berdiri di hadapannya."Iya," Nari mengangguk s
Cklek…! Loker nomor 24 terbuka. Tubuh gadis itu mematung, melihat isi lokernya hancur berantakan. Botol minuman yang ia genggam pun terjatuh. Lokernya seperti kapal pecah. Tak berbentuk.Kertas dan kaleng kosong berserakan. Foto-fotonya dicoret dan ditempel di dinding loker. Gadis itu meraih satu foto dengan tangan gemetar. Ia tak masalah jika fotonya dicoret-coret, tapi tidak untuk yang satu ini. Begitu menyakitkan rasanya saat foto kelulusan SMP-nya diedit sedemikian rupa. Hidungnya diedit menjadi hidung babi, dan kepalanya ditambahkan tanduk iblis. Matanya dicoret-coret dengan spidol hitam. Ia membalikan foto itu, membaca tulisan yang membuat nafasnya mendadak terhenti. Kamu akan membayar semuanya!! You deserve it. Gadis itu menutup mulut, terkejut membaca kalimat ancaman yang ditulis dengan tinta merah. Tinta yang sangat tabu di Korea Selatan, karena melambangkan kemati