Tarno terbangun saat matahari sudah tinggi. Saat melihat ponselnya untuk mengecek waktu ternyata sudah pukul enam pagi. Dinda juga sudah tidak ada di sampingnya. Tarno segera keluar kamar dan berwudhu. Setelah Shalat subuh ia mencari putrinya yang ternyata sedang menonton televisi bersama Emak dan Ratih.
Begitu melihat Tarno, Dinda langsung tersenyum lebar. “Ayah sudah bangun?” tanya Dinda dengan bersemangat.
“Iya. Dinda sudah sarapan?” Tarno duduk di samping Ratih yang sedang makan keripik singkong.
“Sudah. Nenek masak soto ayam loh. Enak banget,” jawab Dinda sambil mengacungkan jempolnya.
“Makanlah. Emak masak soto ayam kesukaanmu,” kata Emak.
“Iya, Mak.” Tarno berlalu ke dapur untuk makan. Meskipun dia tidak berselera untuk makan namun perutnya tidak bisa dibohongi dan butuh diisi sekarang juga.
Melihat soto ayam buatan Emak, selera makannya langsung terbit. Segera diambilnya sep
Dila dan Dinda terdiam mendengar pertanyaan Susanti. Membuat Tarno semakin cemas. Suasana di ruang tamu berubah senyap karena semua diam. Hanya detak jam dinding yang terdengar sekarang.“Dila, kamu mau ikut Ayah atau Ibu?” tanya Susanti langsung.Dila tampak kebingungan mendapat pertanyaan Ibunya secara tiba-tiba. “Harus dijawab sekarang, Bu?”“Iya. Agar kami bisa mengurus perceraian secepatnya.”Dila bimbang. Ia sebenarnya masih kangen dengan ayahnya yang baru saja pulang dari luar negeri dan ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengannya. Namun ia juga tidak mau berpisah dengan ibunya yang sudah merawatnya dan menjaganya selama ayahnya pergi.“Ayo, cepat katakan pada kami sekarang juga. Kamu mau ikut dengan Ayah atau Ibu?” desak Susanti.Dila semakin kebingungan. Ditatapnya kedua orang tuanya bergantian. Ibu yang disayanginya dan ayah yang dikasihinya. Ia bimbang siapa yang harus dipilih. G
Tubuh Tarno kaku tidak mau bergerak sesuai perintah otaknya. Ia menutup matanya dengan tubuh gemetar. Bersiap ditabrak mobil yang melaju dengan pesat ke arahnya karena tidak menyingkir dari tempatnya berdiri sekarang. Ia bahkan hampir terkencing sekarang karena merasa ketakutan. Namun, semua hal yang ia takutkan tidak terjadi. Ia tidak merasakan tubuhnya tertabrak atau terlempar. Pelan-pelan Tarno membuka matanya dan melihat sekeliling. Di depannya tampak seorang pria berusia tiga puluhan memandanginya dengan wajah khawatir. “Masnya nggak papa?” tanya pria itu. Tarno menggelengkan kepalanya. Lalu mencari keberadaan mobil yang ternyata berhenti sekitar satu meter dari tempatnya berdiri sekarang. “Alhamdulillah,” lirihnya. Pria yang memakai kaos hijau tersebut membantu Tarno mendirikan motornya yang terjatuh di samping lubang. Tarno melihat kondisi motor yang terbanting cukup keras di aspal. Spion sebelah kanan patah dan kacanya berhambura
Siang itu sepulang sekolah seorang gadis berusia tujuh belas tahun tampak berdiri di depan gerbang pintu sekolah. Sesekali ia melongok ke dalam untuk melihat seseorang. Gadis berambut lurus sebahu itu Lastri namanya. Ia sedang menunggu pacarnya yang mengajaknya untuk pergi ke taman setelah pulang sekolah.Sudah lima belas menit Lastri menunggu di depan sekolah. Sepertinya semua siswa di sekolah sudah keluar semua. Tapi lelaki yang ditunggunya belum tampak juga. Ia berpikir untuk masuk ke dalam sekolah lagi dan mencari Tarno di kelasnya. Mungkin saja lelaki yang telah menjadi kekasihnya selama setahun itu lupa dengan janji yang sudah dibuat dan masih di kelasnya sekarang.Tarno adalah kakak kelas Lastri yang menjalin hubungan dengannya selama setahun terakhir. Entah bagaimana awal kedekatan mereka namun semua terjadi begitu cepat sehingga akhirnya keduanya memutuskan untuk berpacaran. Dan hubungan kedua insan berlawanan jenis itu berjalan dengan baik meski kadang berten
Sebuah truk besar bermuatan penuh datang tepat setelah Tarno mengajukan pertanyaan tentang suami dan anak Lastri.“Truknya sudah datang. Mas Samsul tolong pindahkan ke gudang ya, seperti biasa. Sekalian ajak Mas Tarno dan ajarkan pekerjaan apa saja yang harus dikerjakan nanti.” Lastri memberikan perintah dengan lembut namun cukup tegas.Ekspresi murung Lastri dan kode yang diberikan Samsul membuat Tarno penasaran tentang apa yang sebenarnya terjadi. Apalagi Lastri yang langsung mengalihkan pembicaraan sebelumnya tanpa menjawab pertanyaan yang ia ajukan.Tarno terlihat kebingungan namun segera memahami situasi dengan cepat. Ia memilih diam dan menahan rasa penasaran di dalam hatinya. Saat waktunya sudah tepat hal itu akan ditanyakan lagi pada Samsul.“Baik, Bu Lastri. Ayo, Mas, kita pindahkan sekarang.” Samsul menyentuh lengan Tarno pelan.Tarno mengangguk dan mengikuti Samsul sudah berjalan keluar toko, menuju truk yang mula
Tarno mengangguk pelan. Ia kembali terkenang dengan masa sekolahnya.Susanto Wicaksono yang akrab dipanggil Santo adalah teman sebangku Tarno, sekaligus sahabat dekatnya. Mereka sangat akrab dan selalu berdua ke mana-mana.Tarno berkenalan dengan Santo saat pendaftaran murid baru dan semakin dekat setelah mengetahui mereka menjadi teman sekelas.Tarno sering menginap di rumah Santo. Begitu pula sebaliknya, Santo juga pernah menginap di rumah Tarno beberapa kali. Orang tua Santo bahkan sudah menganggap Tarno seperti anaknya sendiri dan memperlakukannya sama seperti mereka memperlakukan Santo.Santo yang merupakan anak tunggal sering kali merasa kesepian di rumah saat orang tuanya bekerja. Karena itu ia sering mengajak Tarno untuk menginap di rumahnya. Atau bergantian tidur di rumah sahabatnya.Setelah Ayahnya meninggal, Tarno pindah kembali ke kampung halaman ibunya. Ia tidak sempat berpamitan kepada siapa pun saat pindah termasuk pada Lastri dan Sa
Tak terasa sudah dua minggu Tarno bekerja di toko bahan bangunan milik Lastri. Ia sudah beradaptasi dengan baik semua kegiatan dan rutinitas di toko. Tubuhnya bahkan sudah tidak merasa pegal-pegal lagi saat malam hari atau keesokan harinya meskipun ia mengangkut bahan-bahan material yang berat dan banyak.Tarno semakin akrab dengan pekerja lain dan mulai paham dengan karakter masing-masing. Anto yang periang dan suka berbicara. Arif yang pendiam namun sekali berucap kata-katanya selalu jujur meskipun kadang menyakitkan. Topa yang sangat rajin bekerja dan tidak bisa diam. Selalu bergerak untuk membereskan barang-barang yang tidak tertata rapi setelah kedatangan pembeli.Sedangkan Wina, yang berada di kasir adalah pribadi yang riang dan ceria. Suka melontarkan gurauan dan rayuan pada pekerja lain. Bahkan Tarno, yang masih pekerja baru. Sesekali Wina menggoda Tarno yang tampak malu-malu dan hanya tersenyum saat mendengar rayuan dari wanita yang mengenakan kacamata tersebu
[Dasar pembohong! Bukankah kemarin sudah sepakat akan memberikan nafkah satu juta perbulan untuk anak-anak. Kenapa tidak ada kiriman uang sampai sekarang? Aku sudah bersabar sampai kemarin tapi tetap tidak ada itikad baik darimu. Bahkan sekedar bertanya bagaimana kabar anak-anak. Apakah kamu mau melupakan tanggung jawab sekarang?] Tarno membuka matanya lebar-lebar. Emosinya langsung terpancing membaca pesan yang dikirim Susanti. Dibantingnya ponsel itu ke kasur. Lalu kedua tangannya mengusap wajah dengan kasar. Tarno duduk di tepi kasur dengan berpangku tangan. Setelah menarik nafas dalam ia mengambil ponselnya kembali lalu mengetik sebuah pesan balasan. [Y] Tarno memijit tombol kirim. Dalam waktu singkat tanda centang dua itu berubah warna biru. Terlihat Susanti sedang mengetik sesuatu. Tarno menunggu dengan sabar untuk melihat apa yang akan dikatakan Susanti kali ini. Ia memang sengaja tidak mengirim uang untuk Susanti bulan ini meskipun sudah mener
Wina dan Lastri tampak kaget mendengar jawaban Tarno barusan. Sementara Tarno menundukkan kepalanya tidak berani menatap kedua wanita yang ada di depannya. Ia merasa seperti seseorang yang sedang disidang karena telah melakukan kesalahan sekarang. “Sidang perceraian? Siapa yang cerai? Kamu, Mas?” tanya Wina. Tarno hanya mengangguk pelan. “Kenapa cerai, Mas?” tanya Wina penasaran. Lastri menyenggol pelan lengan Wina. “Husst, Kepo.” “Eh iya. Maaf ya, Mas. Hahaha. Soalnya Aku juga pernah menjalani sidang perceraian seperti Kamu. Jadi nggak usah malu. Kalau bingung dan perlu teman curhat atau mau tanya-tanya bisa tanya ke aku.” Wina terlihat cengengesan setelah diperingatkan oleh Lastri. “Malah modus. Iya, nggak papa, Mas. Besok Aku izinkan,” ucap Lastri dengan senyum lembut. Tarno mengangguk, “Terima kasih, Bu Lastri.” Tarno pergi secepat yang ia bisa. Saat berjalan keluar toko ia masih bisa mendengar perkataan ked