"Bagaimana mungkin kasus ditutup, Pak Anto? Semua bukti, hasil visum, kesaksian saya. Apa itu--apa semua itu tak berarti apapun?" ucap wanita yang menahan diri. Sekalipun, emosi marah tampak jelas di wajah. Begitupun sorot mata Lency yang masih tidak ingin percaya dengan apa yang barusan ia dengar.
"Tak bisakah bapak melakukan sesuatu? Ini ... ini terlalu aneh, tidak wajar, tak manusiawi," ucap Lency membuat pak Anto menarik dalam nafasnya, lalu menyentuh pundak gadis yang semangatnya jadi hilang. Semangat yang menguap begitu cepat.
"Apa kamu mengenal wanita yang kamu laporkan itu, Nak?" tanya pak Anto membuat Lency mengangguk tapi, beberapa detik kemudian menggeleng lemah.
"Saya tidak mengenalnya, Pak Anto. Tapi, gadis kecil yang dilukainya itu, cucunya sendiri. Walau apa yang membuat gadis kecil itu dirawat di rumah sakit di sebabkan karena benturan di kepala," ucap Lency merasa bersalah.
Rasa yang sama sekali tak berkurang meski hari sudah berganti, da
Ping!Maya menatapi ponsel Bagas, yang masih pulas tertidur. Ia mengernyitkan dahinya dalam. Heran dengan bunyi pesan yang ia baca."Siapa yang mati?" tanya Maya dengan suara pelan tak ingin Bagas mendengar.Tangan lentik terawatnya yang bergerak cepat langsung menelpon si pengirim pesan. Namun, tak ada jawaban. Hanya nada sambung yang membuat Wajah Maya makin berkerut dan jadi kesal sendiri."Angkat, Zi. Tch!" ucap wanita yang mendecakkan lidahnya setelah beberapa kali mengulangi kegiatan yang sama tapi nihil, adik Bagas sungguh mendiamkan panggilannya."Siapa yang mati?" geram Maya pelan, menatapi tubuh lelaki yang tampak begitu lelap dalam tidurnya. Lelaki yang pulang begitu hari sudah subuh tanpa mengatakan apapun dan langsung merebahkan tubuh. Bahkan tanpa mencium bibirnya ataupun Carmen, seperti hal yang selalu Bagas lakukan setiap kali ia datang di jam berapa pun."Mami...! aku tak bisa menemukan pita pink-ku!" teriak carmen membuat M
"I am cuter," ucap Joe membuat Miranda tertawa saat Seth terbatuk mendengar deklarasi sang adik yang begitu percaya diri."You know what, Little Bear? your the cutest in the whole universe," yakin Seth setelah batuknya reda yang disetujui Miranda dengan anggukan."Universe? what is that? Is it yummy?" tanya Joe membuat Seth tertawa makin keras."Well [dunia bisa terasa sangat enak terkadang] ekhem! something wrong with my throat," ucap Seth berdehem saat mendapti tatapan mengancam Miranda.Anak sulungnya ini terkadang bisa sangat mesum tak perduli pada siapa yang diajaknya bicara."So its food? Can I buy it?" tanya Joe yang dijawab Seth dengan menggerakkan telunjuknya."No?""Yes, Little Bear. Universe mean everything in the world. [Bumi, bintang, bulan, langit, meteorite, planet, matahari dan semua yang ada di dalamnya]""So, I can't buy it, than?""Kamu tak perlu membelinya, Little Bear.""Why?""Ka
'Kenapa dua bocil ini tak pernah bisa akur, sih?' batin Eva menarik dalam nafasnya.Guru muda yang jeweran mautnya sudah terkenal ini, menatapi dua bocah kecil yang juga memandanginya. keduanya sesekali memberi tatapan tak ramah pada satu sama lain. Sedangkan bule kecil yang pipinya merah menatapi ketiganya, berharap ia akan segera mengerti ucapan orang-orang yang ada di sekitar dirinya."Baiklah, karena tidak ada yang membuli dan dibuli, kalian berdua lebih baik baikan terus main bareng. Ok?""Tidak mau!" jawab Rei dan Carmen hampir bersamaan, membuat guru muda itu tersenyum dan menyentuh kepala keduanya."Setidaknya kalian sepakat untuk sesuatu sekarang. Jadi, Miss mau kembali duduk dan kamu Rei jangan terlalu nakal pada seorang lady," ucap miss Eva menyentuh kuping Rei pelan, membuat Carmen tersenyum."Rasain," ucap gadis kecil berpita pink yang lalu duduk di kursinya, sementara Rei yang sama sekali tak merasa sakit hanya memanyunkan bibir
33-34.Mata awas milik miss Eva yang memainkan jarinya diatas meja, tampak kalah dengan suara bocah-bocah lucu, imut juga menggemaskan yang asik bermain sambil mengocehkan apapun yang mereka mau.Cerita yang terdengar begitu antusias dari mulut-mulut basah berpipi tembem itu mengalahkan berita termenarik yang Pernah di wartakan.Cerita dari ocehan mulut-mulut yang masih belajar bagaimana mengenali angka dan huruf dibarengi bermain dan tidur siang jika sudah waktunya, Snack time yang akan begitu disambut gembira bocah-bocah pecinta manis yang akan lebih memilih apa yang mereka lihat daripada rasa.Ocehan yang terkadang terlalu remeh tapi begitu penting bagi si pencerita. Anak-anak berumur 3 tahun yang akan membuat guru galak mereka yang cerewet ini pusing dan tersenyum di saat yang sama.Cerita yang berawal setelah merek pulang kemarin, sarapan apa yang mereka makan pagi ini, kartun yang mereka tonton pagi tadi, mimpi apa malam tadi, dongeng apa yan
"Setiap orang bisa lepas kontrol saat emosi, Maya. Dan jikapun mereka memukuliku aku akan terima itu," ucap Bagas sungguh-sungguh. Membuat wanita yang wajahnya begitu dekat dengan wajah Bagas itu, memalingkan wajahnya sendiri.Maya tau ada hal yang tak bisa ia kendalikan dengan caranya, kalau Bagas sudah menatapnya seperti ini, tak tergoyahkan. Dan Maya sungguh tahu itu!"Ta ... tapi aku tak ingin kamu terluka, Mas," ucap Maya yang wajah murungnya tak mau ia perlihatkan sampai tangan Bagas menyentuh dagunya. Memaksa wanita itu, memperlihatkan wajah tangisnya pada Bagas. Lelaki yang sudah dimabuk asmara.Bagas seperti kumbang yang tak sadar betapa ia sudah dimabukkan oleh bunga yang tampilan dan wanginya sempurna, tapi entah bagaimana bagian dalamnya.Cinta Bagas pada Maya sungguh sudah membuatnya buta. Sebuta cinta Arum yang juga menyerahkan hatinya pada pria yang tampak begitu terpedaya ini.Terpedaya pada bunga yang dalamnya tak secantik yang May
"(Om Sani, lama banget itu berapa lama? Sejam apa seharian?)"Sekali lagi Arimbi bertanya, membuat Sani mengalihkan pandangannya dari Arum, "kalau menurut Arimbi lama sekali itu berapa lama?" tanya Sani membuat Arimbi terdiam.Gadis kecil yang tubuh dan pipinya dipenuhi luka membiru itu terlihat berpikir keras lalu mengangkat tangan kecilnya pada Sani.Arimbi menunjukkan empat jarinya pada Sani yang ia tatap, lalu menekuk kelingking kecilnya sendiri yang terus kembali karena jempol Arimbi tak bisa menahan kelingking kecilnya itu.Sampai akhirnya Sani membantu gadis kecil yang terlihat begitu sibuk, ia membantu menahan kelingking Arimbi agar tak terus berdiri bersama tiga jarinya yang lain."Tiga?" tanya Sani membuat Arimbi mengangguk, "tiga hari?" tanya Sani membuat gadis kecil itu menggeleng."(3 jam, Om Sani,)" jawab Arimbi lalu terkikik geli, "(tiga hari itu lamaaaa sekali, Om, kalo bangun nanti bisa-bisa kepala mama pusing,)" ucap bibir
"Neng arimbi, mau apa? Mau makan? Minum? apa mau pipis?" tanya bi Lisa membuat gadis kecil di depannya berpikir sambil menatapi sang mama. "(Bibi, aku mau minum teh,)" ucap Arimbi lupa suaranya tak terdengar lalu menatap sang bibi yang hanya diam menunggu nona kecilnya memberi jawaban. "Neng Arim mau apa?" ulang bi Lisa membuat Arimbi memiringkan kepala berbalut perbannya, heran. Karena ia sudah mengatakan yang ia mau. "(ah!)" dan seperti ingat sesuatu. Gadis kecil yang sadar suaranya tak terdengar karena percaya tenggorokannya sakit itu menatap menatap wanita yang menunggu dengan senyum meski mata bi Lisa sembab. Jika gadis kecil ini adalah gadis sama yang tadi pagi pergi ke sekolah dengan semangat meski sedih tak bisa ikut Arum yang naik mobil wiu-wiu. Arimbi pasti sudah bertanya banyak hal pada Lisa, bertanya kenapa wajahnya berbeda dan akan terus bertanya lalu bercerita apa saja yang ia lakukan di sekolah, dapat snack apa saja kemarin, apa saja ya
"Untuk apa manusia menciptakan hukum kalau tak bisa digunakan dan pilih kasih?" ucap Lency membuat wanita di sampingnya diam menatapi Arimbi."Padahal mereka si pencipta hukum itu mengatakan dengan mulut mereka sendiri semua sama di mata hukum. Haah, betapa munafiknya," geram Lency kembali menarik nafasnya dalam-dalam, mengepalkan tangannya kuat, lalu tersenyum meski matanya menunjukan kemarahan dan kecewa."Kurasa kamu benar, Bi Lisa. Mungkin memang hanya Tuhan yang adil dan tak memilih siapa dirimu, dari mana asalmu, siapa orang tua yang melahirkanmu, apa margamu, sebanyak apa harta yang kau miliki, siapa penguasa yang kau kenal. Karena semua sama di mata Tuhan, setidaknya itu yang kupercaya."Lency yang memandangi Arimbi, menggigit bibirnya keras sampai terasa sakit, lalu memandang langit-langit ruang rawat inap Arum yang jadi terasa menyesakkan."Hanya saja, aku muak pada hukum manusia yang katanya untuk manusia. Tapi, nyatanya- hukum manusia tak berl
Pria yang wajahnya bisa menipu banyak orang itu berdiri di depan ratusan mahasiswa. wajahnya yang bisa tersenyum dalam keadaan apapun, begitu pula tatapan ramah ia tunjukan pada bakal-bakal manusia yang sudah menentukan pilihan hidup yang ingin mereka jalani. Telinga para mahasiswa itu mendengarkan dengan seksama apa yang Sabio sampaikan dalam kelas yang mereka ikut, sesekali bertanya, tidak menyela saat pria yang mata sebelah kirinya selalu menjadi perhatian karena ada tanda lahir di sana bicara, menerangkan apapun yang ingin mereka ketahui. "But, is it possible to erese their memory permanenly, Sir? Mendengar itu Sabio menatap pria keturunan yang gigi putihnya begitu kontras dengan warna kulitnya yang hitam. Pertanyaan yang rasanya selalu Sabio dengar kapanpun itu apalagi saat ia harus menjadi pembicara entah di depan kelas ataupun konferensi bahkan individu. Apa lelaki yang wajahnya bisa ia mainkan sesuka hati itu pernah b
"So, apa yang akan kalian lakukan saat Bagas datang?"Lency menelan ludahnya untuk pertanyaan Sani. Matanya menatapi bergantian dua pria yang entah akan menjawab apa. Ia yang sudah berpikir tidak akan bermimpi buruk malam ini karena memilih jujur untuk kedatangan Bagas, menghembuskan nafas dalam, berharap Marko ataupun Ali tak mendengar.'Sial! Gue akan makin mimpi buruk kalo gak dengar jawaban mereka sekarang!' batin Lency yang juga ingin tahu apa yang akan ayah ke-2 dan ke-3 Arimbi lakukan.Ia lalu menatap wajah Arimbi yang terlihat begitu damai dalam lelap, "apa mimpimu menyenangkan, Arimbi?" Ucap Lency yang tak sadar ucapannya membuat Ali menoleh."Apa? Jangan bilang gue ngomong kenceng barusan?" Ucap Lency tak urung membuat suasana tegang dalam ruangan, berubah.Apalagi sorot mata Ali jadi melembut ketika ia menatap Arimbi yang rambutnya ia belai, sementara Marko berdiri lalu duduk di atas lantai memegang jemari Arimbi yang jadi terlihat
"Arimbi akan pulang ke rumah ini, Bu, tapi aku tidak akan membiarkan ibu melakukan apa yang ibu mau."Mata Sukma membesar, tangannya terangkat tinggi namun hanya berhenti di udara."Arimbi akan pulang ke rumah ini dan aku tidak ingin mendengar ibu atau siapapun menyalahkannya untuk apa yang terjadi."Plakk!Kali ini tangan Sukma benar-benar menampar pipi Bagas yang tidak terkejut dengan reaksi Sukma. "Kau tahu kenapa kita harus melakukan itu!" Seru Sukma lalu menoleh ke kanan dan ke kiri, memeriksa jika ada mata ataupun telinga yang mendengar lalu mengecilkan suaranya. Sadar, jika ada telinga yang mendengar maka apa yang sudah ia susun akan berakhir."Kau tahu betul kita harus melakukan itu!"Sukma memegang lengan Bagas, tatapannya memelas namun penuh tuntutan, "kau tahu kenapa ibu melakukan ini bukan? Semuanya untukmu, Bagas, agar kau bisa hidup tenang bersama Maya dan Carmen."Sukma lalu menyentuh pip
"Cari siapa, Mas?""Saya suami Arum.""!" Mata lency membesar untuk jawaban lelaki yang ketidak-hadirannya selalu ia tanyakan. Manik mata wanita berkulit hitam manis itu bergerak gelisah sementara punggungnya terasa panas mengingat di ruangan Arum ada Ali dan Marko yang mungkin tak akan senang mendengar siapa yang datang.Namun, ia yang tahu siapa dirinya tak mungkin berkata "jangan masuk!" pada lelaki tampan yang masih mengenakan pakaian kerja dengan jas yang melekat begitu pas di badannya.'Gue belum siap liat Ali sama Marko menghajar suami Arum!' seru Lency dalam hati, 'dan di dalam juga ada Arimbi-'Zreeeg!!Tangan Lency bergerak sendiri menutup pintu yang ia buka, begitu cepat sampai ia sendiri merasa kaget dan jadi kikuk saat menatap Bagas.Lency bisa merasakan punggungnya berkeringat sekalipun pendingin ruangan menyala. Mulutnya jadi terasa kelu meski tak ada satu kalimatku yang melintas dalam benak untuk ia sampaik
PING: Saya harap bapak tidak lupa dengan uang yang bapak janjikan untuk informasi ini.Entah apa yang kini sedang berkecamuk dalam benak Bagas saat melihat potret Arimbi, putrinya. Ia tampak tidak perduli dengan baris terahir dari pesan yang masuk bertubi-tubi dipenuhi oleh potret Arimbi.Tapi, ia yang sudah berdiri dan siap melangkah, punggungnya terlihat ragu apalagi saat matanya menatap dua pria yang terlihat bahagia di samping Arimbi yang lebar tersenyumMarko dan Ali. Dua lelaki yang wajah bahagianya pasti akan berubah jika ia datang atau bahkan menunjukkan diri.Sampai Bagas menarik nafasnya dalam, begitu dalam. Sementara matanya tak melepas senyum gadis kecil yang akhirnya masuk ke dalam ruang rawat inap yang pintunya dibuka Ali.PING: ini potret terakhir yang bisa saya kirimkan. Saya harap bapak tidak lagi menghubungi saya atau saya akan mendapat masalah karena sudah melanggar kode etik."Kode etik?" ucap Bagas menarik uj
"Karena lebih baik anak itu tidak kembali jika ingin hidupnya tenang "Sera menggigit bibir bawahnya, lalu menatap ke depan. Zizi seperti orang kesetanan yang bahkan menerobos lampu merah, untung saja motor yang pengemudinya berteriak karena kaget ada mobil sport yang melanggar rambu tidak jatuh dan terlindas mobil di belakangnya.Well, tak lagi bertanya tentang Arimbi pada Zizi 'saat ini' adalah hal yang benar untuk dilakukan, mengingat Sera masih menyayangi nyawanya. Lagipula, apa yang telah dan akan dilakukan Zizi pada Arimbi bukanlah urusannya. Ia hanya ingin lebih dekat dengan Sani. Pria yang begitu tak tergoyahkan bahkan mengabaikan dirinya yang sudah menjual murah harga dirinya di depan Sani.'Kalo gue gak berhasil dapetin Lo, jangan panggil gue Sera!'Hatchi!"Godbless you, Boss," ucap Joyce pada Sany yang bersin lalu menatap sang asisten yang kembali berucap, "palingan ada yang ngomongin Lo, maklum cowok mahal kayak Lo pasti ba
"Apa Ali dan Marko akan membawa Arimbi pulang kerumahnya?"Lency yang berdiri di depan pintu langsung menoleh pada Sani, "apa?" meski sedetik kemudian wajah Lency jadi pucat mengingat rumah Arimbi meski ia belum pernah ke sana."A--Ali sama Marko gak ngomong apa-apa tentang itu," jawab Lency membuat Sani mengangguk. Mengingat hari ini adalah hari sama Ali dan Marko kembali dari Berlin setelah menyelesaikan pekerjaan begitupun Arimbi yang masa perawatannya selesai.Karena sama-sama sibuk, apalagi Ali dan Marko yang jadwalnya dipadatkan sama sekali belum bertukar kata dengannya."Setidaknya Arimbi sudah kembali, bukan?" ucap Sani saat melihat wajah pucat Lency. Ia jadi merasa tak enak hati melihat wanita yang tadi tertawa bersama Mawardi jadi menunjukan wajah bermasalah.Sani tahu, Marko dan Ali pasti sudah memikirkan banyak hal menyangkut masa depan Arimbi meskipun dalam waktu singkat. Tapi, bagaimanapun juga selain mereka berdua y
"Kok tumben udah balik, Sayang," ucap wanita ayu yang meletakan majalah Fashion saat melihat putrinya masuk dengan wajah kesal."Den Joe, sedang pergi bersama kakaknya, Bu," jawab pengasuh yang mendapat tatapan tanya dari Maya yang mengangguk paham kenapa wajah putrinya yang keluar dengan semangat kembali dengan wajah kesal."Gak usah cemberut gitu dong, Sayang. nanti kalo Joe udah pulang bisa main lagi, kan?""Kata Bu Miranda pulangnya malam, Bu. jadi baru besok bisa main lagi.""Oh, jadi karena itu anak mami wajahnya jadi gini?" ucap Maya tersenyum menyentuh kepala Carmen yang masih saja cemberut dengan bibir kecil mengerucut."Aku tuh mau main sama Joe, Mami. tapi malah keduluan sama Seth. Nyebelin banget!" Sungut Carmen tak melihat Maya memberi kode pada pengsuhnya agar membawakan kue stroberi untuk Carmen."Kalau begitu, gimana kalau kamu jalan-jalan sama Mami dan papi, setelah papi pulang nanti?"Carmen menoleh
Small small bad wolf~She life with a pack of a liar~Small small bad wolf~What she will do when she get older~Small small bad wolf~She smile with innocent smiling face~Small small bad wolf~What she gonna do? What she gonna do~Small small bad wolf~Carefull everyone she come to get you~Small small bad wolf~She life with a pack of liar~Small small bad wolf ~She smile to get you~Small small bad wolf~*Gadis kecil yang langkahnya terlihat ringan itu berjalan digandeng Sabrina, matanya membulat melihat dua pria dewasa yang bahkan tak bisa menahan lari mereka lalu memeluk dan mengangkatnya dalam dekapan rindu disertai kecupan di pipi kenyal nan lembut tanpa bekas tamparan yang sudah tak terlihat lagi.satu minggu terasa begitu lama, Namun setelah melihat gadis kecil kesayangan mereka kembali dengan senyum, Marko dan Ali hanya bisa memeluk Arimbi yang tawanya sudah tak mahal lagi. Rasa syu