“Apa maksudmu Ratih, sejak kapan aku menyuruh Susanti untuk tidak memberikan uang pada Emak?” tanya Tarno. Dadanya bergemuruh menahan marah. Berani-beraninya Susanti membohonginya dan Emak.
Tarno memang rutin memberikan Emak uang tiap bulannya selama dia berkerja di luar negeri. Setiap bulan setelah mengirim uangnya tak lupa ia selalu berpesan pada istrinya untuk mengirim uang pada emaknya. Pun setiap Tarno bertanya apakah emak sudah diberi uang, Susanti selalu menjawab sudah. Karena itu Tarno sangat kaget saat mendengar perkataan Ratih barusan.
“Sudah dua tahun ini Mbak Susanti tidak pernah memberi uang bulanan lagi, Mas. Katanya kamu menyuruhnya untuk menabung jatah uang buat emak untuk sekolah Dila dan Dinda nanti. Persiapan masuk SD dan SMP katanya,”kata Ratih.
“Apa? Jadi selama dua tahun ini Susanti tidak pernah memberikan uang kepada Emak? Kenapa kamu diam saja dan tidak bertanya padaku!” teriak Tarno geram.
Ratih sangat kaget mendengar Tarno yang terdengar sangat marah sekarang. Belum pernah dilihatnya kakak lelakinya semarah itu sebelumnya. Emak juga tak kalah kaget. Ia tampak mengelus dadanya lalu menyuruh Tarno untuk menenangkan diri.
“Istigfar Le. Tenang dulu, tahan emosimu,” tutur emak dengan lembut.
Tarno langsung sadar dan menenangkan diri. Ia tidak ingin kejadian tadi terulang lagi. Ditariknya nafas dalam berkali-kali. Saat sudah tenang dia mulai bertanya lagi pada Ratih.
“Apa kamu tidak curiga kalu Susanti berbohong? Kenapa kamu tidak pernah bertanya padaku selama aku di luar negeri?” tanya Tarno.
“Sebenarnya saat itu aku mau tanya kamu langsung, Mas. Tapi dilarang sama Emak,” jawab Ratih dengan melirik emaknya.
“Aku nggak pernah menyuruh Ratih untuk berhenti memberi jatah bulanan untuk Emak. Bahkan setiap aku mengirim uang selalu kuingatkan untuk segera mengirim ke rekeningmu Tih,” ucap Tarno dengan memandang Ratih.
“Berarti selama ini Mbak Susanti membohongi kamu, Mas. Lalu untuk apa dia berbohong. Apa uang yang kamu kirimkan masih kurang, kenapa tidak jujur saja kalau begitu?” tanya Ratih dengan bergumam.
“Sepertinya aku tahu uang itu digunakan untuk apa,” kata Tarno.
“Untuk apa, Mas? Apa Mbak Susanti mau renovasi rumah lagi?” tanya Ratih penasaran.
“Bukan. Ada pokoknya,” kata Tarno menghindar. Ia tidak mau menambah beban pikiran emaknya.
Tarno memang belum menceritakan perihal motor ninja merah milik Joko yang angsurannya dibayar oleh Susanti pada Ratih dan emak. Berarti selama ini Susanti menggunakan uang jatah bulanan Emak untuk membayar cicilan motor yang Joko pakai tadi.
Kebohongan yang Susanti lakukan mulai terbongkar satu persatu. Tarno benar-benar kaget dan tidak menyangka dengan semua kebohongan yang sudah istrinya lakukan selama dia di luar negeri. Belum habis rasa kagetnya setelah mengetahui perselingkuhannya dengan Joko kini dia dikagetkan oleh kebohongan yang Susanti lakukan pada Ratih dan Emak.
Tarno benar-benar tak habis pikir. Selama ini dia mengira semuanya baik-baik saja sebelum akhirnya dia pulang. Mungkin Allah tengah menunjukkan semua hal buruk yang telah dilakukan istrinya satu persatu tanpa perlu bersusah payah mencarinya.
Setelah selesai membahas masalah perceraian Tarno,, mereka mulai bercerita dan menanyakan kabar satu sama lain. Tarno banyak menceritakan pengalamannya dan kejadian-kejadian lucu selama merantau di luar negeri. Emak dan Ratih tampak antusias mendengarkan ceritanya. Mereka tampak tertawa beberapa kali, Ratih bahkan sampai memegangi perutnya lalu mengusap sudut matanya yang berair karena tertawa terpingkal-pingkal.
Tarno mulai membongkar barang bawaannya. Diserahkannya oleh-oleh yang sudah dipersiapkan pada Emak dan Ratih. Juga barang-barang yang sebelumnya akan diberikan pada Susanti. Dia berikan pada Ratih, daripada mubazir pikirnya.
Sementara kalung berbandul hati yang sebelumnya akan diberikan sebagai kejutan untuk Susanti mau dijual saja. Uangnya akan digunakan untuk mengurus sidang perceraian dan keperluan lain. Bila cukup, rencananya Tarno akan membeli sepeda motor bekas agar tidak kebingungan saat bepergian. Tidak perlu bagus asalkan masih bisa dikendarai untuk kesana kemari.
Tarno tidak memiliki simpanan uang karena selama ini ia menyerahkan uang gajinya pada Susanti dan hanya mengambil sedikit untuk membeli keperluannya selama di luar negeri. Lelaki yang sudah memiliki dua putri itu hanya menyimpan gaji terakhir, yang sengaja tidak dikirim untuk membeli tiket perjalanan pulang dan berbagai macam barang untuk oleh-oleh orang di rumah.
Sekarang Tarno harus mulai mencari pekerjaan lagi agar mempunyai penghasilan untuk memenuhi kebutuhannya setelah ini. Selama ini ia berpesan kepada Susanti untuk menabung sedikit-sedikit yang rencananya akan digunakan untuk modal usaha setelah Tarno pulang ke rumah. Susanti pernah mengirimkan saldo rekening tabungannya pada Tarno dan jumlah yang terkumpul lumayan banyak. Namun Tarno tidak yakin kalau uang itu masih ada, mungkin saja uang itu sudah Susanti berikan pada Joko sebagai uang muka saat membeli motor ninja yang terparkir di halaman rumahnya kemarin.
Sebelum magrib, Samsul, suami Ratih pulang kerja. Saat bertemu dengan Tarno, dia sangat kaget dan langsung berjabat tangan menanyakan kabar kakak iparnya. Samsul memang masih belum mendengar kabar perselingkuhan kakak iparnya karena Ratih memang belum memberitahunya.
Tarno menyerahkan oleh-oleh yang rencananya akan diberikan ke Joko pada Samsul. Sebenarnya adik iparnya sudah ia berikan oleh-oleh sendiri yang sudah dititipkan pada Ratih. Begitu menerima pemberian kakak iparnya dan melihat isinya, Samsul tersenyum lebar dan mengucapkan terima kasih berkali-kali. Katanya ia sudah lama menginginkan kaos jersey yang sekarang dipegangnya, namun belum ada uang untuk membelinya.
Tarno tersenyum kecut, setidaknya kaos itu bisa memberikan kebahagiaan pada seseorang daripada dibuang percuma. Malam itu kedua lelaki yang sudah lama tidak bertemu karena jarak jauh berbincang-bincang lama sampai larut malam. Entah apa saja yang mereka bicarakan. Namun setidaknya Tarno merasa sedikit terhibur karena bisa melupakan masalahnya untuk sementara waktu saat mengobrol dengan adik iparnya.
Jam dua belas malam akhirnya kedua lelaki itu mengakhiri pembicaraan mereka. Saat masuk ke kamar, Tarno melihat Dinda yang sudah tertidur pulas di kasur dengan memeluk guling. Dipandanginya wajah putri kecilnya yang polos dengan tatapan penuh kasih sayang. Anak yang saat ditinggal ke luar negeri masih belajar berjalan kini sudah sebesar ini. Tarno melewatkan banyak hal selama pergi. Dia tidak bisa menyaksikan tumbuh kembang putrinya secara langsung dan hanya mendengarnya dari Susanti lewat foto atau video yang dikirimkan.
Tarno membuka ponsel untuk melihat kembali foto-foto dan video Dinda saat masih kecil. Ponselnya berdering, terlihat sebuah pesan w******p masuk ke ponselnya dari Susanti.
[Jangan lupa besok siang antarkan Dinda pulang. Sekalian ada hal penting yang harus kita bicarakan.]
[Oke. Ada hal yang ingin kubicarakan juga denganmu. Besok siang aku kesana] balas Tarno.
Susanti tidak membalas pesan yang Tarno kirimkan. Tapi Tarno yakin, istrinya sudah membacanya karena centang dua itu sudah berubah warna menjadi biru.
Tarno hanya membolak-balikkan badannya sejak tadi. Dia tidak bisa tidur walaupun matanya sudah dipejamkan dari tadi. Pikirannya masih dipenuhi dengan semua kebohongan Susanti. Bayangan kejadian tadi pagi di kamar rumahnya juga terus menerus muncul dalam pikirannya. Hatinya perih, perjuangannya untuk mencari nafkah sampai ke luar negeri dibalas dengan pengkhianatan oleh Susanti.
Tarno lalu memikirkan kondisi emaknya. Tentang serangan panik yang dialaminya, apa yang sebenarnya masalah yang dialami emaknya sampai ia menjadi seperti itu. Ia harus mencari tahu tentang masalah yang dipikirkan emaknya dan membantunya untuk mencari solusi.
Tiba-tiba Tarno teringat dengan pesan yang dikirim Susanti barusan. Hal penting apa yang sebenarnya ingin ia bahas. Tarno hanya bisa menebak-nebak saja sampai akhirnya ia lelah berpikir dan tertidur tanpa ia sadari.
Tarno terbangun saat matahari sudah tinggi. Saat melihat ponselnya untuk mengecek waktu ternyata sudah pukul enam pagi. Dinda juga sudah tidak ada di sampingnya. Tarno segera keluar kamar dan berwudhu. Setelah Shalat subuh ia mencari putrinya yang ternyata sedang menonton televisi bersama Emak dan Ratih.Begitu melihat Tarno, Dinda langsung tersenyum lebar. “Ayah sudah bangun?” tanya Dinda dengan bersemangat.“Iya. Dinda sudah sarapan?” Tarno duduk di samping Ratih yang sedang makan keripik singkong.“Sudah. Nenek masak soto ayam loh. Enak banget,” jawab Dinda sambil mengacungkan jempolnya.“Makanlah. Emak masak soto ayam kesukaanmu,” kata Emak.“Iya, Mak.” Tarno berlalu ke dapur untuk makan. Meskipun dia tidak berselera untuk makan namun perutnya tidak bisa dibohongi dan butuh diisi sekarang juga.Melihat soto ayam buatan Emak, selera makannya langsung terbit. Segera diambilnya sep
Dila dan Dinda terdiam mendengar pertanyaan Susanti. Membuat Tarno semakin cemas. Suasana di ruang tamu berubah senyap karena semua diam. Hanya detak jam dinding yang terdengar sekarang.“Dila, kamu mau ikut Ayah atau Ibu?” tanya Susanti langsung.Dila tampak kebingungan mendapat pertanyaan Ibunya secara tiba-tiba. “Harus dijawab sekarang, Bu?”“Iya. Agar kami bisa mengurus perceraian secepatnya.”Dila bimbang. Ia sebenarnya masih kangen dengan ayahnya yang baru saja pulang dari luar negeri dan ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengannya. Namun ia juga tidak mau berpisah dengan ibunya yang sudah merawatnya dan menjaganya selama ayahnya pergi.“Ayo, cepat katakan pada kami sekarang juga. Kamu mau ikut dengan Ayah atau Ibu?” desak Susanti.Dila semakin kebingungan. Ditatapnya kedua orang tuanya bergantian. Ibu yang disayanginya dan ayah yang dikasihinya. Ia bimbang siapa yang harus dipilih. G
Tubuh Tarno kaku tidak mau bergerak sesuai perintah otaknya. Ia menutup matanya dengan tubuh gemetar. Bersiap ditabrak mobil yang melaju dengan pesat ke arahnya karena tidak menyingkir dari tempatnya berdiri sekarang. Ia bahkan hampir terkencing sekarang karena merasa ketakutan. Namun, semua hal yang ia takutkan tidak terjadi. Ia tidak merasakan tubuhnya tertabrak atau terlempar. Pelan-pelan Tarno membuka matanya dan melihat sekeliling. Di depannya tampak seorang pria berusia tiga puluhan memandanginya dengan wajah khawatir. “Masnya nggak papa?” tanya pria itu. Tarno menggelengkan kepalanya. Lalu mencari keberadaan mobil yang ternyata berhenti sekitar satu meter dari tempatnya berdiri sekarang. “Alhamdulillah,” lirihnya. Pria yang memakai kaos hijau tersebut membantu Tarno mendirikan motornya yang terjatuh di samping lubang. Tarno melihat kondisi motor yang terbanting cukup keras di aspal. Spion sebelah kanan patah dan kacanya berhambura
Siang itu sepulang sekolah seorang gadis berusia tujuh belas tahun tampak berdiri di depan gerbang pintu sekolah. Sesekali ia melongok ke dalam untuk melihat seseorang. Gadis berambut lurus sebahu itu Lastri namanya. Ia sedang menunggu pacarnya yang mengajaknya untuk pergi ke taman setelah pulang sekolah.Sudah lima belas menit Lastri menunggu di depan sekolah. Sepertinya semua siswa di sekolah sudah keluar semua. Tapi lelaki yang ditunggunya belum tampak juga. Ia berpikir untuk masuk ke dalam sekolah lagi dan mencari Tarno di kelasnya. Mungkin saja lelaki yang telah menjadi kekasihnya selama setahun itu lupa dengan janji yang sudah dibuat dan masih di kelasnya sekarang.Tarno adalah kakak kelas Lastri yang menjalin hubungan dengannya selama setahun terakhir. Entah bagaimana awal kedekatan mereka namun semua terjadi begitu cepat sehingga akhirnya keduanya memutuskan untuk berpacaran. Dan hubungan kedua insan berlawanan jenis itu berjalan dengan baik meski kadang berten
Sebuah truk besar bermuatan penuh datang tepat setelah Tarno mengajukan pertanyaan tentang suami dan anak Lastri.“Truknya sudah datang. Mas Samsul tolong pindahkan ke gudang ya, seperti biasa. Sekalian ajak Mas Tarno dan ajarkan pekerjaan apa saja yang harus dikerjakan nanti.” Lastri memberikan perintah dengan lembut namun cukup tegas.Ekspresi murung Lastri dan kode yang diberikan Samsul membuat Tarno penasaran tentang apa yang sebenarnya terjadi. Apalagi Lastri yang langsung mengalihkan pembicaraan sebelumnya tanpa menjawab pertanyaan yang ia ajukan.Tarno terlihat kebingungan namun segera memahami situasi dengan cepat. Ia memilih diam dan menahan rasa penasaran di dalam hatinya. Saat waktunya sudah tepat hal itu akan ditanyakan lagi pada Samsul.“Baik, Bu Lastri. Ayo, Mas, kita pindahkan sekarang.” Samsul menyentuh lengan Tarno pelan.Tarno mengangguk dan mengikuti Samsul sudah berjalan keluar toko, menuju truk yang mula
Tarno mengangguk pelan. Ia kembali terkenang dengan masa sekolahnya.Susanto Wicaksono yang akrab dipanggil Santo adalah teman sebangku Tarno, sekaligus sahabat dekatnya. Mereka sangat akrab dan selalu berdua ke mana-mana.Tarno berkenalan dengan Santo saat pendaftaran murid baru dan semakin dekat setelah mengetahui mereka menjadi teman sekelas.Tarno sering menginap di rumah Santo. Begitu pula sebaliknya, Santo juga pernah menginap di rumah Tarno beberapa kali. Orang tua Santo bahkan sudah menganggap Tarno seperti anaknya sendiri dan memperlakukannya sama seperti mereka memperlakukan Santo.Santo yang merupakan anak tunggal sering kali merasa kesepian di rumah saat orang tuanya bekerja. Karena itu ia sering mengajak Tarno untuk menginap di rumahnya. Atau bergantian tidur di rumah sahabatnya.Setelah Ayahnya meninggal, Tarno pindah kembali ke kampung halaman ibunya. Ia tidak sempat berpamitan kepada siapa pun saat pindah termasuk pada Lastri dan Sa
Tak terasa sudah dua minggu Tarno bekerja di toko bahan bangunan milik Lastri. Ia sudah beradaptasi dengan baik semua kegiatan dan rutinitas di toko. Tubuhnya bahkan sudah tidak merasa pegal-pegal lagi saat malam hari atau keesokan harinya meskipun ia mengangkut bahan-bahan material yang berat dan banyak.Tarno semakin akrab dengan pekerja lain dan mulai paham dengan karakter masing-masing. Anto yang periang dan suka berbicara. Arif yang pendiam namun sekali berucap kata-katanya selalu jujur meskipun kadang menyakitkan. Topa yang sangat rajin bekerja dan tidak bisa diam. Selalu bergerak untuk membereskan barang-barang yang tidak tertata rapi setelah kedatangan pembeli.Sedangkan Wina, yang berada di kasir adalah pribadi yang riang dan ceria. Suka melontarkan gurauan dan rayuan pada pekerja lain. Bahkan Tarno, yang masih pekerja baru. Sesekali Wina menggoda Tarno yang tampak malu-malu dan hanya tersenyum saat mendengar rayuan dari wanita yang mengenakan kacamata tersebu
[Dasar pembohong! Bukankah kemarin sudah sepakat akan memberikan nafkah satu juta perbulan untuk anak-anak. Kenapa tidak ada kiriman uang sampai sekarang? Aku sudah bersabar sampai kemarin tapi tetap tidak ada itikad baik darimu. Bahkan sekedar bertanya bagaimana kabar anak-anak. Apakah kamu mau melupakan tanggung jawab sekarang?] Tarno membuka matanya lebar-lebar. Emosinya langsung terpancing membaca pesan yang dikirim Susanti. Dibantingnya ponsel itu ke kasur. Lalu kedua tangannya mengusap wajah dengan kasar. Tarno duduk di tepi kasur dengan berpangku tangan. Setelah menarik nafas dalam ia mengambil ponselnya kembali lalu mengetik sebuah pesan balasan. [Y] Tarno memijit tombol kirim. Dalam waktu singkat tanda centang dua itu berubah warna biru. Terlihat Susanti sedang mengetik sesuatu. Tarno menunggu dengan sabar untuk melihat apa yang akan dikatakan Susanti kali ini. Ia memang sengaja tidak mengirim uang untuk Susanti bulan ini meskipun sudah mener