"Untuk apa manusia menciptakan hukum kalau tak bisa digunakan dan pilih kasih?" ucap Lency membuat wanita di sampingnya diam menatapi Arimbi.
"Padahal mereka si pencipta hukum itu mengatakan dengan mulut mereka sendiri semua sama di mata hukum. Haah, betapa munafiknya," geram Lency kembali menarik nafasnya dalam-dalam, mengepalkan tangannya kuat, lalu tersenyum meski matanya menunjukan kemarahan dan kecewa.
"Kurasa kamu benar, Bi Lisa. Mungkin memang hanya Tuhan yang adil dan tak memilih siapa dirimu, dari mana asalmu, siapa orang tua yang melahirkanmu, apa margamu, sebanyak apa harta yang kau miliki, siapa penguasa yang kau kenal. Karena semua sama di mata Tuhan, setidaknya itu yang kupercaya."
Lency yang memandangi Arimbi, menggigit bibirnya keras sampai terasa sakit, lalu memandang langit-langit ruang rawat inap Arum yang jadi terasa menyesakkan.
"Hanya saja, aku muak pada hukum manusia yang katanya untuk manusia. Tapi, nyatanya- hukum manusia tak berl
"Kamu, takkan pergi kemana pun, Bagas. Kecuali menemaniku dan carmen," ucap Maya menarik begitu dalam nafasnya beberapa kali, ia mengatur emosinya yang tak ingin ia tunjukan lalu tersenyum saat rasanya kembali tenang.Wanita yang menyibak kasar selimut yang ia pakai itu turun dari ranjang berantakan dan masuk ke kamar mandi, menyusul Bagas yang terkejut ada tangan yang memeluknya dari belakang dengan gerakan manja yang membuat Bagas terdiam di bawah aliran dingin air shower."Seharusnya kamu membangunkanku, Mas, dan kita bisa mandi bersama," ucap Maya begitu manja dengan tangan menyusuri dada pria yang membalikkan tubuh."Apa yang tadi belum cukup?" tanya Bagas yang kepalanya ditarik Maya lalu mengecup bibirnya begitu lapar."Kamu tak pernah membuatku cukup, Bagas satrio aji," ucap Maya menunjukkan senyum menantang, "tapi, kita bisa lanjutkan ini nanti atau kita akan terlambat menjemput Carmen.""May-""Please, Mas Bagas. Anak kita merinduka
"Bisakah Carmen hanya menyebut Arimbi anak nakal saat hanya ada mami saja? please.""Kenapa? Bukannya mami juga sering bilang Arimbi anak nakal?" tanya Carmen penasaran dengan ucapan sang mami."Mami mau tanya sama Carmen, apa Arimbi anak yang nakal?" Ucap Maya pelan pada gadis kecil berpita pink yang terdiam.Carmen berpikir beberapa lama lalu menggeleng, "tidak, Arimbi tidak nakal," ragu Carmen berucap sampai tangan kecilnya menggenggam erat jemarinya sendiri, "tapi- ... tapi aku gak suka sama Arimbi, Mi!" jawab gadis kecil itu dengan wajah cemberut."Kenapa Carmen tidak suka Arimbi?""Ng ... aku tak suka sama Arimbi karena ... karena, pokoknya Carmen tidak suka, titik.""Mami ngerti, Sayang. Tapi, Carmen tidak boleh bilang Arimbi nakal kecuali seperti kemarin, saat Arimbi buat kamu berdarah dan nangis, karena kalau seperti kemarin semua orang akan percaya kalau Arimbi itu nakal. Kalau tidak, tidak akan ada yang percaya kalau Arimbi
Srrreegg...!Bi lisa yang menggeser pintu kamar rawat inap Arum, berjalan masuk sambil membawa botol aluminium berisi air panas yang akhirnya ia beli sendiri. Langkahnya terhenti sejenak karena heran, mendapati 4 orang dewasa yang duduk di sofa hanya diam tanpa kata, rapat menutup mulut masing-masing.Ia, wanita yang tampak bisa membaca suasana itu, hanya mengangguk pada mata-mata yang menatapnya, yang ingin masuk keruangan lain, ruangan tempat tubuh Arum berbaring. Kamar yang di pisahkan tembok dan pintu tapi masih di dalam satu ruangan yang sama.Setelah meletakkan beberapa kaleng minuman dingin yang sengaja ia beli, "minumannya saya taruh di sini," ucap bi Lisa yang mendapat anggukan dan senyum dari Ali."Makasih ya, Bi," ucap Sani yang dijawab anggukan oleh bi Lisa. Wanita yang ahirnya pamit untuk menemani sang nona kecil yang masih terlelap.Tapi, belum sempat membuka pintu menuju kamar Arum, bi Lisa berhenti melangkah, meski tangannya sudah t
"Ya tuhan apa yang akan terjadi pada gadis kecil itu, kini?" Ucap Lency yang lolos begitu saja. Membuat tiga pria yang berada dalam satu ruangan dengannya menatap Lency dan tampak memikirkan hal sama.Begitupun genggaman Ali dan Marko yang makin erat dalam diam."Jika berpikir jauh kepala kita jadi terasa mampet, lakukan saja yang kita bisa untuk saat ini," ucap Sani membuka kaleng soda di tangan yang menimbulkan bunyi desisan dan langsung ditenggaknya habis. Tanpa sisa."Apalagi luka-luka di tubuh Arimbi yang tampak pasti bisa di sembuhkan bahkan hilang tak berbekas, mengingat ia masih begitu kecil," tambah Sani masih belum usai meski pria tinggi itu menarik dalam nafasnya yang terlihat berat sebelum berucap kembali."Tapi, luka batin? Well, lo berdua butuh lebih dari sekedar kuat dan sabar."Sani menatap dua sahabatnya yang tidak berkomentar. Karena Ali dan Marko tahu tak ada hal yang lebih penting dari Arimbi saat ini. Gadis kecil kesayangan mer
"Siapa?"Mata awas guru yang jeweran mautnya terkenal ini mengikuti langkah dua pasang kaki anak kecil yang tadi meminta lembar tugas darinya untuk Arimbi, satu dari tiga muridnya yang hari ini tak masuk karena harus menemani mamanya yang sakit untuk beberapa hari kedepan, meski dalam izinnya Arimbi berketerangan sakit.Dua bocah menggemaskan yang ia perhatikan masuk ke dalam mobil asing dengan bule yang meski jauh, ketampanannya terpancar jelas. Apalagi bule itu menutup pintu untuk dua anak yang jadi tanggung jawab miss Eva.Meskipun, pandangannya heran juga kagum karena yang menjemput Rei dan Joe bukan pak Tian dan bu Miranda, miss Eva tampak biasa saja karena memang tak sembarang orang bisa datang untuk menjemput anak-anak didik di yayasan ini. Kecuali wali mereka, memberi tahu pihak sekolah terlebih dahulu. Jadi, bisa dipastikan bule tampan itu bukan orang mencurigakan yang perlu diwaspadai."Soto pak Bas!" seru wanita yang bergegas ke kantor untuk me
"Arimbi, kenapa?" tanya Rei menatapi gadis kecil yang tingginya hampir sama dengannya itu, penuh penasaran."Sakit, ya?" tanyanya lagi dan takut-takut hendak menyentuh perban di kepala Arimbi, sementara Joe diam memperhatikan Arimbi yang ujung bibirnya sobek."Is it hurt?" tanya Joe mengulurkan tangan kecilnya, menyentuh pelan pipi Arimbi yang membiru dan gadis kecil yang lebih tinggi darinya itu mengangguk."(Iya, sakit,)" ucap bibir Arimbi membuat dua teman kecilnya itu heran dan saling menatap, lalu memperhatikan gadis kecil yang meski mulutnya terlihat bicara tapi tak satupun suaranya terdengar sambil menunjuk tenggorokannya sendiri."Arimbi, kenapa? Kok gak ngomong?""Your neck sick, to?" tanya joe membuat Rei menatapnya cepat."Ini sakit?" ucap Rei menunjuk leher Arimbi yang meski mengangguk, tampak tak yakin karena ia sama sekali tak merasakan sakit di bagian leher ataupun tenggorokannya sendiri."Jadi, Arimbi gak bisa ngomong
(YOUR MY SON!)(YOU CAN'T LEAVE ME)(YOUR MINE... ONLY MINE!)(DON'T GO PLEASE, DON'T GO.)(I'LL DIE IF YOU LEAVE ME TO)(I WILL NOT FORGIVE YOU)(YOU PIECE OF SHIT!)(I'LL KILL YOU)(I LOVE YOU)(YOUR MY SON! ONLY MINE)(I LOVE YOU)(I'LL KILL YOU!)(YOUR MY SON! YOU PIECE OF SHIT!) Seth menutup wajahnya kasar, ia menarik nafasnya dalam-dalam. Untaian kaliamat yang biasanya tersimpan begitu rapat kini lolos dan tak bisa ia enyahkan. Pria yang benar-benar membutuhkan udara segar ini berusaha menemukan ketenangannya dengan mengatur nafas dan menutup matanya rapat. Tubuh Seth yang tampak tegang itu mulai bisa rileks dengan nafas yang teratur pada tiap detiknya. Bayangan-bayangan buruk yang muncul, perlahan makin buram bersama nafasnya yang teratur. Dan ditariknya nafas begitu dalam, sekali lagi saat ketenangannya kembali. Meski rasa buruk yang terasa, tak sepenuhnya pergi. "Some women can be so cruel but the other giv
"Bagaimana?" tanya wanita yang suaranya terdengar dari ponsel dalam genggaman dokter Sabrina."Ini masih terlalu awal unt-""Sabrina, aku mendatangkanmu dari Berlin bukan untuk bersantai-santai," ucap wanita yang suaranya terdengar datar, membuat Sabrina menarik nafasnya, "jika kau tak bisa menangani ini, katakan saja. Aku akan mengirim kakakmu dan kau bisa mengulang studimu dari awal," ucap suara yang masih terdengar datar di telinga wanita yang sudah kembali ke dalam ruang kerjanya ini.Sabrina tahu, wanita yang menghubunginya ini tak sedatar wajah maupun apa yang diperdengarkan padanya, 'dan kakak? Gadis kecil itu tak butuh penanganan seperti itu.'Meskipun, mungkin apa yang akan dilakukan sang kakak adalah cara paling cepat agar gadis kecil yang dipercayakan padanya ini, bisa kembali menjalani kehidupannya lagi. Tapi, hidup dengan ingatan yang akan dikunci serapat-rapatnya, seperti tidak pernah terjadi--"Aku mengerti, Oma," ucap Sabrina
Pria yang wajahnya bisa menipu banyak orang itu berdiri di depan ratusan mahasiswa. wajahnya yang bisa tersenyum dalam keadaan apapun, begitu pula tatapan ramah ia tunjukan pada bakal-bakal manusia yang sudah menentukan pilihan hidup yang ingin mereka jalani. Telinga para mahasiswa itu mendengarkan dengan seksama apa yang Sabio sampaikan dalam kelas yang mereka ikut, sesekali bertanya, tidak menyela saat pria yang mata sebelah kirinya selalu menjadi perhatian karena ada tanda lahir di sana bicara, menerangkan apapun yang ingin mereka ketahui. "But, is it possible to erese their memory permanenly, Sir? Mendengar itu Sabio menatap pria keturunan yang gigi putihnya begitu kontras dengan warna kulitnya yang hitam. Pertanyaan yang rasanya selalu Sabio dengar kapanpun itu apalagi saat ia harus menjadi pembicara entah di depan kelas ataupun konferensi bahkan individu. Apa lelaki yang wajahnya bisa ia mainkan sesuka hati itu pernah b
"So, apa yang akan kalian lakukan saat Bagas datang?"Lency menelan ludahnya untuk pertanyaan Sani. Matanya menatapi bergantian dua pria yang entah akan menjawab apa. Ia yang sudah berpikir tidak akan bermimpi buruk malam ini karena memilih jujur untuk kedatangan Bagas, menghembuskan nafas dalam, berharap Marko ataupun Ali tak mendengar.'Sial! Gue akan makin mimpi buruk kalo gak dengar jawaban mereka sekarang!' batin Lency yang juga ingin tahu apa yang akan ayah ke-2 dan ke-3 Arimbi lakukan.Ia lalu menatap wajah Arimbi yang terlihat begitu damai dalam lelap, "apa mimpimu menyenangkan, Arimbi?" Ucap Lency yang tak sadar ucapannya membuat Ali menoleh."Apa? Jangan bilang gue ngomong kenceng barusan?" Ucap Lency tak urung membuat suasana tegang dalam ruangan, berubah.Apalagi sorot mata Ali jadi melembut ketika ia menatap Arimbi yang rambutnya ia belai, sementara Marko berdiri lalu duduk di atas lantai memegang jemari Arimbi yang jadi terlihat
"Arimbi akan pulang ke rumah ini, Bu, tapi aku tidak akan membiarkan ibu melakukan apa yang ibu mau."Mata Sukma membesar, tangannya terangkat tinggi namun hanya berhenti di udara."Arimbi akan pulang ke rumah ini dan aku tidak ingin mendengar ibu atau siapapun menyalahkannya untuk apa yang terjadi."Plakk!Kali ini tangan Sukma benar-benar menampar pipi Bagas yang tidak terkejut dengan reaksi Sukma. "Kau tahu kenapa kita harus melakukan itu!" Seru Sukma lalu menoleh ke kanan dan ke kiri, memeriksa jika ada mata ataupun telinga yang mendengar lalu mengecilkan suaranya. Sadar, jika ada telinga yang mendengar maka apa yang sudah ia susun akan berakhir."Kau tahu betul kita harus melakukan itu!"Sukma memegang lengan Bagas, tatapannya memelas namun penuh tuntutan, "kau tahu kenapa ibu melakukan ini bukan? Semuanya untukmu, Bagas, agar kau bisa hidup tenang bersama Maya dan Carmen."Sukma lalu menyentuh pip
"Cari siapa, Mas?""Saya suami Arum.""!" Mata lency membesar untuk jawaban lelaki yang ketidak-hadirannya selalu ia tanyakan. Manik mata wanita berkulit hitam manis itu bergerak gelisah sementara punggungnya terasa panas mengingat di ruangan Arum ada Ali dan Marko yang mungkin tak akan senang mendengar siapa yang datang.Namun, ia yang tahu siapa dirinya tak mungkin berkata "jangan masuk!" pada lelaki tampan yang masih mengenakan pakaian kerja dengan jas yang melekat begitu pas di badannya.'Gue belum siap liat Ali sama Marko menghajar suami Arum!' seru Lency dalam hati, 'dan di dalam juga ada Arimbi-'Zreeeg!!Tangan Lency bergerak sendiri menutup pintu yang ia buka, begitu cepat sampai ia sendiri merasa kaget dan jadi kikuk saat menatap Bagas.Lency bisa merasakan punggungnya berkeringat sekalipun pendingin ruangan menyala. Mulutnya jadi terasa kelu meski tak ada satu kalimatku yang melintas dalam benak untuk ia sampaik
PING: Saya harap bapak tidak lupa dengan uang yang bapak janjikan untuk informasi ini.Entah apa yang kini sedang berkecamuk dalam benak Bagas saat melihat potret Arimbi, putrinya. Ia tampak tidak perduli dengan baris terahir dari pesan yang masuk bertubi-tubi dipenuhi oleh potret Arimbi.Tapi, ia yang sudah berdiri dan siap melangkah, punggungnya terlihat ragu apalagi saat matanya menatap dua pria yang terlihat bahagia di samping Arimbi yang lebar tersenyumMarko dan Ali. Dua lelaki yang wajah bahagianya pasti akan berubah jika ia datang atau bahkan menunjukkan diri.Sampai Bagas menarik nafasnya dalam, begitu dalam. Sementara matanya tak melepas senyum gadis kecil yang akhirnya masuk ke dalam ruang rawat inap yang pintunya dibuka Ali.PING: ini potret terakhir yang bisa saya kirimkan. Saya harap bapak tidak lagi menghubungi saya atau saya akan mendapat masalah karena sudah melanggar kode etik."Kode etik?" ucap Bagas menarik uj
"Karena lebih baik anak itu tidak kembali jika ingin hidupnya tenang "Sera menggigit bibir bawahnya, lalu menatap ke depan. Zizi seperti orang kesetanan yang bahkan menerobos lampu merah, untung saja motor yang pengemudinya berteriak karena kaget ada mobil sport yang melanggar rambu tidak jatuh dan terlindas mobil di belakangnya.Well, tak lagi bertanya tentang Arimbi pada Zizi 'saat ini' adalah hal yang benar untuk dilakukan, mengingat Sera masih menyayangi nyawanya. Lagipula, apa yang telah dan akan dilakukan Zizi pada Arimbi bukanlah urusannya. Ia hanya ingin lebih dekat dengan Sani. Pria yang begitu tak tergoyahkan bahkan mengabaikan dirinya yang sudah menjual murah harga dirinya di depan Sani.'Kalo gue gak berhasil dapetin Lo, jangan panggil gue Sera!'Hatchi!"Godbless you, Boss," ucap Joyce pada Sany yang bersin lalu menatap sang asisten yang kembali berucap, "palingan ada yang ngomongin Lo, maklum cowok mahal kayak Lo pasti ba
"Apa Ali dan Marko akan membawa Arimbi pulang kerumahnya?"Lency yang berdiri di depan pintu langsung menoleh pada Sani, "apa?" meski sedetik kemudian wajah Lency jadi pucat mengingat rumah Arimbi meski ia belum pernah ke sana."A--Ali sama Marko gak ngomong apa-apa tentang itu," jawab Lency membuat Sani mengangguk. Mengingat hari ini adalah hari sama Ali dan Marko kembali dari Berlin setelah menyelesaikan pekerjaan begitupun Arimbi yang masa perawatannya selesai.Karena sama-sama sibuk, apalagi Ali dan Marko yang jadwalnya dipadatkan sama sekali belum bertukar kata dengannya."Setidaknya Arimbi sudah kembali, bukan?" ucap Sani saat melihat wajah pucat Lency. Ia jadi merasa tak enak hati melihat wanita yang tadi tertawa bersama Mawardi jadi menunjukan wajah bermasalah.Sani tahu, Marko dan Ali pasti sudah memikirkan banyak hal menyangkut masa depan Arimbi meskipun dalam waktu singkat. Tapi, bagaimanapun juga selain mereka berdua y
"Kok tumben udah balik, Sayang," ucap wanita ayu yang meletakan majalah Fashion saat melihat putrinya masuk dengan wajah kesal."Den Joe, sedang pergi bersama kakaknya, Bu," jawab pengasuh yang mendapat tatapan tanya dari Maya yang mengangguk paham kenapa wajah putrinya yang keluar dengan semangat kembali dengan wajah kesal."Gak usah cemberut gitu dong, Sayang. nanti kalo Joe udah pulang bisa main lagi, kan?""Kata Bu Miranda pulangnya malam, Bu. jadi baru besok bisa main lagi.""Oh, jadi karena itu anak mami wajahnya jadi gini?" ucap Maya tersenyum menyentuh kepala Carmen yang masih saja cemberut dengan bibir kecil mengerucut."Aku tuh mau main sama Joe, Mami. tapi malah keduluan sama Seth. Nyebelin banget!" Sungut Carmen tak melihat Maya memberi kode pada pengsuhnya agar membawakan kue stroberi untuk Carmen."Kalau begitu, gimana kalau kamu jalan-jalan sama Mami dan papi, setelah papi pulang nanti?"Carmen menoleh
Small small bad wolf~She life with a pack of a liar~Small small bad wolf~What she will do when she get older~Small small bad wolf~She smile with innocent smiling face~Small small bad wolf~What she gonna do? What she gonna do~Small small bad wolf~Carefull everyone she come to get you~Small small bad wolf~She life with a pack of liar~Small small bad wolf ~She smile to get you~Small small bad wolf~*Gadis kecil yang langkahnya terlihat ringan itu berjalan digandeng Sabrina, matanya membulat melihat dua pria dewasa yang bahkan tak bisa menahan lari mereka lalu memeluk dan mengangkatnya dalam dekapan rindu disertai kecupan di pipi kenyal nan lembut tanpa bekas tamparan yang sudah tak terlihat lagi.satu minggu terasa begitu lama, Namun setelah melihat gadis kecil kesayangan mereka kembali dengan senyum, Marko dan Ali hanya bisa memeluk Arimbi yang tawanya sudah tak mahal lagi. Rasa syu