Sejak kematian Pak Giring, Bu Sona seakan kehilangan separuh hidupnya, atau bisa dikatakan, seluruh hidupnya. Kepada siapa lagi dia berkeluh-kesah? Bertukar cerita? Atau menumpahkan kasih sayang? Bu Sona tak punya siapa-siapa selain suami dan putranya, namun suaminya telah tiada, putranya jauh di kota. Hari-hari menjadi lebih sepi dan tak berarti baginya, tiap detik dan menit ada untuk dibunuh, bukan untuk dinikmati.
Atma yang menjadi satu-satunya teman bicara Bu Sona pun tak tahu bagaimana untuk mengembalikan senyum Bu Sona. Sebagai perempuan yang telah merasakan jatuh cinta, dia paham benar rasanya ditinggal oleh orang yang dicintai, terlebih bila itu untuk selamanya.
Kesedihan dan duka Bu Sona seperti tak sudah-sudah, bahkan meski telah beberapa bulan berlalu. Belakangan justru dia pun rentan sakit karena menolak makan dan kurang tidur. Paling seringnya terserang batuk dan pilek.
"Ibu mau aku hubungi Mas Bhaga?" Atma bertanya setelah menyeduh teh hangat un
Malam telah larut, Bhaga belum bisa juga memejamkan matanya. sekilas dilihatnya Jessica yang sejak tadi sudah terlelap dalam dunia mimpi di sampingnya. Dia putuskan untuk ke dapur, lalu menyeduh segelas teh. Sejak kemarin ponsel Atma tak bisa dihubungi, barangkali karena lemahnya jaringan, dia bisa mengerti soal itu, namun hatinya tak bisa berkompromi. Tak mungkin bisa tidur tenang bila dia belum tahu apakah Atma baik-baik saja atau tidak.Bolak-balik dia cek layar ponsel pintarnya, mengecek apakah ada pesan masuk, namun nihil.Apa kuotanya habis? Tapi nggak mungkin, baru minggu lalu diisi,batinnya gundah. Telepon tak diangkat, pesan whatsapp tak dibalas, bagaimana mungkin pikiran Bhaga tak gusar.Inilah yang paling dia benci dari jauhnya jarak mereka, mesti menghabiskan menit demi menit dalam kecemasan. Bhaga menyeruput tehnya di dekat pantri, sejenak melamun, menebak-nebak sedang apa Atma, barangkali dia sedang tidur di kamarnya saat ini, begitu p
Sebuah helaan napas yang begitu berat meluncur dari mulut Atma. Ujian memang berjalan lancar, namun tetap saja takut akan kegagalan masih mengintai ketenangannya. Sebagai bentuk apresiasi untuk kegigihan Atma, Bu Sona memasak makan siang khusus hari itu, karena dia berhasil melewati masa ujian paket C dengan baik.Usai makan bersama, Bu Sona pamit untuk tidur siang. Waktu yang tepat bagi Atma untuk menghubungi Bhaga, sejak kemarin dia belum mengangkat panggilan dari pria itu."Halo, Mas Bhaga?" sapa Atma setelah panggilannya diangkat."Ya ... halo,"balas Bhaga, pelan, setengah berbisik."Gimana ujiannya?""Lancar. Nggak terasa ya, waktu berjalan singkat, sebentar lagi udah pengumuman aja, aku deg-degan," beber Atma. Dia berjalan keluar untuk sekalian menikmati udara siang perbukitan yang lumayan panas siang itu. "Tadi aku sama ibu makan enak, ibu masak yang spesial, aku senang ibu akhirnya menerima soal paket C itu."
Entah kapan terakhir kali Atma mengalami euforia seperti yang dia rasakan hari ini. Hasil ujian susulan telah keluar, dan siapa sangka hasilnya melebihi ekspektasi. Tak sia-sia usaha belajar keras beberapa bulan terakhir. Semua terbayar dengan pengumuman kelulusan yang memuaskan."Karena kamu udah berhasil lulus, boleh aku traktir? Sebagai hadiah!" Adam lah yang pertama kali memberi ucapan selamat kepada Atma.Dan sudah sewajarnya Atma menolak ide tersebut. "Nggak! Nggak! Justru aku yang akan traktir Mas Adam. Tapi makan di rumah aja, ya? Biar bisa bareng ibu, ajak juga Nabila, anak Mas Adam.""Kamu yakin? Mau ketemu sama dia?" Adam tak bisa menyembunyikan binar di wajahnya.Muka Atma berubah, seolah berkata:emangnya kenapa?"Iya! Aku mau ketemu sama anak Mas Adam. Mau, kan?"Adam mengangguk dengan senyum simpul di bibirnya.***Cukup lama rasanya rumah di atas bukit itu tidak bercahaya seperti hari ini. Bu Sona
Setelah kekacauan yang disebabkan Salman terjadi, Bu Sona menjadi antipati kepadanya. Namun bukan berarti masalah telah selesai, dia mesti memikirkan selanjutnya bagaimana, apa yang akan terjadi dengan Atma nantinya. Bu Sona berpikir agak lama, satu-satunya orang yang bisa dia percaya saat ini adalah Adam. Oleh karena itu, pada pertemuan selanjutnya, dia berkata kepada Adam, "Tolong jaga Atma ya, Nak Adam. Saya percayakan dia sama kamu."Atma tahu soal itu, namun dia tidak protes sama sekali. Dia sadar benar, Adam jauh lebih baik ketimbang Salman. Meski hatinya setuju, dia pun tak lantas bisa tenang, sebab Bhaga akan kembali tak lama lagi. Usai Atma beri tahu soal kelulusannya, Bhaga berjanji segera datang.***Tak seperti kedatangannya beberapa bulan silam, kali ini Bhaga kembali dengan membawa warna yang berbeda. Bukan hanya kerinduan yang dia bawa, tapi juga keresahan, kesedihan, yang dia sendiri tak mampu menguraikannya.Baru selangkah turun dari mobi
Atma berjalan di depan Bhaga, menyusuri jalan setapak pematang sawah yang membentang hijau. Bhaga beberapa jengkal di belakangnya, matanya memandangi lekuk tubuh Atma yang terbalut gaun selutut bermotif polkadot, rambutnya yang terurai ditiup angin petang, warna jingga dan merah jatuh tepat di helai-helai rambutnya yang sedikit kusut karena angin.Warga desa tak terlihat lagi di sawah, biasa sebelum senja mereka sudah pulang. Hanya ada Bhaga dan Atma di area persawahan itu. Bhaga tak mau langsung pulang, dia teringat dengan air terjun di dekat situ. Hari ini akan sempurna bila ditutup dengan mandi malam di air terjun, pikirnya."Kalau ibu nungguin kita gimana?" tanya Atma cemas."Kita bukan anak-anak, Atma!" sahut Bhaga sembari melepas kaus oblong yang dia kenakan.Atma masih bimbang, dia berdiri gugup di atas sebuah batu besar. Mukanya sedikit basah akibat cipratan air terjun yang kuat dan deras. Sekilas kepalanya berputar, mengecek sekeliling. Langit be
Mata Adam menatap tajam mata Bhaga. Keduanya masih sama-sama asing, namun yang lebih bingung tentu adalah Atma. Harus bagaimana dia di antara kedua pria ini?"Siapa?" tanya Adam, terdengar tidak senang, tak ada keramahan dari suaranya.Atma berbalik sesaat, memandang Bhaga, Bhaga memandang balik dengan muka tak kalah bertanya-tanya."Mas Adam, ini Mas Bhaga, anak tunggal Bu Sona," kata Atma pelan, lalu dia berbalik menatap Bhaga. "Mas Bhaga, ini Mas Adam, salah satu guru di tempat aku belajar untuk ngejar paket C.""O! Hai ..., saya Bhaga." Bhaga lah yang pertama berinisiatif untuk menjulurkan tangan, tak timbul satu pun prasangka aneh di hatinya. "Ada urusan apa?"Walau mulanya sedikit ragu, Adam menyambut uluran tangan Bhaga. "Adam.""Mau minum teh, Mas? Biar aku buatkan, tapi tunggu sebentar, ya. Aku mau ganti pakaian dulu," kata Atma."Kalau aku ganggu ...,""Nggak, kok! Tunggu bentar, ya." Atma menyela cepat. Dia bergegas
Hati Atma lebih terluka ketimbang Bhaga sebetulnya, kalau saja dia mau jujur mengakui. Ingin sekali dia melihat reaksi cemburu Bhaga, seperti dalam kisah-kisah cinta di film romansa. Bagaimana Bhaga semestinya kesal lalu mengatakan bahwa Atma adalah miliknya, dan tak akan ada laki-laki lain yang bisa menikahi dia selain Bhaga, namun Bhaga bukan laki-laki seperti itu. Dia selalu tenang dan realistis. Atma juga tahu semestinya dia bersyukur, dia tak seperti Adam yang menjadi racun saat cemburu, atau lebih buruk seperti Salman, yang selalu mengklaim dirinya sebagai hak milik."Udah malam, Atma. Kamu mau tidur, kan? Selamat malam." Bhaga berucap lembut sebelum dia menaiki tangga ke lantai atas.Atma masih diam mematung, dengan segala kalut yang dia rasa. Sampai Bu Sona datang dengan muka bingung. "Ada apa, Ma? Kok bengong?"Nyaris saja keluar kata-kata buruk dari mulut Atma, saking terkejutnya dia. "Nggak ada, Bu. Aku cuma nunggu ibu pulang.""Ya, kamu baca m
Begitu Bhaga tahu apa yang terjadi kepada Atma, murkalah dia, amarahnya meledak seperti lava yang meletus dari gunung berapi. Mustahil untuk tak marah dalam situasi ini. Perut Atma disepak, dia terpental sampai lututnya menabrak batu di pinggir jalan. Kulitnya lebam, biru dan merah. Dan lagi, dia yakin betul siapa pelakunya. Siapa lagi kalau bukan Salman."Aku akan ngomong sama dia sekarang! Aku akan kasih dia pelajaran! Ini keterlaluan!" teriak Bhaga.Sementara Atma sedang setengah berbaring di atas sofa, dan Bu Sona sedang mengobati luka di lututnya dengan kapas dan alkohol."Ga, jangan larut dalam amarah kamu. Kita juga nggak tau apa dia benar pelakunya atau bukan. Tenang sedikit, minum dulu sana." Bu Sona berusaha membujuk."Ibu suruh aku tenang dalam kondisi ini? Liat Atma, Bu! Liat! Ini yang terjadi karena Ibu terlalu naif, harusnya kita nggak pernah berurusan sama orang sakit jiwa itu. Kalau bukan dia, siapa lagi?" Bhaga mengomel. Dia menatap Atma
Habis membawa Tommy tidur bersama Bu Sona di kamar sebelah, Atma kembali ke kamar hotelnya bersama Bhaga. Bhaga masih di bawah bersama Anna, sepertinya masih asyik bercakap-cakap. Mata Atma sudah beberapa kali menarik sendiri, dia paksa untuk mandi sekejap, berganti piyama dan menyikat gigi. Setelah semua beres barulah dia naik ke tempat tidur. Namun, baru saja berbaring sekitar sepuluh menit, sebuah tangan membelai lengan Atma dengan lembut. Membuatnya terjaga perlahan. Ada Bhaga di sampingnya, memeluk dengan lembut, mencium telinganya berkali-kali. "Mas Bhaga udah mandi?" tanya Atma setengah sadar. "Udah ..." Bhaga menjawab setelah mengecup pipi Atma. Atma tahu ke mana tujuan Bhaga. Namun, mata Atma terlalu lelah untuk meladeni. "Kamu udah mau tidur ya? Atma ..., kita kan lagi di Bali! Lagi tahun baru ini!" kata Bhaga memprotes, rewel seperti anak kecil. "Ya terus kalau di Bali kenapa, Mas?" tanya Atma sambil membuka matanya
Malam ini adalah malam pergantian tahun, di mana kembang api akan menyala tepat pada pukul 12. Pantai menjadi lokasi paling banyak diincar untuk menghabiskan malam tahun baru. Sembari menunggu tengah malam tiba, paling nikmat ditemani hidangan laut bakar maupun daging bakar.Itu pula yang dipersiapkan oleh Bhaga. Sebuah meja panjang dia pesan di pinggir pantai, diajaknya serta keluarga Anna untuk ikut bergabung. Sekali lagi Bu Sona absen, sebab dia merasa tak akan tahan begadang sampai larut malam. Dia takut terserang flu keesokan hari. Penyakit orang tua.Bu Sona langsung izin saat pukul 10, membawa Nala serta, mereka tidur lebih awal. Tommy seharusnya juga ikut tidur lebih awal, namun bocah lelaki itu berkeras ingin melihat kembang api. Bhaga pun mengizinkan asal setelah lewat acara kembang api, Tommy langsung kembali ke hotel untuk tidur.Pukul sebelas lewat, masih ada sedikit sosi dan jagung yang bisa dibakar untuk teman menunggu tengah malam. Rohan sibuk me
Cuaca amat cerah dan panas siang itu, dengan angin laut yang tak kalah kuat. Para pengunjung pantai yang rata-rata turis tampak asyik berjemur di atas matras, hanya mengenakan bikini. Mereka sibuk mengolesi krim anti sinar UV di atas kulit mereka agar tak terbakar.Bhaga memesan sebuah pendopo di dekat pantai, yang muat untuk menjadi tempat berteduh bagi seluruh anggota keluarganya, pendopo di sebelah rupanya disewa pula oleh rombongan Anna dan sepupunya. Bu Sona tidak ikut, alasannya karena terlalu panas di pantai. Alih-alih bersantai di balkon hotel, dia malahan pergi mengeksplorasi sendirian, pergi ke tempat yang lebih sejuk seperti kuil atau pasar cendera mata.Satu yang mengusik perhatian Atma adalah pakaian Anna. Anna muncul dari hotel dengan satu set bikini berwarna merah muda, terlihat manis dan seksi di saat bersamaan. Belum lagi kepalanya ditutupi dengan topi pantai dari jerami, serta kacamata hitam, dia bisa berbaur seperti turis mancanegara lainnya. Sementa
Berkat bantuan Anna, Atma mendapat pekerjaan di sebuah restoran yang dimiliki oleh kakak lelakinya. Pria yang sudah berkepala tiga itu bernama Rohan. Statusnya belum menikah. Dari sana Atma bisa tahu kalau keluarga Anna rupanya cukup berantakan.Ibu dan ayahnya telah bercerai sejak dia kecil. Rohan diasuh oleh ayahnya, sementara Anna diasuh oleh ibunya. Bisa dibilang mereka tak terlalu dekat sebetulnya. Namun, dari pertemuan pertama, Atma bisa langsung tahu kalau Rohan adalah pria yang baik, kepribadainnya hangat dan penuh pengertian.Selain Atma, ada seorang karyawan lain yang juga membawa balitanya. Anak-anak yang dibawa bisa dititipkan di lantai atas. Ada sebuah kamar bayi di lantai atas serta ruang bermain anak. Tugas Atma pun tak begitu sulit, cuma bantu-bantu di dapur sebagai asisten yang menyiapkan bahan masakan.Bila semua sudah beres, Atma pun bisa merangkap menjadi pelayan yang membantu mengantarkan pesanan atau mencatat pesanan.Kebanyakan tamu
Bhaga berbalik, lalu memutar bola matanya sambil menghela napas panjang. "Kamu kenapa sih, Atma? Semua itu cuma ada di pikiran kamu. Di sini!" Bhaga menunjuk pelipisnya. "Semua itu khayalan, prasangka! Kamu liat Anna, dia bahkan bukan tipe aku! Nggak sama sekali! Dia itu udah kuanggap kayak temen cowok, tau?!" Bhaga mendekat, duduk di pinggir tempat tidur."Temen cowok? Secakep itu? Secantik dan seseksi itu? Yang benar aja, Mas! Aku ini emang cewek kampung, tapi aku nggak bodoh. Mana mungkin cewek secantik itu Mas anggap kayak laki-laki!" Kening Atma mengerut."Coba kamu pikir-pikir lagi. Kami sama-sama suka basket, sepak bola, ehm ..." Bhaga tergagap sebentar. "Pokoknya aku sama sekali nggak menganggap dia sebagai seorang perempuan. Dia itu kayak adik aja, kayak temen, kayak ... Salah satu 'bro' bagi aku."Muka Atma mengernyit. "Apa lagi itu 'bro'? Mas Bhaga udah deh, jangan ngaco! Jangan bikin-bikin alasan. Pokoknya aku nggak suka kalau Mas Bhaga masih bertema
"Hari ini aku mungkin pulang malam. Kamu masak untuk kamu aja ya, Sayang." Bhaga berujar pada suatu hari, sebelum dia berangkat kerja.Atma yang sedang menyedot debu di sofa langsung menatapnya heran, alisnya menukik tajam. "Belakangan ini Mas Bhaga pergi terus, ke mana sih? Mau ngapain lagi?" tanyanya agak dingin."Ada acara makan-makan dari kantor. Jadi yah ..., kemungkinan kami akan minum juga sampai jam 12 lewat."Sejak mereka kembali dari desa beberapa bulan yang lalu, tiap malam Bhaga hampir tak pernah pulang tepat waktu. Selalu saja ada alasan. Sementara Atma tak bisa ke mana-mana sebab dia mesti mengurus Nala yang masih belum genap 6 bulan.Bukan berarti Bhaga tidak peduli dengan urusan rumah sama sekali. Bila di akhir pekan, dia masih sering menjaga Nala, terkadang membuatkan susu, mengganti popok, namun tetap saja, tingkah polanya belakangan terlihat begitu berbeda. Atma tak bisa bersikap acuh tak acuh lagi, mesti ada sesuatu yang tidak dia keta
"Papa bangun ...! Papa ...!" Tommy kecil naik ke atas tempat tidur di mana Bhaga masih terlelap dengan tubuh telungkup.Sejam yang lalu, Atma telah bangun lebih dulu, langsung mandi lalu menyiapkan sarapan. Bhaga sepertinya masih lelah akibat kegiatan yang menguras energinya semalam."Papa ...! Ayo bangun, dong ...! Hari ini kita mau keliling kampung ...!" teriak Tommy seraya duduk di atas punggung lebar Bhaga.Bhaga terjaga lalu langsung menggendong Tommy meski kesadarannya masih belum seutuhnya pulih."Mama lagi masak, ya?" tanyanya setelah mencium aroma bumbu nasi goreng. "Kamu bau! Kita mandi dulu, yuk?" katanya masih dalam kondisi setengah sadar.Sehabis mandi bersama Tommy, Bhaga turun ke dapur menemui Atma yang juga telah rapi memakai gaun mininya. Atma baru selesai menyusui Nala."Sarapan dulu, Mas. Kita hari ini mau ngajak Tommy keliling kampung." Atma berkata sambil membuka tudung saji di atas meja."Mau ke mana? Mau liat ap
Keputusan untuk menitipkan Tommy kepada Bu Sona sudah bulat. Tentu berita baik itu disambut dengan tangan terbuka oleh Bu Sona. Justru itulah yang telah dia nanti-nanti. Sebelumnya, disangkanya Tommy baru bisa dia rawat setelah menginjak usia belasan, masuk SMP atau SMA.Namun, Bhaga mempercepat rencananya sebab dia tak mau Tommy telanjur nyaman hidup di kota. Nantinya akan lebih sulit bagi bocah lelaki itu untuk menyesuaikan diri hidup di desa. Meski begitu, Tommy sesekali merengek, tak mau berpisah.Seperti yang terjadi hari ini, saat sebulan menjelang kelahiran anak kedua Atma dan Bhaga. Si kecil Tommy memeluk perut Atma begitu lama."Aku nggak mau pisah sama adik, Ma ..." rengeknya manja."Jadi, Tommy nggak mau nemenin Nenek? Gitu?" Bu Sona yang sedang menyedot debu sofa bertanya, sengaja memancing."Bukan gitu juga, Nek! Kenapa sih Nenek nggak tinggal di sini aja? Atau kita semua ikut tinggal sama Nenek?" tanya Tommy polos."Nggak bisa,
"Cucu Nenek ...!" Bu Sona berseru sembari membuka kedua tangannya lebar-lebar.Tommy berlari penuh semangat, senyumnya secerah sinar matahari siang itu. "Nenek! Aku kangen ...!" balasnya manja."Sama, Sayang ..., Nenek juga kangen banget sama kamu! Ya Tuhan! Liat kamu! Udah setinggi apa! Udah besar, udah jadi cowok gede!" Bu Sona mengacak lembut rambut Tommy.Tommy nyengir bangga. "Iya, dong! Kan sering minum susu!"Selepas Bu Sona melepas dekapannya, dia tatap Tommy. Sekilas dia heran kembali, kenapa pupil mata Tommy kian tampak biru. Saat bayi dia kira itu akan berubah seiring waktu seperti warna mata bayi kebanyakan, namun sampai sekarang, mata Tommy masih tampak sama saja. Meski begitu, ini bukan waktu yang tepat untuk membahasnya."Atma ...! Bhaga ...!" Bu Sona beranjak memeluk putera dan menantunya.***Waktu berlalu secepat angin, kandungan Atma kini berusia 7 bulan.Untuk syukuran kehamilan 7 bulan Atma, mereka mengadak